Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Republik Federal Jerman (Bundesverfassung
gericht) merupakan satu proses perjalanan panjang dalam upaya menegakan
negara demokratik konstitusional setelah sebelumnya Jerman jatuh ke dalam era
yang mengerikan dibawah Pemerintahan Nazi. Pembentukan MK Jerman
ditetapkan dalam Basic Law 1949
(Grundgesetz). Mahkamah Konstitusi Jerman berkedudukan di Kalsruhe, sebuah
kota yang disebut sebagai ibu kotanya hukum, karena di kota itulah
pengadilan-pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung Jerman bertempat.[1]
Jauh sebelum berlakunya Basic Law 1949, yakni sejak masa Konfederasi
Jerman 1815, sebetulnya telah dibentuk semacam Peradilan Negara (State Adjudication). Ide pembentukan
Peradilan Negara itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menangani sengketa
kewenangan antar negara bagian dibawah Konfederasi Jerman 1815. Jadi kompetensi
daripada Peradilan Negara ini ialah menyelesaikan sengketa kewenangan antar
negara bagian yang bernaung di bawah Konfederasi Jerman yang ketika itu
berjumlah sekitar 36 negara bagian.[2]
Peradilan negara itulah yang menjadi cikal bakal dari MK Jerman yang kita kenal
sekarang.
Dalam perjalanannya, Peradilan
Negara tersebut ternyata tidak berhasil menunjukan eksistensi dan supremasinya.
Hal tersebut disebabkan karena pada waktu itu persoalan HAM tidak mendapat
perhatian serius di Jerman.[3]
Perkembangan ketatanegaraan Jerman
memasuki babak baru dalam periode Konstitusi Weimar 11 Agustus 1919. Melalui
Konstitusi Weimar dibentuklah sebuah organ bernama Staatsgerichtshof/Reichgerichtshof. Organ ini disebut-sebut sebagai
embrio dari MK Jerman.[4]
Organ tersebut memperoleh wewenang menyelesaikan sengketa antara Kekaisaran
dengan negara bagian dan sengketa antar negara bagian. Akan tetapi sayangnya
mekanisme perlindungan HAM dan judicial
review pada periode ini kurang berkembang karena dianggap bertentangan dengan
teori konstitusional pada waktu itu.[5]
Pada periode Konstitusi Weimar
(1919-1933), Reichgerichtshof dan
lembaga judicial review lebih banyak
dilingkupi aneka kontroversi daripada prestasi. Akibatnya Reichgerichtshof oleh banyak kalangan, salah satunya Carl Schmitt,
dinilai telah gagal menjalankan tugas sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution).[6]
Pengalaman kegagalan demi kegagalan
dalam merancang Peradilan Negara guna menegakan konstitusi di Jerman kemudian
menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Jerman. Setelah periode Konstitusi
Weimar berlalu, para konseptor ketatanegaraan Jerman berusaha merancang kembali
bangunan peradilan (konstitusi) yang ideal. Diantara ahli hukum itu terdapat
tiga nama penting yang besar pengaruhnya dalam menggagas berdirinya MK Jerman
sebagai institusi peradilan yang mandiri dan terpisah dari MA. Mereka adalah
Richrad Thoma, Gerhard Anschutz, dan Gustav Radbruch. Bagi mereka, tugas dan
kewajiban konstitusional seyogianya dilaksanakan oleh MK, bukan peradilan biasa[7].
Dalam peristiwa penting pembaharuan
sistem Ketatanegaraan Jerman 1948 yang dikenal dengan “Rapat Besar Konstitusi”
di Herrenchiemsee,[8]
semangat pembentukan MK Jerman nampaknya sudah tidak terbendung lagi. Dalam
rapat tersebut dicapai kesepakatan perlunya Constitutional
Judicature dalam struktur ketatanegaraan Jerman. Rapat tersebut telah
berhasil menetapkan substansi-substansi penting bagi Konstitusi (Basic Law) yang akan disahkan dikemudian hari. Salah satu substansi penting itu
ialah disepakatinya pembentukan Mahkamah Konstitusi, lengkap dengan
kewenangannya yang luas dan lebih kuat dari Staatsgerichtshof
sehingga diharapkan dapat menjadi tumpuan harapan dan garda terdepan dalam
menjamin tegaknya konstitusi dan perlindungan HAM di Jerman.
Dalam tulisan Martin Borowski yang
salah satu bagiannya mengulas sejarah singkat penyusunan Konstitusi Jerman
1949, diceritakan bahwa:
The conference—whose participants’ expertise is an established
fact—worked up a draft of a constitution as a guideline for the deliberations
that would follow. They succeeded in setting down many of the fundamentals of
the forthcoming constitution. The draft of the Herrenchiemsee Conference (HChE)
comprises, in section viii, arts. 97 to 100, an independent section respecting
the Federal Constitutional Court; ..... the Herrenchiemsee Conference
emphasizes that the powers of the constitutional court, by comparison with
those of the Staatsgerichtshof of the Weimar Constitution, ought to be
enlarged. In this way, the new constitution could become the “real guardian of
the constitution.”[9]
Akhirnya, melalui pengesahan Basic Law pada 23 Mei 1949, lahirlah
sebuah institusi peradilan baru yang dirancang untuk menangani perkara-perkara
konstitusional yang bernama “Bundes Verfassungsgericht” atau Mahkamah
Konstitusi Jerman.
Kelembagaan
Hakim MK berjumlah
16 orang; 8 orang mengisi panel pertama (panel hak-hak dasar) dan 8 lainnya
mengisi panel kedua (panel politik).[10]
Dalam tubuh MK Jerman, terdapat dua panel tetap:[11]
1. Panel pertama bertugas menangani
persoalan-persoalan terkait hak-hak dasar (basic
right);
2. Panel kedua bertugas menangani
masalah-masalah politik, termasuk sengketa konstitusional dan pengujian undang-undang.
Kendati
MK Jerman terbagi atas dua panel hakim, namun putusan harus diputuskan dan
diucap oleh seluruh hakim yang berjumlah 16 orang dalam sebuah plenum (sidang pleno). Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga konsistensi putusan MK.
Sri Soemantri menjelaskan bahwa pembelahan di dalam tubuh MK
Jerman menjadi dua panel dilatarbelakangi oleh dua alasan. Pertama, sebagai hasil kompromi antara dua keinginan dimana yang
pertama menghendaki hakim-hakim dibagi kedalam panel-panel dan yang kedua
menghendaki agar semua hakim duduk dalam satu majelis seperti yang dilakukan Supreme Court di Amerika. Kedua, sebagai hasil kompromi/alternatif
antara mereka yang memandang MK hanya sebagai institusi hukum semata dengan
yang memandang MK sebagai institusi politik. Atas dasar itulah kemudian
disepakati dibentuknya dua panel, panel pertama menangani kasus-kasus hukum
sedang panel kedua menangani kasus-kasus yang bersifat politis, tepatnya
pengujian terhadap penggunaan kekuasaan negara. Namun ketika memutus suatu
perkara, mereka semua berkumpul dalam suatu plenum.[12]
Kompetensi
Kewenangan MK Jerman
menurut Konstitusi dan UU MK Jerman adalah sebagai berikut:
1.
Memutus
sengketa kewenangan organ-organ negara antara:
a.
Pemerintah
federal dengan pemerintah negara bagian; atau
b.
Antara
organ federal yang satu dengan organ federal yang lainnya yang kewenangannya
diberikan oleh konstitusi;[13]
2. Menguji
peraturan perundang-undangan secara
abstrak (a posteriori asbtract
review) atas permohonan Pemerintah
Federal, Pemerintah Negara Bagian, atau ¼ anggota Bundestag (DPR), yang
meliputi:
a. Pengujian peraturan perundang-undangan, baik
tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap Konstitusi Federal; dan
b. Pengujian peraturan perundang-undangan
tingkat negara bagian terhadap undang-undang federal. [14]
3. Memutus permohonan yang diajukan oleh Bundesrat,
Pemerintah atau Legislatif Negara Bagian tentang persoalan apakah suatu
undang-undang jatuh dalam yurisidiksi Legislatif Federal atau Legislatif Negara
Bagian;[15]
4. Memutus perbedaan pendapat mengenai hak dan
kewajiban antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian akibat
pelaksanaan UU Federal oleh Negara Bagian dan memutus keberatan Negara Bagian
atas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Federal;[16]
5. Memutus sengketa hukum yang bersifat publik (public law) lainnya yang terjadi antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian,
antar Negara Bagian, atau inter (di dalam) suatu Negara Bagian, sepanjang tidak
ada mekanisme lain yang dapat ditempuh di pengadilan lain di luar MK;[17]
6. Mengadili
permohonan pengaduan konstitusional (constitutional
complaint) yang diajukan oleh;[18]
a. Individu/perorangan warga negara yang merasa
hak-hak dasar atau hak konstitusionalnya dilanggar oleh organ negara; dan
b. Pemerintah Kota atau Perkumpulan Pemerintah Kota
yang merasa hak otonomi pemerintahannya (sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Basic Law 1949)
dilanggar, baik oleh UU Federal maupun
UU Negara Bagian.[19]
7. Memutus dugaan/permohonan pemberhentian hakim dari
seluruh organ peradilan di Jerman atas dugaan melanggar konstitusi berdasarkan
usulan Bundestag.[20]
8. Menguji peraturan perundang-undangan secara konkret
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh hakim (concrete judicial review/constitutional question) manakala ia meragukan konstitusionalitas
atau legalitas suatu norma hukum yang akan ia terapkan dalam kasus konkret yang
sedang ditanganinya. Concrete review ini meliputi:
a. Pengujian peraturan
perundang-undangan, baik tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap
Konstitusi Federal; dan
b. Pengujian
peraturan perundang-undangan tingkat negara bagian terhadap undang-undang
federal.[21]
9. Memutus pertanyaan yang diajukan oleh hakim yang
sedang menangani suatu perkara konkret yang di dalamnya melibatkan suatu norma
hukum internasional tentang persoalan:
a. Apakah suatu norma hukum internasional telah
menjadi bagian yang integral dalam hukum federal ?; dan
b. Apakah norma hukum internasional yang dimaksud
menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara ?;[22]
10. Memutus pertanyaan MK Negara Bagian manakala
dalam menafsirkan Konstitusi Federal, MK Negara Bagian tersebut bermaksud
menyimpangi Putusan MK Federal atau Putusan MK Negara Bagian lainnya;[23]
11. Memutus pembubaran partai politik yang
tujuan atau kegiatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan
Konstitusi;[24]
12. Memutus sengketa hasil Pemilu yang telah ditetapkan oleh Bundestag;[25]
13. Memutus dugaan Bundestag atau
Bundesrat mengenai pelanggaran
Konstitusi atau UU federal oleh Presiden dalam rangka Impeachment Presiden;[26]
Pengujian Norma Abstrak (abstract norm review)
Di Jerman, terdapat
dua model pengujian undang-undang (judicial
review), yaitu abstract review dan
concrete review. Pada bagian ini akan
diuraikan mengenai model pengujian norma abstrak (abstract review).
Perlu digarisbawahi disini bahwa, baik abstract review maupun
concrete review yang berlaku di Jerman semuanya berada dalam kerangka ex
post review atau posteriori review. Artinya, aktifitas pengujian
baru dapat dilakukan setelah UU atau peraturannya resmi disahkan dan
diundangkan, bukan undang-undang yang masih dalam bentuk rancangan (RUU)
seperti yang berlaku dalam sistem Perancis.[27]
Namun demikian penting untuk diketahui bahwa abstract review atau
lebih lengkapnya a posteriori abstract review yang berlaku di Jerman ini
hanya dapat diajukan oleh organ-organ negara tertentu saja. Sedangkan
individu/perorangan tidak diberi hak untuk mengajukan pengujian jenis ini.
Mekanisme pengujian konstitusional yang dapat diakses oleh individu/perorangan
adalah mekanisme concrete review, itu pun harus melalui hakim pengadilan (judicial referral of constitutional question). Selain itu, ada satu lagi mekanisme
yang dapat ditempuh oleh individu atau perorangan yang merasa hak-hak
konstitusionalnya telah dilanggar oleh tindakan pejabat atau badan publik,
yakni melalui mekanisme constitutional complaint (verfassungsbescwerde).
Pihak-pihak (organ negara) yang dapat mengajukan permohonan abstract
review di Jerman adalah: (1) Pemerintah Federal; (2) Pemerintah Negara
Bagian; dan (3) 1/4 anggota Bundestag.[28]
Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari sistem pengujian
konstitusional yang berlaku di Jerman ini ialah bahwa MK Jerman memegang penuh
kekuasaan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review), baik
dalam kerangka pengujian legalitas (judicial review on the legality of
regulation) maupun dalam kerangka pengujian konstitusionalitas (judicial
review on the legality of laws/statutes). Artinya, semua kegiatan judicial
review di Jerman dipusatkan dan dikonsentrasikan pada MK Jerman.[29]
Gambaran mengenai hal tersebut dijabarkan, salah satunya oleh Danielle E. Finck
yang mengatakan bahwa:
“The
Constitutional Court has a monopoly position in that it alone can declare
wether statutes valid or invalid (e.g judicial review) .....No other court, not even a high federal court, is empowered to
declare a statute unconstitutional.”[30]
Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm Review)
Selain menguji norma
abstrak (abstract norm review), MK
Jerman juga mempunyai wewenang menguji norma konkret yang disebut dengan
istilah concrete norm review. Apa
beda uji abstrak dengan uji konkret? bedanya ialah, uji abstrak dilakukan
terhadap suatu RUU yang telah diterima secara final oleh Parlemen tapi belum
diundangkan, sedang uji konkret adalah pengujian terhadap norma peraturan
perundang-undangan yang sudah disahkan/sudah berlaku. Hanya saja mekanisme
pengujian norma konkret di Jerman baru dapat dilakukan setelah ada penyerahan
dari hakim peradilan umum atau dengan kata lain pengujian ini berawal dari
kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. [31]
Pengujian norma
konkret di Jerman pada asasnya merupakan suatu mekanisme penyerahan dari
peradilan umum manakala hakim peradilan umum ragu akan konstitusionalitas suatu
undang-undang yang menjadi dasar hukum dari perkara yang sedang ditanganinya.
Jadi dalam konteks uji konkret di Jerman boleh dikatakan bahwa peradilan
umum-lah yang menjadi trigger mechanism-nya.
Mula-mula hakim peradilan umum menyidangkan suatu perkara, namun apabila kemudian
timbul keraguan mengenai konstitusionalitas peraturan yang menjadi dasar hukum
perkara tersebut, maka disaat itulah hakim atas inisiatifnya sendiri atau atas
permintaan para pihak, mengajukan permohonan uji konkret kepada MK. Hal ini
diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU MK Jerman:
“If requirement of Article 100 (1) Basic Law are met, the
court shall directly obtain a decision by the Federal Constitution Court.”
Paradigma teoritis
menyebutkan bahwa concrete review timbul
dari proses litigasi pada peradilan umum ketika hakim (ordinary judges) merasa
bimbang atas penerapan suatu undang-undang yang diduga inkonstitusional.[32]
Permohonan concrete review dari
peradilan umum kepada Mahkamah Konstitusi dilakukan melalui sistem penyerahan (referral).
Metode concrete review ini juga merupakan
karakter khas dari judicial review di
Amerika, dimana Supreme Court (Mahkamah
Agung) berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Bedanya, karena pengujian
undang-undang di Amerika dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka MA di Amerika
dapat langsung mengambil alih suatu perkara yang sedang ditangani oleh
peradilan dibawahnya jika perkara tersebut termasuk kewenangan asli atau
kewenangan absolut MA (original
jurisdiction). Wewenang untuk mengambil alih atau perintah untuk
menyerahkan perkara itu disebut writ of
certiorari.
Di negara-negara
eropa yang mempunyai MK disamping MA, writ
of certiorari seperti di Amerika itu jelas tidak dikenal, karena di negara-negara
tersebut berlaku dualisme yurisdiksi kekuasaan kehakiman; perkara-perkara
konstitusional menjadi kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi, sebaliknya
perkara-perkara konkret merupakan kompetensi Mahkamah Agung.[33]
Dalam mekanisme concrete review, suatu perkara berasal
dari peradilan umum. Penyerahan oleh badan peradilan umum itu baru dapat
terjadi setelah para pihak berperkara atau hakim (ordinary judges) menilai bahwa UU yang mendasari perkara tertentu
dipertanyakan konstitusionalitasnya.[34]
Ketika penyerahan atau permohonan concrete
review itu sudah dilakukan, persidangan perkara tersebut harus ditunda
sampai adanya putusan MK mengenai konstitusionalitas UU tersebut.
Dalam sidang
pengujian norma konkret, terjadilah apa yang disebut perbincangan
konstitusional secara triumvirat.
Perbincangan itu terjadi antara hakim peradilan umum, hakim konstitusi, dan
legislator. Hal tersebut terjadi oleh karena memang pengujian tersebut bermula
dari peradilan umum, sehingga jelaslah bahwa hakim peradilan umum juga terlibat
atau ikut memberi keterangan dalam sidang pengujian norma konkret di MK. Dengan
mekanisme yang demikian itu munculah suatu kesimpulan bahwa hakim-hakim pada
peradilan umum tidak hanya bertugas menerapkan hukum, tetapi juga mempunyai
tugas dan kewajiban mempertahankan nilai-nilai konstitusi.[35]
Dengan melihat
mekanisme concrete review yang telah
dipaparkan diatas, sebetulnya terdapat kemiripan yang bisa saja mengaburkan
pemahaman kita tentang concrete review dan
constitutional complaint. Kemiripan
itu setidak-tidaknya mencakup 2 (dua) hal. Pertama,
prosedur yang harus ditempuh secara umum sama, yaitu harus melalui
peradilan umum. Kedua, sama-sama
mempersoalkan/menggugat konstitusionalitas suatu produk hukum (peraturan
perundang-undangan).
Namun demikian,
untuk menjernihkan pemikiran kita mengenai irisan/perbedaan antara concrete review dengan constitutional complaint maka bolehlah
kita mengidentifikasi perbedaan diantara keduanya. Pada concrete review, MK menilai konstitusionalitas suatu norma hukum
tanpa menguji atau “mengadili” putusan pengadilan, karena memang penyerahan
permohonan pengujian itu dilakukan sebelum diputusnya perkara dimaksud.
Sedangkan pada constitutional complaint, yang
diuji oleh MK justru ialah putusan final Mahkamah Agung sebagai last resort (upaya hukum terakhir) yang
telah ditempuh oleh Pemohon namun dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya.
Jika diperhatikan,
lembaga constitutional complaint di
Jerman ini ternyata memiliki kemiripan dengan lembaga peninjauan kembali (PK)
di Indonesia. Sebagaimana telah diketahui, PK atas putusan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) dapat
diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada MA setelah ditemukannya novum. Sedangkan di Jerman, peninjauan
kembali atau pengujian atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (putusan
kasasi) dilakukan oleh organ yang berbeda, yaitu MK, melalui lembaga constitutional complaint. Demikian juga novum yang dapat dijadikan dalil
diajukannya permohonan constitusional
complaint adalah ditemukannya dugaan pelanggaran konstitusi. Artinya,
permohonan constitutional complaint
dapat diajukan ketika putusan final dari badan peradilan dilingkungan MA diduga
telah dibuat/diputuskan diatas pelanggaran norma-norma konstitusi.
Melalui mekanisme
pengujian ganda yang berlaku di Jerman; abstrack
review dan concrete review, maka
pembuatan norma hukum di Jerman diharapkan dan memang terbukti efektif dalam
menjaga kualitas serta konstitusionalitas produk hukum di negeri itu.[36]
Mengenai hal ini, Erhard Blankenburg mengatakan bahwa kini Jerman telah menunjukan dirinya sebagai negara
demokrasi yang stabil dengan pola negara hukumnya yang mapan.
Melalui pengujian
abstrak, Parlemen dibatasi rambu-rambu konstitusional dalam membuat
undang-undang agar tidak memaksakan membuat UU yang dinilai inkonstitusional.
Sedang melalui pengujian konkret, Parlemen harus teliti dan cermat dalam
memenuhi ketaatan formiil dan materiil suatu undang-undang, sebab jika tidak
cermat maka kemungkinan besar produk karyanya akan diuji dan dibatalkan oleh MK
Jerman. Senada dengan itu, model concrete
review dipandang dapat memulihkan hak konstitusional yang dirugikan oleh
suatu norma hukum, sedang dalam model abstract
review, potensi pelanggaran terhadap konstitusi secara dini dapat dicegah.
Sehingga pada akhirnya kedua model pengujian diatas dapat menghadirkan
kemantapan sistem hukum dan keadilan konstitusional di Jerman.
Berdasarkan
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pengujian
konstitusional meliputi pengujian norma abstrak (abstract norm review) dan
pengujian norma konkret (concrete norm
review). Yang dimaksud dalam pengujian norma asbtrak dalam sistem Jerman
ini ialah pengujian terhadap RUU yang telah diterima oleh Parlemen namun belum
diundangkan (mirip di Perancis), pengujian norma abstrak model ini dapat juga
disebut abstract norm preview atau a priori abstract norm review. Sedangkan
yang termasuk dalam kategori pengujian norma konkret dalam sistem Jerman ialah
pengujian terhadap suatu undang-undang dalam kasus konkret. Jadi di Jerman
tidak dikenal adanya pengujian undang-undang seperti layaknya di Indonesia,
karena yang berlaku disana adalah pengujian terhadap suatu RUU sebelum RUU itu
berlaku, sementara jika suatu UU telah sah dan berlaku maka pengujian
terhadapnya hanya dimungkinkan apabila berkaitan dengan kasus konkret, yaitu
dalam hal adanya kasus yang sedang ditangani oleh Pengadilan biasa.
Sebagaimana
lazimnya putusan-putusan yang dihasilkan oleh sebuah mahkamah konstitusi,
Putusan MK Jerman pun bersifat prospektif atau berlaku ke depan, tidak berlaku
ke belakang (retroaktif).[37]
[1] Jimly
Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.36.
[2]
Perihal negara-negara bagian yang menjadi anggota Konfederasi Jerman yang
dipersatukan melalui Kongres Wina 1815 ini dapat dibaca lebih lanjut dalam
Wikipedia, Konfederasi Jerman, https://id.wikipedia.org/wiki/Konfederasi_Jerman,
Diakses pada 15 Mei 2016.
[3]
Alfred Rinken dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm.
39.
[4] Lihat
Martin Borowski, The Beginnings of Germany’s Federal Constitutional Court,
Journal Ratio Juris Vol. 16 No. 2, Juni 2003, (Malden, John Wiley & Sons
Inc, 2003), hlm. 159-160.
[5] Teori
dan alam pemikiran yang berkembang pada waktu itu adalah Supremasi Parlemen,
dimana Parlemen dan segala produk yang dikeluarkannya dianggap sebagai yang
paling tinggi atau supreme sehingga tidak terpikirkan waktu itu untuk
menguji produk-produk Parlemen (undang-undang) yang diasumsikan sebagai
perwujudan dan representasi dari rakyat yang berdaulat.
[6]
Alfred Rinken dalam Jimly Asshiddie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm. 41.
[7] Ibid.
[8] Rapat
atau kongres ini adalah forum tempat berlangsungnya pembahasan-pembahasan
menuju pembentukan Konstitusi Jerman yang baru dimana puncaknya adalah
dirampungkan dan disahkannya Konstitusi atau Basic Law pada tanggal 23
Mei 1949. Lihat sepenggal sejarah pembentukan Basis Law 1949 ini dalam
David P. Currie, The Constitution of the
Federal Republic of Germany, The University of Chicago Press, Chicago and
London, 1994, hlm. 1-8.
[9]
Martin Borowski, Op. Cit., hlm. 158 dan 159.
[10] Vide Pasal 2 ayat (2)
Federal Constitutional Court Act.
[11] Vide Pasal 2 ayat (1)
Federal Constitutional Court Act.
[12] Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1997, hlm. 47-48.
[13] Pasal 93 ayat
(1) angka 1 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman).
[14] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 2.
[15] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 2a juncto Pasal 72 ayat (2).
[16] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 3.
[17] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 4.
[18] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 4a.
[19] Untuk
diketahui bahwa dalam hal pelanggaran hak otonomi pemerintahan itu diduga
dilakukan oleh UU Negara Bagian maka pengaduan konstitusional atas persoalan
tersebut hanya bisa diajukan kepada MK Federal sepanjang tidak tersedia
mekanisme untuk mengajukannya ke MK Negara Bagian. Sebaliknya, jika MK Negara
Bagian mengatur bahwa hal tersebut jatuh dalam yurisdiksinya maka persoalan
tersebut harus diajukan kepadanya. Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4b.
[20] Ibid. Pasal
98 ayat (2).
[21] Ibid. Pasa,
100 ayat (1)
[22] Ibid. Pasal
100 ayat (2).
[23] Ibid. Pasal
100 ayat (3).
[24] Ibid. Pasal
21 ayat (2).
[25] Ibid. Pasal
41 ayat (2).
[26] Ibid. Pasal
61.
[27] Lihat Pasal 93
ayat (1) angka 1 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman) juncto Pasal
76 – Pasal 79 Unang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman.
Ketentuan-ketentuan tersebut berisi pengaturan mengenai mekanisme abstract
review yang dilaksanakan secara ex post review atau a posteriori
review, yakni pengujian terhadap suatu produk hukum yang telah resmi
disahkan dan diundangkan. Lihat juga Danielle E Finck, Judicial Review: The
United States Supreme Court Versus the German Constitutional Court,” Boston
College International and Comparative Law Review, Vol. 20 No. 1, December
1997 (Boston: Boston University, 1997), hlm. 147.
[28] Lihat
ketentuan yang mengatur mengenai hal ini dalam Pasal 93 ayat (1) angka 1 ( Basic Law 1949 (Konstitusi
Federal Jerman).
[29] Keadaan ini
sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Menurut UUD 1945, tepatnya
Pasal 24A dan Pasal 24C, kekuasaan judicial review di Indonesia
dibagi/disebar ke dalam dua yurisdiksi yang terpisah satu sama lain. Judicial
review atas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU menjadi
kewenangan MA. Sedangkan judicial review
atas UU terhadap UUD menjadi kewenangan MK.
[30] Danielle E.
Finck, Op. Cit., hlm. 127 dan 145.
[31] Disebut peraturan
perundang-undangan karena tidak hanya undang-undang saja yang dapat diuji
melalui uji konkret, namun juga meliputi jenis peraturan yang lain seperti
peraturan yang ditetapkan pemerintah federal, undang-undang negara bagian, dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
[32]Jimly Asshiddiqie dan
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi,
Op. Cit., hlm. 61.
[33] Lihat Nomensen Sinamo,
Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala
Permata Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 162-163.
[34] Ibid.
[35] ibid.
[36] Erhard Blankenburg
dalam I Dewa Gede Palguna, Constitutional
Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 399.
[37] Lihat Jimly
Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi ...., Op. Cit., hlm. 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar