Sejak Rancangan Undang-Undang Dasar dibahas oleh BPUPKI
pada kurun waktu Juni-Juli 1945 sampai dilakukannya Perubahan Ketiga UUD 1945,
ide pengujian konstitusional oleh organ peradilan yang biasa disebut Mahkamah
Konstitusi (judicial review on the
constitutionality of law) memang belum diterima dan dilembagakan di Indonesia.[1]
Dalam kurun waktu yang cukup lama itu yang baru dikenal dan
diadopsi adalah sistem pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang oleh Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan kemudian dilengkapi dengan UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung. Pengujian oleh Mahkamah
Agung itu selain pada prakteknya tidak bisa berjalan “lumpuh” karena mengandung
kekacauan teoritis dan praktis,[2] ia juga
tidak bisa disebut sebagai pengujian konstitusional karena area pengujiannya
terbatas pada pengujian legalitas peraturan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang.
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui penetapan Tap MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
mulai nampak adanya politik hukum menuju pelembagaan pengujian undang-undang
terhadap UUD (constitutional review).[3]
Menurut Pasal 5 ayat (1) Tap MPR itu disebutkan bahwa MPR berwenang menguji
UU terhadap UUD, bahkan juga menguji UU terhadap Ketetapan MPR.[4]
Akan tetapi perkembangan ini selain tidak berdampak
signifikan dalam ketatanegaraan kita karena tidak lama setelahnya MPR
menetapkan dan mengesahkan perubahan ketiga UUD 1945 ( (2001) yang salah satu
materinya berisi pengadopsian sistem pengujian konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi,[5]
sistem pengujian konstitusional oleh MPR itu pun tentu tidak dapat
dikategorikan sebagai pengujian konstitusional dalam pengertian judicial
review on the constitutionality of law atau pengujian konstitusional oleh
sebuah lembaga kehakiman.
Bersamaan dengan bergulirnya reformasi dan tumbangnya rezim
orde baru pada tahun 1998, muncul ide untuk melakukan reformasi hukum secara
besar-besaran, salah satu yang paling prinsip dan mendasar dari kehendak itu
adalah melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang selama ini dianggap sebagai
sumber munculnya otoritarianisme kekuasaan, baik pada masa orde lama maupun
pada masa orde baru.[6]
Angin segar perubahan mulai berhembus membawa harapan akan
peri kehidupan hukum yang lebih baik bersamaan dengan disepakatinya perubahan
UUD 1945. Dari sebagian perkembangan yang membahagiakan itu yang paling penting
diantaranya ialah diadopsinya sistem pengujian konstitusional oleh sebuah
lembaga bernama Mahkamah Konstitusi melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 pada
tahun 2001.
Setelah melalui pembahasan dan perdebatan yang cukup
panjang, sejak masa pembahasan perubahan kedua (tahun 2000) hingga masa
pembahasan perubahan ketiga (tahun 2001),[7] maka
melalui pengesahan Perubahan Ketiga UUD pada tahun 2001, dibentuklah suatu
organ kekuasaan kehakiman bernama Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri
diluar MA dan bersama-sama dengan MA melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, MK
mempunyai 4 kewenangan, yaitu:
1.
Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar;
2.
Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
3.
Memutus pembubaran
partai politik; dan
4.
Memutus perselisihan
tentang hasil Pemilu.
Ditegaskan
juga dalam pasal tersebut bahwa Putusan MK dalam perkara-perkara diatas ialah
bersifat final. Selain 4 kewenangan yang disebut dalam Pasal 24C ayat (1), MK
juga memiliki 1 kewajiban menurut Pasal 24C ayat (2), yakni memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.
Dari
empat kewenangan MK, kewenangan pengujian undang terhadap UUD atau pengujian
konstitusional inilah yang merupakan tugas mahkota dan tujuan utama daripada
dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal ini bahkan telah ditegaskan oleh
Hans Kelsen yang merupakan jurist pertama
yang mengemukakan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator yang tujuan utamanya
tidak lain adalah memeriksa, menguji, dan bahkan membatalkan undang-undang jika
dianggap bertentangan dengan konstitusi.[8]
Sebelum
membahas lebih jauh mengenai pengujian konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi
RI, ada yang cukup unik dan menarik dari sistem yang berlaku di Indonesia ini
jika di bandingkan dengan sistem pengujian konstitusional di negara-negara lain
pada umumnya, yaitu pemisahan atau pembagian sistem pengujian peraturan
perundang-undangannya (judicial review)
ke dalam dua rezim pengujian yang berbeda. Berdasarkan sistem yang dibangun
oleh UUD NRI Tahun 1945 memang dianut pemisahan atau lebih tepatnya pembagian (diffusion) pengujian peraturan
perundang-undangan dan lembaga yang berwenang mengujinya menjadi dua, yakni:
1. Pengujian UU terhadap UUD (judicial
review on the constitutionality of the legislation) yang kewenangan
pengujiannya diletakan pada MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1); dan
2. Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU (judicial review on the legality of the
regulation) yang kewenangan pengujiannya diberikan pada MA berdasarkan
Pasal 24A ayat (1).[9]
Komposisi
MK RI terdiri dari 9 orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 orang
oleh Presiden, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Mahkamah Agung.[10] Dalam
pelaksanaannya, pemilihan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga tersebut harus
dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan partisipasi
masyarakat.[11]
Sedangkan mengenai mekanisme atau tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan
calon hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang memilih
dan mengajukannya.[12]
Ruang
lingkup pengujian konstitusional di MK RI hanya mencakup pengujian abstrak
terhadap suatu undang-undang yang dianggap inkonstitusional. Dikategorikan
sebagai pengujian asbtrak (abstract norm
review) karena pada prinsipnya yang diuji adalah norma undang-undang yang
bersifat abstrak, bukan norma undang-undang yang sedang atau akan diterapkan
dalam kasus konkret di pengadilan-pengadilan sebagaimana yang berlaku di
negara-negara yang menganut pengujian konkret (concrete norm review) seperti di Austria, Jerman dan negara-negara
lainnya.[13]
Adapun
jika MK RI menerima permohonan pengujian atas suatu undang-undang yang bermula
dari kasus konkret atau dalam kaitannya dengan suatu kasus konkret di pengadilan, hal itu tetap jatuh pada ranah pengujian
abstrak, karena secara formal prosedural MK RI tidak dilengkapi dengan
kewenangan menguji suatu undang-undang
dalam suatu kasus konkret yang sedang di tangani pengadilan.
Dalam
pengertian pengujian konkret yang berlaku di negara-negara lain, pengujian itu
bermula dari adanya kasus konkret di pengadilan. Manakala hakim atau para pihak
menemukan prejudice atau anggapan
bahwa suatu undang-undang yang menjadi dasar perkara tersebut inkonstitusional,
maka hakim atau para pihak diberikan hak untuk menyerahkan persoalan
konstitusionalitas tersebut kepada MK untuk diuji. Mekanisme penyerahan perkara
(inkonstitusionalitas) dari pengadilan biasa kepada MK itu disebut dengan
istilah referral (pelimpahan dari
pengadilan kepada MK). Pelimpahan tersebut disertai dengan penundaan
pemeriksaan kasus yang bersangkutan oleh pengadilan sampai adanya putusan MK
mengenai konstitusionalitas undang-undang yang dimaksud. Itulah keseluruhan
mekanisme yang berlaku dalam pengujian konkret dalam arti yang sesungguhnya
oleh Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain.
Sementara
kenyataan di Indonesia sangat berlainan, karena pengujian suatu undang-undang
yang berawal atau bersangkut paut dengan kasus konkret tidak serta merta dapat
diajukan oleh pengadilan melalui sistem pelimpahan atau referral dan tidak pula diikuti dengan penghentian
sementara/penundaan persidangan atas kasus konkret yang yang berjalan di
pengadilan itu. Jadi jika seandainya pun MK menguji undang-undang dalam
kaitannya dengan suatu kasus konkret yang sedang ditangani oleh pengadilan, maka
pengujian di MK itu tidak serta merta menunda proses pemeriksaan yang sedang
berjalan di pengadilan yang bersangkutan. Atas alasan itulah pengujian
undang-undang di Indonesia, sekali pun pada kenyataannya mungkin saja ia
berawal atau bersangkut paut dengan kasus konkret, tetap tidak bisa
dikategorikan sebagai concrete review.
Pengujian
konstitusional di Indonesia mencakup pengujian secara materiil dan juga
pengujian secara formil. Pengujian materiil ditujukan untuk menguji materi atau
isi daripada suatu undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya.
Sedangkan pengujian formil ditujukan pada pengujian yang dilihat dari aspek
prosedur dan wewenang pembentukannya.[14]
Pengujian materiil akan menimbulkan konsekuensi berupa pembatalan (annulment) terhadap materi atau isi
daripada undang-undang yang diuji apabila materi tersebut dinyatakan
inkonstitusional (pembatalan sebagian). Sementara pengujian formil akan
menimbulkan konsekeunsi berupa pembatalan terhadap keseluruhan undang-undang yang
diuji karena hal itu berkenaan dengan wewenang dan prosedur pembentukannya.
Manakala terdapat cacat kewenangan dan/atau cacat prosedur dalam pembentukan
suatu undang-undang maka undang-undang tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi
undang-undang dan oleh karenanya harus dibatalkan secara keseluruhan.[15]
Dalam
prakteknya melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang, ternyata MK membuat
terobosan hukum sehubungan dengan rambu-rambu dalam pengujian materiil ini.
Terobosan yang selanjutnya menjadi yurisprudensi[16] di MK
itu terukir untuk pertama kalinya ketika MK melakukan pengujian materiil atas
beberapa pasal dari UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dalam
perkara No.001-021-022/PUU-I/2013.[17]
Yang
dimohonkan oleh Pemohon sebetulnya hanyalah pengujian terhadap 3 pasal dalam UU
No. 20 Tahun 2002. Namun secara mengejutkan di dalam amar putusannya, MK
membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan. Putusan tersebut
didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa ketiga pasal yang diuji dan dibatalkan
itu ialah merupakan “pasal jantung” atau pasal inti dari UU No. 20 Tahun 2002
sehingga manakala ketiga pasal itu dibatalkan maka niscahya keseluruhan
undang-undang tersebut akan menjadi rusak dan dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum di kemudian hari.[18] Melalui
putusan tersebut MK juga memberlakukan kembali UU No. 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan yang secara de jure
telah dicabut dan diganti dengan UU No. 20 Tahun 2002. Hal itu dilakukan untuk
menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum)
sebelum terbentuknya undang-undang yang baru.[19]
Dilihat
dari segi dimensi waktu pengujiannya, pengujian konstitusional yang dilakukan
oleh MK RI pada prinsipnya tergolong ke dalam jenis posteriori review, yaitu suatu pengujian terhadap undang-undang
yang telah disahkan dan diundangkan, hal mana berlainan dari praktek yang
berlaku di Perancis yang justru khas dengan pengujian RUU-nya (a priori review/constitutional preview).[20] Ada pun
jika diajukan suatu pengujian atas RUU yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tetapi belum disahkan dan belum
diundangkan maka hal itu harus diletakan dalam bingkai kontitusional yang
digariskan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, khususnya ayat (5) yang menyatakan
bahwa:
“Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.”
Dengan konstruksi hukum yang dibangun oleh Pasal 20 ayat
(5) UUD diatas jelaslah bahwa suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR
dan Presiden, meskipun ia tidak ditandatangani dan disahkan dalam jangka waktu
yang telah ditentukan, maka demi hukum, RUU itu akan tetap sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan. Sehingga berdasarkan konstruksi hukum yang demikian
wajar saja jika MK menerima pengujian suatu
RUU atau undang-undang yang belum bernomor (belum ditandatangani
Presiden) dan belum terdaftar dalam lembaran negara sepanjang RUU tersebut
telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.[21]
Kemungkinan-kemungkinan yang digambarkan diatas ternyata
terjadi dalam kenyataannya. Hal itu dapat dilihat dari adanya permohonan
pengujian RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota kepada MK pada
tanggal 29 September 2014. Padahal pada saat permohonan itu diajukan, RUU itu
belum disahkan oleh Presiden dan belum pula diundangkan, namun telah disetuju bersama oleh DPR dan Pemerintah pada Rapat
Paripurna DPR tanggal 26 September 2014.[22]
Salah satu yang menarik dari sistem pengujian
konstitusional di Indonesia, sesuai dengan difusi pengujian peraturan
perundang-undangan ke dalam dua rezim pengujian sebagaimana telah dijelaskan di
muka, maka objek pengujian kontsitusional di Indonesia hanya terbatas pada
undang-undang. Sementara peraturan perundang-undangan lainnya, tidak dapat
menjadi objek pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK, melainkan diuji
dalam forum pengujian legalitas oleh MA, sesuai dengan garis pemisahan yang
dianut UUD NRI Tahun 1945.
Ada pun pengecualian atau
lebih tepatnya perluasan makna dari “undang-undang” sehingga dapat menjadi
objek pengujian (objectum litis) di
MK ialah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sejarah dalam
hal ini pertama kali terukir dengan diterima dan diperiksanya permohonan
pengujian terhadap Perppu No. 4 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30
Tahun 2002 tentang KPK dalam perkara No. 138/PUU-VII/2009. Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK dalam perkara a quo didasarkan pada dua alasan utama; Pertama, Perppu mempunyai kedudukan
(hierarki) yang sama dengan undang-undang; Kedua,
materi muatan Perppu juga sama dengan materi muatan undang-undang.[23] Oleh
sebab itu, melalui perkara tersebut MK menyatakan berwenang menguji Perppu.[24]
[1] Penjelasan dan
pembahasan mengenai sejarah pengujian konstitusional di Indonesia dapat dilihat
dan dibaca ulang pada Bab II Sub bab C.
[2] Yang dimaksud dengan
kekacauan teoritis dan praktis ialah dikarenakan UU No. 14 Tahun 1985 disatu
sisi menyebut bahwa pengujian peraturan dibawah undang-undang dilakukan dan
menjadi kewenangan MA, namun di sisi lain disebutkan juga bahwa pengujian itu dilakukan
pada tingkat kasasi. Dalam logika beracara di peradilan, pemeriksaan tingkat
kasasi adalah pemeriksaan yang didahului dengan pemeriksaan tingkat pertama dan
pemeriksaan banding. Persoalannya, bagaimana mungkin pengujian itu dilakukan
pada tingkat pertama dan tingkat banding kalau perkaranya itu menyangkut
kompetensi absolut MA, sehingga dengan demikian peradilan dibawahnya tidak
dapat memeriksanya. Kekacauan itulah
yang kemudian menyebabkan ketentuan ini menjadi hanya sekedar “doedel eregel” atau norma mati yang tidak dapat difungsikan. Mengenai
hal ini dapat juga dilihat dalam Mahfud M. D., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Sinar Grafika, Jakarta,
2009, hlm. 259-260.
[3] Pada saat Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 ini ditetapkan, yaitu pada tahun 2000, sebetulnya ide dan
gagasan pengujian konstitusional oleh sebuah mahkamah konstitusi sudah masuk
dalam sidang-sidang pembahasan Panitia Ad Hoc I BP MPR (Komisi A). Bahkan ketika
itu, pada saat pembahasan Perubahan Kedua UUD dilakukan (tahun 2000), ide
pengadopsian sistem pengujian konstitusional ini telah diterima oleh Komisi A
namun belum bisa disepakati pada saat pengesahan Perubahan Kedua UUD 1945 tahun
2000 karena belum selesai dan masih dalam pembahasan serius. Sehingga dengan
demikian nampak adanya ketidakharmonisan dalam politik hukum pelembagaan
pengujian konstitusional ketika itu, karena pada saat Tap MPR No. III/MPR/2000
itu diberlakukan, MPR juga sedang membahas salah satu materi perubahan UUD yang
menyangkut pelembagaan pengujian constitutional
review. Dapat juga dilihat dalam Mahfud M. D., Ibid., hlm. 261.
[4] Lihat Jimly
Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. Ix-x.
[5] Pembentukan Mahkamah
Konstitusi dengan segala kewenangan yang dimilikinya termaktub dalam Bab IX
Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI Tahun
1945.
[6] Lihat Mahfud M. D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2010, hlm. 17-23.
[7] Pada awal
pembahasannya di internal PAH I BP MPR (2000), mula-mula terdapat tiga (3) opsi
mengenai pelembagaan pengujian konstitusional oleh MK. Pertama, MK dilekatkan dan menjadi bagian dari MPR; Kedua, MK dilekatkan dan menjadi bagian
dari MA; dan Ketiga, MK dibentuk
sebagai lembaga tersendiri sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di luar MA.
Sebagaiman kita ketahui ternyata opsi yang ketiga itulah yang akhirnya diterima
dan disepakati sehingga lahirlah MK seperti kita kenal saat ini. Lihat
selengkapnya dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2010, hlm. 301-330.
[8] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel
& Russel, New York, 1961, hlm. 268-269.
[9] Mengenai konsep
pembagian pengujian ini ke dalam apa yang disebut pengujian konstitusional (UU
terhadap UUD) dan pengujian legalitas (Peraturan perundang-undangan dibawah UU
terhadap UU) dapat dilihat dan dibanding dalam pendapat-pendapat Jimly
Asshiddiqie. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op. Cit., hlm. 6-7; dan Jimly
Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Op. Cit., hlm. 1-34.
[10] Vide Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
[11] Vide Pasal 19 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
[12] Vide Pasal 20 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
[13] Mengenai pengujian
konkret yang berlaku di Austria dapat dilihat dalam Herbert Hesmauninger, The Australian Legal System, Manzsche
Verlagsund Universitatbuchhandlung, Wien, 2003, hlm. 157; sedangkan perihal
pengujian konkret yang berlaku di Jerman dapat dilihat dalam Pasal 80
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Federal Constitutional Court Act).
[14] Lihat Jimly
Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, 2010, hlm. 38.
[15] Pengujian materiil dan
pengujian formil ini diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang
No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstutusi; Lihat juga Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
[16] Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2013 dalam Perkara Pengujian UU No. 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan ini kemudian menjadi yurisprudensi bagi
putusan-putusan selenjutnya yang membatalkan secara keseluruhan suatu
undang-undang meskipun pada awalnya yang dimohonkan adalah pengujian materiil.
Salah satu contohnya adalah Putusan No. 006/PUU-IV/2006 dalam Perkara Pengujian
UU No, 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang juga
dinyatakan batal secara keseluruhan.
[17] Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Mandar
Maju, Bandung, 2012, hlm. 61.
[18] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Op.
Cit., hlm. 39.
[19] Vide Putusan Mahkamah
Konstitusi No.001-021-022/PUU-I/2013, yang diucapkan pada tanggal 15 Desember
2004.
[20] Mengenai Pengujian RUU
(a priori review) di Perancis lihat
ketentuan Pasal 61 dan Pasal 62 Konstitusi Perancis.
[21] Jimly Asshiddiqie
menyebut istilah persetujuan DPR dan Presiden terhadap suatu RUU sebagai
“Pengesahan Materiil” dan menyebut pengesahan RUU menjadi UU oleh Presiden
dengan menandatangani UU yang dimaksud sebagai “Pengesahan Formil.” Lihat
selengkapnya dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal
Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 205-215.
[22] Kompas, “RUU Pilkada Baru Disahkan, Koalisi
Masyarakat Sipil Langsung Ajukan Uji Materi ke MK,”http://nasional.kompas.com/read/2014/09/29/10152091/RUU.Pilkada.Baru.Disahkan.Koalisi.Masyarakat.Sipil.Langsung.Ajukan.Uji.Materi.ke.MK, Diakses pada tanggal
20 Desember 2014.
[23] Vide Pertimbangan
Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.
[24] Arief Ainul Yaqin, “Pengujian Konstitusionalitas Perpu Oleh MK,
Bolehkah ?,” http://equityjusticia.blogspot.com/2013/10/pengujian-perpu-oleh-mk.html, Diakses pada tanggal
20 Desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar