Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 02 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (constitutional review) di Indonesia



Sejak Rancangan Undang-Undang Dasar dibahas oleh BPUPKI pada kurun waktu Juni-Juli 1945 sampai dilakukannya Perubahan Ketiga UUD 1945, ide pengujian konstitusional oleh organ peradilan yang biasa disebut Mahkamah Konstitusi (judicial review on the constitutionality of law) memang belum diterima dan dilembagakan di Indonesia.[1]
Dalam kurun waktu yang cukup lama itu yang baru dikenal dan diadopsi adalah sistem pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan kemudian dilengkapi dengan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.  Pengujian oleh Mahkamah Agung itu selain pada prakteknya tidak bisa berjalan “lumpuh” karena mengandung kekacauan teoritis dan praktis,[2] ia juga tidak bisa disebut sebagai pengujian konstitusional karena area pengujiannya terbatas pada pengujian legalitas peraturan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui penetapan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, mulai nampak adanya politik hukum menuju pelembagaan pengujian undang-undang terhadap UUD (constitutional review).[3] Menurut Pasal 5 ayat (1) Tap MPR itu disebutkan bahwa MPR berwenang menguji UU terhadap UUD, bahkan juga menguji UU terhadap Ketetapan MPR.[4]
Akan tetapi perkembangan ini selain tidak berdampak signifikan dalam ketatanegaraan kita karena tidak lama setelahnya MPR menetapkan dan mengesahkan perubahan ketiga UUD 1945 ( (2001) yang salah satu materinya berisi pengadopsian sistem pengujian konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,[5] sistem pengujian konstitusional oleh MPR itu pun tentu tidak dapat dikategorikan sebagai pengujian konstitusional dalam pengertian  judicial review on the constitutionality of law atau pengujian konstitusional oleh sebuah lembaga kehakiman.
Bersamaan dengan bergulirnya reformasi dan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, muncul ide untuk melakukan reformasi hukum secara besar-besaran, salah satu yang paling prinsip dan mendasar dari kehendak itu adalah melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang selama ini dianggap sebagai sumber munculnya otoritarianisme kekuasaan, baik pada masa orde lama maupun pada masa orde baru.[6]
Angin segar perubahan mulai berhembus membawa harapan akan peri kehidupan hukum yang lebih baik bersamaan dengan disepakatinya perubahan UUD 1945. Dari sebagian perkembangan yang membahagiakan itu yang paling penting diantaranya ialah diadopsinya sistem pengujian konstitusional oleh sebuah lembaga bernama Mahkamah Konstitusi melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.
Setelah melalui pembahasan dan perdebatan yang cukup panjang, sejak masa pembahasan perubahan kedua (tahun 2000) hingga masa pembahasan perubahan ketiga (tahun 2001),[7] maka melalui pengesahan Perubahan Ketiga UUD pada tahun 2001, dibentuklah suatu organ kekuasaan kehakiman bernama Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri diluar MA dan bersama-sama dengan MA melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, MK mempunyai 4 kewenangan, yaitu:
1.        Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2.        Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
3.        Memutus pembubaran partai politik; dan
4.        Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu.
Ditegaskan juga dalam pasal tersebut bahwa Putusan MK dalam perkara-perkara diatas ialah bersifat final. Selain 4 kewenangan yang disebut dalam Pasal 24C ayat (1), MK juga memiliki 1 kewajiban menurut Pasal 24C ayat (2), yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.
Dari empat kewenangan MK, kewenangan pengujian undang terhadap UUD atau pengujian konstitusional inilah yang merupakan tugas mahkota dan tujuan utama daripada dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal ini bahkan telah ditegaskan oleh Hans Kelsen yang merupakan jurist pertama yang mengemukakan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator yang tujuan utamanya tidak lain adalah memeriksa, menguji, dan bahkan membatalkan undang-undang jika dianggap bertentangan dengan konstitusi.[8]
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengujian konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi RI, ada yang cukup unik dan menarik dari sistem yang berlaku di Indonesia ini jika di bandingkan dengan sistem pengujian konstitusional di negara-negara lain pada umumnya, yaitu pemisahan atau pembagian sistem pengujian peraturan perundang-undangannya (judicial review) ke dalam dua rezim pengujian yang berbeda. Berdasarkan sistem yang dibangun oleh UUD NRI Tahun 1945 memang dianut pemisahan atau lebih tepatnya pembagian (diffusion) pengujian peraturan perundang-undangan dan lembaga yang berwenang mengujinya menjadi dua, yakni:
1.    Pengujian UU terhadap UUD (judicial review on the constitutionality of the legislation) yang kewenangan pengujiannya diletakan pada MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1); dan
2.    Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU (judicial review on the legality of the regulation) yang kewenangan pengujiannya diberikan pada MA berdasarkan Pasal 24A ayat (1).[9]
Komposisi MK RI terdiri dari 9 orang hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 orang oleh Presiden, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Mahkamah Agung.[10] Dalam pelaksanaannya, pemilihan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga tersebut harus dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan partisipasi masyarakat.[11] Sedangkan mengenai mekanisme atau tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang memilih dan mengajukannya.[12]
Ruang lingkup pengujian konstitusional di MK RI hanya mencakup pengujian abstrak terhadap suatu undang-undang yang dianggap inkonstitusional. Dikategorikan sebagai pengujian asbtrak (abstract norm review) karena pada prinsipnya yang diuji adalah norma undang-undang yang bersifat abstrak, bukan norma undang-undang yang sedang atau akan diterapkan dalam kasus konkret di pengadilan-pengadilan sebagaimana yang berlaku di negara-negara yang menganut pengujian konkret (concrete norm review) seperti di Austria, Jerman dan negara-negara lainnya.[13]
Adapun jika MK RI menerima permohonan pengujian atas suatu undang-undang yang bermula dari kasus konkret atau dalam kaitannya dengan suatu kasus konkret di pengadilan, hal itu tetap jatuh pada ranah pengujian abstrak, karena secara formal prosedural MK RI tidak dilengkapi dengan kewenangan menguji suatu undang-undang  dalam suatu kasus konkret yang sedang di tangani pengadilan.
Dalam pengertian pengujian konkret yang berlaku di negara-negara lain, pengujian itu bermula dari adanya kasus konkret di pengadilan. Manakala hakim atau para pihak menemukan prejudice atau anggapan bahwa suatu undang-undang yang menjadi dasar perkara tersebut inkonstitusional, maka hakim atau para pihak diberikan hak untuk menyerahkan persoalan konstitusionalitas tersebut kepada MK untuk diuji. Mekanisme penyerahan perkara (inkonstitusionalitas) dari pengadilan biasa kepada MK itu disebut dengan istilah referral (pelimpahan dari pengadilan kepada MK). Pelimpahan tersebut disertai dengan penundaan pemeriksaan kasus yang bersangkutan oleh pengadilan sampai adanya putusan MK mengenai konstitusionalitas undang-undang yang dimaksud. Itulah keseluruhan mekanisme yang berlaku dalam pengujian konkret dalam arti yang sesungguhnya oleh Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain.
Sementara kenyataan di Indonesia sangat berlainan, karena pengujian suatu undang-undang yang berawal atau bersangkut paut dengan kasus konkret tidak serta merta dapat diajukan oleh pengadilan melalui sistem pelimpahan atau referral dan tidak pula diikuti dengan penghentian sementara/penundaan persidangan atas kasus konkret yang yang berjalan di pengadilan itu. Jadi jika seandainya pun MK menguji undang-undang dalam kaitannya dengan suatu kasus konkret yang sedang ditangani oleh pengadilan, maka pengujian di MK itu tidak serta merta menunda proses pemeriksaan yang sedang berjalan di pengadilan yang bersangkutan. Atas alasan itulah pengujian undang-undang di Indonesia, sekali pun pada kenyataannya mungkin saja ia berawal atau bersangkut paut dengan kasus konkret, tetap tidak bisa dikategorikan sebagai concrete review.
Pengujian konstitusional di Indonesia mencakup pengujian secara materiil dan juga pengujian secara formil. Pengujian materiil ditujukan untuk menguji materi atau isi daripada suatu undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya. Sedangkan pengujian formil ditujukan pada pengujian yang dilihat dari aspek prosedur dan wewenang pembentukannya.[14] Pengujian materiil akan menimbulkan konsekuensi berupa pembatalan (annulment) terhadap materi atau isi daripada undang-undang yang diuji apabila materi tersebut dinyatakan inkonstitusional (pembatalan sebagian). Sementara pengujian formil akan menimbulkan konsekeunsi berupa pembatalan terhadap keseluruhan undang-undang yang diuji karena hal itu berkenaan dengan wewenang dan prosedur pembentukannya. Manakala terdapat cacat kewenangan dan/atau cacat prosedur dalam pembentukan suatu undang-undang maka undang-undang tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi undang-undang dan oleh karenanya harus dibatalkan secara keseluruhan.[15]
Dalam prakteknya melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang, ternyata MK membuat terobosan hukum sehubungan dengan rambu-rambu dalam pengujian materiil ini. Terobosan yang selanjutnya menjadi yurisprudensi[16] di MK itu terukir untuk pertama kalinya ketika MK melakukan pengujian materiil atas beberapa pasal dari UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dalam perkara No.001-021-022/PUU-I/2013.[17]
Yang dimohonkan oleh Pemohon sebetulnya hanyalah pengujian terhadap 3 pasal dalam UU No. 20 Tahun 2002. Namun secara mengejutkan di dalam amar putusannya, MK membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan. Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa ketiga pasal yang diuji dan dibatalkan itu ialah merupakan “pasal jantung” atau pasal inti dari UU No. 20 Tahun 2002 sehingga manakala ketiga pasal itu dibatalkan maka niscahya keseluruhan undang-undang tersebut akan menjadi rusak dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari.[18] Melalui putusan tersebut MK juga memberlakukan kembali UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang secara de jure telah dicabut dan diganti dengan UU No. 20 Tahun 2002. Hal itu dilakukan untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum) sebelum terbentuknya undang-undang yang baru.[19]
Dilihat dari segi dimensi waktu pengujiannya, pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK RI pada prinsipnya tergolong ke dalam jenis posteriori review, yaitu suatu pengujian terhadap undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan, hal mana berlainan dari praktek yang berlaku di Perancis yang justru khas dengan pengujian RUU-nya (a priori review/constitutional preview).[20] Ada pun jika diajukan suatu pengujian atas RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tetapi belum disahkan dan belum diundangkan maka hal itu harus diletakan dalam bingkai kontitusional yang digariskan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, khususnya ayat (5) yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Dengan konstruksi hukum yang dibangun oleh Pasal 20 ayat (5) UUD diatas jelaslah bahwa suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, meskipun ia tidak ditandatangani dan disahkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka demi hukum, RUU itu akan tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Sehingga berdasarkan konstruksi hukum yang demikian wajar saja jika MK menerima pengujian suatu  RUU atau undang-undang yang belum bernomor (belum ditandatangani Presiden) dan belum terdaftar dalam lembaran negara sepanjang RUU tersebut telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.[21]
Kemungkinan-kemungkinan yang digambarkan diatas ternyata terjadi dalam kenyataannya. Hal itu dapat dilihat dari adanya permohonan pengujian RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota kepada MK pada tanggal 29 September 2014. Padahal pada saat permohonan itu diajukan, RUU itu belum disahkan oleh Presiden dan belum pula diundangkan, namun telah disetuju bersama oleh DPR dan Pemerintah pada Rapat Paripurna DPR tanggal 26 September 2014.[22]
Salah satu yang menarik dari sistem pengujian konstitusional di Indonesia, sesuai dengan difusi pengujian peraturan perundang-undangan ke dalam dua rezim pengujian sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka objek pengujian kontsitusional di Indonesia hanya terbatas pada undang-undang. Sementara peraturan perundang-undangan lainnya, tidak dapat menjadi objek pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK, melainkan diuji dalam forum pengujian legalitas oleh MA, sesuai dengan garis pemisahan yang dianut UUD NRI Tahun 1945.
Ada pun pengecualian atau lebih tepatnya perluasan makna dari “undang-undang” sehingga dapat menjadi objek pengujian (objectum litis) di MK ialah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Sejarah dalam hal ini pertama kali terukir dengan diterima dan diperiksanya permohonan pengujian terhadap Perppu No. 4 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam perkara No. 138/PUU-VII/2009. Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK dalam perkara a quo didasarkan pada dua alasan utama; Pertama, Perppu mempunyai kedudukan (hierarki) yang sama dengan undang-undang; Kedua, materi muatan Perppu juga sama dengan materi muatan undang-undang.[23] Oleh sebab itu, melalui perkara tersebut MK menyatakan berwenang menguji Perppu.[24]


[1] Penjelasan dan pembahasan mengenai sejarah pengujian konstitusional di Indonesia dapat dilihat dan dibaca ulang pada Bab II Sub bab C.
[2] Yang dimaksud dengan kekacauan teoritis dan praktis ialah dikarenakan UU No. 14 Tahun 1985 disatu sisi menyebut bahwa pengujian peraturan dibawah undang-undang dilakukan dan menjadi kewenangan MA, namun di sisi lain disebutkan juga bahwa pengujian itu dilakukan pada tingkat kasasi. Dalam logika beracara di peradilan, pemeriksaan tingkat kasasi adalah pemeriksaan yang didahului dengan pemeriksaan tingkat pertama dan pemeriksaan banding. Persoalannya, bagaimana mungkin pengujian itu dilakukan pada tingkat pertama dan tingkat banding kalau perkaranya itu menyangkut kompetensi absolut MA, sehingga dengan demikian peradilan dibawahnya tidak dapat memeriksanya. Kekacauan itulah  yang kemudian menyebabkan ketentuan ini menjadi hanya sekedar “doedel eregel”  atau norma mati yang tidak dapat difungsikan. Mengenai hal ini dapat juga dilihat dalam Mahfud M. D., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 259-260.
[3] Pada saat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ini ditetapkan, yaitu pada tahun 2000, sebetulnya ide dan gagasan pengujian konstitusional oleh sebuah mahkamah konstitusi sudah masuk dalam sidang-sidang pembahasan Panitia Ad Hoc I BP MPR (Komisi A). Bahkan ketika itu, pada saat pembahasan Perubahan Kedua UUD dilakukan (tahun 2000), ide pengadopsian sistem pengujian konstitusional ini telah diterima oleh Komisi A namun belum bisa disepakati pada saat pengesahan Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000 karena belum selesai dan masih dalam pembahasan serius. Sehingga dengan demikian nampak adanya ketidakharmonisan dalam politik hukum pelembagaan pengujian konstitusional ketika itu, karena pada saat Tap MPR No. III/MPR/2000 itu diberlakukan, MPR juga sedang membahas salah satu materi perubahan UUD yang menyangkut pelembagaan pengujian constitutional review. Dapat juga dilihat dalam Mahfud M. D., Ibid., hlm. 261.
[4] Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,  hlm. Ix-x.
[5] Pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan segala kewenangan yang dimilikinya termaktub dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
[6] Lihat Mahfud M. D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 17-23.
[7] Pada awal pembahasannya di internal PAH I BP MPR (2000), mula-mula terdapat tiga (3) opsi mengenai pelembagaan pengujian konstitusional oleh MK. Pertama, MK dilekatkan dan menjadi bagian dari MPR; Kedua, MK dilekatkan dan menjadi bagian dari MA; dan Ketiga, MK dibentuk sebagai lembaga tersendiri sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di luar MA. Sebagaiman kita ketahui ternyata opsi yang ketiga itulah yang akhirnya diterima dan disepakati sehingga lahirlah MK seperti kita kenal saat ini. Lihat selengkapnya dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2010, hlm. 301-330.
[8] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, hlm. 268-269.
[9] Mengenai konsep pembagian pengujian ini ke dalam apa yang disebut pengujian konstitusional (UU terhadap UUD) dan pengujian legalitas (Peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU) dapat dilihat dan dibanding dalam pendapat-pendapat Jimly Asshiddiqie. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op. Cit., hlm. 6-7; dan Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Op. Cit., hlm. 1-34.
[10] Vide Pasal  24C ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[11] Vide Pasal  19 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[12] Vide Pasal  20 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[13] Mengenai pengujian konkret yang berlaku di Austria dapat dilihat dalam Herbert Hesmauninger, The Australian Legal System, Manzsche Verlagsund Universitatbuchhandlung, Wien, 2003, hlm. 157; sedangkan perihal pengujian konkret yang berlaku di Jerman dapat dilihat dalam Pasal 80 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Federal Constitutional Court Act).
[14] Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, 2010, hlm. 38.
[15] Pengujian materiil dan pengujian formil ini diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstutusi; Lihat juga Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
[16] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2013 dalam Perkara Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan ini kemudian menjadi yurisprudensi bagi putusan-putusan selenjutnya yang membatalkan secara keseluruhan suatu undang-undang meskipun pada awalnya yang dimohonkan adalah pengujian materiil. Salah satu contohnya adalah Putusan No. 006/PUU-IV/2006 dalam Perkara Pengujian UU No, 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang juga dinyatakan batal secara keseluruhan.
[17] Munafrizal Manan, Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi, Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 61.
[18] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Op. Cit., hlm. 39.
[19] Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No.001-021-022/PUU-I/2013, yang diucapkan pada tanggal 15 Desember 2004.
[20] Mengenai Pengujian RUU (a priori review) di Perancis lihat ketentuan Pasal 61 dan Pasal 62 Konstitusi Perancis.
[21] Jimly Asshiddiqie menyebut istilah persetujuan DPR dan Presiden terhadap suatu RUU sebagai “Pengesahan Materiil” dan menyebut pengesahan RUU menjadi UU oleh Presiden dengan menandatangani UU yang dimaksud sebagai “Pengesahan Formil.” Lihat selengkapnya dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta,  2010, hlm. 205-215.
[22] Kompas, “RUU Pilkada Baru Disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil Langsung Ajukan Uji Materi ke MK,”http://nasional.kompas.com/read/2014/09/29/10152091/RUU.Pilkada.Baru.Disahkan.Koalisi.Masyarakat.Sipil.Langsung.Ajukan.Uji.Materi.ke.MK, Diakses pada tanggal 20 Desember 2014.
[23] Vide Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.
[24] Arief Ainul Yaqin, “Pengujian Konstitusionalitas Perpu Oleh MK, Bolehkah ?,” http://equityjusticia.blogspot.com/2013/10/pengujian-perpu-oleh-mk.html, Diakses pada tanggal 20 Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar