Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Sabtu, 13 Desember 2014

Sejarah Judicial Review (Dalam Arti Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD) di Indonesia



Maksud daripada judul diatas “Sejarah Judicial Review (Dalam Arti Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD) di Indonesia” yaitu bahwa yang menjadi pokok bahasan pada bagian ini ialah mengenai sejarah judicial review dalam konteks pengujian konstitusional atau dalam sistem hukum kita dikenal dengan istilah pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Selain mengemukakan sejarah judicial review dalam tataran global sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini penulis merasa perlu untuk menguraikan sejarah judicial review (dalam arti Pengujian Undang-undang terhadap UUD) di Indonesia sendiri. Sejarah judicial review yang lahir melalui putusan Kasus Marbury versus Madison 1803 di AS memiliki pengaruh yang sangat luas dan akhirnya diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagian ini bermaksud untuk menjelaskan sejarah judicial review di Indonesia, yaitu untuk mengetahui bagaimana dan seperti apa perjalanan ketatanegaraan Indonesia dalam menerima dan mengdopsi sistem tersebut. Untuk tujuan tersebut pembahasan pada bagian ini akan dibagi berdasarkan kategori periodeisasi tertentu, yaitu sebagai berikut:

1.         Periode UUD 1945 (1945-1949)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat mekanisme pengujian undang-undang. Di dalam pasal-pasalnya tidak ada satu pun yang membicarakan mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang oleh badan peradilan. Jadi pada masa ini tidak dikenal mekanisme judicial review dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Memang pada waktu penyusunan Rancangan UUD oleh BPUPKI ketika itu muncul usulan dari Muhammad Yamin yang pada prinsipnya menghendaki adanya mekanisme pengujian undang-undang oleh sebuah badan yang disebutnya sebagai ‘Balai Agung’ yang disamping melaksanakan kekuasaan kehakiman badan itu juga diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD, hukum adat, dan syariat Islam. Namun usulan ini ditolak oleh Soepomo dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Tidak semua negara memiliki MA yang berwenang menguji UU terhadap UUD;
2.  Pengujian undang-undang merupakan masalah politis bukan yuridis bila terdapat perselisihan tentang apakah suatu UU bertentangan dengan UUD atau tidak;
3.  Para ahli hukum Indonesia sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam melaksanakan hak uji material.[1]

2.    Periode Konstitusi RIS      
Konstitusi RIS merupakan konstitusi yang menggantikan UUD 1945 yang diberlakukan sejak diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar dan sekaligus menandai beralihnya bentuk negara kesatuan menjadi negara federal Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS itu sendiri hanya berlaku singkat, sebab pada 17 Agustus 1950 Pemerintah secara resmi membubarkan RIS dan kembali ke bentuk negara kesatuan dan sekaligus mengganti Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950.
Berdasarkan Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949, ditegaskan asas bahwa undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat.[2] Suatu asas yang tidak lain diadopsi dari sistem hukum Belanda yang memang tidak mengizinkan gugatan atau pengujian terhadap undang-undang. Namun demikian berdasarkan Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949, dikatakan bahwa MA berwenang menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi RIS 1949.[3]
Dengan demikian pada periode ini pun tidak ada kewenangan pengujian undang-undang oleh lembaga peradilan, yang ada hanya pengujian peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian. 

3.    Periode UUDS 1950
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Agustus 1950 menggantikan Konstitusi RIS 1949 tidak memuat ketentuan mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang. Bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) dinyatakan dengan tegas bahwa “Undang-undang tidak dapat di ganggu gugat.[4]


4.    Periode Berlakunya Kembali UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa UUD 1945 tidak mengatur mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD. Namun demikian bagian ini akan membahas perkembangan ketatanegaraan dimana pada periode ini muncul adanya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. demikian juga, pada perkembangan selanjutnya telah terbit Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang salah satu materi muatannya mengatur perihal kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD dan Tap MPR yang kewenangannya dimiliki oleh MPR.
Dengan perasaan yang setengah hati dan mau tak mau, mekanisme judicial review atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang akhirnya dilembagakan dalam UU No. 14 Tahun 1970,[5] tepatnya pada Pasal 26, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun celakanya, ayat (2) dari Pasal 26 tersebut menyatakan bahwa pengujian tersebut dilakukan pada tingkat kasasi.
Ketentuan itu menurut Mahfud M.D mengandung kekacauan teoritis dan kekacauan prosedural karena pada Pasal 26 ayat (1) dikatakan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang adalah wewenang (absolut) MA, namun pada ayat (2)-nya dikatakan bahwa pengujian tersebut dilakukan pada pemeriksaan tingkat kasasi. Ketentuan ini mengandung kekacauan karena di satu sisi menyatakan bahwa pengujian itu adalah wewenang MA namun di sisi lain dikatakan bahwa pengujian itu dilakukan pada tingkat kasasi yang artinya harus dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat pertama, tingkat banding, barulah kemudian sampai di tingkat kasasi, padahal menurut Pasal 26 ayat (1) jelas-jelas kewenangan itu ada pada MA dan tidak didistribusikan pada pengadilan dibawahnya. Lalu bagaimana caranya pengadilan ditingkat pertama dan banding memeriksa perkara yang jelas-jelas merupakan kewenangan absolut MA.
Konstruksi hukum yang demikianlah yang oleh Mahfud M.D disebut sebagai kekacauan, karena secara teoritis dan praktis memang mengandung kekacauan dan akibatnya ketentuan tersebut tidak bisa dioperasionalkan.[6] Norma hukumnya ada tapi pelaksanaannya tidak dapat dijalankan sehubungan dengan kekacauan konstruksi yang terdapat pada Pasal 26 tersebut. Akhirnya norma tersebut menjadi norma mati (doedel regels).
Selanjutnya ketentuan mengenai judicial review peraturan dibawah UU ini diatur juga di dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Akan tetapi, belum lagi persoalan kekacauan konstruksi hukum yang dikandung oleh Pasal 26 UU 14/1970 itu terselesaikan, UU 14/1985 tentang MA (Pasal 31) justru semakin mempersempit ruang lingkup judicial review tersebut dengan menyatakan bahwa pengujian peraturan dibawah undang-undang hanya mencakup pengujian materiil.[7]
Usaha untuk mengurai “benang kusut” dan kekacauan normatif yang disebabkan oleh rumusan Pasal 26 UU 14/1970 pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil. Melalui Perma tersebut MA berupaya mengatasi kebuntuan dalam pengujian peraturan dibawah UU dengan mengatur bahwa upaya pengujian tersebut dapat diajukan secara langsung kepada MA tanpa melalui proses berjenjang dari mulai pengujian di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Bahkan Perma tersebut juga memungkinkan pengadilan dibawah MA, baik ditingkat pertama maupun di tingkat banding, untuk menerima, memeriksa, dan memutus permohonan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dalam kaitannya dengan perkara yang sedang berjalan (include dengan perkara pidana, perdata, atau TUN yang sedang diperiksa) yang putusannya hanya mengikat para pihak yang bersengketa (interpartes).[8]
Meskipun upaya untuk memecah kebuntuan itu telah dilakukan dengan menerbitkan Perma 1 Tahun 1993, kenyataan menunjukan bahwa hingga berakhirnya orde baru, tak ada satu pun permohonan pengujian peraturan dibawah undang-undang diajukan kepada MA dan dengan demikian tak ada satu pun produk hukum yang di review oleh MA berdasarkan mekanisme tersebut.[9]
Perkembangan yang selanjutnya muncul sehubungan dengan diterbitkannya Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan Pasal 5 Tap MPR tersebut dibuka keran constitutional review[10] untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD oleh MPR, bahkan meliputi juga pengujian UU terhadap Tap MPR.[11] Selain itu TAP MPR tersebut menegaskan kembali adanya mekanisme judicial review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung.[12]
Dengan semangat memperbaiki sistem pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan belajar dari pengalaman masa lalu dimana mekanisme itu tidak berjalan (deadlock) akibat kekacauan konstruksi yang dibangun oleh UU 14 Tahun 1970, maka melalui Tap MPR No. III Tahun 2000 ini, tepatnya pada Pasal 5 ayat (3) dikatakan bahwa pengujian yang dilakukan oleh MA bersifat aktif dan tanpa melalui prosedur kasasi.[13]

5.    Perubahan UUD 1945
Setelah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 yang telah berkuasa selama 32 tahun maka keinginan untuk melakukan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat itu menemui momentum terbaiknya. Salah satu dimensi yang hendak diubah dan diperbaiki pada waktu itulah bidang hukum. Undang-Undang Dasar 1945 yang selama masa orde baru dianggap sakral dan sangat sulit untuk dirubah dengan diaturnya persyaratan refendum yang diatur dalam Tap MPR No. IV Tahun 1983 tentang Referendum dan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Refendum,[14] tidak luput dari sasaran perubahan.
Gagasan dan tuntutan perubahan UUD 1945 itu diterima oleh MPR dengan mengadakan perubahan terhadap UUD 1945. UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keemat pada tahun 2002.[15] Terkait rangkaian perubahan UUD 1945 ini, Mahfud M.D menyatakan bahwa sesungguhnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan satu kali (satu rangkaian) dengan empat tahap perubahan yang masing-masing disahkan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.[16]
Perubahan tersebut menyentuh banyak aspek dan materi UUD 1945 yang asli, sehingga UUD 1945[17] hasil perubahan mengalami perubahan yang sangat signifikan, baik dari segi jumlah pasal-pasal atau ayat maupun materi yang diatur di dalamnya. Oleh karena besarnya perubahan yang terjadi pada UUD 1945 (hasil perubahan), banyak ahli yang kemudian menyebutnya sebagai konstitusi yang sema sekali baru, meskipun masih menggunakan nama yang sama yaitu UUD 1945.[18] Dalam kesamaan pendapat seperti diatas, Bagir Manan bahkan menyebut UUD hasil perubahan sebagai UUD 1945-Baru.[19]
Dalam materi UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November tahun 2001, terdapat ketentuan yang sama sekali baru dalam sejarah konstitusi Indonesia, yaitu dimuat dan diaturnya mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang baru yang berdiri sendiri disamping Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai hal tersebut dituangkan di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang letaknya ada dalam Bab IX kekuasaan Kehakiman.[20]
Selain memuat ketentuan judicial review atas UU terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada MK, UUD hasil perubahan ketiga juga memuat dan mengatur ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang kewenangan pengujiannya dimiliki oleh Mahkamah Agung melalui Pasal 24A ayat (1).[21]
Melalui ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 itu maka resmi sudah mekanisme judicial review, baik mengenai pengujian UU terhadap UUD maupun mengenai pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU, memiliki landasan konstitusional yang jelas dan tegas. Bersamaan dengan itu pula diadopsi sebuah pengadilan khusus yang berdiri sendiri disamping MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan MA menurut Bab IX UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan pengaturan kewenanganya yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945, MK mempunyai wewenang yang salah satunya ialah menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD.
Selanjutnya berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945, diperintahkan bahwa MK sudah harus terbentuk selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala kewenangan MK dijalankan oleh MA. Atas dasar amanat konstitusional tersebut maka pada tahun 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003. Berselang 3 hari, yaitu pada tanggal 16 Agustus 2003 dilantiklah 9 orang hakim konstitusi yang pertama kali dan tercatat mulai bekerja pada tanggal 19 Agustus 2003.[22]
Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan dalam lapangan ketatanegaraan Republik Indonesia pasca perubahan UUD 1945, salah satunya ialah dengan diadopsinya sistem judicial review. Sistem Judicial review yang dianut di Indonesia berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ialah sistem dikotomis (pemecahan), artinya memisahkan antara pengujian UU terhadap UUD dan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU, yang kewenangan pengujiannya pun diserahkan kepada aktor yang berbeda (meskipun keduanya sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945), yaitu MK untuk pengujian yang disebut pertama dan MA untuk pengujian yang disebut terakhir.



[1] Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei-22 Agustus 1945, Edisi III, Cet. 2, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hlm. 299 dan hlm. 305-306.
[2] Vide Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949.
[3] Vide Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949.
[4] Vide Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950.
[5] Mahfud M. D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 98.
[6] Ibid., hlm. 114-115.
[7] Vide Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung.

[8] Vide Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahakamah Agung No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.
[9] Mahfud M.D., Op. Cit., hlm. 115.
[10] Istilah constitutional review adalah istilah yang tepat untuk menyebut atau menggambarkan kewenangan pengujian undang-undang yang dimiliki oleh MPR, karena lembaga MPR bukan merupakan lembaga kehakiman sehingga dengan sendirinya pengujian tersebut bukanlah pengujian oleh hakim dan oleh karenanya tidak tepat apabila disebut judicial review.
[11] Vide Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[12] Vide Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[13] Vide Pasal 5 ayat (3) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[14] Berdasarkan kedua aturan tersebut ditetapkan adanya sebuah mekanisme Referendum apabila MPR akan melakukan perubahan UUD 1945, yaitu dengan syarat mengadakan Refendum atau Pemungutan Pendapat Rakyat untuk menentukan apakah UUD 1945 akan dirubah atau tidak. Syarat suara yang harus diperoleh dalam Refendum itu sendiri sangat berat, yaitu harus diikuti oleh 90% dari seluruh rakyat yang mempunyai hak memilih dan harus disetujui oleh 90% dari total suara yang diberikan oleh rakyat. Vide Pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Refendum.
[15] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 47-48.
[16] Mahfud M.D., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 187.
[17] Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan disebut dan ditulis sebagai “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”  atau disingkat menjadi “UUD NRI Tahun 1945.”
[18] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 48.
[19] Lihat Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945-Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.
[20] Vide Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[21] Vide Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[22] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 6.

Purifikasi Istilah dan Pengertian Toetsingsrecht, Judicial Review, dan Constitutional Review



Hingga saat ini masih banyak diantara para ahli hukum kita yang masih juga keliru dalam menggunakan istilah toetsingsrecht, judicial review, dan constitutional review, baik dalam percakapan-percakapan lisan maupun di dalam tulisan-tulisan ilmiahnya.
Ketiga istilah itu jelas memiliki perbedaan  dan oleh karenanya tidak dapat disamakan atau dipertukarkan begitu saja. Ketiganya memiliki pengertian dan ruang lingkupnya masing-masing.
Adapun satu titik persamaan (konvergensi) yang mungkin mempertautkan ketiga istilah tersebut ialah ketiganya sama-sama berbicara mengenai hak uji (pengujian) terhadap suatu produk hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Jimly bahwa ketiga konsepsi itu (constitutional review, judicial review, maupun toetsingsrecht) sama-sama merupakan suatu upaya atau mekanisme yang bertujuan untuk menguji suatu norma hukum.”[1]
Persamaan pokok bahasan dari ketiga konsepsi itulah yang kemudian menimbulkan kekeliruan pemahaman diantara ketiga istilah tersebut.
Istilah toetsingsrecht berasal dari bahasa Belanda yang jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia secara gramatikal berarti “hak uji atau hak menguji.” Istilah toetsingsrecht tersebut kemudian sering diterjemahkan secara keliru ke dalam bahasa Ingris dengan sebutan judicial review. Disinilah letak kekeliruan pemahaman dan penggunaan istilah toetsingsrecht dan judicial review. Keduanya diartikan sama, padahal berbeda.
Istilah toetsingsrecht yang berarti “hak uji/hak menguji” merupakan suatu istilah yang bermakna umum dalam kerangka konsep pengujian sebuah produk hukum. Toetsingsrecht bermakna dan menunjukan adanya hak menguji atau hak uji atas suatu produk hukum. Hak menguji dalam konteks toetsingsrecht mempunyai arti dan ruang lingkup yang luas, baik dari segi objek yang diuji maupun subjek yang melakukan pengujiannya. Ditinjau dari ruang lingkup objek pengujiannya, toetsingsrecht memiliki ruang lingkup yang luas karena mencakup hak uji terhadap berbagai norma hukum, yakni peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan administrasi atau tata usaha negara (beschikiing), dan bahkan meliputi juga hak menguji putusan hakim (vonnis).[2] Sementara ditinjau dari ruang lingkup subjek yang melakukan pengujian, toetsingsrecht juga mencakup pengertian yang luas meliputi hak uji yang dimiliki oleh hakim (judicial), eksekutif, ataupun legislatif.[3] Jadi istilah toetsingsrecht memiliki arti dan ruang lingkup yang luas, baik dari segi objek  maupun subjek yang melakukan pengujiannya. Objeknya meliputi semua produk/norma hukum dan subjeknya meliputi semua cabang kekuasaan negara atau lembaga negara sepanjang lembaga tersebut diberikan hak untuk menguji norma hukum.
Manakala hak menguji itu diberikan kepada hakim, maka itulah yang bisa disebut judicial review. Jadi istilah judicial review merupakan suatu konsepsi pengujian yang sudah secara spesifik menunjuk/menetapkan lembaga yang berwenang melakukannya, yaitu hakim/pengadilan.[4]
Sesuai dengan pengertiannya, judicial review berarti pengujian (norma hukum) yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan (review by the judicial). Judicial review apabila ditinjau dari segi objek pengujiannya maka ia memiliki makna dan ruang lingkup yang luas, yakni meliputi pengujian terhadap keseluruhan norma hukum, baik yang bersifat abstrak dan umum (regeling) yang biasa disebut peraturan perundang-undangan,[5] belum lagi peraturan perundang-undangan itu sendiri terbagi-bagi kedalam beberapa jenis dan hierarki seperti UUD, undang-undang, peraturan pemerintah, peratudan daerah, dan sebagainya, ataupun norma hukum yang bersifat konkret dan individual, baik yang berbentuk keputusan/penetapan (beschikking) maupun putusan hakim (vonnis). Sedangkan apabila ditinjau dari segi subjek yang berwenang melakukan pengujian, maka ruang lingkup judicial review sangat terbatas, karena sudah secara spesifik hanya menunjuk pada pengujian yang dilakukan oleh hakim. Jadi dapat dikatakan bahwa judicial review adalah pengujian norma hukum dalam arti luas (meliputi semua jenis norma hukum sebagaimana telah disebutkan diatas) yang dilakukan oleh hakim.
 Namun demikian diakui bahwa di Indonesia sendiri istilah judicial review ini dikenal atau diidentikan hanya dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD yang pengujiannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu istilah judicial review hanya sedikit digunakan untuk menyebut/mengistilahkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang terhadap undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Padahal kedua-duanya sama-sama bisa disebut dan masuk dalam kategori judicial review. Menurut hemat penulis fenomena tersebut sekurangnya disebabkan oleh dua (3) hal berikut ini:
1.    Pengujian norma hukum yang familiar di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan judicial review dapat dikatakan memang lebih banyak merujuk pada konteks pengujian UU terhadap UUD dengan aktor pengujinya adalah MK. Hal tersebut  dikarenakan pengujian undang-undang yang dilakukan oleh MK-lah yang selama ini lebih mendominasi pemberitaan dan diskusi-diskusi serta kegiatan ilmiah ketimbang pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU yang dilakukan oleh MA;
2.   Dalam konteks pengujian terhadap norma hukum di bidang administrasi yang bersifat individual dan konkret yang disebut keputusan tata usaha negara, ia lebih sering disebut dan diterima dengan sebutan sengketa tata usaha negara atau pengujian KTUN di PTUN, bukan dengan istilah judicial review, lebih-lebih nomenklatur tersebut merupakan istilah-istilah resmi (yuridis) yang memang disebut dalam UU PTUN (UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; berserta perubahannya);[6] dan
3.   Pengujian putusan hakim atau putusan pengadilan dalam kenyataan sehari-hari (social wirlkelijkeheid) di tengah-tengah masyarakat Indonesia memang terasing dari pengertian dan sebutan judicial review. Pengujian atas putusan pengadilan dari semua lingkungan peradilan lebih sering disebut dan diterima dengan sebutan-sebutan yang digunakan dalam konteks upaya hukumnya, seperti banding – kasasi – peninjauan kembali (PK), bukan judicial review.
Demikian itulah beberapa uraian mengenai pengertian, ruang lingkup, dan perbedaan antara toetsingsrecht dan judicial review yang memang masih kerap tertukar atau keliru penggunaannya satu sama lain. Namun demikian, seiring dengan berkembangnya praktek pengujian konstitusional (constitutional review) di Indonesia dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi yang memang salah satu kewenangannya ialah menguji undang-undang terhadap UUD, maka muncul pula kekeliruan dalam memahami dan membedakan judicial review dan constitutional review.[7]
Istilah dan konespsi constitutional review memang memiliki kedekatan makna dengan istilah judicial review sebagaimana digambarkan diawal oleh penulis sebagai kedekatan yang diikat oleh kesamaan pokok kajian diantara keduanya, yakni sama-sama berbicara mengenai pengujian terhadap suatu norma hukum. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan diantara keduanya. Perbedaan diantara keduanya tetap ada, khususnya menyangkut cakupan pengertian dan ruang lingkup masing-masing jenis pengujian tersebut.
Jika  judicial review merupakan satu jenis pengujian norma hukum yang menekankan dan membatasi ruang lingkupnya hanya pada pengujian-pengujian yang dilakukan oleh hakim, maka constitutional review (pengujian konstitusional) adalah jenis pengujian yang menekankan dan membatasi ruang lingkupnya hanya pada pengujian konstitusionalitas atas suatu norma hukum. Yang menjadi batasan atau ciri daripada pengujian konstitusional (constitutional review) adalah batu uji yang digunakan dalam pengujian tersebut, yakni konstitusi atau dalam arti yang tertulis disebut Undang-Undang Dasar.[8]
Constitutional review atau pengujian konstitusional ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: (i) batu uji atau dasar pengujiannya; (ii) lembaga yang berwenang melakukannya.
Apabila dilihat dari segi batu uji/dasar pengujiannya, maka cakupan constitutional review terbatas hanya pada pengujian-pengujian yang dilakukan untuk menilai dan menguji konstitusionalitas suatu norma hukum dengan menggunakan konstitusi sebagai batu ujinya. Sedangkan apabila ditinjau dari segi lembaga yang berwenang melakukannya, constitutional review memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada judicial review karena tidak saja dapat dilakukan oleh hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman (judiciary) melainkan dapat juga dilakukan oleh eksekutif, legislatif, atau lembaga negara lain sepanjang oleh UUD diberikan wewenang untuk itu.[9]
Dilihat dari sudut pandang batu uji/dasar pengujiannya, pengertian constitutional review lebih sempit dari judicial review. Tetapi apabila dilihat dari lembaga yang berwenang melakukannya, pengertian constitutional review lebih luas dari judicial review.
Perlu juga diperhatikan mengenai pengertian dan ruang lingkup constitutional review ini secara umum (global) dan dalam eksistensinya di Indonesia. Constitutional review secara umum (global) dapat meliputi pengujian konstitusionalitas atas berbagai peraturan, tidak hanya terbatas pada undang-undang sebagaimana yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai contoh di Amerika Serikat, yang dapat dinilai konstitusionalitasnya terhadap Konstitusi Federal Amerika Serikat tidak saja undang-undang federal, melainkan juga berbagai peraturan lainnya seperti undang-undang negara bagian, peraturan dibawah undang-undang yang tergolong ke dalam kategori executive act (peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif), dan bahkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diuji konstitusionalitas penerapan hukumnya oleh Supreme Court .[10]
Sedangkan menurut sistem hukum di Indonesia sebagaimana dikonstruksikan melalui Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, ruang lingkup objek constitutional review terbatas hanya pada undang-undang, yang dinilai konstitusionalitasnya terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tidak masuk dalam kategori constitutional review karena metode pengujiannya adalah pengujian legalitas (legality review), yakni pengujian peraturan dibawah undang-undang yang batu ujinya adalah undang-undang, bukan UUD, dan dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga yang melakukan constitutional review, yakni oleh Mahkamah Agung.[11]


[1] Jumly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 5-6.
[2] Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, 2010, hlm. 1-3; Sementara perihal Pengujian terhadap putusan hakim (vonnis) hanya dapat dilakukan oleh hakim melalui sistem/mekanisme upaya hukum yang ada di masing-masing negara seperti pengujian putusan pengadilan tingkat pertama ditinjau/diuji oleh pengadilan banding, putusan pengadilan banding ditinjau/diuji oleh pengadilan tertinggi atau pengadilan kasasi (Mahakamah Agung).
[3]Ibid.
[4] Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sisitem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm., 5.
[5] Dalam sistem hukum Indonesia sesuai UUD NRI Tahun 1945 (Pasal 24A ayat [1] dan Pasal 24C ayat [1]) Pengujian Peraturan Perundang-undangan ini dibagi dalam dua rezim pengujian; Pertama, pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangan pengujiannya ada di Mahakamah Konstitusi. Kedua, pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang kewenangan pengujiannya ada di Mahkamah Agung.
[6] Vide Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[7] Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op.Cit., hlm. 3-7.
[8]Ibid., hlm. 6.
[9] Ibid.
[10] Lihat lebih lanjut mengenai kekuasaan Supreme Court dalam melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi AS (judicial review) dalam Tim Koopmans, Court and Political Institutions; A Comparative View, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, hlm. 35-37; Sedangkan terkait putusan pengadilan yang juga termasuk dalam objek constitutional review dalam sisitem Amerika dapat dilihat pada kasus Cohens versus Virginia yang diputus oleh Chief Justice John Marshall dan kawan-kawannya pada tahun 1921. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 33.
[11] Pembedaan dan Pengklasifikasian dua metode review yang didasarkan pada perbedaa batu uji yang digunakan ini oleh Jimly masing-masing disebut constitutional review dan legality review. Penjelasan tersebut diberikan olehnya dalam rangka menggambarkan dua rezim pengujian peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945  yang berbeda dari negara lain yang biasanya menjadi satu kesatuan rezim pengujian, yaitu dalam kerangka pengujian konstitsionalitas, baik yang dilakukan oleh negara-negara dengan sistem pengujian terpusat maupun oleh negara-negara dengan distem pengujian yang tersebar (Austrian and American Model). Pemikirannya ini dijumpai dalam berbagai bukunya, terutama dalam buku “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”.