Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 23 Februari 2015

Politik Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dibawah Beberapa Undang-Undang Dasar



Politik Hukum Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 asli (sebelum perubahan)
Oleh karena UUD 1945 merupakan produk para founding father yang sudah mulai disusun sejak masa pra kemerdekaan atau masa persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai), lebih khusus lagi oleh sebuah Tim Perancan UUD yang diketuai Ir. Soekarno, maka untuk mengetahui politik hukum HAM yang terkandung dalam UUD 1945, tentu kita harus mengadakan peninjauan/penelusuran risalah-risalah pembahasannya ketika itu.
Melaui berbagai literatur dan referensi yang mengangkat sejarah perumusan dan pembahasan UUD 1945 khususnya yang menyangkut hak asasi maunusia maka dapat dikatakan bahwa pada waktu itu terdapat dua kutub pemikiran mengenai perumusan HAM di dalam UUD 1945 yang asli. Sicara singkat dapat dikemukakan perbedaan mendasar diantara dua kutub pemikiran itu ialah sebagai berikut: Kutub pemikiran yang pertama ialah mereka (anggota BPUPKI; panitia perancang UUD) yang berpaham tidak perlunya HAM dimasukan dan dirumuskan dalam UUD, yang berada dalam kutub ini ialah Soekarno dan Soepomo. Sedangkan Kutub pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpandangan perlunya ada jaminan dan perlindungan HAM di dalam UUD, tokoh yang ada pada posisi ini ialah Moh. Hatta dan M. Yamin.[1]
Para penyusun UUD ketika itu sependapat bahwa UUD yang hendak mereka susun harus didasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong royong, yaitu suatu asas yang sama sekali bertentangan dengan faham liberalisme dan individualisme.[2] Oleh sebab itulah dalam naskah Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh panitia kecil (panitia perancang UUD) itu sema sekali tidak terdapat pengaturan mengenai hak asasi manusia. Dalam pada itu Soekarno mengatakan:
“Saya minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan njonja, buanglah sama sekali faham individualisme itu. Djanganlah dimasukan dalam Undang-Undang Dasar kita jang dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai jang dihanjurkan oleh Republik Perancis itu adanja. Kita menghendaki keadilan sosial. ......... maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja.[3]

Senada dengan pandangan Soekarno, Soepomo kemudian menambahkan:
“Tadi dengan pandjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima akan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistem kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran jang bertentangan ....”[4]
  
Berdasarkan padangan diatas maka model yang dianut oleh UUD 1945 adalah model integralistik, yaitu suatu model dimana kehidupan antarmanusia dan individu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak berdiri sendiri-sendiri sebagaimana paham individualistik dan liberalistik seperti yang ada dalam masyarakat eropa dan Amerika.
Berbeda pandangan dengan Soekarno dan Seopomo yang tidak menghendaki dimasukannya aturan-aturan menganai HAM dalam UUD, M. Hatta yang walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan dan menentang individualisme liberalisme, berpandangan bahwa pengaturan HAM dalam UUD tetap diperlukan. Berikut pandangannya mengenai hal tersebut:
“Ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal jang mengenai warganegara, disebutkan juga disebelah hak jang sudah diberikan kepada misalnja tiap-tiap warganegara djangan takut mengeluarkan suaranja. Jang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menjurat dan lain-lain. Formuleringnja atau redaksinja boleh kita serahkan kepada panitia kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk mendjaga, supaja negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakjat.”[5]

Senada dengan pandangan M. Hatta, M. Yamin pun mengemukakan padangannya yang pada pokoknya menolak paham yang menghubungkan jaminan HAM dengan paham individualisme dan leberalisme dan oleh karena menghendaki dimasukannya pasal-pasal tentang HAM.
Pada akhirnya, hingga UUD 1945 disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, UUD tersebut cenderung menganut aliran yang tidak menghendaki masuknya pengaturan tentang HAM. Namun sebagai hasil kompromi memang muncul beberapa ketentuan/pasal yang dapat dikategorikan mengandung nilai-nilai dan perlindungan hak asasi manusia. Jumlah dan substansinya sangat terbatas, hanya ada 7 pasal saja, pasal-pasal tersebut adalah:
1)                Pasal 27 ayat (1);
2)                Pasal 27 ayat (2);
3)                Pasal 28;
4)                Pasal 29 ayat (2);
5)                Pasal 30 ayat (1);
6)                Pasal 31 ayat (1); dan
7)                Pasal 34.[6]

Politik Hukum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 dan berubahnya bentuk Negara Indenesia dari kesatuan menjadi Republik Indonesia Serikat, hingga diberlakukannya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950, konstitusi atau UUD yang berlaku pada saat itu adalah Konstitusi RIS 1949. Sementara sejak periode 17 Agustus 1950, ketika Indonesia secara resmi kembali kepada bentuk negara kesatuan dan mengakhiri rezim “RIS” hingga terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konstitusi atau UUD yang berlaku pada saat itu adalah UUDS 1950.
Baik Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950, kedua UUD tersebut ternyata memuat materi HAM yang jauh lebih banyak (signifikan) daripada yang dimuat oleh UUD 1945 yang asli. Oleh beberapa ahli kenyataan tersebut dikaitkan dengan asumsi bahwa karena pada saat itu telah lahir Universal Declaration of Human Right (1948) yang memiliki pengaruh luar biasa pada masa itu. Pengaturan mengenai HAM dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 35 dan dilihat dari substansinya banyak mengadopsi atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh ketentuan HAM yang tercantum dalam UNDHR (1948).[7] Atas dasar itulah kemudian M. Yamin mengatakan bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 adalah contoh dua konstitusi dari beberapa konstitusi negara-negara di dunia yang berhasil memasukan aturan-aturan mengenai HAM seperti yang tercantum dalam keputusan PBB (maksudnya UNDHR 1948).[8]

Politik Hukum Hak Asasi Manusia Pasca Orde Baru (Amandemen UUD 1945 dan Setelahnya)
Politik Hukum dibidang Hak Asasi Manusia pada masa orde baru tidak begitu menggembirakan dan seperti berjalan ditempat. Tidak banyak perkembangan yang bisa dicatat kecuali ada beberapa ratifikasi instrumen HAM internasional seperti ratifikasi Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW 1979) melalui UU No. 7 Tahun 1984 dan Pembentukan Komnas HAM melalui Keppres No. 50 Tahun 1993. 
Itu pun hanya dilihat dari segi formilnya saja atau dari dilihat dari adanya produk hukum saja, sedang dalam aktualisasinya masih sangat terbatas, karena kita tahu bahwa orde baru sangat menekankan stabilitas politik dan keamanan, sebagai konsekuensinya perkembangan dan pemajuan HAM kurang mendapat perhatian, kalau bukan malah ditekan.[9]
Perkembangan dan kemajuan di bidang HAM baru mulai nampak setelah jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Setelah periode orde baru berlalu dan berganti menjadi orde reformasi atau dalam bahasa Satya Arinanto disebut “Masa Transisi Politik” barulah hak asasi manusia perlahan-lahan tampil dengan wajah dan harapan baru. Politik hukum HAM pasca orde baru mulai ditata dan menunjukan kemajuan yang cukup signifikan yang ditandai dengan munculnya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi dan berpresktif HAM.
Salah satu dari perkembangan penting di bidang HAM pada masa transisi itu ialah diterbitkannya Ketetapan MPR (Tap MPR) No. XVII tentang Hak Asasi Manusia.[10] Kehadiran Tap MPR yang berisi jaminan dan perlindungan terhadap beberapa aspek dalam HAM tentu saja membawa angin segar dan harapan akan pemajuan HAM. Ketetapan MPR No. XVII Tahu 1998 ini adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia, dimana ada sebuah Tap MPR yang mengatur mengenai HAM dan mencoba mengisi ruang-ruang kosong yang terdapat dalam UUD 1945 asli yang memang sangat terbatas dalam memberikan porsi bagi jaminan dan pemajuan HAM.[11]
Setelah Tap MPR No. XVII Tahun 1998, pada tahun 1999 terbit UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang secara substansial/materil banyak menyerap atau mengadopsi materi muatan Tap MPR No. XVII Tahun 1998.[12] Setelah UU No. 39 Tahun 1999 berhasil dibentuk, maka sebagai konsekuensi diaturnya jaminan perlindungan HAM dan kebutuhan akan adanya pengadilan yang akan mengadili pelanggaran-pelanggaran berat terhadap HAM, maka kemudian (sesuai amanat Pasal 104 UU 39/1999) diterbitkanlah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut pada pokoknya mengatur mengenai yurisdiksi (ratione materiele), cara kerja atau hukum acara, serta hal-hal lain yang menyangkut Pengadilan HAM.[13]
Momentum paling penting dan membahagiakan dalam dunia penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia muncul pada saat dilakukannya amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000. Amandemen tersebut menyentuh dimensi  dan materi materi HAM dalam UUD 1945.
Setelah melalui proses perubahan di MPR pada tahun 2000 dan hasilnya ditetapkan dalam sidang tahunan MPR pada tanggal 7-18 Agustus 2000, lahirlah UUD 1945 hasil perubahan kedua. Bagian yang paling banyak berubah (bertambah) ialah yang menyangkut mengenai HAM. Materi muatan yang berisi ketentuan-ketentuan HAM diletakan pada bab khusus, yaitu “Bab X (Hak Asasi Manusia)”. Materi muatan tentang HAM tersebar dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J dan berada di dalam bab khusus yang mengatur mengenai HAM (Bab X).[14]
Dengan UUD 1945 hasil perubahan kedua (tahun 2000), jaminan, perlindungan serta pemajuan HAM di Indonesia lebih berkepastian dan memiliki landasan hukum yang kokoh karena telah dimuat dan dijabarkan dalam UUD.
Dengan disahkannya perubahan kedua UUD 1945 yang di dalamnya memuat jaminan-jaminan perlindungan HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A – Pasal 28J, maka denyut nadi kehidupan dan kemajuan HAM di Indonesia lebih menguat.


[1] Mengenai hal ini dapat dibaca dan ditelusuri melalui buku M. Yamin yang berjudul “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945” yang didalamnya berisi potret dan rekaman pembahasan-pembahasan atau perdebatan-perdebatan dalam perumusan UUD 1945.
[2] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hlm. 313.
[3] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Prapantja, Djakarta, 1959, hlm. 296-297.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Lihat Jimly Asshiddie, Op. Cit., hlm. 352-353. Dari 7 Pasal itu pun menurut analisa Jimly yang sungguh-sungguh berisi jaminan perlindungan HAM hany satu pasal, yaitu Pasal 29 ayat (2) mengenai kemerdekaan memeluk agama dan beribah menurut agamanya, sedangkan satu pasal yang lain yaitu Pasal 28 belum memberikan jaminan secara langsung dan tegas karena ketentuan itu masih akan dan harus dengan undang-undang, sementara 5 pasal lainnya belum dapat dikategorikan sebagai jaminan perlindungan HAM melainkan sekedar jaminan konstitusional hak warga negara (citizen’s constitutional rights.
[7] Vide Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
[8] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia¸ Djambatan, Jakarta, 1951, hlm. 92.
[9] Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan HAM di Indonesia, termasuk dalam periode orde baru dapat dilihat karya Satya Arinanto dalam bukunya (yang diangkat dari Disertasi) Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Selain itu dapat juga dilihat Karya Daniel S. Lev dalam Bukunya Hukum dan Politik di Indonesia, khususnya pada Bab XII (Gerakan Sosial, Konstitusionalisme, dan Hak Asasi).
[10] Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Cet. Ketiga, Jakarta, 2011.
[11] Penting untuk diketahui bahwa Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia ini kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Tap MPR No. 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Tap MPRS/MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Pasal 1 angka 8) karena materinya sudah di carry over oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga karena telah dilakukannya Perubahan (kedua; tahun 2000) UUD 1945 dimana ketentuan HAM diatur secara lebih rinci dan detail pada UUD 1945 hasil perubahan sehingga secara logis dan legal, Tap MPR tersebut sudah tidak diperlukan lagi.
[12] Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 361.
[13] Vide Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[14] Lihat Satya Arinanto, Op. Cit., hlm. 20; lihat pula Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 361.

Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia


Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang sering kita dengar dan ketahui saat ini merupakan satu gagasan pemikiran yang miliki sejarah panjang.[1] Sejarah pemikiran dan perumusan HAM itu dapat ditelusuri sejak abda ke-13 yang ditandai dengan perjuangan kaum borjuis dan gereja di Inggris yang menuntut sejumlah hak dari raja sebagai imbalan atas pajak dan pungutan yang mereka bayarkan kepada kas negara yang pada waktu itu sangat dibutuhkan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan perang. Perjuangan itu mencapai puncaknya dan berhasil “memaksa” Raja John Lackland untuk menandatangani dokumen/naskah perjanjian yang disebut Magna Charta pada tahun 1215.[2]

Magna Charta itu sendiri sebetulnya memuat semacam perjanjian antara raja dan kaum bangsawan (borjuis) dan geraja. Dilihat dari isinya sebetulnya Magna Charta belum merupakan instrumen yang berisi jaminan dan perlindungan HAM sebagaimana yang kita kenal sekarang ini karena isinya terbatas hanya pada hak-hak kaum bangsawan dan gereja saja. Meskipun demikian Magna Charta dianggap sebagai instrumen HAM yang pertama yang meletakan dasar-dasar perjuangan untuk diakuinya hak-hak dasar manusia.
Perkembangan perumusan dan perlindungan HAM selanjutnya muncul pada tahun 1628 (masih) di Inggris, yaitu dengan ditandatanganinya Petition of Rights oleh Raja Charles I. Berbeda dengan Magna Charta yang lahir 4 abad sebelumnya sebagai akibat dari tuntutan kaum bangsawan dan gereja, Petition of Rights merupakan hasil dari gejolak antara Parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (House of Common) dan raja. 
Gejolak yang menuntut diakuinya hak-hak dasar rakyat yang diperjuangkan oleh Parlemen Inggris ketika itu menunjukan bahwa perjuangan hak asasi manusia (HAM) memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi. Sebab dari peristiwa kelahiran Petition of Rigts itulah dapat kita ketahui bahwa bagaimanapun juga perjuangan hak asasi manusia pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh dekatnya rakyat  dengan gagasan demokrasi.[3]
Perjuangan menuntut pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) masih berlanjut di Inggris dan kemudian menemui kemajuannya yang luar biasa dengan ditandatanganinya Bill of Rights oleh Raja Willem III pada tahun 1689. Bill of Rights itu sendiri merupakan hasil dari rangkaian panjang perjuangan dan pertikaian antara Parlemen dan Raja selama lebih dari enam puluh tahun lamanya yang berakhir dengan kemenangan di pihak Parlemen yang dikenal dengan peristiwa Glorious Revolution 1688.[4]
Lahirnya tiga (3) dokumen bersejarah yang pada prinsipnya berisi pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang berasal dari inggris itu merupakan tonggak sejarah perkembangan HAM yang paling awal. Melalui perjuangan panjang yang terjadi di Inggris itu pula kemudian ide-ide tentang hak asasi manusia menyebar diseluruh dunia dan menjadi salah satu isu penting dalam kehidupan bernegara hingga kini.[5]
Perkembangan gagasan dan perjuangan perumusan hak asasi manusia pada masa berikutnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsuf-filsuf eropa abad 17 dan abad 18. Diantara filsuf-filsuf tersebut yang paling terkenal ialah Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan Jean Jacques Rousseau. Lahirnya  karya/pemikiran kritis tentang hukum dan negara dari para tokoh tersebut tidak terlepas dari zamannya yang memang bercorak despotis.
Thomas Hobbes menggambarkan keadaan pada waktu itu dengan testimoninya yang terkanal “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes” artinya manusia ibarat binatang buas (serigala) yang saling mengutamakan kepentingannya masing-masing atau saling memangsa. Merespon keadaan yang seperti itu, Hobbes kemudian mengembangkan teori perjanjian masyarakat. Ia mengatakan bahwa dalam perjanjian masyarakat, tiap-tiap individu masyarakat menyerahkan hak-haknya kepada raja/penguasa dengan maksud bahwa kepada raja/penguasa itulah masyarakat akan meminta perlindungan. Itulah sebabnya pemikirian atau teori perjanjian masyarakat Hobbes disebut sebagai teori perjanjian yang mengarah pada  monarki absolut.[6]
Berbeda dengan Thomas Hobbes, John Locke yang dianggap sebagai peletak dasar hak asasi manusia, mengemukakan bahwa tidak semua hak-hak yang dimiliki oleh individu diserahkan kepada raja/penguasa. Yang diserahkan kepada raja/penguasa melalui perjanjian masyarakat ialah hanya hak-hak tertentu saja, sementara hak-hak dasar, yakni hak untuk hidup (rights to Life), hak kebebasan (rights to freedom), dan hak kepemilikan (property rights) masih tetap dimiliki oleh setiap individu sehingga hak tersebut tidak dapat direbut secara sewenang-wenang oleh penguasa.
John Locke mengemukakan teorinya mengenai perjanjian masyarakat dalam dua tingkat/dua instansi. Instansi yang pertama disebutnya dengan istilah pactum unionis, yakni keadaan dimana terjadi perjanjian antara individu-individu untuk membentuk masyarakat dan negara yang didasarkan pada pandangan sebagai berikut:

“Men by nature are all free, equal, and independent, no one can put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own content, which other men to join and unite into a community for their comfortable, safe and peaceable, living one amongst another ....”[7]

Sedangkan dalam instansi kedua atau yang disebut dengan istilah pactum subjectionis, John Locke melihat bahwa pada dasarnya perjanjian yang telah dibuat dalam instansi yang pertama itu didasarkan pada suara terbanyak dan dalam perjanjian tersebut individu masih memiliki hak-hak dasar (life, liberty, estate) yang melekat pada dirinya dan tidak turut diserahkan kepada penguasa/raja. Dengan demikian maka menjadi tugas negara untuk melindungi individu-individu tersebut.[8]
Selain Thomas Hobbes dan John Locke, sarjana lain yang juga memiliki pengaruh penting bagi perkembangan/kemajuan perumusan hak asasi manusia pada abad 18 ialah Montesquieu dan J.J Rousseau. Montesquieu yang dikenal dengan teori Trias Politica-nya menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam bukunya yang berjudul l’esprit des Lois. Sementara J.J Rousseau yang dikenal dengan pemikirannya mengenai perjanjian masyarakat dan kedaulatan rakyat merekam pemikirannya di dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social et Du Droit Politique.
Melalui ajaran-ajaran dari para sarjana itulah kemudian gagasan mengenai hak asasi manusia mulai menyebar luas dari dataran eropa hingga ke Amerika. Paruh kedua abad 18 merupakan periode penting dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia karena pada periode itulah muncul dua peristiwa dan dua dokumen hak asasi manusia yang sangat bersejarah, yakni persitiwa kemerdekaan Amerika Serikat yang dituangkan dalam Declaration of Independence 4 Juli 1776 dan Revolusi Perancis yang kemudian melahirkan Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen 26 Agustus 1789.
Dalam Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) yang disusun oleh Thomas Jefferson, terlihat adanya pengaruh pemikiran John Locke yang diserap dan kemudian dituangkan oleh Jefferson di dalam deklarasi tersebut:

“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they endowed by their Creator with certain unalianable rights, that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness.[9]

Sementara itu, perjuangan hak asasi manusia di Perancis terjadi setelah revolusi kemerdekaan Amerika Serikat. Pada waktu itu, sekitar abad 17 sampai abad ke 18, Perancis dipimpin oleh raja yang despotis dan absolut. Bahkan dengan keangkuhan yang tidak terbantahkan, Raja Louis XIV pernah mengatakan “l’etaat c’est moi” (negara adalah aku; akulah negara). Absolutisme di Perancis pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasaan bahkan menyulut perlawanan rakyat yang kemudian berakhir dengan peristiwa bersejarah yang kita kenal sebagai Revolusi Perancis 1789, dimana ketika itu kekuasaan raja yang begitu ablosut ditumbangkan oleh perlawanan rakyat. 
Peristiwa itu akhirnya menyadarkan segenap rakyat Perancis untuk tidak lagi jatuh dalam kubangan kesewenang-wenangan dan penindasan. Oleh karena itulah konsep perlindungan dan jaminan hak asasi manusia yang diilhami dari revolusi kemerdekaan AS (Declaration of Independence 1776) kemudian diadopsi oleh Perancis dengan ditetapkannya Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen pada 26 Agustus 1789.[10]
Perkembangan hak asasi manusia pada babak selanjutnya terjadi setelah Perang Dunia II, yaitu dengan lahirnya Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang ditetapkan oleh PBB di Paris pada 10 Desember 1948. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini merupakan instrumen global yang paling pertama yang mengatur jaminan perlindungan hak asasi manusia yang digagas oleh PBB setelah terbuktnya lembaga tersebut pada 1945.
Deklarasi ini memang tidak mengikat secara normatif bagi negara-negara anggota PBB, namun demikian sebagaimana dikemukakan oleh Miriam Budiradjo  “sekalipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, namun  Deklarasi ini mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya. Sebagai lambang ‘komitmen moral’ dunia internasional pada perlindungan hak asasi manusia, Deklarasi ini menjadi acuan di banyak negara dalam UUD, UU, serta putusan-putusan hakim.”[11]
Setelah dilandasi oleh Universal Declaration of Human Right (1948) yang begitu penting di dalam perkembangan hak asasi manusia di aras internasional, masyarakat internasional melalui PBB kemudian berusaha untuk melengkapi jaminan perlindungan HAM itu dengan instrumen yang mempunyai kekuatan mengikat bagi negara-negara anggotanya. Atas dasar keinginan itulah maka sejak tahun 1948 dimulai suatu usaha/penyusunan instrumen internasional yang akan mengatur perlindungan HAM. Usaha tersebut dilaksanakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB (Human Right Commission) yang telah terbentuk sejak 1946 dan telah menghasilkan karya monumental UDHR 1948.[12] Instrumen yang dimaksud itu kemudian disahkan dan diberi nama International Covenant on Economic, Social, and Economic Rights;  dan International Covenant on Civil and Political Rights.[13]
Melalui perjalanan yang cukup panjang, baru pada tahun 1966 dua kovenan internasional itu akhirnya dirampungkan dan diterima baik oleh Majelis Umum PBB. Sementara itu masih diperlukan 10 tahun lagi bagi kedua kovenan itu untuk bisa mulai diberlakukan, sehubungan dengan adanya syarat minimal negara peratifikasi, yakni 35 negara.[14] Sedangkan ratifikasi yang ke 35 itu baru diperoleh pada tahun 1976 sehingga dua kovenan itu baru mulai berlaku pada tahun 1976.[15]
Selain dua kovenan yang telah disebut diatas, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, lahir berbagai instrumen hukum international lainnya yang mengatur mengenai HAM, yang menandakan semakin diterima dan majunya perlindungan HAM oleh dunia internasional dewasa ini, seperti diantaranya yang disebutkan secara berturut-turut sebagai berikut:
1.    International Convention on the Elemination of All Forms of Racial Discrimination (1965);
2.    Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination against Women (1979);
3.    Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment (1984); dan
4.    Convention on the Rights of the Child (1989).



[1] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. Kelima, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 307.
[2] Mirian Budiardjo, Op. Cit. , hlm. 213
[3] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hlm. 308.
[4] Lihat Richard P. Claude, The Clasical Model of Human Rights Development, John Hopkins University Press, London, 1977, hlm. 13.
[5] Sebagai gambaran dan refleksi tentang hal ini simak pernyataan Jimly Asshiddie di dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”. Ia mengatakan bahwa “Doktrin tentang hak asasi manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan ...” Lihat pada Jimly Asshiddie,  Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,  2009, hlm.  343.
[6] Lihat Soehino, Ilmu Negara, Edisi Ketiga, Cet. Ketujuh, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 98-104. Lihat juga Jimly Asshiddie, Op .Cit. hlm. 345.
[7] John Locke dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit. Hlm. 309.
[8]   Untuk memahami lebih lanjut dan lebih lengkap pemikiran John Locke mengai perjanjian masyarakat dan hak asasi manusia, dapat dilihat pada John Locke, The Second Treatise of Government, The Liberal Arts Press, Indianapolis, 1952.
[9] Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Cet. Ketiga, Jakarta, 2011, hlm. 76.
[10] Lihat pula Jimly Asshiddqie, Op. Cit. Hlm.  347; Satya Arinanti, Ibid., hlm. 77.
[11] Miriam Budiardjo, Op.Cit. hlm. 219.
[12] Untuk diketahui bahwa yang mengetuai Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (United Nations Commission on Human Rights) adalah Miss Anna Eleanor Roosevelt, janda dari mendiang Presiden AS Franklin D. Roosevelt.
[13] Jimly Asshiddiqie menyebut dua kovenan ini sebagai peraturan pelaksana atas Universal Declaraton of Human Right 1948.  Lihat Jimly Asshiddie, Op. Cit., hlm. 349.
[14] Vide Chapter VI Article 49 International Covenant on Civil and Political Rights.
[15] Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 220.