Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 03 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Afrika Selatan



Pengujian Konstitusional di Afrika Selatan dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan (MK Afsel). Mahkamah Afrika Selatan itu sendiri dibentuk pada tahun 1993 bersamaan dengan disahkannya Konstitusi Sementara 1993 yang salah satu materi muatannya ialah menetapkan adanya MK Afsel.
Konstitusi yang disahkan pada tahun 1993 itu dinamakan sebagai Konstitusi Sementara karena memang latar belakang dan tujuan pembentukannya ditujukan untuk sementara waktu guna memberi landasan bagi penyusunan konstitusi selanjutnya yang bersifat final (tetap).[1] Diantara materi yang termuat dalam Konstitusi Sementara 1993, yang terpenting adalah:
1.  Menetapkan 34 prinsip-prinsip konstitusional yang harus menjadi pedoman/landasan dalam Konstitusi yang tetap nanti;
2.  Pembentukan Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsi dan tugasnya ialah mensertifikasi konstitusi final (tetap);
3.   Menugaskan kepada Majelis Nasional untuk menyusun Konstitusi Final dalam jangka waktu 2 tahun setelah disahkannya Konstitusi Sementara 1993.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan adalah pengadilan tertinggi untuk seluruh perkara konstitusional.[2] terdiri atas 11 hakim konstitusi.[3] Masa jabatan hakim konstitusi adalah 12 tahun dan tidak dapat dipilih kembali setelahnya. Sementara hakim yang telah menginjak usia 70 tahun akan memasuki masa purna bakti.[4]
Berdasarkan ketentuan Pasal 167 Konstitusi Afrika Selatan, MK Afsel memiliki 5 kewenangan/kompetensi:
1.    Menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara
“Decide disputes between organs of state in national or provincial sphere concerning the constitutional status, power of function of any those organs state.”;
2. Pengujian terhadap undang-undang yang diajukan oleh anggota Majelis Nasional[5] dan pengujian undang-undang provinsi oleh anggota legislatif provinsi[6];
3. Pengujian konstitusionalitas terhadap amandemen konstitusi (uji formil terhadap proses amandemen konstitusi);
4.    Decide Parliament or the President has failed to fulfill a constitutional obligation; dan
5.    Sertifikasi (pengujian) Konstitusi Provinsi sesuai dengan Pasal 144 Konstitusi Afrika Selatan.
6.    Menerima dan memutus pengaduan konstitusional (constitutional complaint).
Dalam sistem pengujian konstitusional di Afrika Selatan, hanya dikenal pengujian yang bersifat a priori abstract review, yaitu pengujian terhadap suatu RUU atau RUU Provinsi dalam jangka waktu 30 hari sejak disetujuinya RUU yang bersangkutan. Yang dapat mengajukan permohonan pengujian RUU Anggota Majelis Nasional, yaitu apabila didukung oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Nasional. Sedangkan untuk mengajukan pengujian RUU Provinsi dibutuhkan dukungan minimal 20% dari jumlah anggora legislatif provinsi.[7]
Selain pengujian yang bersifat a priori abstract review sebagaimana dijelaskan diatas, berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 20 Hukum Acara MK Afsel, dimungkinkan adanya permohonan pengujian konstitusional terhadap putusan pengadilan, termasuk Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) yang dianggap mengandung cacat konstitusional atau bertentangan dengan konstitusi. Hal mana merupakan suatu praktek pengujian konstitusional yang sangat tidak lazim dimana putusan Pengadilan dapat diajukan “banding” kepada MK, karena yang selama ini dikenal hanya pengujian norma hukum yang menjadi dasar dalam suatu perkara konkret, bukan putusan pengadilannya itu sendiri.
Mekanisme itu dimungkinkan di Afrika Selatan karena kembali pada hakekat MK itu sendiri menurut Pasal 167 ayat (3) Konstitusi Afrika Selatan yakni sebagai Peradilan tertinggi untuk semua perkara-perkara konstitusional “The Constitutional Court is the highest court in all constitutional matters.”[8]
Selain pengujian konstitusional atau  judicial review, MK Afsel juga berwenang menerima dan memutus pengaduan konstitusional (constitutional complaint) berdasarkan ketentuan Pasal 167 ayat (6) Konstitusi Afrika Selatan yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Pasal 17 Hukum Acara MK Afsel. Constitutional complaint ini diajukan apabila Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya terlanggar sedemikian rupa oleh berlakunya suatu produk hukum atau tindakan nyata aparatur negara. Permohonan ini dapat diajukan langsung kepada MK Afsel atau melalui peradilan lain untuk diserahkan kepada MK Afsel.[9]


[1] Pengalaman yang terjadi di Afrika Selatan ini lebih kurang pernah juga terjadi di Indonesia pada masa diberlakukannya UUDS 1950 yang menurut latar belakang dan tujuan pembentukannya hanya bersifat sementara sebelum tersusunnya UUD yang tetap atau permanen. Bedanya, jika di Afrika Selatan tujuan itu tercapai dengan tersusunnya Konstitusi yang tetap pada tahun 1995 sebagaimana yang dikehendaki, sedangkan di Indonesia tujuan untuk membentuk UUD yang bersifat permanen itu justru tidak pernah terwujud karena Konstituante yang ditugasi untuk menyusun UUD yang tetap itu mengalami “kemacetan” sehingga yang terjadi justru adalah kembali pada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
[2] Pasal 167 ayat (3) Konstitusi Afrika Selatan itu berbunyi “The Constitutional Court is the highest court in all constitutional matters.”
[3] Vide Pasal 167 ayat (1) Konstitusi Afrika Selatan.
[4] Vide Pasal 176 Konstitusi Afrika Selatan.
[5] Vide Pasal 80 Konstitusi Afrika Selatan.
[6] Vide Pasal 122 Konstitusi Afrika Selatan.
[7] Vide Pasal 122 Konstitusi Afrika Selatan.
[8] Lihat Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 280-285.
[9] Lihat Laica Marzuki, “Pengaruh Konstitutional (constitutional complaint) Sebuah Gagasan Cita Hukum dalam Menjaga Denyut Konstitusi,” Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, hlm. 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar