Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 05 Desember 2013

Penolakan Permohonan yang Tidak Jelas (Vexatious Request) dalam Hukum Acara Komisi Informasi


        Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu undang-undang yang dilahirkan dengan semangat keterbukaan dan kebebasan dalam suasana euphoria demokrasi pasca tumbangnya orde baru. Oleh karena dilahirkan dengan semangat keterbukaan dan kebebasan, rupanya undang-undang tersebut mengandung kebebasan dan keleluasaan akses terhadap informasi publik yang sangat luas. Pada saat yang bersamaan, undang-undang tersebut kurang memenuhi unsur kejelasan (lex certa) dan ketegasan (lex stricta)  dalam mengatur mekanisme permohonan informasi dan penyelesaian sengketa informasi. Implikasinya, muncul celah hukum (rechtskloof) yang dapat dimanfaatkan oleh pemohon informasi dan pemohon penyelesaian sengketa informasi dengan permohonan permohonan yang tidak jelas, baik tujuan maupun alasannya.
 
Dalam pelaksanaannya, kelemahan pengaturan syarat-syarat permohonan informasi dan penyelesaian sengketa informasi tersebut kemudian terbukti menimbulkan masalah yang cukup serius. Secara faktual Komisi Informasi banyak mendapati permohonan yang diajukan dalam jumlah yang besar, baik satu persatu secara bertahap maupun sekaligus, tanpa alasan dan tujuan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Permohonan-permohonan tersebut diajukan oleh pemohon tanpa didasari itikad baik (goeder throuw) untuk menyelesaikannya melalui prosedur penyelesaian sengketa informasi publik (hukum acara) yang berlaku di Komisi Informasi. Bahkan dalam kasus konkret, ditemukan adanya pemohon-pemohon penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) yang mengajukan permohonan dengan jumlah ratusan dalam rentang waktu tertentu tanpa kejelasan alasan dan tujuan. Permohonan-permohonan semacam itu pada gilirannya terbukti mengganggu proses penyelesaian sengketa informasi di KI, karena mau tidak mau harus diproses oleh KI, namun sayangnya proses tersebut tidak diindahkan/diikuti dengan baik oleh pemohonnya sendiri.
Atas dasar fakta-fakta itulah kemudian Komisi Informasi “memasukan” mekanisme pengabaian/penolakan terhadap permohonan-permohonan yang demikian itu melalui Pasal 4 Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP). Pasal 4 tersebut mengatur mengenai penghentian proses penyelesaian sengketa informasi terhadap permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan itikad baik (vexatious request). Rumusan dan unsur-unsur dari suatu permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan itikad baik tersebut dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (3). Terhadap permohonan yang memenuhi rumusan/unsur Pasal 4 ayat (3) itu, KI dapat menghentikan proses penyelesaiannya dengan menetapkannya melalui Keputusan Ketua KI.
Oleh karena Pasal 4 Perki PPSIP tersebut mengandung ketentuan yang dapat membatasi hak pemohon penyelesaian sengketa informasi, tak pelak ketentuan tersebut mengundang diskursus dan polemik. Namun demikian, dapat diterangkan bahwa Pasal 4 Perki PPSIP tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencari jalan keluar atas kebuntuan (rechts impasse) undang-undang No. 14 Tahun 2008 yang tidak cukup tegas mengatur syarat-syarat permohonan penyelesaian sengketa informasi yang kemudian memungkinkan masuknya permohonan yang sebetulnya tidak layak disengketakan karena tidak jelas alasan dan tujuan permohonannya. Sementara telah menjadi asas umum dalam hukum acara dimana pun bahwa kejelasan permohonan/gugatan menjadi syarat utama permohonan tersebut untuk dapat diproses.
Proses penolakan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perki PPSIP sebetulnya juga lazim dikenal dan dipraktekan di dalam pengadilan-pengadilan meskipun dengan istilah dan mekanisme tersendiri, seperti misalnya di pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang dikenal dengan istilah dismissal procces,[1] yaitu suatu proses sebelum atau diawal persidangan guna meneliti kelengkapan, ketepatan, atau kelayakan permohonan untuk disidangkan. Hanya saja perbedaannya terletak pada alasan dan mekanisme penolakannya, termasuk upaya hukum yang dapat ditempuh guna melawan keputusan penolakan (dismissal procces) tersebut. Pasal 62 UU PTUN membuka ruang untuk upaya hukum guna melawan keputusan penolakan tersebut. Sedangkan Pasal 4 Perki PPSIP tidak menyediakan upaya hukum yang dapat ditempuh guna melawan keputusan penghentian proses penyelesaian sengketa.
Pembatasan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Perki PPSIP tidak dapat dipandang begitu saja sebagai pengabaian hak atas informasi. Betul bahwa hak atas informasi adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD (Pasal 28F), namun hak tersebut tidak serta merta dapat dituntut pemenuhannya secara sembarangan tanpa memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip umum persidangan/ajudikasi (general principles of adjudication). Sebab hak atau kebebasan tanpa disertai tanggung jawab hanya akan mengacaukan kebebasan itu sendiri.[2] Itulah sebabnya dalam perubahan kedua UUD 1945 (tentang Hak Asasi Manusia; Bab XA) disertakan juga klausul pembatasan terhadap hak asasi manusia itu sendiri, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J. Pada pokoknya Pasal 28J ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berkenaan dengan hak atas informasi, hak atas informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 merupakan salah satu hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable right) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28J diatas.[3] Oleh karena itu hak atas informasi tidak menutup kemungkinan untuk dibatasi, salah satunya dengan mengatur mekanisme atau tata cara penolakan penyelesaian sengketa informasi atas permohonan yang tidak jelas (vexatious request).



[1] Vide Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[2] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 230.
[3] Disebut sebagai derogable right karena hak atas informasi tidak termasuk kedalam kelompok hak yang disebut dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang memuat hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable right).