Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 12 Oktober 2020

Tentang Undang-Undang Omnibus (Omnibus Law)

 

Di negeri asalnya, Amerika, Undang-Undang Omnibus (Umnibus Bill) ini sering diejek dengan sebutan "The Big Ugly" = Si Jelek yang Besar atau Si Besar yang Jelek.

Kenapa?
 
Karena UU model ini menyatukan banyak materi pengaturan dari subjek (bidang) yang berbeda-beda dalam satu wadah undang-undang. Isinya sendiri mulai dari pengaturan (pasal-pasal) baru, perubahan, serta penghapusan pasal-pasal lama dari berbagai undang-undang yang berbeda-beda. Jadi secara substansi UU model Omnibus ini akan berukuran sangat besar dan gendut. Jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan pasal dalam satu UU. Karenanya UU ini akan terlihat jelek sebab isinya terdiri dari materi-materi lintas sektor yang berbeda satu sama lain sehingga tidak terlihat seragam.
 
Lebih jelek lagi karena UU Omnibus ini sering dijadikan alat oleh pembuat undang-undang di Amerika untuk meloloskan sebuah undang-undang yang besar dan gendut tanpa perdebatan dan partisipasi publik yang memadai. Undang-undang model ini akan menghambat atau menyulitkan siapa pun yang akan mencermati dan mengoreksinya lantaran begitu banyaknya pasal-pasal yang terkandung di dalamnya.
 
Dengan begitu banyaknya materi atau pasal-pasal yang terkandung di dalamnya, UU Omnibus ini umumnya masuk ke dalam sidang-sidang pembahasan di Parlemen hanya sekedar gimik (formalitas) belaka. Minim pendalaman dan perdebatan, apalagi parisipasi publik.
 
Rancangan UU Omnibus ini biasanya adalah sesuatu yang "taken for granted" dari pengusul/inisiatornya kepada Parlemen. Artinya, RUU Omnibus akan diterima begitu saja oleh Parlemen untuk diloloskan menjadi undang-undang. Hanya sedikit yang akan dan bisa diubah dalam sidang-sidang pembahasan di Parlemen. Selebihnya Parlemen akan menyetujui saja apa yang sudah tertera dalam rancangan yang sudah dibuat pengusulnya. Sebab Parlemen sendiri akan kelelahan, tidak berdaya, dan tidak mempunyai cukup waktu untuk mengkaji satu persatu pasal dari UU yang besar dan gendut ini.
 
Itulah kenapa Omnibus Bill atau Omnibus Law ini disebut sebagai "The Big Ugly" di negara asalnya sendiri.
 
UU model ini banyak dikritik oleh publik di Amerika maupun Kanada (negara yang paling pertama dan masih sering menerapkan Omnibus Bill) sebagai "anti democratic bill" (undang-undang anti demokrasi). Sebab sering digunakan untuk meloloskan materi-materi yang kontroversial dan ditolak oleh warga dengan cara meramunya dalam sebuah undang-undang yang besar dan gemuk yang dibahas dengan waktu yang sangat singkat sehingga bisa menekan perdebatan dan partisipasi publik.
 
Anehnya, UU model seperti ini ternyata bisa masuk dan diadopsi di Indonesia. 
 
Belum lagi jika dilihat dari tradisi dan sistem perundang-undangan di Indonesia yang sama sekali tidak mengenal undang-undang model Omnibus yang bersumber dari sistem Anglo Saxon ini, sedangkan kita bukan penganut Anglo Saxon sehingga watak perundang-undangan kita pun sangat berbeda dengan Amerika dan Kanada, tempat di mana Omnibus Bill ini dilahirkan dan dikembangkan.
 
Saking anehnya UU model Omnibus ini, Profesor (Guru Besar) Ilmu Perundang-undangan nomor wahid di Indonesia pun, yakni Prof. Maria Farida sempat kebingungan dan tidak tahu tentang Omnibus Law ini. Sebab Omnibus Law ini memang tumbuh dan berkembang di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika dan Kanada. Sementara sistem perundang-undangan kita kebanyakan berkiblat pada tradisi Eropa Kontinental seperti Belanda dan Jerman yang memang tidak mengenal UU model ini.