Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 15 Juli 2014

Peraturan (Regeling) dan Keputusan (Beschikking)


       Sudah menjadi prinsip umum hukum (general principe of law) yang telah diterima secara universal bahwa pada prinsipnya kaidah/norma hukum dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yakni keputusan (beschikking) dan peraturan (regeling).[1] Keputusan adalah instrumen hukum yang berisi ketetapan/keputusan yang bersifat individual, konkrit, dan berlaku khusus (terbatas). Sedangkan peraturan adalah instrumen hukum yang bersifat umum, berisi pengaturan, berlaku serta mengikat untuk umum.[2] 

       Di Indonesia, pengaturan mengenai bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Menurut UU tersebut, Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.[3] Pasal 100 (Ketentuan Penutup) UU tersebut dengan tegas menyatakan bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan keputusan-keputusan pejabat lainnya yang bersifat mengatur, harus dimaknai sebagai peraturan.[4] Dengan demikian politik hukum perundang-undangan di Indonesia menghendaki adanya purifikasi antara peraturan dan keputusan, karena memang terdapat perbedaan yang sangat prinsipal diantara keduanya. Perbedaan tersebut setidak-tidaknya meliputi tiga hal:
 
1)        Perbedaan isi dan sifat:
Peraturan berisi norma hukum yang berlaku dan mengikat umum (regeling).
Keputusan berisi suatu penetapan atau keputusan yang sifatnya individual, final, dan konkret.

2)        Perbedaan cara melawannya:
Upaya hukum untuk melawan/menggugat peraturan dilakukan melalui mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Untuk undang-undang melalui MK, sedang untuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang melalui MA.
Upaya hukum untuk melawan/membatalkan keputusan dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

3)        Perbedaan kekuatan berlaku dan mengikatnya:
Dengan diundangkannya suatu peraturan di dalam Lembaran Negara atau Berita Negara, maka peraturan tersebut memiliki daya berlaku dan mengikat umum (binding force). Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 87 UU P3 “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.” Hal tersebut dimaksudkan agar semua orang mengetahui adanya peraturan yang dimaksud sehingga dengan dimikian berlakulah asas fiksi hukum “Iedereen wordht geacht de wet te kennen.” Artinya setiap orang dianggap mengetahui hukum. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi yang melanggar hukum bahwa ia tidak mengetahui hukumnya.[5]
Suatu keputusan/ketetapan tidak dipersyaratkan untuk diundangkan dalam Lembaran Negara atau Berita Negara karena keputusan/ketetapan tidak dimaksudkan untuk berlaku dan mengikat umum.[6]

      Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas jelaslah bahwa harus dibedakan antara peraturan dan keputusan. Karena keduanya memliki perbedaan yang prinsip, baik dari segi isi, penggunaan, serta kekuatan berlaku dan mengikatnya.[7] Sebagaimana dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa pengaturan yang menghasilkan norma yang bersifat mengatur (regelingsdaad) seharusnya tidak dituangkan dan disebut dengan istilah lain kecuali “peraturan.”[8]
 
      Kesalahan atau kekeliruan dalam prosedur pembentukan suatu kaidah hukum akan berimplikasi pada keabsahan kaidah tersebut dan oleh karenanya dapat dimintakan pengujian melalui pengujian formil kepada lembaga yang berwenang (uji formil undang-undang melalui MK, uji formil peraturan perundang-undangan melalui MA, dan pengujian formil KTUN melalui PTUN). Pengujian formil itu sendiri menyangkut penilaian dan pengujian terhadap ketepatan bentuk (peraturan atau keputusan/ketetapan), lembaga/pejabat yang berwenang membentuknya, tata cara pembentukannya dan hal-hal lain yang tidak termasuk kedalam cakupan uji materi. 
   Kesalahan atau kekeliruan dari segi substansi/materi muatan suatu kaidah hukum akan mengakibatkan dokumen tersebut diuji materi (materiil reviview) dan dibatalkan oleh lembaga yang berwenang mengujinya. Pengujian dari segi materi ini sesuai dengan namanya tentu saja merupakan suatu penilaian atas ketepatan dan kesesuian materi atau isi daripada suatu kaidah hukum.
      Demikian juga kekeliruan penggunaan dan penuangan kaidah hukum yang seharusnya diberi baju hukum "peraturan" menjadi "keputusan" atau sebaliknya, menurut penulis dapat dimohonkan pengujian secara formil.



[1]Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 30.
[2] Lihat Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 133-148. Dan Jimly Asshiddqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 2.
[3] Vide Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[4] Sejak adanya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan itu sudah diatur dalam undang-undang tersebut, tepatnya pada Pasal 56 sebagai upaya untuk melakukan purifikasi antara peraturan dan keputusan.
[5] Lia Riesta Dewi dan Arief Ainul Yaqin, Mengenal Hukum melalui Pengantar Hukum, Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Serang, 2012, hlm. 54.
[6] Lihat Bab IX (Pengundangan) UU No. 12 Tahun 2011. Bab tersebut mengatur syarat dan tata cara pengundangan peraturan perundang-undangan sebagai syarat berlaku dan mengikatnya peraturan yang dimaksud.
[7] Menurut Ridwan H.R., Keputusan/Ketetapan (beschikking) adalah instrumen yang digunakan oleh organ pemerintahan untuk mengatur peristiwa konkret dan individual dalam bidang administrasi dilingkungan organ pemerintahan tersebut.
[8] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 8.