Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 28 Januari 2014

Kewenangan DPD dalam Penyusunan Prolegnas Pasca Putusan MK

      Sebelum adanya Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 mengenai kewenangan DPD dalam pembentukan UU, wewenang dan keterlibatan DPD dalam pembentukan undang-undang sangat terbatas dan sumir. Persoalan tersebut terjadi oleh karena pengaturan fungsi legislasi DPD dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dinilai mereduksi fungsi legislasi DPD sebagaimana diberikan oleh Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945.
           Jika dibandingkan dengan DPR sebagai mitranya dalam melaksanakan dan mengemban fungsi legislasi, fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD amatlah terbatas. Fungsli legislasi DPD hanya terbatas pada empat hal, yaitu:
1.       Mengajukan RUU tertentu;
2.       Ikut membahas RUU tertentu;
3.    Memberikan pertimbangan atas RUU tentang APBN serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
4.  Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang menjadi lingkup kewenangannya sebagaimana dimaksud diatas.
            Dalam pada itu Saldi Isra mengomentari bahwa hak legislasi DPD begitu terbatas dan sangat tergantung kepada DPR, sehingga fungsi legislasi hanya menjadi monopoli DPR. Dalam pandangan yang serupa dalam menyoroti fungi dan wewenang “mini” DPD, HAS Natabaya menyebut DPD dengan istilah pembentuk undang-undang serta mini (kleine mede wetgever).
          Kewenangan konstitusional yang terbatas itu diperparah karena pada pelaksanaannya, peran dan keterlibatan DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya “dikebiri” sedemikian rupa oleh ketentuan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan UU No. 12 Tahun tentang P3, dimana dalam pembentukan undang-undang tertentu yang menjadi wewenang DPD berdasarkan pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD, DPD tidak dilibatkan sebagaimana yang seharusnya menurut UUD NRI Tahun 1945.
            Oleh karenanya tidak mengherankan apabila kemudian Stephen Sherlock dalam penelitiannya mengenai DPD menyatakan bahwa kewenangan konsitusional dan praktik legislasi yang dimiliki DPD tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga yang kewenangannya terbatas dengan legitimasi yang tinggi (represent the odd combination of limited powers and high legitimacy). Lebih lanjut Stephen Sherlock mengatakan bahwa kombinasi tersebut tidak ditemukan dalam praktik sistem bikameral manapun di dunia.
          Kewenangan konstitusional DPD yang terbatas itu ternyata pada tataran yuridis formalnya (UU) masih juga direduksi oleh ketentuan UU MD3 dan UU P3 sehingga menyebabkan DPD semakin terbatas ruang geraknya dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Oleh sebab itu pada Sidang Paripurna DPD tertanggal 5 April 2012, DPD memutuskan untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke MK. Uji materi itu dilakukan terhadap sejumlah pasal UU MD3 dan UU P3 yang dianggap mereduksi dan menjadi penyebab terhalangnya kesempatan DPD untuk melaksanakan fungsi legislasinya sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945.
             Dalam uji materi tersebut, secara garis besarnya DPD memohon pengujian terhadap sejumlah pasal UU MD3 dan UU P3 yang berkenaan dengan pengajuan RUU dan pembahasa RUU yang dianggap oleh pemohon (DPD) mereduksi kewenangan DPD sebagaimana yang diberikan oleh Pasal pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
         Namun perlu ditegaskan oleh penulis bahwa karena tulisan ini berfokus pada pembahasan mengenai Prolegnas, maka yang akan menjadi domain pembahasan dan analisis daripada permohonan judicial review dan putusannya, dibatasi hanya yang menyangkut Prolegnas, yaitu sepanjang mengenai hak DPD dalam mengajukan usul RUU prioritas tertentu dan keterlibatannya dalam penyusunan Prolegnas.
       Putusan MK No. 92/PUU-X/2012
                 Kesepakatan untuk mengajukan permohonan judicial review atas sejumlah pasal UU MD3 dan UU P3 sepanjang yang menyangkut wewenang DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU tertentu diputuskan dalam Rapat Paripurna DPD 5 April 2012.
                 Dalam keputusannya tersebut, DPD menunjuk pimpinan DPD untuk mewakili DPD dalam permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Kemudian pada tanggal 14 Mei 2012 pimpinan DPD menyerahkan kuasanya kepada kuasa hukum DR. Todung Mulya Lubis dkk, untuk mengajukan permohonan judicial review kepada MK. Berselang empat bulan, yaitu pada tanggal 14 September 2012, kuasa hukum DPD mengajukan berkas permohonan pengujian undang-undang secara resmi kepada kepaniteraan MK dan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi dengan nomor 92/PUU-X/2012.
                 Di dalam Posita, pada pokoknya pemohon (DPD) mendalilkan bahwa berlakunya pasal-pasal UU P3 yang menyangkut penyusunan Prolegnas telah meniadakan kewenangan pemohon untuk dapat mengajukan RUU, baik di dalam Prolegnas maupun di luar Prolegnas. Berikut ini adalah pasal-pasal UU No. 12 Tahun 2012 yang dimaksud:
                 Pasal 18 huruf g:
       “Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang- Undang didasarkan atas:
                 g. Rencana kerja Pemerintah dan rencana strategis DPR.”
                 Pasal 20 ayat (1):
       “Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.”
                 Pasal 21 ayat (1):
       “Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.”
                 Pasal 22 ayat (1):
       “Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.”
                 Pasal 23 ayat (2):
       “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: …”
Akibatnya berlakunya pasal-pasal tersebut, DPD tidak dapat mengajukan RUU baik melalui penyusunan Prolegnas di awal masa keanggotaan DPR untuk Prolegnas jangka menengah dan di setiap akhir tahun untuk Prolegnas tahunan, maupun melalui pengajuan RUU diluar Prolegnas sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 23 ayat (2) UU P3.
       Semua ketentuan pasal-pasal UU P3 yang mengatur mengenai penyusunan Prolegnas sebagaimana disebutkan diatas, telah menutup akses dan wewenang DPD untuk dapat mengajukan RUU yang menjadi kewenangannya untuk masuk dalam Prolegnas. Adapun satu-satunya ruang yang bisa dimanfaatkan bagi DPD untuk mengusulkan RUU prioritas dari DPD dalam Prolegnas ialah dengan mengajukan/mengusulkannya kepada DPR sebagai bagian dari proses penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR. Oleh karena sifatnya hanya berupa usulan dan itu pun dalam posisi yang sejajar atau disamakan dengan alat perlengkapan DPR seperti fraksi, komisi, dan anggota, maka nasib RUU usulan DPD itu sangat tergantung kepada “prerogratif” DPR, apakah akan diteruskan menjadi RUU Prioritas dari DPR untuk dikoordinasikan dengan Pemerintah atau tidak.
          Begitu pun dengan mekanisme pengajuan RUU di luar Prolegnas, DPD tidak diberikan wewenang untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas. Karena berdasarkan pasal 23 ayat (2) UU P3, hanya DPR dan Pemerintah yang dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Demikian juga pembahasan dan persetujuan atas RUU di luar Prolegnas tersebut, hanya dilaksanakan antara Baleg dan Menkum dan HAM.
               Dengan rumusan yang demikian itu, nyatalah kekacauan derivasi nilai-nilai konstitusi dalam pasal-pasal tersebut karena telah secara sistematis mereduksi bahkan meniadakan kewenangan DPD untuk menyusun Prolegnas sebagai bagian dari kewenangan konstitusionalnya menurut pasal 22D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu wewenang untuk dapat mengajukan RUU tertentu.
             Implikasi dari ketiadaan akses DPD dalam penyusunan Prolegnas tentu sangat fatal. Mengapa ? karena menurut UU No. 12 Tahun 2011 (UU P3), setiap pembentukan undang-undang harus direncanakan terlebih dahulu di dalam Prolegnas. Hanya melalui Prolegnas-lah suatu RUU dapat diproses menjadi undang-undang. Dengan perkataan lain, Prolegnas menjadi satu-satunya pintu (syarat) bagi setiap RUU yang akan dibahas bersama oleh pembentuk undang-undang (wetgever). Selama tidak termuat/terdaftar dalam Prolegnas maka RUU tersebut tidak dapat diproses dan diwujudkan menjadi undang-undang.
             Dengan ketiadaan wewenang DPD untuk mengajukan usul RUU prioritas dan ikut menyusun Prolegnas, maka adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa akan lumpuhlah hak DPD untuk dapat mengajukan RUU tertentu dan membahas serta mengawalnya sampai menjadi undang-undang.
  Pemohon mengemukakan bahwa DPD tidak mempunyai kekuatan untuk mengusulkan/merencanakan pembentukan UU dalam Prolegnas. Faktanya, dari 247 RUU Prolegnas 2010-2014, tidak satu pun yang berasal dari usul DPD. Begitupun untuk Prolegnas tahunan, tidak ada satu pun RUU usul DPD. Padahal sejak tahun 2010, DPD selalu mengajukan usul RUU untuk Prolegnas.
            Namun selama ini, tidak ada kejelasan terhadap RUU yang telah diajukan oleh Pemohon, baik mengenai pembahasan maupun hasilnya. Ada beberapa RUU yang tiba-tiba berubah judulnya, namun isinya sebagian besar berasal dari RUU yang disampaikan oleh Pemohon tanpa disertai pembahasan dengan Pemohon. Sebagian besar RUU yang lainnya tidak ada tindak lanjutnya.
        Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam UU P3 tersebut jelas tidak sesuai dengan semangat pembentukan Pemohon dalam UUD 1945 sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
        Pada bagian Petitum, Pemohon memohon kepada MK untuk memberikan kepastian atas kewenangan konstitusional Pemohon dalam bidang legislasi untuk terlibat penuh dalam penyusunan Prolegnas seperti halnya Presiden dan DPR.
        Isi petitum (permohonan) dari pemohon kepada MK pada pokoknya ialah meminta MK membatalkan seluruh ketentuan (pasal atau ayat atau bagian) UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 27 Tahun 2009 yang mengakut kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang sepanjang tidak dimaknai adanya keterlibatan dan kewenangan DPD di dalamnya.
            Setelah melalui proses pemeriksaan persidangan di MK, akhirnya pada tanggal 27 Maret 2013, MK menggelar Sidang Pleno Terbuka untuk umum dan membacakan putusannya.
             Sebelum sampai pada amar putusannya, MK mengemukakan pertimbangan hukum (legal opinion) atas permohonan pemohon dan fakta-fakta persidangan.
            Dalam pendapatnya (legal opinion) mengenai keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas, Mahkamah berpendapat:
       “Bahwa Pemohon mendalilkan, Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011 telah meniadakan kewenangan Pemohon untuk dapat mengajukan RUU, baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
       Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang- Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas.”
       Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, norma undang-undang yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.”
                 Bertolak dari pendapat (legal opinion) tersebut maka kemudian sampailah mahkamah pada amar putusannya. Dalam amar putusannya, mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu mengabulkan permohonan pemohon sepanjang mengenai wewenang pemohon untuk mengajukan RUU tertentu dan ikut membahasnya sampai pada tahap sebelum pengambilan persetujuan bersama. Sedangkan yang tidak dikabulkan adalah permohonan pemohon untuk ikut dalam persetujuan bersama atas RUU tertentu.
       Namun demikian, putusan mahkamah untuk permohonan pemohon yang menyangkut keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas, dikabulkan untuk seluruhnya. Hal tersebut dapat dilihat dari Amar Putusan Mahkamah sebagai berikut:
       Menyatakan:
         “Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), yaitu:
a.    Pasal 18 huruf g bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD
b.    Pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”;
c.    Pasal 21 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi”;
d.   Pasal 22 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”;
e.    Pasal 23 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a)        untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b)  keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;”
              Putusan MK tersebut praktis menimbulkan implikasi yang luas dan mendasar dalam bidang legislasi, tepatnya pembentukan undang-undang. Putusan tersebut pada prinsipnya hendak mengembalikan wewenang DPD yang selama ini direduksi oleh berlakunya pasal-pasal yang dibatalkan (secara bersyarat) agar sesuai dan tidak keluar daripada ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Singkatnya Mahkamah Konstitusi sebagai the sole intrepreter of the constitution hendak mengembalikan wewenang dan kedudukan DPD kepada tempat yang seharusnya berdasarkan amanat pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
          Dalam hubunganya dengan Prolegnas, putusan MK tersebut sudah pasti menimbulkan implikasi dalam hal penyusunan dan penetapan Prolegnas karena salah satu materi muatan pasal-pasal yang dibatalkan oleh MK adalah yang mengatur mengenai Prolegnas.
             Dalam amar putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat atas sejumlah pasal yang menjadi dasar hukum penyusunan dan penetapan Prolegnas. Yang dimaksud inkonstitusional bersyarat dalam putusan tersebut ialah menyatakan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (membatalkan) atas pasal-pasal yang mengatur mengenai Prolegnas, sepanjang tidak dimaknai adanya peran dan keterlibatan DPD dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas untuk RUU tertentu.   Secara a contrario berarti putusan itu menyatakan pasal-pasal tersebut tetap konstitusional apabila DPD dilibatkan dalam penyusunan dan penetapan RUU tertentu.
             Putusan MK tersebut menimbulkan implikasi sekaligus konsekuensi bagi pembentuk undang-undang (wetgever) untuk menyesuaikan peraturan yang mengatur penyusunan Prolegnas agar sesuai dengan putusan tersebut. Artinya, pembentuk undang-undang harus menata ulang (redesign) ketentuan penyusunan Prolegnas sebagaimana yang telah dibatalkan oleh MK agar sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945, dimana DPD harus dilibatkan dan diberikan wewenang untuk menyusun Prolegnas bersama DPR dan Pemerintah dalam derajat kedudukan yang seimbang, tidak lagi ditempatkan secara sub ordinat dibawah DPR.


Selasa, 07 Januari 2014

Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon



 1.   Sistem Hukum Eropa Kontinental
Ciri atau sendi utama dari sistem hukum eropa kontinental terletak pada sumber hukum utamanya. Sumber hukum utama pada sistem hukum ini adalah hukum tertulis yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Hal tersebut ditujukan agar hukum dapat memberikan kepastian hukum (rechts zerkerheid) karena kepastian hukum-lah yang menjadi tujuan utama dari sistem hukum ini.
Dengan bentuknya yang tertulis orang akan mudah melihat dasar/sumber hukumnya, sehingga orang akan sulit mengelak dari ancaman hukum apabila ia melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Dengan demikian kepastian hukum dapat terwujud karena setiap  peristiwa hukum mempunyai  sumber hukumnya yang dapat dilihat dan dibaca (tertulis).
Dalam sistem eropa kontinental, mengetahui peraturan perundang-undangan adalah primer. Sedangkan pengetahuan akan yurisprudensi adalah sekunder. Peranan peraturan perundang-undangan dalam sistem ini sangat determinan. Sumber hukum yang lain baru mendapat tempat manakala peraturan perundang-undangannya bungkam (tidak mengaturnya).
Hakim-hakim di negara yang menganut sistem eropa kontinental menggunakan metode berpikir secara deduktif. Suatu metode berpikir dari yang umum (dari peraturan perundang-undangan) kemudian diterapkan pada peristiwa khusus (konkret).

   2.     Sistem Hukum Anglo Saxon
Berlainan dengan sistem hukum eropa kontinental, ciri atau sendi utama dari sistem hukum anglo saxon justru terletak pada hukum tidak tertulisnya. Sumber hukum utama dan primernya adalah yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk dan terpelihara melalui proses pengadilan berupa putusan hakim.
Sumber hukum utama inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo saxon. Sistem hukum eropa kontinental bersumber/bertumpu pada hukum tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan. Sedangkan sistem hukum anglo saxon bersumber/bertumpu pada hukum tidak tertulis/kebiasaan di dalam peradilan, yaitu yurisprudensi.
Tujuan utama daripada sistem hukum anglo saxon adalah untuk menciptakan keadilan (Gerechtigheid). Untuk mencapai tujuan itu maka dibutuhkan putusan hakim yang benar-benar sesuai dengan dengan rasa keadilan dan kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat.
Hukum harus benar-benar seiring sejalan dengan perasaan hukum masyarakat. Namun di sisi lain hukum itu sendiri sering tertinggal dari perkembangan masyarakat. Oleh sebab itulah dalam sistem hukum anglo saxon, hakim harus mampu mengatasi ambivalensi (pertentangan antara dua hal) tersebut. Hakim di tuntut untuk dapat mewujudkan keadilan dengan memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan kasus yang dihadapinya. Karena itulah sistem hukum ini sering diistilahkan dengan sebutan “case law”, maksudnya ialah sistem hukum yang bertumpu pada peristiwanya/kasusnya.
Yurisprudensi menjadi amat penting dalam sistem hukum ini karena kedudukannya sebagai sendi utama atau sumber hukum yang utama. Bahkan ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa mempelajari dan memahami yurisprudensi bagi hakim di negara-negara anglo saxon adalah primer, sedangkan mempelajari dan memahami undang-undang adalah sekunder.
Begitu pentingnya kedudukan yurisprudensi dalam sistem hukum anglo saxon, maka berlakulah asas preseden bagi setiap hakim di negara-negara yang menganut sistem hukum ini. Suatu asas yang mengharuskan hakim untuk mengikuti putusan hakim lain dalam perkara yang sejenis. Asas ini dikenal juga dengan sebutan “Stare decisis et queita nonmovere.”
Berlakunya asas preseden ini juga dilatarbelakangi oleh suatu asas  yang menyatakan bahwa terhadap perkara yang sama harus diputus dengan putusan yang sama pula (similia similibus). Keharusan bagi hakim untuk mengikuti putusan hakim terdahulu (preseden) tidak dikenal dalam sistem hukum eropa kontinental. Hakim di negara-negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental bebas/tidak terikat pada putusan hakim yang terdahulu.