Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang sering kita dengar dan ketahui saat ini merupakan satu gagasan pemikiran yang miliki sejarah panjang.[1] Sejarah pemikiran dan perumusan HAM itu dapat ditelusuri sejak abda ke-13 yang ditandai dengan perjuangan kaum borjuis dan gereja di Inggris yang menuntut sejumlah hak dari raja sebagai imbalan atas pajak dan pungutan yang mereka bayarkan kepada kas negara yang pada waktu itu sangat dibutuhkan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan perang. Perjuangan itu mencapai puncaknya dan berhasil “memaksa” Raja John Lackland untuk menandatangani dokumen/naskah perjanjian yang disebut Magna Charta pada tahun 1215.[2]
Magna
Charta itu sendiri sebetulnya
memuat semacam perjanjian antara raja dan kaum bangsawan (borjuis) dan geraja.
Dilihat dari isinya sebetulnya Magna Charta belum merupakan instrumen yang
berisi jaminan dan perlindungan HAM sebagaimana yang kita kenal sekarang ini
karena isinya terbatas hanya pada hak-hak kaum bangsawan dan gereja saja.
Meskipun demikian Magna Charta dianggap
sebagai instrumen HAM yang pertama yang meletakan dasar-dasar perjuangan untuk
diakuinya hak-hak dasar manusia.
Perkembangan perumusan dan perlindungan HAM
selanjutnya muncul pada tahun 1628 (masih) di Inggris, yaitu dengan
ditandatanganinya Petition of Rights oleh
Raja Charles I. Berbeda dengan Magna Charta yang lahir 4 abad sebelumnya
sebagai akibat dari tuntutan kaum bangsawan dan gereja, Petition of Rights merupakan hasil dari gejolak antara Parlemen yang
terdiri dari utusan rakyat (House of
Common) dan raja.
Gejolak yang menuntut diakuinya hak-hak dasar
rakyat yang diperjuangkan oleh Parlemen Inggris ketika itu menunjukan bahwa
perjuangan hak asasi manusia (HAM) memiliki korelasi yang erat sekali dengan
perkembangan demokrasi. Sebab dari peristiwa kelahiran Petition of Rigts itulah dapat kita ketahui bahwa bagaimanapun juga
perjuangan hak asasi manusia pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh dekatnya
rakyat dengan gagasan demokrasi.[3]
Perjuangan menuntut pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia (HAM) masih berlanjut di Inggris dan kemudian menemui kemajuannya
yang luar biasa dengan ditandatanganinya Bill
of Rights oleh Raja Willem III pada tahun 1689. Bill of Rights itu sendiri merupakan hasil dari rangkaian panjang
perjuangan dan pertikaian antara Parlemen dan Raja selama lebih dari enam puluh
tahun lamanya yang berakhir dengan kemenangan di pihak Parlemen yang dikenal
dengan peristiwa Glorious Revolution 1688.[4]
Lahirnya tiga (3) dokumen bersejarah yang pada
prinsipnya berisi pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang
berasal dari inggris itu merupakan tonggak sejarah perkembangan HAM yang paling
awal. Melalui perjuangan panjang yang terjadi di Inggris itu pula kemudian
ide-ide tentang hak asasi manusia menyebar diseluruh dunia dan menjadi salah
satu isu penting dalam kehidupan bernegara hingga kini.[5]
Perkembangan gagasan dan perjuangan perumusan hak
asasi manusia pada masa berikutnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
filsuf-filsuf eropa abad 17 dan abad 18. Diantara filsuf-filsuf tersebut yang
paling terkenal ialah Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan Jean Jacques
Rousseau. Lahirnya karya/pemikiran
kritis tentang hukum dan negara dari para tokoh tersebut tidak terlepas dari
zamannya yang memang bercorak despotis.
Thomas Hobbes menggambarkan keadaan pada waktu itu dengan
testimoninya yang terkanal “homo homini
lupus, bellum omnium contra omnes” artinya manusia ibarat binatang buas
(serigala) yang saling mengutamakan kepentingannya masing-masing atau saling
memangsa. Merespon keadaan yang seperti itu, Hobbes kemudian mengembangkan
teori perjanjian masyarakat. Ia mengatakan bahwa dalam perjanjian masyarakat,
tiap-tiap individu masyarakat menyerahkan hak-haknya kepada raja/penguasa
dengan maksud bahwa kepada raja/penguasa itulah masyarakat akan meminta
perlindungan. Itulah sebabnya pemikirian atau teori perjanjian masyarakat
Hobbes disebut sebagai teori perjanjian yang mengarah pada monarki absolut.[6]
Berbeda dengan Thomas Hobbes, John Locke yang
dianggap sebagai peletak dasar hak asasi manusia, mengemukakan bahwa tidak
semua hak-hak yang dimiliki oleh individu diserahkan kepada raja/penguasa. Yang
diserahkan kepada raja/penguasa melalui perjanjian masyarakat ialah hanya
hak-hak tertentu saja, sementara hak-hak dasar, yakni hak untuk hidup (rights to Life), hak kebebasan (rights to freedom), dan hak kepemilikan
(property rights) masih tetap
dimiliki oleh setiap individu sehingga hak tersebut tidak dapat direbut secara
sewenang-wenang oleh penguasa.
John Locke mengemukakan teorinya mengenai
perjanjian masyarakat dalam dua tingkat/dua instansi. Instansi yang pertama
disebutnya dengan istilah pactum unionis,
yakni keadaan dimana terjadi perjanjian antara individu-individu untuk
membentuk masyarakat dan negara yang didasarkan pada pandangan sebagai berikut:
“Men by nature are all free, equal, and independent, no one can put out
of this estate, and subjected to the political power another, without his own
content, which other men to join and unite into a community for their
comfortable, safe and peaceable, living one amongst another ....”[7]
Sedangkan dalam instansi kedua atau yang disebut
dengan istilah pactum subjectionis,
John Locke melihat bahwa pada dasarnya perjanjian yang telah dibuat dalam
instansi yang pertama itu didasarkan pada suara terbanyak dan dalam perjanjian
tersebut individu masih memiliki hak-hak dasar (life, liberty, estate) yang melekat pada dirinya dan tidak turut
diserahkan kepada penguasa/raja. Dengan demikian maka menjadi tugas negara
untuk melindungi individu-individu tersebut.[8]
Selain Thomas Hobbes dan John Locke, sarjana lain
yang juga memiliki pengaruh penting bagi perkembangan/kemajuan perumusan hak
asasi manusia pada abad 18 ialah Montesquieu dan J.J Rousseau. Montesquieu yang
dikenal dengan teori Trias Politica-nya menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam
bukunya yang berjudul l’esprit des Lois.
Sementara J.J Rousseau yang dikenal dengan pemikirannya mengenai perjanjian
masyarakat dan kedaulatan rakyat merekam pemikirannya di dalam bukunya yang
berjudul Du Contract Social et Du Droit
Politique.
Melalui ajaran-ajaran dari para sarjana itulah
kemudian gagasan mengenai hak asasi manusia mulai menyebar luas dari dataran
eropa hingga ke Amerika. Paruh kedua abad 18 merupakan periode penting dalam
sejarah perkembangan hak asasi manusia karena pada periode itulah muncul dua
peristiwa dan dua dokumen hak asasi manusia yang sangat bersejarah, yakni
persitiwa kemerdekaan Amerika Serikat yang dituangkan dalam Declaration of Independence 4 Juli 1776
dan Revolusi Perancis yang kemudian melahirkan Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen 26 Agustus 1789.
Dalam
Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) yang disusun oleh Thomas
Jefferson, terlihat adanya pengaruh pemikiran John Locke yang diserap dan
kemudian dituangkan oleh Jefferson di dalam deklarasi tersebut:
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created
equal, that they endowed by their Creator with certain unalianable rights, that
among these are life, liberty, and the pursuit of happiness.[9]
Sementara itu, perjuangan hak asasi manusia di
Perancis terjadi setelah revolusi kemerdekaan Amerika Serikat. Pada waktu itu,
sekitar abad 17 sampai abad ke 18, Perancis dipimpin oleh raja yang despotis
dan absolut. Bahkan dengan keangkuhan yang tidak terbantahkan, Raja Louis XIV
pernah mengatakan “l’etaat c’est moi” (negara
adalah aku; akulah negara). Absolutisme di Perancis pada akhirnya menimbulkan
ketidakpuasaan bahkan menyulut perlawanan rakyat yang kemudian berakhir dengan
peristiwa bersejarah yang kita kenal sebagai Revolusi Perancis 1789, dimana
ketika itu kekuasaan raja yang begitu ablosut ditumbangkan oleh perlawanan
rakyat.
Peristiwa itu akhirnya menyadarkan segenap rakyat
Perancis untuk tidak lagi jatuh dalam kubangan kesewenang-wenangan dan
penindasan. Oleh karena itulah konsep perlindungan dan jaminan hak asasi
manusia yang diilhami dari revolusi kemerdekaan AS (Declaration of Independence
1776) kemudian diadopsi oleh Perancis dengan ditetapkannya Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen pada 26 Agustus
1789.[10]
Perkembangan hak asasi manusia pada babak
selanjutnya terjadi setelah Perang Dunia II, yaitu dengan lahirnya Universal Declaration of Human Right (UDHR)
yang ditetapkan oleh PBB di Paris pada 10 Desember 1948. Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia ini merupakan instrumen global yang paling pertama
yang mengatur jaminan perlindungan hak asasi manusia yang digagas oleh PBB
setelah terbuktnya lembaga tersebut pada 1945.
Deklarasi ini memang tidak mengikat secara normatif
bagi negara-negara anggota PBB, namun demikian sebagaimana dikemukakan oleh
Miriam Budiradjo “sekalipun sifatnya
tidak mengikat secara yuridis, namun
Deklarasi ini mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada
taranya. Sebagai lambang ‘komitmen moral’ dunia internasional pada perlindungan
hak asasi manusia, Deklarasi ini menjadi acuan di banyak negara dalam UUD, UU,
serta putusan-putusan hakim.”[11]
Setelah dilandasi oleh Universal Declaration of Human Right (1948) yang begitu penting di
dalam perkembangan hak asasi manusia di aras internasional, masyarakat
internasional melalui PBB kemudian berusaha untuk melengkapi jaminan
perlindungan HAM itu dengan instrumen yang mempunyai kekuatan mengikat bagi
negara-negara anggotanya. Atas dasar keinginan itulah maka sejak tahun 1948
dimulai suatu usaha/penyusunan instrumen internasional yang akan mengatur
perlindungan HAM. Usaha tersebut dilaksanakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB
(Human Right Commission) yang telah
terbentuk sejak 1946 dan telah menghasilkan karya monumental UDHR 1948.[12]
Instrumen yang dimaksud itu kemudian disahkan dan diberi nama International Covenant on Economic, Social,
and Economic Rights; dan International Covenant on Civil and Political
Rights.[13]
Melalui perjalanan yang cukup panjang, baru pada
tahun 1966 dua kovenan internasional itu akhirnya dirampungkan dan diterima
baik oleh Majelis Umum PBB. Sementara itu masih diperlukan 10 tahun lagi bagi
kedua kovenan itu untuk bisa mulai diberlakukan, sehubungan dengan adanya
syarat minimal negara peratifikasi, yakni 35 negara.[14]
Sedangkan ratifikasi yang ke 35 itu baru diperoleh pada tahun 1976 sehingga dua
kovenan itu baru mulai berlaku pada tahun 1976.[15]
Selain dua kovenan yang telah disebut diatas,
seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, lahir berbagai instrumen
hukum international lainnya yang mengatur mengenai HAM, yang menandakan semakin
diterima dan majunya perlindungan HAM oleh dunia internasional dewasa ini,
seperti diantaranya yang disebutkan secara berturut-turut sebagai berikut:
1.
International
Convention on the Elemination of All Forms of Racial Discrimination (1965);
2.
Convention on
the Elemination of All Forms of Discrimination against Women (1979);
3.
Convention
against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment
(1984); dan
4.
Convention on
the Rights of the Child (1989).
[1]
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. Kelima, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 307.
[2]
Mirian Budiardjo, Op. Cit. , hlm. 213
[3]
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.
Cit., hlm. 308.
[4]
Lihat Richard P. Claude, The Clasical
Model of Human Rights Development, John Hopkins University Press, London,
1977, hlm. 13.
[5]
Sebagai gambaran dan refleksi tentang hal ini simak pernyataan Jimly Asshiddie
di dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara”. Ia mengatakan bahwa “Doktrin tentang hak asasi manusia
sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam
membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan ...”
Lihat pada Jimly Asshiddie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.
343.
[6]
Lihat Soehino, Ilmu Negara, Edisi
Ketiga, Cet. Ketujuh, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 98-104. Lihat juga Jimly
Asshiddie, Op .Cit. hlm. 345.
[7]
John Locke dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit. Hlm. 309.
[8] Untuk memahami lebih lanjut dan lebih
lengkap pemikiran John Locke mengai perjanjian masyarakat dan hak asasi
manusia, dapat dilihat pada John Locke, The Second Treatise of Government, The
Liberal Arts Press, Indianapolis, 1952.
[9]
Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,
Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Cet. Ketiga, Jakarta, 2011, hlm. 76.
[10]
Lihat pula Jimly Asshiddqie, Op. Cit. Hlm. 347; Satya Arinanti, Ibid., hlm. 77.
[11]
Miriam Budiardjo, Op.Cit. hlm. 219.
[12]
Untuk diketahui bahwa yang mengetuai Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (United Nations Commission on Human Rights)
adalah Miss Anna Eleanor Roosevelt, janda dari mendiang Presiden AS Franklin D.
Roosevelt.
[13]
Jimly Asshiddiqie menyebut dua kovenan ini sebagai peraturan pelaksana atas Universal Declaraton of Human Right 1948. Lihat Jimly Asshiddie, Op. Cit., hlm. 349.
[14]
Vide Chapter VI Article 49 International Covenant on Civil and Political
Rights.
[15]
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar