Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 05 Desember 2013

Penolakan Permohonan yang Tidak Jelas (Vexatious Request) dalam Hukum Acara Komisi Informasi


        Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu undang-undang yang dilahirkan dengan semangat keterbukaan dan kebebasan dalam suasana euphoria demokrasi pasca tumbangnya orde baru. Oleh karena dilahirkan dengan semangat keterbukaan dan kebebasan, rupanya undang-undang tersebut mengandung kebebasan dan keleluasaan akses terhadap informasi publik yang sangat luas. Pada saat yang bersamaan, undang-undang tersebut kurang memenuhi unsur kejelasan (lex certa) dan ketegasan (lex stricta)  dalam mengatur mekanisme permohonan informasi dan penyelesaian sengketa informasi. Implikasinya, muncul celah hukum (rechtskloof) yang dapat dimanfaatkan oleh pemohon informasi dan pemohon penyelesaian sengketa informasi dengan permohonan permohonan yang tidak jelas, baik tujuan maupun alasannya.
 
Dalam pelaksanaannya, kelemahan pengaturan syarat-syarat permohonan informasi dan penyelesaian sengketa informasi tersebut kemudian terbukti menimbulkan masalah yang cukup serius. Secara faktual Komisi Informasi banyak mendapati permohonan yang diajukan dalam jumlah yang besar, baik satu persatu secara bertahap maupun sekaligus, tanpa alasan dan tujuan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Permohonan-permohonan tersebut diajukan oleh pemohon tanpa didasari itikad baik (goeder throuw) untuk menyelesaikannya melalui prosedur penyelesaian sengketa informasi publik (hukum acara) yang berlaku di Komisi Informasi. Bahkan dalam kasus konkret, ditemukan adanya pemohon-pemohon penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) yang mengajukan permohonan dengan jumlah ratusan dalam rentang waktu tertentu tanpa kejelasan alasan dan tujuan. Permohonan-permohonan semacam itu pada gilirannya terbukti mengganggu proses penyelesaian sengketa informasi di KI, karena mau tidak mau harus diproses oleh KI, namun sayangnya proses tersebut tidak diindahkan/diikuti dengan baik oleh pemohonnya sendiri.
Atas dasar fakta-fakta itulah kemudian Komisi Informasi “memasukan” mekanisme pengabaian/penolakan terhadap permohonan-permohonan yang demikian itu melalui Pasal 4 Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP). Pasal 4 tersebut mengatur mengenai penghentian proses penyelesaian sengketa informasi terhadap permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan itikad baik (vexatious request). Rumusan dan unsur-unsur dari suatu permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan itikad baik tersebut dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (3). Terhadap permohonan yang memenuhi rumusan/unsur Pasal 4 ayat (3) itu, KI dapat menghentikan proses penyelesaiannya dengan menetapkannya melalui Keputusan Ketua KI.
Oleh karena Pasal 4 Perki PPSIP tersebut mengandung ketentuan yang dapat membatasi hak pemohon penyelesaian sengketa informasi, tak pelak ketentuan tersebut mengundang diskursus dan polemik. Namun demikian, dapat diterangkan bahwa Pasal 4 Perki PPSIP tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencari jalan keluar atas kebuntuan (rechts impasse) undang-undang No. 14 Tahun 2008 yang tidak cukup tegas mengatur syarat-syarat permohonan penyelesaian sengketa informasi yang kemudian memungkinkan masuknya permohonan yang sebetulnya tidak layak disengketakan karena tidak jelas alasan dan tujuan permohonannya. Sementara telah menjadi asas umum dalam hukum acara dimana pun bahwa kejelasan permohonan/gugatan menjadi syarat utama permohonan tersebut untuk dapat diproses.
Proses penolakan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perki PPSIP sebetulnya juga lazim dikenal dan dipraktekan di dalam pengadilan-pengadilan meskipun dengan istilah dan mekanisme tersendiri, seperti misalnya di pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang dikenal dengan istilah dismissal procces,[1] yaitu suatu proses sebelum atau diawal persidangan guna meneliti kelengkapan, ketepatan, atau kelayakan permohonan untuk disidangkan. Hanya saja perbedaannya terletak pada alasan dan mekanisme penolakannya, termasuk upaya hukum yang dapat ditempuh guna melawan keputusan penolakan (dismissal procces) tersebut. Pasal 62 UU PTUN membuka ruang untuk upaya hukum guna melawan keputusan penolakan tersebut. Sedangkan Pasal 4 Perki PPSIP tidak menyediakan upaya hukum yang dapat ditempuh guna melawan keputusan penghentian proses penyelesaian sengketa.
Pembatasan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Perki PPSIP tidak dapat dipandang begitu saja sebagai pengabaian hak atas informasi. Betul bahwa hak atas informasi adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD (Pasal 28F), namun hak tersebut tidak serta merta dapat dituntut pemenuhannya secara sembarangan tanpa memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip umum persidangan/ajudikasi (general principles of adjudication). Sebab hak atau kebebasan tanpa disertai tanggung jawab hanya akan mengacaukan kebebasan itu sendiri.[2] Itulah sebabnya dalam perubahan kedua UUD 1945 (tentang Hak Asasi Manusia; Bab XA) disertakan juga klausul pembatasan terhadap hak asasi manusia itu sendiri, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J. Pada pokoknya Pasal 28J ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berkenaan dengan hak atas informasi, hak atas informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 merupakan salah satu hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable right) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28J diatas.[3] Oleh karena itu hak atas informasi tidak menutup kemungkinan untuk dibatasi, salah satunya dengan mengatur mekanisme atau tata cara penolakan penyelesaian sengketa informasi atas permohonan yang tidak jelas (vexatious request).



[1] Vide Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[2] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 230.
[3] Disebut sebagai derogable right karena hak atas informasi tidak termasuk kedalam kelompok hak yang disebut dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang memuat hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable right).

Jumat, 01 November 2013

Keterbukaan Informasi Publik dan Jaminan Hak atas Informasi di Indonesia



Dewasa ini, hak atas informasi diakui sebagai salah satu hak asasi manusia yang perlu mendapat jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Dalam pelbagai instrumen hukum internasional yang mengatur soal hak asasi manusia, hak atas informasi atau hak memperoleh informasi dicantumkan di dalamnya sebagai salah satu hak asasi (hak dasar) yang dijamin oleh hukum internasional.
Oleh karena itu universalitas perlindungan dan jaminan terhadap hak atas informasi (rights to know) sudah tidak diragukan lagi, karena hak atas informasi telah mendapat pengakuan secara universal sebagai salah satu hak yang paling mendasar yang melekat pada setiap individu manusia dan karenanya harus dihormati dan dipenuhi. Namun demikian pelaksanaan dan pemenuhannya disetiap negara diserahkan sepenuhnya kepada negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing negara.[1]
Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR 1948) telah merumuskan jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi. Pasal 19 UDHR 1948 menyebutkan:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”
Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.”

Meskipun deklarasi tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum terhadap negara-negara peserta atau penandatangannya, namun deklarasi tersebut mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya sehingga rumusan hak-hak yang terdapat di dalamnya, termasuk juga hak atas informasi, mendapat kekuatan tersendiri untuk dihormati oleh negara-negara di dunia ini.[2]
Pada perkembangan global selanjutnya, Komisi HAM PBB menyusun dan mengesahkan dua kovenan internasional sebagai tindak lanjut atas UDHR 1948 agar rumusan perlindungan HAM yang terdapat dalamnya dapat dielaborasi lebih lanjut dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi negara-negara peratifikasinya. Dua kovenan internasional tersebut ialah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Kedua kovenan tersebut disahkan (diterima baik oleh Sidang Umum PBB) pada 1966 dan baru berlaku sepuluh tahun kemudian, yaitu pada 1976 setelah memenuhi persyaratan jumlah negara peratifikasi sebanyak 35 negara.
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagian dari hak sipil dan politik, oleh karenanya hak tersebut dimasukan/diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Hak atas informasi dirumuskan dalam Pasal 19 ayat (2) ICCPR yang tiada lain merupakan derivasi dari ketentuan Pasal 19 UDHR 1948. Berikut adalah bunyi Pasal 19 ayat (2) ICCPR:
“Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.”
Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu tidak terlepas dari kesepakatan tersebut. Melalui jalan yang cukup panjang dan perdebatan yang melelahkan akhirnya tiba  giliran bagi Indonesia untuk meratifikasi ICCPR pada tahun 2005 dengan mengesahkannya melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Ratifikasi ICCPR tentu bukan hanya sekedar tindakan pengesahan oleh legislatif semata, melainkan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi Indonesia untuk melaksanakan segala ketentuan yang terdapat di dalamnya kerana telah disahkan melalui undang-undang dan menjadi hukum positif, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi.
Perkembangan keterbukaan informasi dan hak atas informasi di Indonesia, seperti juga di negara-negara lainnya mengalami fase-fase perkembangan yang cukup panjang. Butuh waktu lama untuk merubah rezim ketertutupan menjadi rezim keterbukaan. Dari segi yurudis atau landasan hukum yang menjamin dan mengatur keterbukaan informasi pun harus melalui perjalanan dan penantian yang cukup panjang.
Momentum perubahan kearah keterbukaan informasi dan penyelenggaran negara yang  terbuka dan akuntabel di negeri ini muncul bersamaan dengan gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim orde baru yang dianggap membelenggu hak atas informasi ketika itu. Harapan tersebut semakin menemui titik terang dan menjadi sebuah keniscahyaan berkat kesepakatan bangsa ini untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang dianggap; baik secara langsung maupun tidak langsung, turut menyebabkan timbulnya otoritarianisme karena berwatak executive heavy.[3]
Pengaturan dan jaminan hak atas informasi mendapat landasan yang sangat kokoh dengan dirumuskannya hak tersebut dalam Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 sebagai hasil amandemen kedua yang dilakukan pada tahun 2000.[4] Dengan demikian hak atas informasi telah memiliki landasan konstiusional dan telah menjadi hak konstitusional warganegara. Pasal 28F merupakan salah satu pasal UUD NRI Tahun 1945 yang terhimpun dalam Bab XA (Hak Asasi Manusia). Berikut ini adalah bunyi Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945:
“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Setelah mempunyai landasan konstiusional melalui Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, era keterbukaan informasi di Indonesia menjadi suatu keniscahyaan. Pada perkembangan selanjutnya dimulailah usaha dan perjuangan untuk membentuk undang-undang yang akan secara komprehensif mengatur mengenai keterbukaan informasi. Usaha tersebut dimulai sejak tahun 2000, diinisisasi oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang terdiri dari sejumlah LSM dan perorangan yang secara aktif melakukan advokasi mengenai urgensi Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).[5]
Melalui proses yang sangat panjang dan cukup alot, akhirnya pada tanggal 30 April 2008, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan dan diundangkan. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU KIP, undang-undang tersebut baru akan berlaku dua (2) tahun sejak diundangkan. Artinya, UU KIP baru berlaku pada tanggal 30 April 2010. Adanya jeda waktu dua tahun antara waktu pengesahan dengan waktu berlakunya UU KIP dimaksudkan untuk mempersiapkan segala  hal termasuk peraturan pelaksana serta sarana dan prasarana agar UU tersebut dapat berlaku secara efektif.
Melalui UU KIP itulah kemudian dibentuk suatu badan penyelesai sengketa informasi publik yang bersifat independen yang disebut Komisi Informasi. Kehadiran Komisi Informasi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai state auxiliary organ[6] yang menangani dan menyelesaikan sengketa informasi publik, menambah terang era keterbukaan informasi (openness information age) di Indonesia.
 Berdasarkan Pasal 23 UU KIP disebutkan bahwa “Komisi  Informasi  adalah lembaga mandiri yang berfungsi  menjalankan Undang-Undang ini  dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar  layanan informasi  publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi  Publik melalui  Mediasi  dan/atau Ajudikasi  nonlitigasi.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa Komisi Informasi adalah penjaga hak untuk tahu (the guardian of the rights to know).
Kehadiran UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan dibentuknya Komisi Informasi sebagai pelaksana UU tersebut membawa implikasi perubahan yang luas dan mendasar dalam bidang keterbukaan informasi dan pemenuhan hak atas informasi. Jika masa-masa sebelum lahirnya UU KIP diwarnai dengan ketertutupan maka masa-sama setelah adanya UU KIP ditandai dengan perubahan paradigma keterbukaan. Sebelum adanya UU KIP “semua informasi publik bersifat tertutup dan rahasia kecuali informasi tertentu yang dapat dibuka” tetapi setelah adanya UU KIP “semua informasi publik bersifat terbuka selain yang dikecualikan menurut undang-undang.”[7] Singkatnya Kehadiran UU KIP dan Komisi Informasi membawa kita dari era kegelapan/ketertutupan menuju era keterbukaan (from brown to brain).
Di dalam UU KIP ditegaskan secara rinci hak publik atas informasi publik yang pada hakekatnya adalah milik publik itu sendiri. Secara konsepsional, hak atas informasi bermakna dan meliputi hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Saat ini, hak atas informasi telah memiliki landasan yang kuat karena telah diformilkan baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam bentuk undang-undang (UU KIP) serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP memberikan definisi yuridis tentang informasi, yaitu:
“Informasi  adalah keterangan,  pernyataan,  gagasan,  dan tanda-tanda yang mengandung nilai,  makna,  dan pesan,  baik data,  fakta maupun penjelasannya yang dapat  dilihat,  didengar,  dan dibaca yang disajikan dalam berbagai  kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi  informasi  dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.”
Walaupun istilah informasi telah didefinisikan oleh Pasal 1 angka 1 diatas namun penting untuk dipahami bahwa tidak semua informasi dapat menjadi objek pengaturan UU KIP. Sesuai dengan judul/namanya, UU No. 14 Tahun 2008 hanya mengatur mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Artinya, tidak semua informasi dapat dibuka dan diakses oleh publik, hanya informasi publik sajalah yang dapat dibuka dan diakses oleh publik, itu pun masih ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Bab V (Pasal 17) mengenai Informasi yang Dikecualikan.[8] Jadi hak atas informasi yang dijamin dan dilindungi pemenuhannya oleh UU KIP adalah hak atas informasi publik.
Sedangkan mengenai apa yang dimaksud dengan informasi publik dan bagaimana batasannya, diuraikan dalam Pasal 1 angka 2 (Ketentuan Umum) UU KIP, yaitu:
“Informasi  Publik adalah informasi  yang dihasilkan,  disimpan,  dikelola,  dikirim,  dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai  dengan Undang- Undang ini  serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.”
Dari definisi yuridis diatas jelaslah bahwa hak atas informasi yang dapat dituntut pemenuhannya berdasarkan UU KIP adalah hak atas informasi yang dihasilkan,  disimpan,  dikelola,  dikirim,  dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai  dengan Undang- Undang ini  serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.” Jadi singkatnya hak atas informasi yang dijamin dan dilindungi pemenuhannya oleh UU KIP adalah hak atas informasi yang dimiliki/dikelola oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara atau kepentingan publik.
Sedangkan mengenai definisi dan cakupan badan publik yang dimaksud oleh UU KIP dijelaskan oleh Pasal 1 angka 3 UU KIP, yaitu sebagai berikut:
“Badan Publik adalah lembaga eksekutif,  legislatif,  yudikatif,  danbadan lain yang fungsi  dan tugas pokoknya berkaitan denganpenyelenggaraan negara,  yang sebagian atau seluruh dananyabersumber  dari  anggaran pendapatan dan belanja negaradan/atau anggaran pendapatan dan  belanja daerah,  atauorganisasi  nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruhdananya bersumber  dari anggaran pendapatan dan  belanjanegara dan/atau anggaran pendapatan dan  belanja daerah, sumbangan masyarakat,  dan/atau luar  negeri.”
Kata publik dalam konteks ini merupakan titik pangkal sekaligus inti perlindungan hak atas informasi. Informasi publik yang dihasilkan,  disimpan,  dikelola,  dikirim,  dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik pada hakekatnya merupakan milik publik itu sendiri, karena badan publik tersebut dibentuk, diselenggarakan, dan dibiayai (sebagian maupun seluruhnya) oleh publik. Oleh karena itu badan publik tersebut memupunyai kewajiban untuk selalu dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatannya kepada publik. Salah satu bentuk pertanggungjawaban tersebut ialah melalui pembukaan akses informasi sebagai media kontrol publik terhadap badan publik yang bersangkutan.[9] Oleh sebab itulah dikatakan sebelumnya bahwa kepentingan publik menjadi inti dari perlindungan hak atas informasi publik. Selama informasi itu dikategorikan sebagai informasi publik berdasarkan rumusan dan batasan yang diberikan oleh UU KIP maka hak untuk memperoleh dan mengaksesnya harus dijamin dan dipenuhi. Namun sebaliknya, apabila informasi yang diminta berada dibawah kekuasaan pribadi seseorang dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan penyelenggaraan negara atau kepentingan publik maka hukum keterbukaan informasi sebagai hukum publik tidak dapat menjangkaunya. Misal: permintaan untuk membuka dan mempublikasikan catatan-catatan pribadi seseorang yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik. Permintaan informasi yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai hak atas informasi publik dan oleh karenanya tidak dapat dituntut pemenuhannya berdasarkan UU KIP.




[1] Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 213.
[2] Ibid., hlm. 219.
[3] Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 27-28.
[4] Penyebutan dan penggunaan nomenklatur “UUD NRI Tahun 1945”  dimaksudkan agar sesuai dengan frasa yang digunakan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk menyebut UUD dan sekaligus menunjukan bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah UUD hasil amandemen.
[5] Anotasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat, Jakarta, 2009, hlm. 8.
[6] Yang dimaksud dengan state auxiliary organ menurut Jimly Asshiddiqie adalah lembaga negara yang sifat dan fungsinya menunjang salah satu atau ketiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif). Lihat lebih lanjut dalam buku Jimly Asshiddiqie “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
[7] Bandingkan dengan Centre for Law and Democracy, Penafsiran atas Pengecualian dalam Hak atas Informasi: Pengalaman di Indonesia dan Negara Lain, Centre for Law and Democracy dan ICEL, tanpa tempat terbit, 2012, hlm. 7.
[8] Jenis-Jenis Informasi Publik yang dikecualikan disebutkan dalam Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[9] Lihat juga Centre for Law and Democracy, Op.Cit., hlm. 8.

Rabu, 30 Oktober 2013

Pengujian Perpu oleh MK



“PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS PERPU OLEH MK, BOLEHKAH ?”


Problematika mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengemuka sehubungan dengan diterbitkannya Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan dan problematika tersebut ibarat dua sisi mata uang, membelah pendapat khalayak (khususnya para ahli) menjadi dua, ada yang mengatakan MK berwenang dan ada juga yang lantang mengatakan bukan kewenangan MK untuk menguji Perpu, tentu dengan segala argumentasi dan perspektif hukumnya masing-masing.
Secara garis besar, dikotomi pendapat tersebut betolak dari perbedaan dalam menafsirkan kewenangan MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap UndangUndang Dasar .....”
Bagi yang setuju bahwa MK dapat menguji Perpu, alasan utamanya adalah materi dan kedudukan (hierarki) Perpu sama dengan UU,[1] sehingga dengan demikian Perpu masuk dalam cakupan kewenangan judicial review MK sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD 1945. Sementara disisi yang berhadapan dengan pendapat tersebut mengatakan MK tidak berwenang menguji Perpu dengan alasan bahwa Pasal 24C UUD 1945 sudah jelas dan tegas menyebutkan objectum litis (objek perkara) dalam perkara pengujian undang-undang di MK adalah undang-undang, bukan Perpu. Mekanisme pengujian (review) terhadap Perpu sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3), yaitu menjadi kewenangan DPR untuk membahas dan menentukan nasibnya pada persidangan berikutnya.
Berkenaan dengan persoalan kewenangan pengujian Perpu oleh MK, ada baiknya penulis mengingatkan kita kepada persoalan yang serupa yang terjadi tahun 2009-2010 silam. Pada tanggal 18 September 2009, Presiden menerbitkan Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, sehubungan dengan “kegentingan memaksa” yang terjadi dalam dunia pemberantasa korupsi, khususnya KPK. Ketika itu, tiga (3) dari lima (5) pimpinan KPK dinonaktifkan karena berstatus tersangka. Peristiwa tersebut dinilai oleh Presiden sebagai kegentingan memaksa sehingga membuka ruang bagi Presiden untuk menerbitkan Perpu tentang pengangkatan pimpinan sementara (plt) KPK. Alasan utamanya karena mekanisme pengisian kekosongan pimpinan KPK sebagaimana yang diatur dalam UU KPK memakan waktu yang sangat lama sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kinerja KPK dengan hanya dua orang pimpinan yang tersisa.
Disahkannya Perpu No. 4 Tahun 2009 tersebut tak pelak menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang tajam dikalangan masyarakat. Seperti biasa, ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Pada waktu itu, perbedaan pendapat terfokus pada substansi Perpu. Atas dasar itulah kemudian beberapa advokat, yaitu Saor Siagian dkk melakukan uji materi di MK untuk menguji konstitusionalitas Perpu tersebut. Pada momen inilah sejarah baru pengujian undang-undang di MK terukir. Untuk pertama kalinya sebuah Perpu dibawa ke MK untuk diperiksa dan diuji konstitusionalitasnya. Tidak dapat dipungkiri lagi, permohonan pengujian Perpu tersebut segera menjadi perhatian publik dan publik menantikan sikap MK, apakah akan menguji Perpu tersebut atau tidak.
Dalam pengujian tersebut ternyata MK menyatakan berwenang untuk menguji Perpu dengan pertimbangan hukum bahwa kedudukan (hierarki) maupun materi muatan Perpu sama dengan undang-undang.[2] Namun dalam amar putusannya MK menyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvantkelijke Veerklaard) karena pemohon tidak memenuhi legal standing. Namun demikian, walaupun amar putusan MK menyatakan Tidak Dapat Menerima permohonan tersebut (karena alasan legal standing) tetapi satu perkembangan dan sejarah baru telah lahir dengan adanya permohonan pengujian Perpu tersebut, karena ternyata MK memutuskan bahwa dirinya berwenang dalam menguji Perpu melalui pengujian perkara 138/PUU-VII/2009 tersebut.
Penting untuk diketahui bahwa dalam putusan tersebut, suara sembilan hakim konstitusi tidak bulat. Terdapat satu concurring opinion dari Mahfd M.D dan satu dissenting opinion dari Muhammad Alim. Concuring opinion berarti terdapat alasan/argumentasi yang berbeda dalam membangun pertimbangan hukum namun tetap pada kesimpulan atau amar yang sama. Sedangkan dissenting opinion berarti menunjukan pendapat berbeda, baik dari alasan/argumentasi dalam pertimbangan hukumnya maupun pada kesimpulan atau amarnya. Pada prinsipnya Mahfud M.D mempunyai konstruksi pemikiran tersendiri dalam menafsirkan kewenangan MK menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 namun tetap dengan kesimpulan yang sama, yaitu MK berwenang menguji Perpu. Sedangkan M. Alim memiliki pandangan dan kesimpulan yang berbeda, dimana menurutnya kewenangan MK hanya sebatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD, tidak termasuk Perpu, karena rumusan norma yang memuat kewenangan tersebut (Pasal 24C UUD 1945) sudah jelas menyebutkan kata “undang-undang” dan tidak lain daripada itu. Oleh karenanya ia berkesimpulan bahwa MK sesungguhnya tidak berwenang menguji Perpu dan merupakan suatu pelanggaran terhadap UUD itu sendiri apabila MK mengujinya.[3]
Melalui penelusuran sejarah pengujian Perpu di MK sebagaimana dipaparkan diatas didapati kesimpulan bahwa MK pernah menerima dan menguji permohonan judicial review terhadap Perpu. Namun apa yang pernah dilakukan oleh MK tersebut tidak berarti menutup ruang-ruang bagi kajian akademis terhadap persoalan pengujian Perpu oleh MK. Sebab seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa konstitusi itu dinamis dan berkembang (living constitution).[4] Oleh karena itulah penulis mencoba mengemukakan gagasan dan perspektif yang berbeda dalam menjawab pertanyaan “dapatkah MK menguji Perpu ?” jawaban dan pilihan perspektif hukum ini mungkin seperti “jalan tengah” diantara dua perbedaan pandangan yang saling berhadapan dalam menilai pengujian Perpu oleh MK.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, salah satu diantara empat kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD. Rumusan Pasal 24C ayat (1) khususnya yang mengatur kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sudah jelas dan tegas, bahwa objek dalam pengujian undang-undang terhadap UUD adalah undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) merupakan salah satu hak konstitusional yang dimiliki Presiden. Kendati pun hak membuat Perpu merupakan salah satu hak konstitusional dan prerogratif Presiden untuk menanggulangi suatu keadaan “kegentingan memaksa”, namun UUD melalui Pasal 22 ayat (2) dan (3) mengatur pula pembatasan dan kontrol terhadap hak tersebut. Singkat kata, dalam satu pasal ini (Pasal 22) di dalamnya telah tercakup prinsip check and balance antara Presiden dan DPR. Mekanisme saling mengecek dan mengimbangi tersebut sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3). Dimana setiap Perpu yang dikeluarkan Presiden harus dibawa ke DPR untuk ditentukan nasibnya, apakah akan disetujui menjadi undang-undang atau menolaknya (dicabut). Jadi dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut sudah diterangkan secara spesifik dan sistematis mengenai penetapan Perpu dan mekanisme pengujiannya. Jadi meskipun Perpu itu notabene merupakan noodverordeningsrecht (hukum darurat) yang sudah lazim diterima oleh negara-negara di dunia ini sebagai prerogratif kepala negara untuk menanggulangi kegentingan yang memaksa, namun UUD 1945 tetap memberikan pengawasan dan pembatasan terhadap hak istimewa tersebut, yaitu melalui keharusan persetujuan DPR terhadap Perpu tersebut pada masa persidangan berikutnya. Artinya, masa berlaku Perpu itu bersifat terbatas, sampai pada persidangan (DPR) berikutnya. Dengan demikian, pengujian terhadap Perpu yang diterbitkan oleh Presiden adalah kewenangan sekaligus kewajiban konstitusional DPR. Jadi mekanisme pengujiannya ialah melalui legislative review oleh DPR, bukan melalui judicial review oleh MK.
Ditinjau dari penafsiran historis pun jelas bahwa perumus amandemen UUD 1945 berkehendak untuk tidak memasukan Perpu kedalam jangkauan kewenangan judicial review MK, karena seandainya perumus amandemen berkehendak memasukan Perpu kedalam jangkauan kewenangan judicial review MK, maka melalui perubahan ketiga, perumus amandemen dapat saja memasukan “Perpu” kedalam rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur kewenangan MK. Namun pada kenyataannya perumus amandemen UUD tidak menghendaki hal tersebut dan tetap mempertahankan Pasal 22 apa adanya. Dari segi penafsiran historis dan penelusuran terhadap original intent (kehendak asli) perumus amandemen UUD 1945, jelas bahwa kewenangan judicial review MK sebagaiama tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) tidak dapat menjangkau Pasal 22 UUD 1945. Karena Pasal 22 sudah mengatur mekanisme review tersendiri, yaitu melalui legislative review (pengujian oleh legislatif).
Demikian juga apabila ditinjau dari penafsiran atau pendekatan sistematis, pengujian Perpu oleh MK akan berpotensi merusak sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) yang telah terkandung dan dibangun oleh UUD 1945. Betapa tidak, MK dapat menguji dan membatalkan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, padahal Perpu tersebut merupakan prerogratif yang diberikan konstitusi kepada Presiden untuk selalu bertindak konstitusional melalui perangkat yang telah disediakan oleh UUD, sekalipun negara dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Jika bisa diuji dan dibatalkan sembarang waktu oleh MK tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 22, lalu apalagi yang tersisa dari seorang Presiden sebagai kepala negara ? demikian juga apa arti dari Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) jika kewenangan DPR tersebut dapat “dianeksasi” oleh MK ? pada tahap inilah penulis merasa berkepentingan untuk turut merekonstruksi kewenangan MK menguji Perpu agar MK sebagai the guardian of the constitution and the sole interpreter of the constitution tidak menerobos rambu-rambu konstitusional yang seharusnya ia tegakan.
Pertanyaan yang mendasar kemudian ialah apakah MK tidak boleh menguji Perpu ? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengujian Perpu dilakukan oleh DPR (legislative review) dan menjadi hak sekaligus kewajiban konstitusional DPR untuk menguji Perpu dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu pada masa persidangan berikutnya. Jadi MK tidak boleh menganeksasi atau melangkahi ketentuan konstitusional tersebut sepanjang Perpu itu belum memasuki masa persidangan berikutnya dan belum disidangkan oleh DPR. Jika MK menguji Perpu sementara Perpu itu belum melewati masa berlakunya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (2), maka dapat dikatakan MK telah melakukan tindakan ultra vires, yaitu suatu tindakan yang melampaui kewenangannya. Hal mana tentu tidak boleh dilakukan oleh MK yang seharusnya merawat dan menjaga UUD 1945.
Lalu dengan demikian apakah MK sema sekali tidak dapat menguji Perpu ? pertanyaan tersebut juga tidak sepenuhnya benar.
Penulis berpendapat bahwa MK dapat menguji Perpu manakala Perpu tersebut sudah melewati masa persidangan berikutnya namun belum juga dibawa ke DPR dan belum ditentukan apakah disetujui menjadi UU atau dicabut. Dalam keadaan yang seperti ini maka legislative review sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) dengan sendirinya telah hapus dan bahkan terlanggar, karena sudah melewati masa persidangan berikutnya sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 22 ayat (2) namun belum juga disidangkan oleh DPR untuk ditentukan nasibnya. Maka pada titik inilah kewenangan MK untuk menguji sebuah Perpu sudah terbuka, karena ketentuan konstitusional untuk mereview Perpu tersebut oleh DPR telah diabaikan. Bahkan pada tahap yang seperti ini, menjadi kewenangan sekaligus tanggung jawab MK (apabila ada permohonan pengujian Perpu) untuk menguji Perpu agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzakerheid) dalam sistem ketatanegaraan kita.
Dalam contoh konkret banyak sekali Perpu yang sudah melewati masa persidangan dimana Perpu itu seharusnya disidangkan oleh DPR namun belum juga disidangkan, sehingga sudah bertahun-tahun diterbitkan tetapi bentuknya masih berupa Perpu. Padahal jika merujuk kepada Pasal 22 UUD 1945, Perpu itu bersifat sementara, sampai ditentukan nasibnya pada persidangan DPR berikutnya, setelah itu harus ditetapkan apakah disetujui menjadi undang-undang atau ditolak dan dicabut.[5] Contoh, dari tahun 2004-2012 Presiden telah mengeluarkan sebanyak 18 Perpu. Dari jumlah tersebut, hanya 11 Perpu yang sudah diajukan kepada DPR dan ditentukan nasibnya; ada yang disahkan menjadi UU dan ada juga yang dicabut. Sehingga dengan demikian masih ada 7 Perpu yang belum sempat disidangkan dan ditentukan nasibnya oleh DPR sebagaimana diharuskan oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.[6] Dikaitkan dengan kewenangan Pengujian Perpu oleh MK, maka menurut penulis, ketujuh Perpu itulah yang secara konstitusional dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK, karena syarat dan ketentuan (term and conditions) yang membatasi kewenangan MK untuk mengujinya sebagaimana dipagari oleh ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 telah hapus karena hukum. Oleh karenanya, pada waktu itulah MK baru dapat menguji sebuah Perpu.
Dengan rekonstruksi kewenangan MK seperti yang dikemukakan diatas maka diharapkan MK tidak lagi melakukan tindakan ultra vires. Dengan pembatasan mengenai kapan MK dapat dan tidak dapat menguji Perpu, maka diharapkan MK (dalam menjalankan kewenangannya) tetap patuh pada rambu-rambu pembatas yang digariskan UUD 1945, namun disisi yang lain MK tetap dapat memastikan konstitusionalitas suatu Perpu manakala keharusan legislative review menurut Pasal 22 itu sendiri diabaikan.


[1] Berdasarkan Pasal 7 jo Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa kedudukan (hierarki) Perpu sama/setara dengan undang-undang. Begitu pun dengan materi muatannya, sama dengan materi muatan undang-undang.
[2] Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi terkait “Kewenangan Mahkamah” dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009.
[3] Lihat concurring opinion dan dissenting opinion dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
[4] Bagir Manan, Beberapa Persoalan Paradigma Setelah atau Akibat Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 10.
[5] Menurut Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perpu harus diajukan kepada DPR pada masa persidangan berikutnya dalam bentuk RUU (RUU tentang Penetapan Perpu). Apabila disetujui maka disahkan menjadi UU. Namun apabila tidak disetujui maka Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku untuk kemudian diajukan RUU tentang Pencabutannya.
[6] Lihat www.setneg.go.id. Diakses tanggal 28 Oktober 2013.