Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 02 Juni 2011

"Salah Kaprah" Sang Presiden dalam Mempersoalkan Kepemimpinan DI Yogyakarta


oleh Arief Ainul Yaqin pada 01 Desember 2010 jam 21:00



      Jumat 26 November 2010 yang lalu masyarakat Yogyakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya terkejut mendengar pernyataan Presiden SBY  dalam rapat Kabinet Terbatas di Istana Negera. Rapat itu beragendakan pembahasan RUU-RUU yang tengah digodok Pemerintah, termasuk RUU Keistimewaan Yogyakarta. Ketika itu Presiden SBY mengatakan: " Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi." Tentu saja semua orang tahu bahwa pernyataan itu ditujukan terhadap sistem monarki yang ada di Yogyakarta. Tidak sulit mengambil kesimpulan itu mengingat hanya Yogyakarta lah satu-satunya daerah yang masih menganut sistem monarki dalam tata pemerintahan daerahnya.

      Ucapan Presiden yang singkat itu sontak menimbulkan polemik dan kontroversi yang mewarnai setiap Headline dari berbagai Media Masa di tanah air. Tafsir-tafsir dari berbagai kalangan pun turut mewarnai isu ini, banyak kalangan yang menafsirkan bahwa Presiden tidak menghendaki sistem pengangkatan Sultan dan Paku Alam yang secara turun temurun memimpin sebuah Daerah Provinsi di Indonesia.

      Sebelum membahas masalah ini lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui dulu latar sejarah dari KerajaanYogyakarta itu sendiri. Hal itu penting dikemukakan oleh karena status Daerah Istimewa yang disandang oleh Yogyakarta itu sendiri merupakan buah dari asal usul dan sejarah panjang kerajaan Yogyakarta.

     Cikal bakal Kerajaan Ngyayogyakarta Hadingrat adalah kerajaan Mataram. Pada tanggal 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian Gianti yang pada dasarnya membagi wilayah Mataram menjadi dua; wilayah pertama diberikan kepada Kerajaan Surakarta dan wilayah kedua diberkan kepada Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi inilah yang kemudian menjadi Raja atas wilayah pedalaman Jawa yang dipisah dari wilayah Keraaan Surakarta. Selanjutnya dalam mendirikan dan memerintah kerajaan baru itu Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah (Sultan Hamengku Buwono I).

      Pada tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I menetapkan nama untuk daerah kekuasaannya itu dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Ibukotanya yang bernama Ngayogyakarta. Sejak saat itu Masyarakat Jawa Yogyakarta diperintah oleh Raja mereka yang berasal dari Keraton Yogya secara turun temurun dan telah memiliki akar budaya yang sangat kuat dan terpelihara selama ratusan tahun.

      Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta Hadingrat mendukung dan menjadi bagian dalam Negara Republik Indonesia pada tanggal 5 September 1945. Pada waktu yang bersamaan juga pihak Kasuhunan Surakarta yang dipimpin oleh Paku Alam VIII menyatakan integrasinya ke dalam Negara Republik Indonesia.

      Sebagai balasannya,  Pemerintah pusat pada 30 Oktober 1945 mengeluarkan Piagam Penetapan tentang kedudukan kedua penguasa itu sebagai kepala Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Selanjutnya melalui UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya padaPasal 18 ayat 5 ditegaskan bahwa kepala pemerintahan Yogyakarta diangkat oleh Presiden RI dari keturunan Kerajaan Ngayogyakarta Hadingingrat sebagai Gubernur dan dari keturunan Kadipaten Paku Alaman sebagai wakil Gubernurnya.

      Secara Yuridis Formil Yogyakarta diberikan status sebagai Daerah Istimewa dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

       Kembali pada persoalan pokok mengenai pernyataan Presiden SBY, maka apa yang dikatakannya itu sebenarnya tidak selayaknya untuk dialamatkan kepada  Yogyakarta. Sebab UUD 1945 sendiri telah mengakui dan menjamin perihal kekhususan atau keistimewaan suatu daerah, tepatnya diatur oleh Pasal 18 B ayat 1 yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang." 
      Daerah yang bersifat khusus bisa digolongkan ke dalam;
1. Kekhususan fungsi dan kedudukannya, contoh: DKI Jakarta, berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007 ditetapkan sebagai Daerah Khusus terkait Fungsi dan Kedudukannya sebagai  Ibu Kota Negara.
2. Kekhususan wewenang dan tugasnya, biasanya daerah ini diberikan status khusus dalam hal otonomi, jadi karena kekhususannya dalam hal wewenang dan tugas untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya maka daerah ini dinamai daerah otonomi khusus. Otonomi khusus biasanya diberikan karena tuntutan dan kesenjangan ekonomi yang dialami daerah tersebut dibandingkan dengan daerah lain. Contoh: Otonomi Khusus bagi Provonsi Aceh dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Otonomi Khusus bagi Papua dalam UU No. 21 Tahun 2001.

      Daerah yang bersifat Istimewa adalah daerah yang diberikan status sebagai Daerah Istimewa karena hak asal usul dan latar belakang sejarahnya. Atas dasar keistimewaannya itu maka perlu diberikan wewenang dan tata cara pelaksanaan pemerintahan yang khusus sesuai sejarah dan budaya masyarakatnya. Indonesia memiliki dua daerah Istimewa, yaitu DI Nangroe Aceh Darussalam berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan DI Yogyakarta berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950.

      Masing-masing Daerah Khusus dan Daerah Istimewa itu mempunyai kekhusussannya masing-masing. Contoh: DKI Jakarta yang mempunyai Kekhusussan dimana sistem pemilihan Walikota/Bupatinya tidak tunduk pada mekanisme Pilkada pada umumnya, karena Walikota dan Bupati dangkat oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Pertimbangan DPRD Provinsi Jakarta (Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007). Aceh mempunyai kekhususan untuk menyelenggarakan dan melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya (Pasal 4 UU No. 44 Tahun 1999). Begitupun dengan DI Yogyakarta yang memiliki kekhususan dalam hal pengisian jabatan Kepala Daerahnya yang berasal dari keturunan Raja Yogyakarta sebagai Gubernur dan dari keturunan Raja Kasuhunan Surakarta sebagai Wakil Gubernur. Semua kekhususan/keistimewaan dari daerah-daerah diatas, tidak terecuali Yogyakarta, diakui dan dihormati oleh Negara dan dajamin keberlangsungannya oleh UUD 1945 Pasal 18 B ayat 1.

     Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi DIY yang tidak dilakukan melalui mekanisme Pemilu tidak dapat "dituding" begitu saja sebagai tidak demokratis. Jika sistem pengisian jabatan di Yogyakarta itu kemudian dipermasalahkan Presiden karena dianggap bertabrakan atau melanggar konstitusi, maka sekarang pertanyaannya ialah konstitusi mana yang terlanggar dengan sistem yang berlaku di DIY itu ? Pasal berapa dari konstitusi tersebut yang terlanggar ? Keistimewaan Yogyakarta justru telah dibingkai dalam kerangka konstitusional yang sangat kuat melalui Pasal 18 B ayat (1) UUD.

      Dalam kacamata Hukum Tata Negara, hal yang seperti ini, yakni kekhususan atau keistimewaan suatu daerah adalah wajar terjadi dalam suatu negara yang memliki heterogenitas yang tinggi seperti Indonesia. Dengan meminjam teori yang dikemukakan oleh Geovani Sartori, Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan dengan disentralisasi a simetris, artinya walaupun negara berbentuk kesatuan namun dimungkinkan apabila ada perbedaan antara daerah satu dengan daerah lainnya, terdapat variasi disana-sini. Hal inilah yang secara faktual memang terjadi di Indonesia.

      Sepertinya kita harus berkaca sejanak pada sejarah kelam bangsa kita dimasa lalu dimana kebijakan Pemerintah Pusat yang keliru dapat berakibat fatal dan justru mengobarkan disintegrasi. Sebagai contoh, pada tahun 1950 Nangroe Aceh Darussalam diturunkan statusnya dari Daerah Istimewa menjadi Karesidenan yang berada dibawah Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan itu diambil lantaran Pemerintah sedang berupaya melakukan penyederhanaan administrasi pemerintahan. Akan tetapi upaya pemerintah itu justru berubah menjadi malapetaka bagi keutuhan NKRI. Rakyat Aceh yang ketika itu dibawah kepemimpinan Tengku Daud Beureuh sebagai Gubernur melakukan resistensi (perlawanan), bahkan pada 20 September 1953 beliau memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Rakyat Aceh mengungkapkan ekspresi kekecewaannya dengan perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah Indonesia, mereka merasa dikhianatai oleh Pemerintah. Karena dalam masa perjuangan kemerdekaan, Rakyat Aceh menyepakati suatu kontrak politik dengan Pemerintah Pusat dengan janji dipihak rakyat aceh bahwa mereka akan membela tegaknya NKRI dengan jiwa raga mereka dalam berbagai pertempuran melawan Belanda, diantaranya dalam pertempuran Medan Area, bahkan rakyat Aceh mengumpulkan harta mereka untuk disumbangkan kepada Negara untuk membeli 2 buah pesawat untuk kepentingan negara dan janji dipihak Pemerintah akan memberikan status Daerah Istimewa untuk Aceh mengingat latar belakang sejarah dan budaya masyarakatnya.

      Peristiwa diatas hendaknya menjadi perhatian dan pembelajaran besar untuk kita semua betapa fatalnya akibat dari suatu kebijakan yang salah. Disintegrasi, ya disintegrasi menjadi ancaman sekaligus kenyataan dari direposisikannya suatu sistem masyarakat yang telah mendarah daging seperti kasus Pemberontakan rakyat Aceh diatas. Apa yang terjadi pada rakyat Aceh mempunyai kecenderungan yang sama dengan apa yang terjadi sekarang ini. Jika rakyat Aceh merasa dikhianatai karena kehilangan status keistimewaannya maka rakyat Yogyakarta pun merasakan hal yang sama, keistimewaan mereka akan hilang ketika sistem pemilihan Kepala Daerah mereka dirubah. Karena perlu anda ketahui, Keistimewaan Yogyakarta terletak pada pemimpinnya yang diangkat dari keturunan Raja Yogyakarta. Jadi konklusinya adalah; apabila Kepala Daerah mereka sudah tidak lagi diangkat dari keturunan Kerajaan Yogyakarta maka hilanglah keistimewaan Yogyakarta.

      Semoga apa yang terjadi di masa lalu sebagai akibat dari Wrong Policy tidak sampai terjadi dimasa ini karena tentulah keadaaan masyarakat dimasa lalu sudah berubah dengan keadaan masyarakat dimasa kini yang cenderung lebih terdidik. Namun jika Pemerintah tidak peka dan sensitif terhadap aspirasi dan tuntutan masyarakat Yogyakarta maka bukan hal yang mustahil pula akan terjadi suatu keguncangan sosial, khususnya di Yogyakarta dan tidak menutup kemungkinan pula akan terjadinya krisis vertikal antara Sri Sultan Hamengku Buwono (yang didukung oleh rakyat Yogyakarta) dengan Pemerintah Pusat.

      Menurut penulis, untuk merubah sistem yang telah terbangun dan berkembang dan telah mapan seperti di DI Yogyakarta perlulah kajian yang mendalam melibatkan berbagai elemen masyarakat yang bersangkutan. Pemerintah tidak bisa memutuskan secara sepihak, karena bagaimanapun dan seperti apapun sistem kepemimpinan di Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta sendirilah yang akan merasakannya. Oleh sebab itu, selama tidak ada gejolak ataupun tuntutan mengenai sistem kepemimpinan dari dalam masyarakatnya sendiri maka menurut penulis tidaklah perlu untuk mengotak atik-atik sistem yang sudah mapan tersebut. Yogyakarta sendiri seringkali menjadi tolok ukur dan studi komparasi untuk berbagai hal, seperti transparansi pemerintahan, pelestarian budaya, dan pelestarian bangunan warisan sejarah.

      Pada akhirnya polemik yang semacam ini cukuplah kita jadikan pelajaran untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan jangan sampai kita terlalu larut dalam perbedaan yang mungkin saja akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Semoga polemik yang sedang "panas" ini segara didapati jalan keluarnya dan RUU Keistimewaan Yogyakarta segara rampung dan menjadi UU karena berbeda dengan daerah khusus/istimewa lainnya seperti DKI Jakarta yang telah memliki payung hukum mengenai kekhususannya sebagai Ibu Kota Negara melalui UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI dan Aceh yang juga telah memliki payung hukum mengenai keistimewaannya sebagai Derah Istimewa melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DI Nangroe Aceh Darussalam, Yogyakarta masih tertinggal dalam hal landasan hukum yang memayungi Keistimewaannya sebagai Daerah Istimewa karena masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1950 yang tentunya semakin usang terdegradasi oleh perkembangan zaman. Dan sesuai tujuan awal dibentuknya UU Keistimewaan DI Yogyakarta, semoga RUU ini kelak menjadi UU yang benar-benar semakin memperkuat kedudukan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa dan benar-benar merupakan produk yang merepresantasikan aspirasi rakyat Indonesia (pada umumnya) dan Masyarakat Yogyakarta (pada khususnya).

Sajak Motivasi


THE INSPIRING STORY


      Untuk kalian yang sedang tumbuh
      Untuk kalian yang sedang berkembang
      Untuk kalian yang ingin menaklukan dunia ...

Layaknya kupu-kupu; dulu ketika masih menjadi kepompong dan ulat,
Buruk dan menggeliat-geliat menjijikan, hampir semua orang tak mau menyentuhnya.
Namun setelah tumbuh dan bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dengan warna warni sayap yang indah, hampir semua orang ingin memilikinya

Inilah hidup, sebuah metamorfosa,
sebuah perjalanan dan proses ...

Jangan patah asa ketika Tuhan menjadikan kita seperti hikayat kepompong dan ulat,
Tuhan tak memberi apa yang kita ingin tapi Tuhan memberi apa yang kita butuhkan,
Tuhan tidak pernah langsung menciptakan kupu-kupu walaupun ia bisa,
Tuhan hanya akan memecahkan dinding kepompong dan menjadikannya ulat, ada beberapa kepompong mati sebelum menjadi ulat, lalu Tuhan akan menumbuhkan sayap agar dia mampu terbang, barulah menjadi kupu-kupu, namun ada beberapa ulat mati sebelum menjadi kupu-kupu. Tapi percayalah, tak sedikit kepompong yang mampu hidup, bertahan dan bermetamorfosa menjadi ulat dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah.

Kupu-kupu yang indah, dengan warna warni surgawi

Banyak orang yg dulu enggan dan munafik, kini menjadi orang yang paling berharap  memiliki kupu-kupu indah itu.
Beberapa menyadari dan beberapa lainnya lupa bahwa: Inilah ciptaan Tuhan yang pernah mereka ingkari.

Jangan takut pernah berdosa
Jangan resah pernah kotor
Tak perlu khawatir karena pernah salah,
Yang perlu kita takuti, resahi, dan khawatirkan adalah kita yang diam tak berubah

Tahukah anda Nabi Muhammad SAW? Benjamin Franklin (tokoh kemerdekaan Amerika dan penentang rasialis serta penentang hegemoni finansial Yahudi)? Nelson Mandela (tokoh anti rasialis Afrika)? Soekarno? Moh. Hatta? dan Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran penentang hegemoni Barat)? dan banyak tokoh dunia lainnya.
Mereka pernah ditertawakan dan dianggap gila karena mimpi-mimpi besarnya tentang dunia,
Mereka pernah diacuhkan dan tak dianggap karena ide-idenya, 
Tapi justru kini dengan mudah kita  menemui mereka yang pernah dianggap gila dan diperolok; sekarang menjadi manusia yang namanya hidup jauh lebih abadi dari raganya

Merekalah teladan
Merekalah kepompong itu
dan merekalah ulat itu

Orang-orang lebih suka mengenalinya sebagai kupu-kupu; pembesar dan agung, daripada mengenalinya saat sulitnya bertahan bergantung di ranting pohon yang kering (kepompong), menggeliat-geliat menjijikan kesakitan menumbuhkan sayap (ulat).

Akhirnya kita semua tak ubahnya seperti hikayat kupu-kupu,
siapa yang tahan uji dan mampu bermetamorfosa,
dialah kupu-kupu terindah itu

Sadarkah kita semua bahwa dunia telah rindu dan sedang menunggu tokoh besar selanjutnya setelah generasi-generasi yang pernah ada ?
Maka tidak ada alasan untuk kita tidak bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpi besar kita

Karya: Arief Ainul Yaqin

Deponering Kasus Bibit-Chandra


oleh Arief Ainul Yaqin ditulis pada 12 November 2010 jam 20:16


       Tulisan kali ini diangkat dari sebuah Kliping yang penulis kumpulkan dan pelajari lalu kemudian direvisi beberapa bagiannya untuk lebih mudah dibaca dan dipahami.

       Sebelum beranjak ke pokok permasalahan, ada baiknya penulis lampirkan beberapa definisi dari beberapa keyword dalam catatan ini, antara lain;
  • SPPP; Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Surat ini berfungsi untuk menghentikan kasus ditingkat Penyidikan dengan beberapa alasan, yakni tidak cukupnya bukti, peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau ditutup (perkaranya) demi hukum. Dasar hukum: pasal 7 i jo pasal 109 ayat (2) KUHAP.
  • SKPP; Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan. Surat ini berfungsi untuk menghentikan kasus ditingkat Penuntutan (kejaksaan) dengan alasan yang sama dengan SPPP diatas. Dasar hukumnya pasal 14 H jo pasal 140 ayat (2) huruf a , b, c, dan d.
  • Deponering; Mengesampingkan perkara. Deponering ini merupakan perwujudan dari asas oportunitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa penuntut umum berhak untuk tidak menuntut suatu perkara yang diajukan kepadanya. Dewasa ini, asas ini diterapkan diseluruh negara kecuali Jerman. Di Indonesia sendiri deponering ini hanya dapat dikeluarkan oleh Jaksa Agung (sebut saja hak prerogratifnya). Dasar hukumnya pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

       Sudah satu tahun lebih kasus yang menyeret dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah ini bergulir dan terus mewarnai headline dari setiap pemberitaan media masa di tanah air. Kasus yang diduga didalamnya terdapat upaya kriminalisasi oleh berbagai pihak dan kepentingan yang menyeret dua pimpinan KPK ini sontak mendapat perhatian publik secara masif.

      Sejak ditahannya Bibit dan Chandra oleh penyidik Mabes Polri pada 29 Oktober 2009, perhatian media masa dan seluruh masyarakat tertuju pada perkara ini, spekulasi demi spekulasi dan bahkan analisa yuridis dari para ahli mengenai kasus ini banyak mengemuka. Opini publik pun segera terbentuk bahwa ditahannya Bibit dan Chandra tanpa berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Begitu juga dengan hal-hal yang seharusnya diperhatikan penyidik untuk menahan seseorang sebagaimana tercantum dalam KUHAP ternyata diabaikan oleh Penyidik.

       Setelah melewati waktu yang panjang, akhirnya pada 29 Oktober 2010 Pelaksana Tugas Jaksa Agung, Darmono, mengeluarkan Deponering terhadap kasus yang menimpa dua pimpinan KPK tersebut. Kasus ini di kesampingkan oleh Plt Jaksa Agung untuk kepentingan umum, yaitu kepentingan negara dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Republik tercinta ini.

kronologis Kasus Bibit-Chandra;
  • KPK melakukan penyadapan terhadap pembicaraan Susno Duadji (Kabareskrim saat itu) dan Lucas dalam hal rekomendasi pencairan dana nasabah Bank Century sebesar US$ 18 juta. Dalam hal itu terdapat indikasi pemberian dana suap sebesar 10 Milyar kepada Susno Duadji. Ternyata hal ini berbuntut panjang berupa perseteruan Polri dan KPK, karena Susno Duadji merasa tidak terima terhadap penyadapan yang dilakukan KPK kepadanya.
  • 16 Mei 2009 Antasari Azhar yang ketika itu ditahan atas tuduhan Pembunuhan Dirut PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, membuat testimoni tentang adanya dugaan penyuapan terhadap pimpinan KPK.
  • 6 Juli 2009 Antasari Azhar melaporkan dugaan penyuapan kepada pimpinan KPK kepada Mabes Polri berdasarkan rekaman percakapannya dengan Anggoro Widjojo (tersangka dugaan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu Kementrian Kehutanan).
  • 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo dan Ary Muladi mengaku telah menyerahkan uang sebesar Rp. 5,1 Milyar kepada pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah. Uang itu digunakan sebagai upaya suap agar kasus yang membelit kakak Anggodo Widjojo (Anggoro Widjojo) dihentikan oleh KPK.
  • 7 Agustus 2009 Penyidik menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni keputusan pencekalan Anggoro Widjojo dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra tanpa persetujuan pimpinan KPK lainnya dan memaksa petugas keimigrasian untuk melaksanakan keputusan tersebut. Dasar tuduhan yang digunakan penyidik adalah pasal 21 ayat 5 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dan pasal 23 UU No.31 tahun 1999 junto pasal 421 KUHP.
  • 25 Agustus 2009 Penyidik menambahkan tuduhan kepada Bibit dan Chandra yaitu tuduhan penyuapan berdasarkan keterangan dari Ary Muladi, pasal yang dituduhkan yaitu pasal pasal 12 e UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • 15 September 2009 Bareskrim Mabes Polri menetapkan Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah sebagai tersangka kasus penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan.
  • 2 Oktober 2009 berkas perkara Chandra dikirimkan ke Kejaksaan dan pada tanggal 9 Oktober 2009 berkas perkara Bibit dikirimkan ke Kejaksaan dan ternyata dikembalikan beberapa kali kepada penyidik untuk dilengkapi.
  • 29 Oktober 2009 Bibit dan Chandra ditahan di Markas Brimob Kelapa Dua Depok karena penyidik menganggap kedua tersangka itu telah mempersulit jalannya pemeriksaan dengan melakukan penggiringan opini publik terhadap kasusnya.
  • 2 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim 8 yang bertugas mencari fakta dan verifikasi terhadap kasus Bibit dan Chandra yang diketuai Adnan Buyung Nasution.
  • 3 November 2009 dalam sidang uji materil pasal 32 ayat 1 huruf c yang diajukan oleh Bibit dan Chandra, Mahkamah Konstitusi juga memperdengarkan transkrip rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah pihak.
  • 4 November 2009 Bibit dan Chandra dibebaskan dari penahanan akibat dari tekanan publik yang sangat luar biasa dan penangguhan penahanan dari berbagai pihak.
  • 22 November 2009 setelah tim 8 bentukan Presiden selesai bekerja dan memberikan laporan serta rekomendasi, presiden dalam pidatonya meminta kasus Bibit dan Chandra diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan.
  • 1 Desember 2009 menanggapi seruan Presiden, Kejaksaan Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) dengan dasar alasan sosiologis kemasyarakatan terhadap kasus Bibit dan Chandra .
  • 24 Maret 2010 Anggodo melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan atas SKPP Bibit dan Chandra ke Pengadilan Negri Jakarta Selatan.
  • 19 April 2010 Pengadilan Negri Jakarta Selatan mengabulkan (memenangkan) gugatan praperadilan Anggodo atas SKPP Bibit dan Chandra.
  • 3 Juni 2010 Pengadilan Tinggi menolak permohonan banding Kejaksaan Agung atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan memerintahkan proses penuntutan terhadap Bibit dan Chandra dilanjutkan.
  • 8 Oktober 2010 Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali Kejaksaan Agung atas putusan pengadilan tinggi.
  • 29 Oktober 2010 plt Jaksa Agung mengeluarkan putusan Deponering atas kasus Bibit dan Chandra.

       Sejak saat Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah dijadikan tersangka oleh penyidik Mabes Polri tanggal 15 september 2009 atas dugaan penyalahgunaan wewenang/jabatan dan pemerasan, kasus ini memang menjadi tanda tanya besar masyarakat luas, dan civitas akademika khususnya.

       Polisi sepertinya terlalu terburu-buru menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang yang tak lama berselang melakukan penahanan terhadap keduanya. Padahal fakta dan bukti yang dimiliki sangat lemah, yakni:
·        berdasarkan indikasi tindak pidana suap menurut keterangan Anggodo Widjojo dan Ary Muladi
·        penyalahgunaan wewenang terhadap keputusan pencekalan Anggoro Widjojo dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra yang diduga oleh penyidik diputuskan tanpa mengindahkan pasal 21 ayat 5 UU KPK (pengambilan keputusan secara kolektif)
·        tuduhan memaksa institusi keimigrasian untuk melarang Anggoro keluar negeri dan pencabutan larangan bepergian keluar negri atas Joko Tjandra yang melanggar pasal 421 KUHP jo Pasal 23 UU No.31 tahun 1999 tentang Tipikor.

Dari sinilah hiruk pikuk tatanan hukum nasional mulai diguncang oleh, apa yang dinamakan publik sebagai kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kriminalisasi sendiri berarti proses pengkriminalan seseorang, artinya seseorang sebenarnya tidak melakukan tindak kriminal tetapi oleh pihak lain diupayakan/direkayasa sedemikian rupa sehingga seolah-olah orang itu melakukan tindak kriminal.

       Keadaan ini tentu saja menyita waktu, energi, dan konsentrasi penegakan hukum selama 1 tahun terakhir ini. Masyarakat dan kalangan yang simpati terus berupaya memantau dan mengawasi proses hukum yang sarat dengan kriminalisasi ini. Publik bereaksi, demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa, LSM, dan komponen masyarakat lainnya terjadi dihampir seluruh daerah di tanah air. Gerakan satu juta facebooker yang menyuarakan aspirasinya lewat media internet turut meramaikan aksi penolakan terhadap penahanan Bibit dan Chandra. Gerakan itu didukung oleh 1 juta lebih anggota facebook pada 7 November 2009.

       Non-aktifnya dua wakil ketua KPK akibat statusnya sebagai tersangka semakin membuat KPK kehilangan daya untuk melanjutkan pemberantasan Korupsi. Terang saja ini melemahkan KPK karena beberapa bulan sebelumnya KPK telah “ditinggalkan” oleh ketuanya Antasari Azhar yang menjadi terdakwa kasus Pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen. Sehingga kinerja KPK sangat memprihatinkan dengan hanya ditopang oleh dua orang pimpinan sisa, yaitu M. Jasin dan Haryono.

       Perjalanan “kriminalisasi” pimpinan KPK ini terus berlanjut hingga satu tahun kemudian (saat ini). Setelah menanggapi  seruan Presiden dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan oleh Kejaksaan Agung pada 1 Desember 2009. Psaca penerbitan SKPP Bibit dan Chandra kembali menempati posnya sebagai wakil ketua KPK. Namun karena alasan dari penerbitan SKPP ini tidak berdasar dan tidak dikenal oleh KUHAP, yaitu alasan sosiologis kemasyarakatan, maka pihak ketiga, yakni Anggodo mengajukan gugatan praperadilan terhadap SKPP Bibit dan Chandra. Seperti dikatakan penulis sebelumnya bahwa alasan diterbitkannya SKPP adalah tidak berdasar maka Pengadilan Negri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan pembatalan SKPP Bibit dan Chandra.
Menurut penulis, putusan Pengadilan Negeri itu memang sudah tepat, karena dasar hukum SKPP adalah pasal 140 ayat 2 KUHAP, pasal itu menyebutkan alasan penerbitan SKPP, yaitu jika tidak terdapat cukup bukti atau perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana atau perkara ditutup demi hukum. Sedangkan alasan yang digunakan Kejaksaaan adalah alasan sosiologis kemasyarakatan. Ini jelas merupakan kesalahan fatal yang seharusnya tidak terjadi. Bagaimana mungkin Kejaksaan yang sehari-hari mengemban tugas penuntutan sampai tidak memperhatikan syarat materil dari sebuah surat ketetapan penghentian penuntutan sebagaimana dijelaskan diatas, atau malah Kejaksaan yang ketika itu dipimpin Jaksa Agung Hendarman Supandji juga turut terlibat dalam upaya pelemahan KPK karena menerbitkan SKPP yang sudah patut diduga rentan digugat dan dikalahkan melalui praperadilan.

       Selanjutnya Kejaksaan melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun ternyata dalam amar putusannya 3 Juni 2010, Pengadilan DKI Jakarta menolak gugatan Kejaksaan dan mengukuhkan putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Menurut pasal 83 ayat 2 KUHAP putusan terakhir mengenai praperadilan ada di Pengadilan Tinggi. Dalam kasus ini berarti putusan yang membatalkan SKPP Bibit dan Chandra membawa konsekuensi bahwa keduanya kembali berstatus tersangka dan putusan tersebut sudah inkrah karena tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keabsahan SKPP tersebut.

       Namun sekali lagi Kejaksaan mengambil langkah yang salah dan seharusnya tidak sampai terjadi. Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kepada MA terhadap putusan praperadilan Pengadilan Tinggi DKI. Mahkamah Agung pada tanggal 8 Oktober 2010 menolak PK dalam amar putusannya NO (Niet Ontvankeljik Verklaard) artinya tidak dapat menerima permohonan pemohon menyangkut syarat formil, dengan alasan karena Mahkamah Agung tidak memiliki wewenang melakukan Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan. Putusan praperadilan bersifat final dan terakhir di Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung merujuk pada pasal 45 huruf a ayat 1 dan ayat 2 UU Mahkamah Agung jo pasal 83 ayat 2 KUHAP, bahwa tidak ada upaya hukum lanjutan mengenai praperadilan setelah di putus oleh Pengadilan Tinggi. Penulis berpendapat Kejaksaan Agung salah menafsirkan pasal 263 ayat 1 tentang Peninjauan kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mungkin dari pasal inilah Kejaksaan berharap bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dapat dibatalkan melalui peninjauan kembali.

       Kesalahan demi kesalahan atau dalam konotasi yang lebih baik, kekeliruan demi kekeliruan yang dilakukan Kejaksaan Agung berimplikasi pada kembalinya status Bibit dan Chandra sebagai tersangka sejak saat diputuskannnya amar putusan pengadilan tinggi, terlebih ketika MA menolak permohonan PK Kejaksaan. Namun untung saja Keppres pemberhentian sementara Bibit dan Chandra tidak dikeluarkan Presiden mengingat upaya hukum mengenai perkara tersangka masih akan dilakukan oleh Kejaksaan dan karena kasus ini belum dilimpahkan ke pengadilan.

       Keadaan hukum yang carut marut dan ketidakpastian status hukum Bibit dan Chandra membuat Komisi Pemberantasan Korupsi kembali rentan, karena dapat saja kedua pimpinannya itu harus meninggalkan kursi kepemimpinan KPK (sementara) terkait statusnya yang kembali menjadi tersangka, apabila keputusan untuk itu dikeluarkan (Keppres pemberhentian sementara).

       Atas dasar kepentingan pemberantasan korupsi di negeri ini, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, akhirnya Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono, mengeluarkan Deponering atas kasus Bibit dan Chandra. Keputusan ini dikeluarkan oleh Plt Jaksa Agung pada 29 Oktober 2010, tepat satu tahun saat Bibit dan Chandra ditahan oleh Mabes Polri ketika itu. Dasar hukum deponering atau pengesampingan perkara oleh Jaksa Agung adalah pasal 35 c Undang-undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi: "Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang, diantaranya adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum." Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Alasan yang dikemukakan oleh Plt Jaksa Agung Darmono adalah demi kepentingan yang lebih luas, yaitu menyelamatkan pemberantasan korupsi.

      Sebelum maupun sesudah dikeluarkannya deponering ini, polemik dan diskursus berkembang luas dimasyarakat dan diantara para pakar. Ada yang lebih memilih penyelesaian kasus Bibit dan Chandra melalui pengadilan. Ada yang lebih memilih diselesaikan melalui penerbitan SKPP kedua, dan ada juga yang memilih dan kemudian mendukung dikeluarkannya deponering oleh Jaksa Agung (dalam hal ini Plt Jaksa Agung).

       Penulis sendiri berpendapat, semua opsi bermasalah (seperti pernyataan Bambang Widjojanto dalam Kompas 1 November 2010). Mengapa ? karena baik deponering, SKPP, atau bahkan diselesaikan lewat pengadilan, ketiga opsi tersebut mengandung resiko dan kekurangan plus tidak akan dapat mengakomodir berbagai pendapat yang ada. Namun seperti istilah “tidak ada gading yang tak retak” keputusan deponering merupakan alternatif pilihan yang terbaik diantara dua opsi lainnya.

      Deponering dikeluarkan untuk menyelesaikan proses panjang yang tak berdasar yang menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyelahgunaan wewenang dan pemerasan. Satu tahun lebih energi pemberantasan korupsi di negeri ini tertatih-tatih dengan ditetapkannya tiga pimpinannya menjadi tersangka (bahkan Antasari Azhar kini berstatus terdakwa). KPK menjadi vacum of power setidaknya dalam beberapa waktu, yaitu sejak dikeluarkannya Keppres pemberhentian sementara Antasari Azhar, Keppres pemberhentian sementara Bibit dan Chandra sampai diisi kembali ketiga jabatan itu oleh Keppres pengangkatan pelaksana tugas pimpinan KPK, yaitu Tumpak Hatorangan mengisi posisi Antasari Azhar, Mas Achmad Santosa mengisi posisi Chandra, dan Waluyo mengisi posisi Bibit. Rangkaian penonaktifan diatas jelas membuat kita semua tersadar betapa tersanderanya KPK oleh permasalahan internalnya. Sehingga dikhawatirkan, penanganan kasus-kasus korupsi tidak akan berjalan efektif sesuai dengan status KPK sebagai lembaga superbody.

       Syarat deponering sendiri tidak terlalu berbelit dan memakan waktu. Sejak saat ditetapkannya deponering oleh Plt Jaksa Agung maka kekuatan hukumnya adalah tetap, adapun dalam penjelasan pasal 35c UU Kejaksaan hanya mengisyaratkan perlunya memerhatikan saran dan pendapat badan-badan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Hal tersebut tidak akan membawa konsekuensi terhadap keabsahan deponering karena yang dilakukan adalah untuk meminta pendapat bukan persetujuan atau pengesahan. Jadi apapun keputusan lembaga yang dimintai saran dan pendapat itu, tidak akan mempengaruhi keabsahan deponering. Karena kita tahu dalam doktrin, deponering adalah wewenang Jaksa untuk mengesampingkan perkara, dengan atau tanpa syarat, demi kepentingan umum.

       Deponering juga dapat menghindarkan proses hukum lanjutan terhadap Bibit dan Chandra karena perkaranya dikesampingkan. Hal ini dianggap lebih baik daripada melimpahkan perkara ini ke pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputus karena akan memakan waktu yang sangat panjang dan berlarut larut mengingat bisa saja perkara ini di banding, kasasi, atau bahkan sampai PK. Disamping itu juga melimpahkan perkara yang tidak cukup bukti dan lemah secara hukum akan membuang-buang energi, apalagi jika pada akhirnya pengadilan memvonis bebas, tentu akan mencoreng nama baik Penyidik dan Penuntut Umum. Karena apabila sudah patut dirasa perkara itu tidak cukup bukti atau lemah dasar hukumnya maka ada prosedur penghentian penyidikan (SPPP) dan penghentian penuntutan (SKPP) disana, bukan memaksakan mengajukannya ke pengadilan.

       Tentu bukan esensi pencarian keadilan dan pembuktian secara sah oleh Pengadilan yang dihindari dari proses peradilan ini, tetapi yang dihindarkan adalah akan terjadinya kekosongan pimpinan KPK untuk kesekian kalinya tanpa bukti yang cukup karena Bibit dan Chandra pastilah akan dinonkatifkan sebagai pimpinan KPK. KPK akan semakin lemah dan menambah daftar lembaga penegak hukum yang vakum kepemimpinan di negeri ini, karena ternyata Komisi Yudisial dan Kejaksaan pun sedang mengalami masa suksesi kepemimpinan setelah Bussyro Muqaddas (ketua KY) dan Hendarman Supandji (Jaksa Agung) tidak lagi menempati posisinya. Ini adalah sebuah Ironi, demikian yang dikatakan Gayus Lumbun, dalam suatu negara ada tiga lembaga penegak hukum sekaligus yang tidak mempunyai pemimpin definitif (KPK, KY, dan Kejaksaan).

       Apabila opsi melimpahkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan diambil maka seyoianya KPK akan kembali meradang, krisis pimpinan, dan sudah tentu implikasinya akan luas kepada keberlangsungan pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan oleh bangsa ini. Untuk mengganti pimpinan KPK misalnya (sebagai upaya pengisian kekosongan pimpinan KPK), akan memakan waktu yang sangat lama, mengapa ? sebab Perpu No.4 Tahun 2009 tentang pengangkatan pimpinan KPK apabila terjadi kekosongan pimpinan telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi pada tanggal 4 Maret 2010 oleh DPR. Jadi untuk menggantikan pimpinan KPK, presiden harus manjalankan mekanisme pasal 30 UU KPK. Penulis berkeyakinan, waktu yang dibutuhkan sampai terpilihnya pimpinan KPK sesuai prosedur pasal 30 UU KPK akan memakan waktu kurang lebih 6 bulan 5 hari, itupun belum termasuk waktu yang dibutuhkan Panitia seleksi untuk memilih nama-nama calon pimpinan untuk diserahkan kepada Presiden. Jadi yang pasti tidak kurang dari 6 bulan KPK akan mengalami vacum of leadership. Inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu tidak berkelebihan apabila Plt Jaksa Agung, Darmono yang sudah sangat berani dan tegas mengambil langkah deponering, “Menyelematkan kepentingan yang lebih luas, menyelamatkan pemberantasan korupsi”. Begitu pernyataan Darmono.

       Namun kembali penulis ingatkan, "tak ada gading yang tak retak". Rupanya pepetah itu berlaku juga bagi deponering ini. Disamping efektifitas dan efesiensinya yang meyakinkan untuk menngesampingkan perkara Bibit dan Chandra, ternyata deponering juga memiliki kelemahan dan sejumlah resiko. Kelemahannya, deponering ditujukan untuk mengesampingkan perkara, artinya tindak pidana dianggap terjadi, unsur-unsur tindak pidana terpenuhi tetapi pemidanaannya tidak dilanjutkan karena dikesampingkan dengan alasan kepentingan umum.
         Dengan deponering, secara de facto Bibit dan Chandra selesai perkaranya, namun secara de jure Bibit dan Chandra dianggap bersalah seperti dijelaskan diatas. Jadi dengan deponering, Bibit dan Chandra punya beban moril kepada masyarakat dan hukum. Namun ekses ini harus kita kesampingkan dulu, kita harus secara obyektif dan adil melihat perjalanan kasus ini dari awal, dari mulai proses penyelidikan, Penyidikan di Kepolisian, sampai penuntutan di Kejaksaan, walaupun akhirnya sikap kejaksaan ini ambivalen, karena dahulu menyatakan kasus ini lengkap dan Jaksa Agung ketika itu “ngotot” men-judge Bibit dan Chandra melakukan apa yang dituduhkan penyidik.

       Dari rangkaian panjang, melelahkan, dan penuh rekayasa ini kita akan mendapatkan suatu konklusi bahwa memang proses dan konsekuensi hukum yang selama ini dan yang nanti akan berakhir adalah mengandung masalah. Kasus ini sudah tidak lagi murni menjadi ranah yudikatif namun kasus terlanjur keruh dan tercemar oleh kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan responsivitas masif dari masyarakat. Oleh karena itu dapat kita maklumi bahwa keputusan apapun, termasuk deponering sebagai upaya penyelesaian kasus yang melemahkan KPK ini akan menuai kontroversi. Namun dapatlah diterima oleh hemat penulis bahwa deponering adalah yang terbaik bagi kepentingan pemberantasan korupsi.

       Dengan keputusan ini segala upaya pelemahan, rekayasa, atau bahkan dalam tingkat yang paling ekstrem krimnalisasi terhadap KPK dapat segera di peti eskan. Hari dikeluarkannya deponering adalah hari kemenangan bagi penyelamatan dan kelangsungan pemberantasan korupsi. Pimpinan KPK tersisa, yakni Bibit Samad Rianto, Chandra Marta Hamzah. M Jasin, dan Haryono yang kesemuanya adalah wakil ketua KPK kini dapat kembali bekerja dalam suasana yang kondusif dan tenang.

       Akhirnya pada Jumat 29 Oktober 2010 Pelaksana Tugas Jaksa Agung, Darmono mengakhiri kasus yang sarat dengan kriminalisasi ini digerbang deponering. Inilah hari kemenangan ! Tuhan telah menunjukan jalan terbaik bagi kita semua dan memberikan pelajaran yang sangat berharga dan mahal, betapa masih buruknya penegakan hukum di negeri tercinta ini, betapa masih perlunya reformasi ditubuh penegak hukum kita agar peristiwa-peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi. Sebagai generasi muda kita semua-lah yang akan menjawab pertanyaan dan tantangan ini. Mari bersiap dan berbenah diri melanjutkan suksesi dan estafeta kepemimpinan negeri ini !!!