Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 31 Mei 2017

Pentingnya Mempertahankan UU Anti Penodaan Agama



Beberapa hari belakangan ini, terhitung sejak dijatuhkannya vonis bersalah terhadap terdakwa kasus penodaan agama atas nama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (blasphemy law) kembali mendapat serangan disana-sini, khususnya oleh mereka para pendukung terdakwa penodaan agama (Ahok).
Bahkan tak kurang dari badan-badan internasional seperti PBB, Delegasi Uni Eropa, dan negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan masih masih lainnya ikut juga mengomentari dan mengkritik keberadaan UU Anti Penodaan Agama yang telah dipakai untuk menjerat dan menghukum Ahok (Kompas, 10 Mei 2017). 
Mereka yang berkeberatan/menolak keberadaan UU Anti Penodaan Agama ini menghendaki agar undang-undang tersebut dicabut/dihapus dari sistem hukum di Indonesia. Alasannya, jika boleh disimpulkan dalam kata-kata sederhana ialah karena keberadaan undang-undang itu (menurut alam pikiran mereka) telah nyata-nyata mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama yang dilindungi oleh konstitusi, disamping juga penerapannya yang seringkali dianggap terlalu subjektif dan cenderung menguntungkan kelompok penganut agama mayoritas (Islam). Begitulah kira-kira alasan umum yang diajukan oleh mereka para pengkritik UU Anti Penodaan Agama ini.
Namun apakah semua serangan dan tuduhan-tuduhan atas UU Anti Penodaan Agama sebagaimana digambarkan diatas benar adanya?
Sanggahan terhadap Penolakan UU Anti Penodaan Agama
Untuk diketahui, UU No. 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama ini pada intinya mengatur tentang dua hal pokok. Pertama, larangan penyebaran paham atau ajaran dari satu agama yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama yang bersangkutan. Tindakan itu oleh undang-undang yang dimaksud dikualifikasikan sebagai penistaan terhadap agama karena dianggap merugikan sekaligus membahayakan agama yang bersangkutan (Lihat Pasal 1 – Pasal 3). Kedua, jaminan perlindungan terhadap agama dan penganutnya dari tindakan pelecehan/penghinaan dengan memberikan ancaman pidana penjara bagi siapa saja yang melakukannya (Lihat Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1965 juncto Pasal 156a KUHP).
Jika dicermati dan dihayati secara seksama dengan menggunakan akal pikiran yang sehat niscahya kita akan mendapati bahwa dua hal prinsip yang diatur dalam UU Anti Penodaan Agama sebagaimana disebut diatas tentu dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman bagi setiap pemeluk agama, yakni bahwa negara melindungi agama mereka masing-masing dari ancaman penodaan dan pelecehan, agama apa pun itu.
Sebagai sebuah bangsa yang berdiri diatas dasar filosofis Pancasila yang sila pertamanya memberi tempat dan pengakuan yang istimewa terhadap prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tentu saja apa yang diatur oleh UU Anti Penodaan Agama itu sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila. Bahkan apa yang diatur oleh UU Anti Penodaan Agama itu justru sejiwa dan merupakan konsekuensi atas pilihan bangsa ini untuk menempatkan Tuhan dan Agama pada posisi yang mulia. Larangan untuk melecehkan agama yang berarti juga larangan untuk melecehkan ajaran-ajaran Tuhan tentu saja tidak dapat dikatakan sebagai bertentangan dengan Pancasila. Apabila ada sekelompok orang yang mendalilkan bahwa UU Anti Penodaan Agama itu bertentangan dengan Pancasila maka patut lah kita bertanya mengenai pemahaman dan penghayatannya terhadap sila-sila Pancasila itu sendiri.
Pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan Agama itu semakin kuat dengan adanya ketentuan Pasal 29 UUD 1945 yang pada prinsipnya berisi penegasan sila pertama Pancasila, yakni menempatkan Tuhan dan Agama pada posisi yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini (Yusril Ihza Mahendra dalam Sindonews.com, 17 Mei 2017).
Oleh karenanya tidak lah keliru jika pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan Agama yang bersumber dari sila pertama Pancasila dan UUD 1945 itu dituangkan lebih lanjut dalam sebuah undang-undang isinya mencegah dan melarang siapa saja yang hendak menistakan nilai-nilai yang sangat fundamental itu.
Namun demikian, terlepas dari maksud baik dan cita-cita luhur yang dibawa oleh UU Anti Penodaan Agama itu untuk melindungi semua agama yang ada di Indonesia dari kemungkinan penistaan dan penyimpangan, undang-undang tersebut terus mendapat kritik dan sangat tidak disukai oleh sebagian pihak lantaran dianggap melanggar hak kebebasan beragama.
Bukti ketidaksenangan atas undang-undang tersebut dapat dilihat salah satunya dari adanya permohonan pengujian (uji materil) UU Anti Pendoaan Agama kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2009 silam. Akan tetapi di dalam putusannya No. 140/PUU-VII/2009, MK ternyata menolak permohonan tersebut dan menyatakan bahwa UU Anti Penodaan Agama tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa pasal-pasal UU Anti Penodaan Agama sejalan dengan jiwa dan semangat Pancasila (khususnya sila pertama) serta UUD 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dan Agama. Oleh karenanya lebih lanjut MK berpendapat bahwa setiap bentuk penodaan/penistaan agama wajib diberi sanksi pidana (Lihat Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009).
Saya termasuk salah seorang yang setuju dengan keberadaan UU ini dan oleh karenanya setuju pula dengan putusan MK sebagaimana diulas diatas. Setidaknya ada dua alasan penting yang menjadi dasar mengapa saya mendukung undang-undang ini.
Pertama, keberadaan UU ini justru penting untuk melindungi agama dari kemungkinan penyimpangan dan penistaan ajarannya, sehingga tercipta rasa aman dan tentram bagi pemeluk-pemeluknya. Kedua, tidak ada agama yang secara eksklusif diuntungkan oleh UU ini karena UU ini berlaku bagi semua agama. Demikian juga sebaliknya, tidak ada agama yang dirugikan oleh berlakunya UU ini (Hamid Chalid, 2016: 12-13).
Kekeliruan Menilai Arti Penting UU Anti Penodaan Agama
Orang seringkali menilai UU ini dengan menggunakan kacamata atau sudut pandang Barat dengan penafsiran liberalnya dan melupakan nilai-nilai ketimuran Indonesia yang tidak mungkin mengizinkan adanya kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan aturan dan batasan-batasan, termasuk batasan yang didasarkan pada nilai-nilai agama.
Menurut hemat saya, orang tidak bisa serta merta mengklaim atau menuntut kebebasannya (dalam hal ini adalah kebebasan beragama) sementara kebebasannya itu sendiri berdiri di atas penyimpangan dan penistaan terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan ajaran Agama. Apalagi jika kita merujuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang sangat kental dengan nuansa Ketuhanan dan bersifat religius itu (Jimly Asshiddiqie, 2015: 23-25). Kebebasan yang tanpa batas dan tidak lagi mengindahkan penghargaan terhadap agama mungkin saja pantas berlaku di negara Barat yang memang liberal dan sekuler, tetapi tentu tidak bagi Indonesia.
Pembatasan kebebasan beragama dengan tujuan melindungi agama itu sendiri dari penistaan dan penyimpangan sangat dimungkinkan menurut Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Sebagaimana dikatakan oleh Hazairin (1973:69), di Indonesia tidak boleh dibiarkan adanya hukum dan aktifitas-aktifitas yang bertentangan dengan norma-norma ketuhanan dan norma-norma agama; agama apapun itu.
Namun demikian, di balik semua diskursus dan perdebatan tentang keberadaan UU Penodaan Agama, tidak lah dibenarkan bagi siapa pun untuk mengambil jalan kekerasan dan main hakim sendiri terhadap kelompok atau komunitas yang paham keagamannya dianggap “sesat,” termasuk terhadap mereka yang diduga telah melakukan tindakan pelecehan/penghinaan terhadap agama tertentu.
Disinilah letak pentingnya keberadaan UU Anti Penodaan Agama ini. Jalan kekerasan dan budaya “main hakim sendiri” itulah yang sesungguhnya hendak dihilangkan dengan adanya UU ini. Penghapusan undang-undang itu justru akan menghapuskan upaya hukum formal yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk membela kepentingan agamanya dari kemungkinan penodaan dan penistaan oleh pihak lain. Oleh karenanya, UU tentang Penodaan Agama sesungguhnya sangat solutif dalam menyelesaikan persoalan penodaan agama di Indonesia (Hamid Chalid, 2016: 12-13).
UU Anti Penodaan Agama Harus Dipertahankan
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas maka saya berkesimpulan bahwa UU Anti Penodaan Agama ini masih diperlukan dan harus dipertahankan keberadaannya di republik ini, republik yang menjadi rumah bersama bagi banyak agama dan aliran kepercayaan yang bukan tidak mungkin di dalam kehidupan interaksi para penganutnya, baik inter maupun intra agama, muncul pergesekan-pergesekan yang menyentuh dimensi kebatinan/keagamaan mereka sehingga memerlukan kehadiran negara melalui perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.
Sebaliknya, mencabut/menghapus UU Anti Penodaan Agama yang berarti menghapus mekanisme hukum untuk menyelesaikan persoalan penodaan agama itu sama artinya dengan menyerahkan persoalan yang sangat sensitif itu untuk diselesaikan secara bebas dan ekstra yusidial kepada masyarakat. Jika hal ini terjadi, tunggu lah saatnya kehancuran meluluhlantahkan negeri yang besar dan damai ini karena tiap-tiap orang akan merasa berhak menghukum tindakan penyimpangan dan/atau penodaan terhadap agama atau kepercayaannya. Suatu keadaan yang digambarkan oleh Thomas Hobbes (Inggris) yang hidup pada abad ke-16 silam sebagai “homo homini lupus,” manusia yang hidup tanpa aturan laksana serigala yang akan saling memangsa satu sama lain.
Oleh: Arief Ainul Yaqin, S.H., M.H
(Asisten Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Staf Khusus Wakil Rektor IV Universitas Indonesia)