Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 05 Mei 2015

Constitutional Question atau Pengujian Norma Konkret sebagai Bagian dari Sistem Pengujian Konstitusional





Constitutional question atau pengujian norma konkret merupakan bagian dari sistem pengujian konstitusional atau judicial review. Constitutional question atau pengujian norma konkret itu sendiri hanya salah satu mekanisme saja dari pengujian konstitusional yang secara garis besar terdiri dari dua mekanisme pengujian; (i) pengujian norma abstrak dan (ii) pengujian norma konkret. Mekanisme yang disebut terakhir itulah yang kemudian diistilahkan dengan sebutan constitutional question.
Secara singkat dapat diartikan bahwa pengujian norma abstrak adalah pengujian terhadap undang-undang secara abstrak, dalam arti undang-undang yang diuji itu tidak terkait dengan suatu kasus konkret di pengadilan. Sedangkan pengujian norma konkret adalah pengujian terhadap suatu undang-undang dalam kaitannya dengan kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan.
Hal yang paling prinsip diantara keduanya ialah, baik pengujian norma abstrak maupun pengujian norma konkret atau yang dikenal dengan istilah constitutional question, keduanya sama-sama merupakan mekanisme dalam kerangka pengujian konstitusional, yakni sama-sama bertujuan untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang.[1] Bedanya, mekanisme pertama ditujukan untuk menguji undang-undang dalam kondisi in abstracto, dalam arti tidak sedang dalam penerapan oleh pengadilan, sedangkan mekanisme yang kedua ditujukan untuk menguji undang-undang dalam kondisi in concreto, dalam arti undang-undang tersebut sedang dalam penerapan oleh pengadilan (dalam suatu kasus konkret).
Istilah Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm Review) sebetulnya lebih umum daripada istilah Constitutional Question, karena istilah yang disebut pertama itu dikenal/dipergunakan juga di negara-negara yang meletakan kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya atau yang menganut model decentralized judical review (judicial review yang tersebar) seperti Amerika Serikat. Istilah Pengujian Norma Konkret dipergunakan di negara-negara yang menganut decentralized judicial review karena merujuk pada objek pengujiannya yang berupa norma undang-undang atau peraturan lain dalam kaitannya dengan kasus konkret. Dengan kata lain, disebut “Pengujian Norma Konkret” karena memang judicial review di negara-negara tersebut hanya dapat digerakan/diajukan jika persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang itu terjelma dalam kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan.
Pada mulanya, mekanisme pengujian norma konkret ini merupakan ciri khas dari sistem pengujian konstitusional atau judicial review di negara-negara yang menganut model judicial review yang tersebar (decentralized judicial review), dimana kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD (Konstitusi) diberikan kepada MA dan peradilan yang ada dibawahnya tanpa membentuk lembaga khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi. Model ini dipelopori oleh Amerika Serikat. Disana, judicial review atau pengujian norma hukum baik berupa undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya hanya dapat dilakukan apabila persoalan konstitusionalitas itu muncul dalam suatu kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. Dengan kata lain, judcial review hanya dapat digerakan dan berasal dari adanya kasus konkret. Pengujian pada model ini dilakukan secara langsung bersamaan dengan pemeriksaan kasus konkret yang dimaksud oleh hakim-hakim yang menangani kasus tersebut.[2]
Perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, khususnya di bidang pengujian konstitusional di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi ternyata menunjukan tren yang mengarah pada pengadopsian Pengujian Norma Konkret atau dalam bahasa Jerman disebut Konkrete Normenkontrolle.
Ruang Pengujian Norma Konkret dibuka guna melengkapi sistem pengujian konstitusional yang semula hanya menguji norma abstrak. Hal ini dilakukan dalam upaya meningkatkan ruang pencarian keadilan konstitusional bagi mereka yang dirugikan oleh suatu undang-undang atau peraturan manakala masyarakat dihadapkan pada kasus konkret yang sedang ia hadapi di pengadilan. Dari sisi pengadilan, pengujian norma konkret ini dapat menjadi jalan keluar bagi hakim yang merasa ragu akan konstitusionalitas sebuah norma hukum yang menjadi dasar dari perkara yang sedang ia tangani karena ia dapat menyalurkan/menyerahkan keraguannya tersebut pada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, melalui pengujian konstitusional yang dilakukan dengan cara Constitutional Question ini para hakim di pengadilan biasa tidak “dipaksa” menerapkan undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sehubungan dengan hal tersebut, Leon Duguit di dalam tulisannya yang menguraikan pertentangan antara teori supremasi parlemen dan supremasi konstitusi dalam memandang independesi dan kemerdekaan hakim untuk menolak menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi menyatakan bahwa:
A court which refuse to apply a staute on the grounds of unconstitutionality does not interferce with the exercise of legislative powers. It does not suspend application. The law remains untouched ..... it is simply because the judicial power is distinct from and independent equal to the two others that it cannot be forced to apply the statutes it deems unconstitutional.”[3]
Istilah constitutional question itu sendiri memiliki dua pengertian, umum dan khusus. Dalam pengertian yang umum, constitutional question diartikan sebagai persoalan yang berkaitan dengan konstitusi dan yang lazimnya merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutusnya.[4] Sedangkan dalam pengertiannya yang khusus, constitutional question adalah suatu mekanisme dimana hakim-hakim pada peradilan biasa dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusional (pertanyaan konstitusional) kepada Mahkamah Konstitusi perihal suatu undang—undang yang ia ragukan konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan perkara/kasus konkret yang sedang ia tangani. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi hanya memutus persoalan konstitusionalitas undang-undangnya saja, tidak  memutus kasus konkretnya. Selama Mahkamah Konstitusi belum menjatuhkan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus tersebut dihentikan sementara.[5]
Sejarah kelahiran constitutional question tidak terlepas dari sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi, sebab mekanisme constitutional question itu sendiri adalah bagian dari kewenangan MK dalam area pengujian konstitusional. Sebagaimana diketahui, ide membentuk Mahkamah Konstitusi yang pertama kali digagas oleh Hans Kelsen tidak lain ialah untuk menegakkan konstitusi dengan kewenangan utama membatalkan undang-undang jika undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi.[6]
Dengan demikian, fungsi Mahkamah Konstitusi adalah melaksanakan pengujian konstitusional atau constitutional review. Ada dua tugas utama yang diemban oleh Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya melakukan pengujian konstitusional. Pertama, menjaga berfungsinya proses-proses demokrasi dalam hubungan saling mempengaruhi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan kata lain, constitutional review bertugas mencegah perebutan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Kedua, yang tidak kalah pentingnya dan berkait erat dengan tugas pertama itu ialah untuk melindungi hak-hak atau kehidupan pribadi warga negara dari pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan negara.[7]
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi perlindungan maksimum terhadap hak-hak dasar warga negara.[8] Perlindungan terhadap hak-hak dasar ini menjadi penting digarisbawahi dalam setiap negara hukum (yang demokratis) yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara yang bersangkutan (supreme law of the land), karena tatkala hak-hak dasar itu dimasukkan ke dalam konstitusi, yang berarti telah menjadi bagian dari konstitusi, maka ia mengikat seluruh cabang kekuasaan negara.[9]
Berdasarkan pengantar di atas jelaslah bahwa diadopsinya mekanisme constitutional question dalam sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication) adalah sebagai bagian dari pemberian perlindungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Perlindungan demikian merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan dalam setiap negara hukum yang demokratis.[10]
Dalam pada itu tepatlah kiranya jika Donald Horowitz mengatakan bahwa melalui kewenangan untuk mengadili masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi, sekaligus kewenangan untuk “memaksakan” pentaatan terhadap konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah menjadikan konstitusi benar-benar sebagai dokumen yang hidup (a living document) yang memberi bentuk dan arah kekuasaan politik dalam suatu negara, bukan sekadar kumpulan kalimat-kalimat simbolik atau aspirasional. Dengan cara yang demikian, Mahkamah Konstitusi memberi kontribusi besar bukan hanya bagi terciptanya negara hukum tetapi juga bagi demokrasi.[11]



[1] Lihat Muchamad Ali Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di Indonesia” Majalah Konstitusi Berita Mahkamah Konstitusi, Desember 2009, hlm. 1 dan 5.
[2] Lihat Mauro Cappelleti, The Judicial Process Comperative Perspective, Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 133-135.
[3] Leon Duguit dalam Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op. Cit., hlm. 22-23.
[4] Lihat Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, Durham and London, Duke University Press, 1989, hlm. 1.
[5] Victor Ferreres Comella, “Is the European Model of Constitutional Review in Crisis”, paper presented for the 12th Annual Conference on ‘the Individual Vs. the State’, Central European University, Budapest, June 18-19, 2004, hlm. 4.
[6] Herman Schwartz, Loc.Cit.
[7] H. Hausmaninger, The Austrian Legal System, Wien, Manzsche Verlags- und Universitätsbuchhandlung, 2003, hlm. 139.
[8] Trevor L. Brown & Charles R. Wise, “Constitutional Courts and Legislative-Executive Relations: The Case of Ukraine”, Political Science Quarterly, Vol. 119, No. 1, 1994, hlm. 155.
[9] I Dewa Gede Palguna, Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia, Makalah Pada Seminar Nasional “Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan MK RI di Malang, 21 November 2009, hlm. 3; lebih lanjut dapat dilihat dalam Durga Das Basu, Human Rights in Constitutional Law, Wadhwa and Company, New Delhi- Nagpur-Agra, 2003, khususnya hlm. 48-78 dan hlm. 107-135.
[10]  I Dewa Gede Palguna, Ibid., hlm. 4.
[11] Donald L. Horowitz, “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers” dalam Journal of Democracy, Volume 17, Number 4, October 2006, hlm. 126.

Gagasan Pelembagaan Constitutional Question di Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi RI




Perkembangan hukum di bidang ketatanegaraan, khususnya di negara-negara yang telah mendirikan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai organ penjaga konstitusi sekaligus pelindung hak-hak konstitusional warga negaranya, menunjukan tren kemajuan yang sangat pesat dalam hal jaminan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Salah satu tren dari perkembangan ketatanegaraan modern itu ialah dibukanya akses pengujian konstitusional (constitutional review) melalui mekanisme Constitutional Question di Mahkamah Konstitusi.
Hingga saat ini, tercatat sudah ada 78 negara yang telah membentuk dan memiliki MK yang kewenanganya ialah memutus perkara-perkara konstitusional,[1] termasuk dan yang paling utama ialah kewenangan pengujian konstitusional atau judicial review.[2] Dari negara-negara tersebut, banyak diantaranya yang sudah melengkapi kewenangan Mahkamah Konstitusi-nya dengan mekanisme Constitutional Question. Negara-negara yang tercatat telah menerapkan mekanisme Constitutional Question dalam sistem pengujian konstitusionalnya antara lain Jerman, Austria, Italia, Spanyol, Rusia, Korea Selatan, Kroasia, Thailand serta masih banyak lainnya.[3]
Constitutional Question itu sendiri merupakan suatu mekanisme dalam kerangka pengujian konstitusional, dimana hakim-hakim pada peradilan biasa dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusional (pertanyaan konstitusional) kepada Mahkamah Konstitusi perihal suatu undang—undang yang ia ragukan konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan perkara/kasus konkret yang sedang ia tangani.[4]
Dalam hal Mahkamah Konstitusi (MK) menerima “pertanyaan konstitusional” atau Constitutional Question dari hakim pengadilan, maka terhadap kasus konkret yang dimaksud dihentikan sementara persidangan/pemeriksaannya hingga adanya putusan MK.[5] Mahkamah Konstitusi tentu hanya memeriksa dan memutus konstitusionalitas undang-undang yang dimaksud, bukan memutus kasus konkretnya itu sendiri. Sebab MK tidak mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus konkret karena hal itu merupakan kompetensi absolut peradilan biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung.[6]
Oleh karena objek permohonannya adalah norma undang-undang dalam kaitannya dengan suatu kasus konkret di pengadilan, maka itulah sebabnya mekanisme Constitutional Question ini disebut pula sebagai mekanisme Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm Review).[7]  Jerman, negara yang secara umum dianggap sebagai yang paling menonjol dan sukses mempraktekan pengujian konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi-nya (Bundesverfassungsgerichts),[8] menyebut Constitutional Question ini dengan istilah Konkrete Normenkontrolle.[9]
Berkaca pada negara-negara yang telah mengadopsi Constitutional Question atau Pengujian Norma Konkret sebagaimana disebut diatas, mekanisme itu disediakan guna menyelesaikan persoalan konstitusionalitas suatu norma hukum yang sedang dihadapi oleh pengadilan atau para pihak yang terlibat di dalamnya, yakni dengan jalan memberikan hak kepada hakim atau para pihak untuk mengajukan permohonan pengujian atas norma hukum yang diragukan konstitusionalitasnya itu kepada MK. Karena bukan tidak mungkin persoalan konstitusionalitas sebuah undang-undang justru muncul dari proses litigasi atas suatu kasus konkret di pengadilan.[10]
Kondisi objektif saat ini di Indonesia, mekanisme Constitutional Question sebagaimana dipaparkan diatas itu belum terlembagakan di Mahkamah Konstitusi RI. Padahal (seperti yang telah dikatakan pada akhir paragraf diatas) bukan tidak mungkin persoalan konstitusionalitas atas sebuah undang-undang justru muncul dari proses penyelesaian kasus-kasus konkret di pengadilan.
Pada kenyataannya, dalam praktek pengujian undang-undang terhadap UUD yang dilaksanakan oleh MK RI, kemungkinan-kemungkinan diatas terkonfirmasi dan benar adanya. Hal itu terbukti dengan diajukannya beberapa permohonan pengujian undang-undang yang berpangkal dari kasus konkret di Pengadilan.
Diantara permohonan-permohonan tersebut ada yang diajukan oleh Pemohon yang pada saat yang bersangkutan sedang menjalani proses persidangan (umumnya pidana) di pengadilan, ada pula permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang masih berstatus tersangka dalam suatu kasus pidana sebelum perkaranya dilimpahkan dan diadili di pengadilan. Bahkan ada pula permohonan yang dikarenakan ketiadaan akses terhadap mekanisme Constitutional Question ini baru diajukan oleh Pemohon setelah ia selesai menjalani masa pidananya, dimana ia telah dijatuhi vonnis bersalah oleh pengadilan,[11] ironisnya, sebagian dari pasal-pasal yang menjadi dasar untuk menghukumnya itu kemudian terbukti bertentangan dengan UUD dan dibatalkan oleh MK.[12]
 Seandainya ketika itu mekanisme constitutional question telah diterapkan di Indonesia tentu saja ironi atau kerugian konstitusional seperti yang tergambar diatas bisa dihindari, yakni dengan jalan mengajukan “pertanyaan konstitusional” atau constitutional question atas suatu undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam suatu kasus konkret di pengadilan yang diduga bertentangan dengan UUD.
Melalui mekanisme Constitutional Question, kerugian hak-hak konstitusional warga negara akibat pemberlakuan/penerapan hukum yang bertentangan dengan UUD sebagaimana tergambar diatas dapat dicegah dengan cara mengajukan pertanyaan konstitusional kepada MK untuk menentukan konstitusionalitas undang-undang yang dipersoalkan sebelum putusan pengadilan atas suatu kasus konret tersebut dijatuhkan. Dengan adanya permohonan itu maka segala proses proses persidangan atas perkara konkret yang dimaksud harus dihentikan sementara sampai adanya putusan MK yang akan menentukan konstitusional atau inkonstitusionalnya undang-undang yang dijui. Putusan MK itulah yang akan menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara konret yang dimaksud.
Mekanisme inilah yang tidak dijumpai dalam sistem pungujian konstitusional di Indonesia. Dalam sistem yang berlaku di Indonesia saat ini, meskipun para pihak atau hakim pengadilan dapat saja mengajukan permohonan pengujian atas suatu undang-undang yang diragukan konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan suatu perkara konkret yang sedang berjalan di pengadilan, namun pengujian tersebut tidak dapat menunda persidangan atas kasus konkret yang dimaksud hingga adanya putusan MK. Dengan kata lain, permohonan pengujian undang-undang itu tidak serta merta menghentikan proses pemeriksaan/persidangan yang sedang berjalan di Pengadilan.
Dalam sistem pengujian yang demikian, tidak menutup kemungkinan putusan atas kasus konkretnya dijatuhkan lebih dulu oleh pengadilan, padahal undang-undang yang menjadi dasar putusan tersebut masih diperiksa konstitusionalitasnya oleh MK; apakah konstitusional sehingga dapat diterapkan atau sebaliknya, inkonstitusional sehingga tidak dapat diterapkan.
Dalam keadaan yang paling ekstrem, bukan tidak mungkin pengadilan memutus bersalah seseorang mendahului Putusan MK yang notabene sedang menguji konstitusionalitas undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam kasus konkret yang dimaksud. Sementara MK kemudian menjatuhkan putusan yang membatalkan undang-undang yang menjadi dasar hukum dari putusan pengadilan tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD.
Fakta-fakta diatas menunjukan bahwa sistem pengujian konstitusional kita masih memiliki kelemahan yang dapat bermuara pada tercederainya hak-hak konstitusional warga negara. Hal tersebut jelas tidak sesuai serta bertentangan dengan prinsip-prinsip dan semangat UUD 1945. Sebaliknya, UUD 1945 menghendaki adanya perlindungan maksimal terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan pada saat saat bersamaan meniadakaan kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya, termasuk perlindungan dari kesewenang-wenangan penerapan aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan uraian-uraian dan pertimbangan diatas, gagasan pelembagaan Constitutional Question atau Pengujian Norma Konkret di Indonesia melalui MK RI sebagai upaya untuk memaksimalkan ruang perlindungan dan pencarian keadilan bagi segenap Warga Negara Indonesia bukanlah suatu ide yang mengada-ada. Sebaliknya, gagasan yang demikian justru sangat logis, prospektif, dan bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda bagi negara yang berlandaskan pada hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.[13]



[1] Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, Undang-Undang, dan Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, PSHTN FH UI, Jakarta, 2003.
[2] Sebagaimana dikatakan oleh Herbert Hesmauninger bahwa fungsi dan alasan utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap produk hukum yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi sebagai upaya menegakan Konstitusi di negara-negara demokrasi konstitusional. Lihat Herbert Hesmauninger, The Austrian Legal System, Manzsche Verlagsund Universitat Buchhandlung, Wien, 2003, hlm. 139.
[3] Lihat Muchamad Ali Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di Indonesia” Majalah Konstitusi Berita Mahkamah Konstitusi, Desember 2009, hlm. 7. Lihat juga I Dewa Palguna, Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia, Makalah Pada Seminar Nasional “Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan MK RI di Malang, 21 November 2009, hlm. 4.
[4] Lihat I Dewa Gede Palguna, Ibid., hlm. 2.
[5] Mekanisme penghentian sementara persidangan kasus konkret di Pengadilan biasa ini dimaksudkan untuk menjaga adanya konsistensi Putusan Pengadilan dengan Putusan MK. Pengadilan biasa yang mengadili kasus konkret itu harus menunggu hingga adanya Putusan MK yang akan menentukan konstitusionalitas undang-undang yang diuji. Setelah adanya Putusan MK barulah persidangan atas kasus konkret yang dimaksud dapat dilanjutkan dan putusan pengadilan tersebut tentu saja harus mengikuti Putusan MK; apakah undang-undang yang diuji itu konstitusional sehingga bisa diterapkan oleh pengadilan atau sebaliknya, dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak dapat diterapkan.
[6] Victor Ferreres Comella, “Is the European Model of Constitutional Review in Crisis”, Paper presented for the 12th Annual Conference on ‘the Individual Vs. the State’, Central European University, Budapest, June 18-19, 2004, hlm. 4.
[7] Istilah Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm Review) sebetulnya lebih umum daripada istilah Constitutional Question karena istilah yang disebut pertama itu dikenal/dipergunakan juga di negara-negara yang meletakan kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya atau yang menganut model decentralized judical review (judicial review yang tersebar) seperti Amerika Serikat. Istilah Pengujian Norma Konkret dipergunakan di negara-negara yang menganut decentralized judicial review karena merujuk pada objek pengujiannya yang berupa norma undang-undang atau peraturan lain dalam kaitannya dengan kasus konkret. Dengan kata lain, disebut “Pengujian Norma Konkret” karena memang judicial review di negara-negara tersebut hanya dapat digerakan/diajukan jika persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang itu terjelma dalam kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. Untuk lebih memahami penggunaan istilah “Pengujian Norma Konkret” ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
[8] Dalam menyoroti kemajuan dan kemapanan konstitusionalisme dan perlindungan hak-hak konstitusional di Jerman, David P Currie dengan berani menyimpulkan bahwa Jerman telah melampaui Amerika Serikat dalam bidang tersebut. Lihat dalam David P. Currie, The Constitution of the Federal Republic of Germany, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1994, hlm. 173.
[9] Lihat I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., hlm. 2.
[10] Lihat Muchamad Ali Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di Indonesia”, Op. Cit., hlm. 3-5.
[11] Permohonan Pengujian Undang-Undang ini diajukan oleh Dr. R Panji Utomo yang teregister dengan Nomor Perkara 6/PUU-V/2007. Pasal-Pasal yang dimohonkan pengujiannya dalam permohonan  q quo adalah Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207 dan Pasal 208 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007.
[12] Pasal-Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 154 dan Pasal 155 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Vide Bagian Amar Putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007.
[13] Pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sementara upaya bangsa Indonesia untuk menjamin tegaknya HAM diatur secara lengkap dan rinci dalam Bab X A UUD NRI Tahun 1945 yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.