Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 18 Mei 2016

Mauro Cappelleti: tentang Judicial Review yang Tersebar Versus Judicial Review Terpusat (Decentralized Versus Centralized Judicial Review)



Meskipun peristiwa abad kedua puluh membawa barat secara keseluruhan melihat nilai judicial review terhadap undang-undang, perbedaan historis dan filosofis antara negara-negara Barat telah mencegah sistem identik mereka mengadopsi sistem pengujian tersebut. Dari sudut pandang perbandingan, salah satu fitur yang paling instruktif dari setiap sistem judicial review adalah pilihan negara, baik sistem terpusat atau sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi (atau Amerika) adalah sistem yang memberikan semua organ peradilan di dalamnya kekuasaan untuk menentukan konstitusionalitas sebuah undang-undang. Sebaliknya, Sistem terpusat (atau Austria) sistem yang membatasi kekuasaan ini ke satu organ peradilan. Kedua sistem ini telah diperkenalkan, bahkan baru-baru ini, di beberapa negara dan dengan demikian telah melayani (sebagai model) di luar negara asalnya (Autria).
A.      Decentralized Judicial Review (Judicial Review yang Tersebar)
Model desentralisasi memiliki asal-usulnya di Amerika Serikat, di mana judicial review tetap menjadi lembaga yang paling khas dan unik. Hal ini ditemukan terutama di beberapa bekas koloni Inggris, termasuk Kanada, Australia, dan India. Sistem Amerika juga telah diperkenalkan di Jepang di bawah Konstitusi 1947.
Seperti juga di Eropa, sistem Amerika telah memiliki dan masih memiliki padanannya. Sebuah kemiripan tertentu dapat ditemukan dalam hukum Swiss, di mana di samping tindakan langsung dihadapan Pengadilan Federal, terdapat hak umum untuk me-review (menguji) di pengadilan biasa. Meskipun judicial review ini dibatasi pada hukum kanton (hukum negara bagian), namun hakim Swiss memiliki kekuasaan umum untuk mengabaikan hukum kanton (hukum negara bagian) yang bertentangan dengan Konstitusi Federal. Kekuasaan ini telah diderivasi dari prinsip bahwa hukum federal "meruntuhkan/mengalahkan" hukum wilayah/negara bagian. Namun, tidak ada kontrol peradilan atas konstitusionalitas undang-undang federal.
Hukum Norwegia, sejak akhir abad lalu dan Hukum Denmark, juga menegaskan kekuasaan pengadilan untuk meninjau kesesuaian undang-undang dengan konstitusi dan mengabaikan, dalam kasus konkret undang-undang yang inkonstitusional.
Jerman dan Italia, di mana hari ini kita menemukan sistem terpusat daripada sistem desentralisasi, juga sempat bereksperimen dengan tipe judicial review Amerika: Jerman di bawah Konstitusi Weimar dan Italia dari 1948 sampai 1956 – artinya, dari penerapan konstitusi kaku yang pertama sampai mahkamah konstitusi mulai berfungsi.
Alasan di balik pemberian tugas pengujian konstitusional kepada seluruh peradilan adalah, salah satunya, baik secara logis maupun sederhana, seperti terlihat dari pendapat Ketua Mahkamah Marshall dalam kasus Marbury vs Madison dan sebelumnya dari tulisan Alexander Hamilton.
Ketika dua hukum tersebut bertentangan, maka hakim yang harus menentukan hukum mana yang berlaku dan kemudian menerapkannya. Ketika konflik tersebut terjadi antara norma hukum yang berbeda (tingkatannya), kriteria yang jelas akan diterapkan adalah bahwa hukum yang lebih tinggi yang berlaku: lex superior derogat legi inferior.
B.   Judicial Review yang Terpusat (Centralized Judicial Review)
Meskipun ada logika yang menarik dari argumen judicial review yang tersebar, judicial review yang terpusat bukan tanpa pengikut – kesemuanya merupakan negara-negara civil law. Pola dasar dari sistem ini terkandung di dalam Konstitusi Austria tanggal 1 Oktober 1920, yang juga disebut Oktoberverfassung (Konstitusi Oktober).
Pada tahun-tahun belakangan ini, sistem tersentralisir diadopsi oleh Konstitusi Italia tahun 1948 dan Konstitusi Bonn tahun 1949. Keduanya masih berlaku. Yang lebih mutakhir lagi, sistem ini diperkenalkan juga di Cyprus tahun 1960, Turki pada tahun 1961, dan Yugoslavia pada tahun 1963. Di Yugoslavia, ia adalah satu-satunya negara Komunis yang mengadopsi sistem judicial review, kontrol konstitusi dilaksanakan pada tingkat nasional oleh Pengadilan Konstitusi Federal dan pada tingkat regional oleh pengadilan-pengadilan konstitusi di enam republik.
Tiga alasan utama pentingnya pengadopsian sistem judicial review terpusat di sejumlah negara-negara civil law yang sedang berkembang. Pertama, konsepsi kontinental mengenai pemisahaan kekuasaan. Kedua,  tidak adanya  prinsip yang sebanding dengan stare decisis di dalam  yurisprudensi civil law; dan  Ketiga, ketidakcocokan peradilan (biasa; umum) civil law (untuk melakukan judicial review).
           1.      Teori Pemisahan Kekuasaan
Sistem terpusat merefleksikan konsepsi pemisahan kekuasaan yang berbeda dan berdasarkan sistem yang sangat berbeda dengan dari sistem judicial review yang tersebar. Negara-negara civil law cenderung mengikuti doktrin pemisahan kekuasaan dan supremasi hukum perundang-undangan (undang-undang) secara lebih kaku. Mula-mula doktrin-doktrin ini dimaksudkan Montesquieu, Rousseau dan lain-lain yang dihantui rasa takut terhadap kekuasaan yang dipegang oleh satu orang,  peradilan yang anti demokrasi,  dimana setiap penafsiran hukum pengadilan atau fortiori (alasan yang lebih kuat), pembatalan undang-undang yang merupakan tindakan politik, dan oleh karenanya perambahan (pelanggaran batas) terhadap wewenang eksklusif cabang legislatif untuk membuat hukum. Oleh karenanya sistem (judicial review) terpusat menolak memberikan wewenang ini kepada pengadilan (yudisial) pada umumnya. Hakim biasa harus menerima dan menerapkan hukum sebagaimana dia menemukannya (dalam teks tertulis; undang-undang). Satu-satunya penyangkalan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut terletak pada wewenang para hakim biasa untuk menunda litigasi (persidangan) yang sedang diperiksa olehnya guna menantikan petunjuk/acuan (putusan) Mahkamah Konstitusi atas permasalahan konstitusional yang telah diajukannya. 
Pengakuan/pengenalan karakter politik judicial review ini direfleksikan dari cara penunjukan para anggota (hakim) Mahkamah Konstitusi dan bagaimana sejumlah pertanyaan-pertanyaan (permasalahan) dijawab oleh pengadilan tersebut. Lembaga-lembaga yang berwenang menunjuk/mengangkat para hakim biasanya ditentukan oleh konstitusi itu sendiri dan menjamin bahwa keanggotaan pengadilan-pengadilan mencerminkan semua kelompok-kelompok politik utama. Mahkamah konstitusi di sistem yang terpusat tidak menjauhkan diri dari pertimbangan terhadap permasalahan-permasalahan yang oleh Mahkamah Agung AS akan ditolak sebagai sesuatu yang pada dasarnya bersifat politis. Seringkali Pengadilan Amerika menghindari persoalan-persoalan yang berbau politik, misalnya mengenai tindakan atau kebijakan eksekutif dalam hubungan-hubungan luar negeri atau apakah legislatif telah sungguh-sungguh memperhatikan prosedur-prosedurnya sendiri di dalam mengajukan perubahan undang-undang atau konstitusi. Sebaliknya, Pengadilan-Pengadilan Konstitusi Eropa yang terpusat, konsisten dengan peranan kuasi-politik mereka yang diakui, terkadang dapat menjawab/melayani persoalan-persoalan yang berbahaya (politis) tersebut.
           2.      Tidak Adanya  “Stare Decisis” (Asas Preseden)
Terlepas dari teori, di negara-negara civil law, judicial review terpusat memberikan cara-cara praktis untuk melembagakan konsistensi hukum konsitusi, dengan tidak menganut doktrin ‘stare decisis’ common law. Di dalam sistem Amerika, setiap pengadilan, tinggi atau rendah, keduanya mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menentukan konstitusionalitas undang-undang yang terbit sebelumnya. Ini mungkin akan mengakibatkan perbedaan diantara para hakim untuk mecapai hasil-hasil yang tidak konsisten terhadap persoalan-persoalan yang mirip/serupa yang mana hal tersebut bukanlah stare decisis (asas preseden).
Berdasarkan doktrin ini, pengadilan-pengadilan terikat untuk mengikuti keputusan-keputusan hakim sebelumnya. Keberadaan satu-satunya pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), digabungkan dengan kewajiban pengadilan-pengadilan dibawahnya untuk mengikuti keputusan-keputusan sebelumnya (preseden) yang lebih tinggi, untuk menjamin keseragaman penyelesaian kasus-kasus konstitusional. Namun, stare decisis menjadikan hukum itu mati karena stare decisis (asas preseden) mencegah penerapan hukum di masa depan  oleh pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.
Pertimbangan hukum dan pemikiran John Marshall dalam Kasus Marbury vs Madison kemudian berkembang dan berpandangan bahwa Konstitusi adalah hukum yang tertinggi (superior), hakim harus memutus kasus ketika menurutnya hukum yang berlaku tidak konstitusional, harus memberikan preseden kepada Konstitusi. Hakim tidak melanggar ranah legislasi, dia tidak mencoba untuk membuat undang-undang. Dia semata-mata  hanya mengabaikan (tidak menerapkan) hukum yang lebih rendah di dalam kasus konkret.
Dengan demikian, walapun sistem Amerika telah diperkenalkan di beberapa negara civil law, hal tersebut belum merupakan keberhasilan yang total. Konstitusi Weimar Jerman dan Itali pasca perang sebelum adanya institusi Mahkamah Konstitusional secara penuh mengungkapkan ketidakcocokan metode judicial review yang tersebar untuk negara-negara civil law dan hal yang sama mungkin terjadi di Jepang.
Dengan demikian, di dalam  mengadopsi sistem judicial review, negara-negara yang mempunyai pemikiran bahwa stare decisis adalah sesuatu yang asing, harus bekerja dengan instrumen hukum yang sangat berbeda dari Negara AS dan negara-negara common law lainnya.
           3.      Ketidcocokan Peradilan Biasa
Mahkamah Agung AS dan sebagai contoh Jepang berdasarkan Konstitusi tahun  1947, masih jauh dari kata setara dengan pengadilan-pengadilan konstitusi Eropa. yurisdiksi Mahkamah Agung AS tidak begitu dibatasi, karena hampir semua kasus masuk ke Mahkamah Agung melalui sistem banding yang normal dan tidak melalui prosedur khusus. Begitu juga untuk pertanyaan-pertanyaan konstitusional, tidak ada prosedur luar biasa yang digunakan.
Dalam hal ini, orang dapat mempertanyakan mengapa negara-negara yang memilih sistem judicial review terpusat tersebut ingin mendirikan pengadilan-pengadilan konstitusional yang khusus dan tidak memberikan yurisdiksi atas persoalan-persoalan konstitusional kepada pengadilan-pengadilan banding tertinggi yang sudah ada.
Akhirnya, sebagian besar peradilan Eropa nampak secara psikologis tidak mampu berorientasi pada nilai, fungsi-fungsi kuasi politik yang terlibat dalam judicial review. Hakim-hakim kontinental biasanya adalah ‘para hakim karir’ yang memasuki dunia peradilan pada usia yang masih muda dan dipromosikan ke pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi sebagian besar berdasarkan sistem senioritas. Latihan professional mereka  lebih banyak mengembangkan keterampilan di dalam teknik penerapan undang-undang ketimbang di dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan kebijakan. Bagaimanapun pelaksanaan judicial review sangat berbeda dengan fungsi pengadilan biasa di dalam menerapkan undang-undang. Oleh karenanya tugas untuk  melaksanakan konstitusi sering menuntut diskresi yang lebih tinggi ketimbang tugas  menafsirkan undang-undang biasa.
Di AS, Mahkamah Agung itu sendiri pertama-pertama melakukan tugas judicial review, tetapi untuk menekankan fungsi ini di pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi Eropa, yang mana kegiatan tersebut tidak akan dikenal dan asing bagi tradisi mereka, dirasa tidak cocok. Konstitusi Weimar Jerman dan Konstitusi Italia dari tahun 1948 sampai 1956 telah mengadakan percobaan dengan sistem judicial review yang terdesentralisasi (tersebar), namun hasilnya menunjukan bahwa sistem tersebut lebih banyak menimbulkan masalah daripada memberi manfaat.
Mahkamah Agung AS dengan mengingat dua abad pengalamannya telah memperlihatkan kecocokan mereka dengan tugas mereka yang sulit dan dengan sistem judicial review yang tersebar.
C.   Konvergensi  (Titik Temu)
Demi kejelasan, telah ditarik sebuah dikotomi antara bentuk-bentuk judicial review yang terpusat (centralized) dan tersebar (dicentralized), dikotomi yang dalam kenyataannya membesar-besarkan perbedaan diantara kedua sistem tersebut. Demi keseimbangan, beberapa poin konvergensi (titik pertemuan; persamaan) diantara dua pendekatan ini kini harus ditekankan/digarisbawahi. Abad kedua puluh telah menyamarkan perbedaan-perbedaan yang sudah lama ada antara hukum alam dan hukum positif, diantara pengadilan-pengadilan yang berorientasi pada preseden dan yang berorientasi pada perundang-undangan, dan diantara macam-macam teori-teori pemisahan kekuasaan – perbedaan-perbedaan yang terletak dibawah perbedaan asumsi dalam menyikapi judicial review.
Pengukuhan pengadilan-pengadilan konstitusi yang khusus dengan wewenang untuk melakukan judicial review dan membatalkan undang-undang yang tidak sesuai dengan  konstitusi, tentu saja merupakan hasil kompromi yang layak dengan konsepsi pemisahan kekuasaan yang menolak wewenang tersebut untuk semua badan peradilan. Sesungguhnya, pengadilan-pengadilan biasa di negara-negara dengan sistem judicial review yang terpusat tetap dilarang melakukan judical review.
Melalui penggunaan certiorari, secara berangsur-angsur Mahkamah Agung AS membatasi dirinya hanya untuk (menjawab; menyelesaikan) pertanyaan konstitusional yang paling penting dan mendasar. Tentu hal tersebut merupakan peranan pasti (yurisdiksi) dari pengadilan-pengadilan konstitusi Eropa yang sama sekali tidak mempunyai yurisdiksi terhadap kasus-kasus biasa.
Banyak negara lainnya mencari bentuk-bentuk yang sesuai dengan filosofinya masing-masing dan meskipun demikian mampu menjawab tuntuntan-tuntutan masa kini, memberikan bukti terbaik bahwa  judicial review bukan hanya layak dipertahankan atau digiatkan tetapi juga merupakan institusi yang sangat fleksibel.

*Notes: 

Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dan resume dari buku Mauro Cappelleti yang sangat fenomenal dalam barisan literatur tentang judicial review atau constitutional review yang berjudul The Judicial Process Comperative Perspective,” tepatnya Bab III tentang Judicial Review In Comparative Perspective.


Model-Model Judicial Review: Decentralized Judicial Review dan Centralized Judicial Review



Ide dasar judicial review yang pertama kali dilahirkan di AS melalui putusan Marbury versus Madison pada tahun 1803 silam kini telah menyebar luas dan diadopsi oleh banyak negara di dunia. Sampai dengan saat ini setidaknya sudah lebih dari 100 negara yang mengadopsi mekanisme judicial review dalam  sistem  ketatanegaraannya.[1]
Berdasarkan perkembangan dan penerapanya diberbagai negara diseluruh dunia, para ahli kemudian mencoba mencari dan mengidentifikasi beberapa model umum dari mekanisme judcial review. Salah satu dari usaha tersebut ialah dengan membedakan atau mengkategorikan sistem judicial review (dalam hal ini adalah constitutional review) berdasarkan kriteria lembaga mana yang diberikan wewenang untuk menjalankan fungsi pengujian tersebut, apakah diberikan hanya kepada satu organ secara terpusat atau diberikan kepada seluruh badan peradilan secara tersebar. Pengelompokan atau pengidentifikasian sistem judcial review yang demikian kemudian melahirkan dua klasifikasi/model judicial review, yaitu centralized judicial review dan decentralized review (pengujian yang terpusat dan pengujian yang tersebar).[2]
Pengelompokan judicial review kedalam dua model: terpusat atau tersebar, didasarkan atau dilihat dari segi bagaimana kewenangan pengujian itu diberikan/didistribusikan, apakah diberikan dan menjadi kewenangan eksklusif satu organ penguji seperti misalnya Mahakamah Konstitusi atau organ lain yang khusus ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi tersebut ataukah kewenangan itu diberikan kepada semua organ pengadilan yang ada disebuah negara. Kelompok yang pertama disebut sebagai model yang terpusat sedangkan kelompok kedua jatuh kepada model yang tersebar.
Sebagaimana dikatakan oleh Mauro Cappelleti bahwa:
“The decentralized (or American) system gives all the judicial organs within it power to determinate the constitutionality of legislation. In contract, the cetralized (or Austrian) system confines this power to a single judicial organ.”[3]
 Jadi menurut Cappelleti, sistem disentralisasi (atau model Amerika) adalah sistem yang memberikan kepada semua organ peradilan di dalamnya kekuasaan untuk menentukan konstitusionalitas sebuah undang-undang. Sebaliknya, sistem terpusat (atau model Austria) adalah sistem yang membatasi kekuasaan ini (judicial review) hanya pada satu organ peradilan.
Kewenangan untuk melaksanakan hak menguji di beberapa negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dilakukan oleh suatu lembaga yang dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi atau constitutional court, metode pengujiannya disebut principaliter. Tata cara pengujian yang hanya dilakukan oleh satu mahkamah dikenal sebagai sistem sentralisasi. Sedangkan pada beberapa negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, pelaksanaan judicial review dilakukan oleh hakim melalui kasus konkret yang dihadapinya dalam pengadilan, metode pengujiannya disebut incidenter.[4]
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengelompokan atau pembedaan dua model pengujian tersebut adalah pengelompokan yang didasarkan pada pemegang kewenangan judicial review itu, apakah dimiliki secara eksklusif atau tersentralisasi pada lembaga tertentu atau dapat dilakukan oleh setiap hakim disemua forum peradilan.[5]
A.      Decentralized Judicial Review (Judicial Review yang Tersebar)
Model  decentralized judicial review ini sering juga diistilahkan sebagai American Model atau pengujian model Amerika. Penamaan yang demikian memang wajar saja diberikan untuk menyebut sistem pengujian yang tersebar (decentralized system) ini, karena memang sistem ini lahir dan diprakarsai serta dikembangkan oleh Amerika Serikat yang bermula dari putusan fenomenal pada kasus Marbury vs Madison (1803).
Ciri utama dari model ini yang membedakannya dengan model yang terpusat ialah bahwa seluruh pengadilan disetiap tingkatan diberi kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review):
A key characteristic of this model is that the jurisdiction to engage in constitutional interpretation is not limited to a single court. It can be exercised by many courts, state, and federal, and is seen ad inherent to and an ordinary incident of the more general process of case adjudication.[6]
Dalam pengujian konstitusionl model Amerika atau model tersebar ini, pengujian konstitusional dapat dilakukan oleh semua hakim pada semua tingkatan peradilan dan pengujian tersebut bukan sebagai kegiatan yudisial (persidangan) yang berdiri sendiri yang secara khusus ditujukan hanya untuk menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang, melainkan dilakukan secara bersamaan (include) dengan pemeriksaan/persidangan suatu kasus. Dalam model judicial review yang tersebar ini, kegiatan pengujian undang-undang (atau peraturan lain) merupakan suatu kegiatan yudisial yang tidak terpisah dan berawal dari proses litigasi biasa/umum. Dalam proses tersebut manakala hakim menilai ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD maka pada saat itu juga, bersamaan dengan proses litigasi tersebut, ia melakukan uji konstitusionalitas atas undang-undang yang dimaksud.[7]
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa permohonan judicial review pada model yang tersebar tidak dapat muncul begitu saja tanpa ada proses persidangan atau kasus biasa yang mendahuluinya. Dalam pada itu,  judicial review pada model ini justru muncul dari proses penyelesaian kasus-kasus konkret di pengadilan. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa triger mechanism dari judicial review di negara negara yang menganut model Amerika ini ialah kasus-kasus konkret yang sedang diajudikasi (diselesaikan) di pengadilan yang di dalam prosesnya kemudian ditemukan adanya praduga atau keraguan akan konstitusionalitas dari suatu peraturan yang menjadi dasar hukum dalam kasus yang dimaksud.
Oleh karena itu putusan yang dihasilkan dari proses judicial review tersebut hanya mengikat para pihak yang bersengketa (interpartes). Namun demikian, karena mekanisme decentralized judicial review ini pada umumnya dianut di negara-negara dengan sistem hukum anglo-saxon yang mengakui adanya prinsip stare decisis (asas preseden), maka meskipun putusan hakim dalam pengujian konstitusionalitas tersebut bersifat interpartes, putusan tersebut mempunyai kekuatan preseden yang sangat kuat dan melembaga dalam sistem judicial rerview di negara yang bersangkutan.[8]
Dalam sistem common law dimana model ini tumbuh dan berkembang serta diadopsi oleh negara-negara common law, khususnya untuk kasus Amerika, model ini memang sesuai dengan sejarah dan budaya peradilan di negeri tersebut yang memberikan kepada hakim-hakimnya ruang gerak yang luas di dalam menjalankan kekuasaan kehakimannya seperti misalnya konsep judge made law dimana hakim diperkenankan membuat dan melahirkan hukum melalui putusan-putusannya atas suatu kasus konkret. Bahkan jauh sebelum John Marshall memperkenalkan mekanisme judicial review dengan membatalkan Judiciari Act 1789 dalam kasus Marbury vs Madison pada 1803, sebetulnya hakim-hakim di Amerika mempunyai dan sudah mempraktekan kewenangan tradisional mereka untuk tidak menerapkan atau mengenyampingkan ketentuan hukum yang tidak konstitusional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip yang lebih tinggi. Dalam pada itu Mauro Cappelleti mengemukakan pernyataannya sebagai berikut:
The rationlae behind giving the entire judiciary the duty of constitutional control is, on face of it, both logical or simple, as is apparent form Chief Justice Marshall’s opinion in Marbury vs Madison and earlier from writings of Alexander Hamilton. It is the function of the judiciary, the argumen goes, to interpret the laws in order to apply them in concrete cases. When two such laws are in conlict, it is the judge who must determine which law prevails and then apply it. When the conflict is between enactments of different normative force, the obvious criterion to be applied is that the higher law prevails: lex superior derogat legi inferior. [9]
Jadi dapatlah dipahami bahwa model judicial review yang tersebar ini tumbuh subur dan sangat efektif di AS dan negara-negara pengikutinya yang tergolong kedalam sistem common law, karena memang sejarah dan tradisi pengadilan disana memungkinkan sistem ini berjalan efektif.
Salah satu latar belakang diberikannya kewenangan judicial review kepada semua pengadilan yang sudah ada (existing courts) dan oleh karenanya tidak dibentuk lembaga baru yang menjalankan kewenangan tersebut di dalam sistem yang tersebar di negara-negara common law, disebabkan karena kuantitas atau jumlah undang-undang dinegara-negara tersebut memang tidak sebanyak di negara-negara civil law, sehingga tidak perlu membentuk lembaga tersendiri, melainkan cukup diberikan kepada MA dan peradilan dibawahnya.[10]
Karakteristik lainnya dari model Amerika ini ialah pengujian konstitusional dilakukan terhadap undang-undang yang telah sah dan resmi berlaku atau disebut juga dengan istilah a posteriori review. Pengujian pada model ini juga biasanya bersifat concrete review, yaitu pengujian dilakukan sebagai akibat penerapan hukum di pengadilan biasa/umum atas suatu kasus konkret yang dirasa ada persoalan inkonstitusionalitas dari norma hukum yang menjadi dasar dalam kasus tersebut, sehingga perlu dilakukan pengujian konstitusionalitas atas norma hukum yang dimaksud.
   Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa putusan judicial review pada model ini hanya mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Hal yang demikian dapat dipahami mengingat munculnya persoalan konstitusionalitas itu sendiri berawal dari kasus konkret yang ditemukan dalam proses penyelesaian perkara tersebut di pengadilan.
   Yang menarik dari model Amerika ini ialah putusan pengadilan atas judicial review yang bersifat deklaratif dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu suatu putusan yang berisi pernyataan akan suatu keadaan, misalnya menyatakan suatu ketentuan UU adalah bertentangan dengan UUD dan sifatnya retroaktif atau berlaku surut kebelakang, sejak saat UU yang bersangkutan diundangkan. Hal ini dapat dipahami karena dalam konteks pengujian yang tersebar, judicial review diajukan atas adanya kasus konkret yang sedang berjalan sehingga putusan pembatalan atas suatu undang-undang memang harus menyentuh dan berlaku kebelakang sehingga perbuatan yang sudah dilakukan akan dikenai akibat hukum dari pembatalan tersebut.
   Model yang pertama kali dikembangkan di Amerika berdasarkan sejarah judicial review yang dilakukan John Marshall dkk pada 1803 ini mempunyai pengaruh yang luas di dunia, tidak sedikit negara yang kemudian mengikuti dan mengadopsi model ini, khususnya namun tidak terbatas pada negara-negara dilingkungan sistem hukum common law (anglo saxon). Negara-negara tersebut yang berasal dari kawasan eropa antara lain: Denmark, Irlandia, Norwegia dan Swedia. Dari Afrika: Bostwana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia, Nigeria, Tanzania. Negara-negara timur tengah seperti: Iran dan Israel. Di Asia: Bangladesh, Fiji, India, Jepang, Filipina, Malaysia, Nauru, Nepal, New Zealand, Papua New Guinea, Singapura, dan Tibet. Dan juga dinegara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Bahamas, Bolivia, dan Dominica.[11]
B.       Centralized Judicial Review (Judicial Review yang Terpusat)
Centralized Judicial Review biasa diistilahkan dengan sebutan Austrian Model atau bahkan disebut juga Kelsenian model. Penamaan yang demikian merujuk kepada sumber atau sejarah model itu sendiri yang memang berasal dari Austria.
Model pengujian yang terpusat ini merupakan suatu model yang dipelopori dan dikembangkan oleh Austria melalui pembentukan Mahkamah Konstitusi pada tahun 1920 melalui pembentukan Konstitusi 1920. Adalah Hans Kelsen, seorang ahli hukum kenamaan asal Universitas Wina yang mencetuskan gagasan pembentukan suatu organ pengadilan khusus yang bertugas melakukan judicial review atau constitutional review yang disebut Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshoft) yang terpisah dan berada diluar struktur Mahkamah Agung namun masih berada dalam cabang kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi itulah yang dalam bayangan Hans Kelsem akan mengemban tugas pengujian konstitusional. Dalam hal ini Hans Kelsen mengembangkan gagasan mengenai pelembagaan judicial review yang terpisah dari Mahkamah Agung seperti di Amerika.
Gagasan Hans Kelsen ini menemui momentumnya ketika ia diangkat sebagai Chancelery (Anggota Pembaharu Konstitusi Austria 1919-1920) dalam rangka merumuskan konstitusi baru Austria yang pada saat itu memisahkan diri dari Kekaisaran Austria-Hongaria pasca kekalahan pada Perang Dunia II. Dalam momentum perumusan Konstitusi Austria 1920 itulah Kelsen menuangkan ide-idenya di dalam Konstitusi yang ia rancang dan pada akhirnya mendapat persetujuan. Sehingga dengan disahkannya Konstitusi Austria pada Oktober 1920, Mahkamah Konstitusi Austria (Bunderverfassungsgerichtshoft) pun resmi terbentuk. Pembentukan MK Austria itu kemudian dalam sejarah dianggap sebagai yang pertama dalam di dunia.[12]
Sebagaimana diterangkan oleh Jimly Asshiddiqie, model pelembagaan judicial review melalui pembentukan organ khusus yang disebut MK yang diperkenalkan oleh Austria, kemudian dengan cepat menyebar dan mempengaruhi negara-negara eropa disekitarnya seperti Cekoslowakia (1920), Liechtenstien (1925), Yunani (1927), Spanyol (1931), dan Irlandia (1937). Perkembangan dan penyebaran pengaruh tersebut sempat terhenti (sementara) akibat Perang Dunia II yang berkecamuk dengan hebatnya dan melanda dunia, khususnya eropa. Oleh karena peristiwa itu Mahkamah Konstitusi yang telah terbentuk di beberapa negara, termasuk di Austria sendiri mengalami stagnasi untuk waktu yang cukup lama (1933-1945).[13]
Baru setelah Perang Dunia II usai dan dunia kembali menata masa depannya yang lebih cerah, perkembangan ketatanegaraan di bidang konstitusi, dalam hal ini pelembagaan judicial review model Austria, kembali berkembang dan bahkan menyebar dengan pesat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, model Austria ini berbeda dari model Amerika karena perbedaan institusi yang berwenang melakukan tugas pengujian konstitusional. Jika pada model Amerika fungsi tersebut dilekatkan pada MA dan kewenangannya disitribusikan kepada semua pengadilan yang ada dibawahnya, maka menjadi ciri utama dari model Autria ini ialah melembagakan mekanisme juducial review dalam arti constitutional review melalui pembentukan organ yang khusus berupa Mahkamah Konstitusi atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan eksklusif untuk melakukan pengujian konstitusional yang berada diluar MA.
Di negara-negara dengan model pengujian yang terpusat ini dibentuk suatu organ khusus yang ditujukan untuk mengemban fungsi pengujian konstitusional di negara yang bersangkutan dan kewenangan tersebut adalah kompetensi absolut dari organ yang dimaksud yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Yang ada pada model ini (dibeberapa negara) hanya sebatas wewenang dari pengadilan biasa yang sedang menyelesaikan kasus konkret untuk mengajukan pertanyaan konstitusional (constitutional question) kepada MK mengenai konstitusionalitas suatu peraturan yang menjadi dasar hukum dalam kasus tersebut. Sistem tersebut dikenal dan menjadi salah satu wewenang MK di negara-negara seperti Jerman, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belgia.[14]
Sehubungan dengan ciri utama constitutional review Model Austria yang terletak pada sentralisasi dan monopoli organ pengujinya (judicial organ),  I Dewa Gede Palguna mengemukakan pendapatnya mengenai dua ciri utama dari sistem ini, yaitu:
1. Kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang dilaksanakan secara tersentralisasi, yaitu oleh sebuah mahkamah yang khusus dibentuk untuk tujuan tersebut yang bernama mahakamah konstitusi (atau sebutan lain); dan
2. Pengujian konstitusionalitas undang-undang tersebut dapat dilakukan tanpa mempersyaratkan adanya suatu kasus konkret, melainkan cukup secara abstrak atau hanya berdasarkan argumentasi teoritis.[15]
Oleh karena sistem pengujian konstitusional terpusat ini berasal dan dikembangkan dari sistem hukum civil law (eropa kontinental) yakni di Austria (1920), maka tidak heran dalam perkembangan dan penyebarannya sistem ini diadopsi oleh banyak negara civil law.
Menurut Mauro Cappelleti, setidaknya ada tiga alasan mengapa sistem terpusat ini diadopsi di negara-negara civil law. Pertama, adanya konsepsi pemisahan kekuasaan yang dianut eropa kontinental. Kedua, tidak adanya prinsip yang serupa atau sebanding dengan prinsip stare decisis. Ketiga, ketidakcocokan pengadilan –pengadilan biasa (umum) apabila diserahi kewenangan menguji undang-undang.[16]
Sehubungan dengan 3 alasan penerimaan sistem terpusat oleh negara-negara civil law sebagaimana dikemukakan Mauro Cappelleti diatas, berikut ini uraian atau penjelasannya:
1.  Negara-negara civil law menganut  teori pemisahan kekuasaan yang tegas dan penghormatan atas supremacy of law. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus melaksanakan dan menafsirkan UU sebagaimana adanya dan tidak diperkenankan membatalkan berlakunya suatu UU. Oleh karena itu pengujian yang dilakukan oleh hakim hanya dapat dilakukan oleh suatu mahkamah yang khusus;
2.   Negara-negara civil law tidak menggunakan asas preseden atau stare decisis. Oleh karenanya sulit menerapkan sistem yang tersebar karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing-masing pengadilan berwenang memutus persoalan konstitusonalitas suatu undang-undang yang sangat mungkin putusannya berbeda-beda satu sama lain karena tidak terikat pada asas preseden; dan
3.   Pengadilan-pengadilan di negara-negara civil law tidak mempunyai cukup kompetensi dan spesialisasi untuk melakukan pengujian konstitusional karena berbagai alasan, seperti alasan rekrutmen dan promosi jabatan yang bersifat karir, hanya terlatih dalam hal penerapan (mekanis; kaku) peraturan perundang-undangan di dalam memeriksa suatu kasus dan tidak terlatih mengembangkan kemampuan law making, dan lain sebagainya. Sehingga amat sulit bagi negara-negara civil law untuk menerima dan menganut model yang tersebar. Sebaliknya, sangat cocok menganut model pengujian yang terpusat melalui lembaga yang khusus dengan hakim-hakim yang khusus pula.[17]
Pengujian konstitsionalitas suatu undang-undang dalam model Austria ini dapat meliputi pengujian norma abstrak maupun juga (dibeberapa negara)[18] pengujian norma konkret (abstract review and concrete review).
Pengujian norma abstrak (concret review) adalah pengujian terhadap undang-undang atupun peraturan lainnya secara abstrak, dalam arti murni pengujian norma, bukan pengujian norma dalam suatu kasus/perkara tertentu di pengadilan. Sedangkan pengujian norma konkret (concrete review) adalah pengujian terhadap suatu undang-undang atau peraturan lainnya dalam kasus konkret dimana norma yang dipersoalkan konstitsionalitasnya itu berasal/bermula dari kasus konkret yang sedang ditangani oleh pengadilan biasa. Pengujian konkret ini biasanya dilakukan melalui sistem refferal (penyerahan) dari pengadilan biasa kepada MK untuk dilakukan pengujian konstitusional atas norma yang dipersoalkan/dipertanyakan tersebut. Dalam hal terjadi penyerahan dan pengujian konkret, maka pengadilan yang bersangkutan menunda pemeriksaan atas kasus yang dasar hukumnya sedang dijui hingga ada putusan MK.[19]
Mahkamah Konstitusi dalam model Autria ini segala putusannya bersifat erga omnes, artinya mengikat umum, tidak hanya para pihak yang bersengketa yang ditemukan dalam model Amerika.
Karena model Austria ini diikuti dan diadopsi oleh banyak negara di didunia, maka adalah konsekuensi yang logis jika model ini berkembang sedemikian rupa dengan berbagai modifikasi dan variasi di negara-negara penganutnya yang bahkan kadangkala bergerak jauh dari model aslinya yang ada di Austria, maka penting untuk mengidentifikasi beberapa ciri umum dari model ini sehingga bisa menjadi alat ukur untuk mengenali sekaligus membedakan model ini dari model Amerika. Berikut ini adalah ciri-ciri umumnya menurut Jimly Asshiddiqie:
1.      Badan-badan pelaksana pengujian bersifat independen, didirikan diluar cabang kekuasaan kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung;
2.   Di negara-negara yang mengadopsi mekanisme constitutional complaint, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan pemisahan antara mekanisme constitutional review dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa;
3.  Sifat monopoli dan melakukan constitutional review atau spesialisasi dalam rangka constitutional review ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi pelaksana;
4.      Para hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-lembaga politik;
5.   Sifat khusus dari proses peradilan yang diselenggarakannya, yaitu bahwa putusannya disamping bersifat yuridis juga bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga mahkamah tersebut dapat pula memiliki fungsi yang murni konsultatif;
6.  Mekanisme yang berlaku dalam rangka pengujian konstitusionalitas undang-undang menurut model Austria ini pada umumnya bersifat represif (posteriori review), meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga yang coraknya preventif (a priori review).[20]
Jika dilihat berdarkan tolok ukur atau perspektif kepada siapa kewenangan pengujian konstitusional diberikan atau lembaga mana yang mempunyai kewenangan untuk itu dan bagaimana kewenangan itu diberikan, apakah terpusat (centralized model) atau tersebar (decentralized model) ? maka sistem pengujian konstitusional yang ada di Perancis dengan lembaganya yang dikenal dengan nama Conseil Constitutionnel, termasuk ke dalam klasifikasi atau model yang terpusat (centralized model). Karena pada kenyataannya conseil constitutionnel merupakan lembaga yang terpusat dan kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas itu tidak diberikan/disebar kepada pengadilan-pengadilan biasa (umum), melainkan menjadi kompetensi absolut dari conseil constitutionnel. Persoalan mengenai kelembagaan conseil constitutionnel yang khas dan berbeda dari mahkamah konstitusi pada umumnya dalam Model Austria serta perbedaan metode pengujiannya yang hanya terbatas pada pengujian  a priori, itu merupakan persoalan lain yang bukan domain pembahasan makalah ini, karena makalah ini hanya membahas pengelompokan dua model pengujian konstitusional yang dilihat dari tolok ukur persebaran kewenangannya, apakah terpusat atau tersebar.
Hingga saat ini, negara-negara yang menganut model terpusat dengan membentuk organ yang khusus yang berada diluar MA, baik yang berupa Mahkamah Konstitusi maupun organ lain di luar kekuasaan kehakiman seperti model Conseil Constitutionnel Perancis, tercatat sudah ada 80 negara.[21]




[1] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 45.
[2] Salah satu dari hali yang mengelompokan sistem judicial review kedalam model “centralized dan decentralized judicial review”  ialah Mauro Cappelleti. Untuk lebih jelasnya lihat Mauro Cappelleti, The Judicial Process Comperative Perspective, Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 133-149.
[3] Ibid., hlm. 132-133.
[4] Tim Penyusun Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Mahkamah Agung dalam Melaksanakan Hak Uji Material dalam Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sisitem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 37-38. Yang dimaksud dengan metode pengujian principaliter adalah metode pengujian undang-undang yang permohonannya langsung/sengaja ditujukan kepada organ penguji (mahkamah konstitusi) sebagai permohonan yang berdiri sendiri dan memang dimaksudkan untuk memohon pengujian yang dimaksud. Sedangkan yang dimaksud dengan metode incedenter adalah metode pengujian undang-undang yang permohonannya diajukan bersama (include) dengan perkara biasa/umum yang diajukannya kepada pengadilan biasa/umum, jadi permohonannya tidak berdiri sendiri sebagai permohonan yang khusus ditujukan untuk memohon pengujian yang dimaksud.
[5] Lihat Arend Lijphart, Pattern of Democracy; Government Form and Performance in Thirty Six Countries, Yale University Press, London, 1999, hlm. 224-225.
[6] Vicki C. Jackson & Mark Tushnet dalam I Dewa Gede Palguna, Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.327.
[7] Ibid., hlm. 328.
[8] Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 82.
[9] Mauro Cappelleti, Op. Cit., hlm. 135.
[10] Lihat Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 83.
[11] Ibid., hlm. 83.
[12] Maruarar Siahaan dengan merujuk pada Herman Schwartz tidak sependapat akan hal ini, menurutnyam sesuai dengan kronologi pembentukannya, Mahkamah Konstitusi Cekoslowakia lah yang pertama kali berdiri, yaitu pada Februari 1920. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Austria baru terbentuk pada Oktober 1920 sesuai dengan waktu pengesahan Konstitusi Austria. Akan tetapi Maruarar Siahaan tidak menampik bahwa gagasan pembentukan MK yang tersendiri dan terpisah dari MA itu merupakan buah pemikiran Hans Kelsen dan dikembangkan olehnya. Hanya saja menurutnya ide itu diadopsi dan diwujudkan lebih dulu oleh Cekeslowakia. Lihat selengkapnya dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 3
[13] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 29-30.
[14] Ibid., hlm. 84. Lihat juga Mahfud M.D., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 289-290.
[15] I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., hlm. 339.
[16] Mauro Cappelleti, Op. Cit., hlm. 137.
[17] Bandingkan dengan fatmawati, Op. Cit., hlm. 13-14.
[18] Dibubuhi keterangan (dibeberapa negara) karena pada kenyatannya tidak semua negara penganut model Austria atau sistem terpusat mengadopsi pengujian norma konkret (concrete review). Salah satu contoh yang paling jelas dari itu adalah Indonesia, mekanisme judicial review di Indonesia tidak mengenal pengujian norma konkret dari pengadilan biasa (MA dan peradilan dibawahnya).
[19] Mengenai mekanisme pengujian konkret ini bisa dilihat misalnya pada Konstitusi Jerman dan UU MK Jerman (Pasal 80).  Untuk lebih jelasnya lihat Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 60-72.
[20] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op. Cit., hlm. 53-54.
[21] Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry mencatat hingga tahun 2005 ada 78 negara yang telah mendirikan Mahkamah Konstitusi. Lihat Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, Undang-Undang, dan Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, PSHTN FH UI, Jakarta, 2003; sementara setelah tahun 2005,  penulis menemukan sekurang-kurangnya ada dua negara yang juga telah mendirikan Mahkamah Konstitusi, yakni Republik Kosovo dan Republik Tajikistan. Mahkamah Konstitusi Republik Kosovo resmi berdiri pada Desember 2008. Sementara Mahkamah Konstitusi Republik Tajikistan resmi berdiri pada Februari 2016. Jadi berdasarkan perkembangan tersebut, telah berdiri sebanyak 80 Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia. Lihat lebih lanjut mengenai MK Kosovo ini dalam situs resminya, http://www.gjk-ks.org/?cid=2,32, Diakses pada tanggal 10 Februari 2016; Lihat juga mengenai MK Tajikistan ini dalam situs resminya, http://www.constcourt.tj/eng/, Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.