Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Minggu, 30 Juli 2017

Keterbukaan Informasi Mencegah Tindak Pidana Korupsi



“Corruption is a huge problem in many developing countries that are rich in natural resources, and transparency is the one important key for reduce that’s corruption phenomenon.” (Korupsi adalah masalah besar yang melanda banyak negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, dan transparansi adalah salah satu kunci penting untuk meminimalisir fenomena korupsi tersebut).
Demikian lah pendapat sekaligus kesimpulan yang dilontarkan oleh dua pakar ekonomi-politik asal Norwegia, Ivar Kolstad dan Arne Wiig setelah keduanya meneliti fenomena korupsi di negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, dimana hasil-hasil kekayaan alam di negara-negara tersebut kebanyakannya habis ditengah jalan sebelum sampai ke tangan rakyat akibat praktek korupsi yang tidak terkendali. Telisik punya telisik, ternyata salah satu penyebab tumbuh suburnya praktek korupsi yang menggurita itu ialah karena minimnya transparansi atau keterbukaan informasi seputar pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya area yang “basah” dan “strategis” itu segera saja menjadi area yang gelap dan abu-abu (dark zone) yang lepas dari pengetahuan dan kontrol publik. Hasilnya tentu saja sudah bisa kita tebak, korupsi yang menggurita.
Rupa-rupanya apa yang ditemukan dan dikemukakan oleh dua pakar berkebangsaan Norwegia diatas sangat mirip (kalau bukan sama persis) dengan apa yang terjadi di negeri kita. Berdasarkan Laporan Resmi yang dirilis oleh KPK, sektor Energi dan Sumber Daya Alam adalah salah satu sektor yang paling rawan dikorupsi. Itulah sebabnya dalam Road Map Pemberantasan Korupsi yang disusun KPK untuk tahun 2012-2023, sektor Energi dan Sumber Daya Alam menjadi satu dari tiga sektor yang menjadi fokus dan prioritas pemberantasan korupsi yang akan dilaksanakan oleh KPK (disamping sektor Ketahanan Pangan dan Penerimaan Negara).
Namun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Ivar Kolstad dan Arne Wiig diatas, fenomena korupsi itu sebetulnya masih mungkin dan sangat mungkin untuk dicegah. Caranya yakni dengan menghidupkan transparansi dan keterbukaan di semua sektor penyelenggaraan negara. Dengan cara demikian setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat dan oleh karenanya masyarakat akan memiliki cukup data dan informasi untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian ruang-ruang gelap dan abu-abu yang biasa menjadi tempat transaksi korupsi itu akan dengan sendirinya berubah menjadi area yang terang benderang dan transparan.
Jika sistem dan keadaannya sudah begitu maka korupsi bisa dicegah dan ditekan pada level yang paling rendah. Sebab jika semuanya sudah terbuka dan diawasi publik, orang akan kehilangan kesempatan dan inisiatif untuk korupsi. Seandainya pun masih terjadi praktek korupsi, masyarakat dan penegak hukum (baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK) akan dengan cepat mendeteksi adanya praktek korupsi tersebut sehingga dapat diberantas sedini mungkin sebelum riak-riak korupsi itu berubah menjadi badai yang bisa menghancurkan perekonomian negeri ini.
Oleh karenanya tidak bisa lagi disanksikan bahwa transparansi dan keterbukaan dalam penyelenggaraan negara memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kaitannya dengan isu pencegahan dan pemberantasan korupsi. Orang tidak perlu lagi berbicara dan direpotkan dengan upaya pemberantasan korupsi jika peluang-peluang korupsi itu dapat ditutup sedemikian rupa, salah satunya dengan mewujudkan sistem penyelenggaraan negara yang transparan dan terbuka.
Untuk mewujudkan sistem penyelenggaraan negara yang transparan dan terbuka itu nampaknya bukan lah sesuatu yang sulit apalagi mustahil bagi kita. Sebab kita sudah memiliki instrumen hukumnya, yakni dengan adanya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Didalamnya sudah diatur prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang transparan dan terbuka. Kita hanya perlu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya agar transparansi yang diamanatkan oleh UU tersebut benar-benar dapat membawa berkah kebaikan bagi bangsa dan negara ini, terutama untuk mencegah praktek korupsi yang sampai saat ini masih menggerogoti tidak saja perekonomian kita, tetapi juga harkat dan martabat kita di dunia internasional.

Rabu, 26 Juli 2017

Menolak Perppu Ormas (Catatan Kecil)

Hari ini, dibawah naungan Rezim Jokowi, GP Ansor yg sama-sama kita tahu sgt dekat dgn rezim ini boleh saja bersuka cita menyambut terbitnya Perppu Pembubaran Ormas yg telah memakan satu korban, yakni HTI yang dibubarkan oleh pemerintah lantaran ideologi dan gerakannya dianggap melanggar Pancasila dan UUD 1945.

GP Ansor senang karena dengan Perppu ini Rezim Jokowi bisa dengan mudah dan cepat membubarkan HTI yg memang memiliki ideologi yg bersebrangan dengannya (GP Ansor dgn Islam Nusantara-nya dan HTI dengan Islam Global-nya) tanpa melalui proses hukum di pengadilan.
Padahal Perppu ini berlaku umum dan bisa menyasar Ormas apa pun, termasuk GP Ansor sendiri.

Hari ini boleh saja Perppu itu digunakan untuk "melenyapkan" HTI, tapi siapa yg tahu jika rezim ini berlalu dan digantikan oleh rezim yg baru nanti justru GP Ansor lah yang dibidik dan dijadikan target untuk dibubarkan lantaran misalnya dianggap melanggar Pancasila dan UUD 1945 karena kerap kali membubarkan secara paksa acara pengajian yang di-judge oleh GP Ansor sebagai provokatif, radikal, dsb. Sementara hak beribah adalah hak dasar yg dijamin dan dilindungi oleh Pancasila dan UUD 1945. Lagipula jika pun benar bahwa acara pengajian itu berisikan konten yg bersifat provokatif, radikal dan lain-lain konten yg melanggar hukum bukan kah ada penegak hukum (kepolisian) yg berwenang menindaknya? bukan malah ditindak, diadili serta dibubarkan secara paksa oleh satu Ormas tertentu!

Tindakan GP Ansor yg sensitif dan riskan semacam itu bisa saja ditafsirkan oleh rezim pemerintah yg tidak senang dgn tindakan itu sebagai suatu ancaman yg serius terhadap Pancasila dan UUD 1945 sehingga dapat berujung pd pembubaran GP Ansor dgn menggunakan Perppu yg dulu disambut dan dibela oleh GP Ansor sendiri ... Who's know ??? toh pertimbangan dan keputusan pembubaran itu menurut Perppu ini menjadi kewenangan mutlak dan sepihak dari pemerintah. Jadi suka-suka pemerintah saja kapan dan kepada siapa ketentuan tentang pembubaran Ormas yg terdapat dalam Perppu ini akan dikenakan. Apakah GP Ansor bisa dikecualikan atau kebal dari ketentuan pembubaran Ormas yg diatur dalam Perppu ini??? jawabannya jelas TIDAK!

Perppu ini bisa menyasar Ormas apa pun, tergantung pemerintah mau membidik Ormas apa, sementara aturan pembubarannya yg sewenang-wenang, sepihak, dan memotong due proccess of law (proses hukum yg adil dan layak) sudah dipatenkan melalui Perppu ini.

Jika boleh saya ibaratkan, Perppu ini layaknya senjata api tanpa alat pengaman dan kode etik/aturan pemakaian, senjata ini sepenuhnya dipercayakan dan bergantung pada kebijaksanaan pemakainya. Digunakan untuk menembak penjahat bisa, tapi digunakan untuk menembak org yg tidak bersalah juga bisa, semuanya betul-betul diserahkan kepada pemakainya untuk digunakan kapan dan untuk apa?

Hukum yg semacam itu jelas bukan lah hukum yg kita cita-citakan dan kita idealkan karena memberikan kewenangan yg mutlak tanpa disertai kontrol hukum yg layak dari lembaga pengadilan. Sementara perkembangan peradaban manusia dan hukumnya sekarang-sekarang ini menuntut adanya ruang pembelaan yg layak dihadapan pengadilan bagi siapa pun yg merasa dirugikan oleh tindakan ataupun produk hukum yg dikeluarkan pemerintah. Hal itu dilakukan untuk meredam kecenderungan dan sifat dasar dari suatu kekuasaan, yakni semakin besar kekuasaan semakin besar pula kecenderungannya untuk disalahgunakan. Seperti ungkapan yg dikemukakan oleh Lord Acton "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely."

Hukum yg semacam itu oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick (dua orang pakar sosiologi hukum) dalam teorinya yg sangat terkenal di dunia hukum "Responsive Law" disebut sebagai hukum represif, yakni hukum yang secara formil dilahirkan dalam suasana pemerintahan yg otoriter serta mengabaikan proses demokrasi dan secara materil bermuatkan aturan-aturan yg sewenang-wenang serta menindas tanpa adanya ruang untuk membela diri bagi mereka yang disengsarakan oleh hukum tersebut dihadapan pengadilan.

Dalam teori perkembangan model-model hukum dalam suatu masyarakat/bangsa, Hukum Represif ini oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dikategorikan sebagai hukum yang paling terbelakang dan primitif dibandingkan dengan dua model hukum yg muncul kemudian (hukum otonom dan hukum responsif). Celakanya Perppu Pembubaran Ormas ini nampaknya memenuhi ciri-ciri dari hukum represif yang digambarkan oleh Nonet dan Selznick diatas.

Atas catatan-catatan diatas, saya secara pribadi sangat menolak dan menentang berlakunya Perppu Pembubaran Ormas ini. Jika boleh saya persingkat, Perppu ini adalah ancaman bagi hak-hak dasar dan demokrasi kita selain juga merupakan kemunduran perkembangan hukum kita sebagaimana telah saya gambarkan melalui teori perkembangan hukum dari Nonet dan Selznick diatas.

Arief Ainul Yaqin
Depok, 26 Juli 2017