Pengujian Konstitusional di
Afrika Selatan dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan (MK Afsel).
Mahkamah Afrika Selatan itu sendiri dibentuk pada tahun 1993 bersamaan dengan
disahkannya Konstitusi Sementara 1993 yang salah satu materi muatannya ialah
menetapkan adanya MK Afsel.
Konstitusi yang disahkan pada
tahun 1993 itu dinamakan sebagai Konstitusi Sementara karena memang latar
belakang dan tujuan pembentukannya ditujukan untuk sementara waktu guna memberi
landasan bagi penyusunan konstitusi selanjutnya yang bersifat final (tetap).[1] Diantara
materi yang termuat dalam Konstitusi Sementara 1993, yang terpenting adalah:
1. Menetapkan 34
prinsip-prinsip konstitusional yang harus menjadi pedoman/landasan dalam
Konstitusi yang tetap nanti;
2. Pembentukan Mahkamah
Konstitusi yang salah satu fungsi dan tugasnya ialah mensertifikasi konstitusi
final (tetap);
3. Menugaskan kepada
Majelis Nasional untuk menyusun Konstitusi Final dalam jangka waktu 2 tahun
setelah disahkannya Konstitusi Sementara 1993.
Mahkamah
Konstitusi Afrika Selatan adalah pengadilan tertinggi untuk seluruh perkara
konstitusional.[2]
terdiri atas 11 hakim konstitusi.[3] Masa
jabatan hakim konstitusi adalah 12 tahun dan tidak dapat dipilih kembali
setelahnya. Sementara hakim yang telah menginjak usia 70 tahun akan memasuki
masa purna bakti.[4]
Berdasarkan
ketentuan Pasal 167 Konstitusi Afrika Selatan, MK Afsel memiliki 5
kewenangan/kompetensi:
1.
Menyelesaikan sengketa
kewenangan lembaga negara
“Decide
disputes between organs of state in national or provincial sphere concerning
the constitutional status, power of function of any those organs state.”;
2. Pengujian terhadap
undang-undang yang diajukan oleh anggota Majelis Nasional[5] dan
pengujian undang-undang provinsi oleh anggota legislatif provinsi[6];
3. Pengujian
konstitusionalitas terhadap amandemen konstitusi (uji formil terhadap proses
amandemen konstitusi);
4.
Decide Parliament or the President has failed to fulfill a
constitutional obligation; dan
5.
Sertifikasi (pengujian)
Konstitusi Provinsi sesuai dengan Pasal 144 Konstitusi Afrika Selatan.
6.
Menerima dan memutus
pengaduan konstitusional (constitutional
complaint).
Dalam
sistem pengujian konstitusional di Afrika Selatan, hanya dikenal pengujian yang
bersifat a priori abstract review,
yaitu pengujian terhadap suatu RUU atau RUU Provinsi dalam jangka waktu 30 hari
sejak disetujuinya RUU yang bersangkutan. Yang dapat mengajukan permohonan
pengujian RUU Anggota Majelis Nasional, yaitu apabila didukung oleh sekurang-kurangnya
1/3 dari jumlah anggota Majelis Nasional. Sedangkan untuk mengajukan pengujian
RUU Provinsi dibutuhkan dukungan minimal 20% dari jumlah anggora legislatif
provinsi.[7]
Selain
pengujian yang bersifat a priori abstract
review sebagaimana dijelaskan diatas, berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 20
Hukum Acara MK Afsel, dimungkinkan adanya permohonan pengujian konstitusional
terhadap putusan pengadilan, termasuk Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) yang dianggap mengandung cacat
konstitusional atau bertentangan dengan konstitusi. Hal mana merupakan suatu
praktek pengujian konstitusional yang sangat tidak lazim dimana putusan
Pengadilan dapat diajukan “banding” kepada MK, karena yang selama ini dikenal
hanya pengujian norma hukum yang menjadi dasar dalam suatu perkara konkret,
bukan putusan pengadilannya itu sendiri.
Mekanisme
itu dimungkinkan di Afrika Selatan karena kembali pada hakekat MK itu sendiri
menurut Pasal 167 ayat (3) Konstitusi Afrika Selatan yakni sebagai Peradilan
tertinggi untuk semua perkara-perkara konstitusional “The Constitutional Court is the highest court in all constitutional
matters.”[8]
Selain
pengujian konstitusional atau judicial review, MK Afsel juga berwenang
menerima dan memutus pengaduan konstitusional (constitutional complaint) berdasarkan ketentuan Pasal 167 ayat (6)
Konstitusi Afrika Selatan yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam Pasal 17
Hukum Acara MK Afsel. Constitutional
complaint ini diajukan apabila Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya
terlanggar sedemikian rupa oleh berlakunya suatu produk hukum atau tindakan
nyata aparatur negara. Permohonan ini dapat diajukan langsung kepada MK Afsel
atau melalui peradilan lain untuk diserahkan kepada MK Afsel.[9]
[1] Pengalaman yang
terjadi di Afrika Selatan ini lebih kurang pernah juga terjadi di Indonesia
pada masa diberlakukannya UUDS 1950 yang menurut latar belakang dan tujuan
pembentukannya hanya bersifat sementara sebelum tersusunnya UUD yang tetap atau
permanen. Bedanya, jika di Afrika Selatan tujuan itu tercapai dengan
tersusunnya Konstitusi yang tetap pada tahun 1995 sebagaimana yang dikehendaki,
sedangkan di Indonesia tujuan untuk membentuk UUD yang bersifat permanen itu
justru tidak pernah terwujud karena Konstituante yang ditugasi untuk menyusun
UUD yang tetap itu mengalami “kemacetan” sehingga yang terjadi justru adalah
kembali pada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
[2] Pasal 167 ayat (3)
Konstitusi Afrika Selatan itu berbunyi “The
Constitutional Court is the highest court in all constitutional matters.”
[3] Vide Pasal 167 ayat
(1) Konstitusi Afrika Selatan.
[4] Vide Pasal 176
Konstitusi Afrika Selatan.
[5] Vide Pasal 80
Konstitusi Afrika Selatan.
[6] Vide Pasal 122
Konstitusi Afrika Selatan.
[7] Vide Pasal 122
Konstitusi Afrika Selatan.
[8] Lihat Jimly
Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.
280-285.
[9] Lihat Laica Marzuki, “Pengaruh Konstitutional (constitutional
complaint) Sebuah Gagasan Cita Hukum dalam Menjaga Denyut Konstitusi,” Refleksi
Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, hlm. 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar