Constitutional
question atau pengujian norma konkret merupakan bagian dari sistem
pengujian konstitusional atau judicial
review. Constitutional question atau pengujian norma konkret itu sendiri
hanya salah satu mekanisme saja dari pengujian konstitusional yang secara garis
besar terdiri dari dua mekanisme pengujian; (i) pengujian norma abstrak dan (ii)
pengujian norma konkret. Mekanisme yang disebut terakhir itulah yang kemudian
diistilahkan dengan sebutan constitutional
question.
Secara singkat
dapat diartikan bahwa pengujian norma abstrak adalah pengujian terhadap
undang-undang secara abstrak, dalam arti undang-undang yang diuji itu tidak
terkait dengan suatu kasus konkret di pengadilan. Sedangkan pengujian norma
konkret adalah pengujian terhadap suatu undang-undang dalam kaitannya dengan
kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan.
Hal yang paling
prinsip diantara keduanya ialah, baik pengujian norma abstrak maupun pengujian
norma konkret atau yang dikenal dengan istilah constitutional question, keduanya sama-sama merupakan mekanisme
dalam kerangka pengujian konstitusional, yakni sama-sama bertujuan untuk
menguji konstitusionalitas suatu undang-undang.[1]
Bedanya, mekanisme pertama ditujukan untuk menguji undang-undang dalam kondisi in abstracto, dalam arti tidak sedang
dalam penerapan oleh pengadilan, sedangkan mekanisme yang kedua ditujukan untuk
menguji undang-undang dalam kondisi in
concreto, dalam arti undang-undang tersebut sedang dalam penerapan oleh
pengadilan (dalam suatu kasus konkret).
Istilah
Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm
Review) sebetulnya lebih umum daripada istilah Constitutional Question, karena istilah yang disebut pertama itu
dikenal/dipergunakan juga di negara-negara yang meletakan kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung dan
peradilan dibawahnya atau yang menganut model decentralized judical review (judicial review yang tersebar)
seperti Amerika Serikat. Istilah Pengujian Norma Konkret dipergunakan di
negara-negara yang menganut decentralized
judicial review karena merujuk pada objek pengujiannya yang berupa norma
undang-undang atau peraturan lain dalam kaitannya dengan kasus konkret. Dengan
kata lain, disebut “Pengujian Norma Konkret” karena memang judicial review di negara-negara tersebut hanya dapat digerakan/diajukan
jika persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang itu terjelma dalam kasus
konkret yang sedang berjalan di pengadilan.
Pada mulanya,
mekanisme pengujian norma konkret ini merupakan ciri khas dari sistem pengujian
konstitusional atau judicial review
di negara-negara yang menganut model judicial
review yang tersebar (decentralized
judicial review), dimana kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap
UUD (Konstitusi) diberikan kepada MA dan peradilan yang ada dibawahnya tanpa
membentuk lembaga khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi. Model ini dipelopori
oleh Amerika Serikat. Disana, judicial
review atau pengujian norma hukum baik berupa undang-undang maupun
peraturan perundang-undangan lainnya hanya dapat dilakukan apabila persoalan konstitusionalitas
itu muncul dalam suatu kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. Dengan
kata lain, judcial review hanya dapat
digerakan dan berasal dari adanya kasus konkret. Pengujian pada model ini
dilakukan secara langsung bersamaan dengan pemeriksaan kasus konkret yang
dimaksud oleh hakim-hakim yang menangani kasus tersebut.[2]
Perkembangan
ketatanegaraan dewasa ini, khususnya di bidang pengujian konstitusional di
negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi ternyata menunjukan tren yang
mengarah pada pengadopsian Pengujian Norma Konkret atau dalam bahasa Jerman disebut Konkrete Normenkontrolle.
Ruang
Pengujian Norma Konkret dibuka guna melengkapi sistem pengujian konstitusional
yang semula hanya menguji norma abstrak. Hal ini dilakukan dalam upaya
meningkatkan ruang pencarian keadilan konstitusional bagi mereka yang dirugikan
oleh suatu undang-undang atau peraturan manakala masyarakat dihadapkan pada
kasus konkret yang sedang ia hadapi di pengadilan. Dari sisi pengadilan,
pengujian norma konkret ini dapat menjadi jalan keluar bagi hakim yang merasa
ragu akan konstitusionalitas sebuah norma hukum yang menjadi dasar dari perkara
yang sedang ia tangani karena ia dapat menyalurkan/menyerahkan keraguannya
tersebut pada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian,
melalui pengujian konstitusional yang dilakukan dengan cara Constitutional Question ini para hakim
di pengadilan biasa tidak “dipaksa” menerapkan undang-undang yang dianggapnya
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sehubungan dengan hal tersebut, Leon
Duguit di dalam tulisannya yang menguraikan pertentangan antara teori supremasi
parlemen dan supremasi konstitusi dalam memandang independesi dan kemerdekaan
hakim untuk menolak menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan
konstitusi menyatakan bahwa:
A court which
refuse to apply a staute on the grounds of unconstitutionality does not
interferce with the exercise of legislative powers. It does not suspend
application. The law remains untouched ..... it is simply because the judicial
power is distinct from and independent equal to the two others that it cannot
be forced to apply the statutes it deems unconstitutional.”[3]
Istilah constitutional question itu sendiri memiliki
dua pengertian, umum dan khusus. Dalam pengertian yang umum, constitutional question diartikan
sebagai persoalan yang berkaitan dengan konstitusi dan yang lazimnya merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutusnya.[4]
Sedangkan dalam pengertiannya yang khusus, constitutional
question adalah suatu mekanisme dimana hakim-hakim pada peradilan biasa
dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusional (pertanyaan
konstitusional) kepada Mahkamah Konstitusi perihal suatu undang—undang yang ia
ragukan konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan perkara/kasus konkret yang
sedang ia tangani. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi hanya memutus persoalan konstitusionalitas
undang-undangnya saja, tidak memutus
kasus konkretnya. Selama Mahkamah Konstitusi belum menjatuhkan putusannya, pemeriksaan
terhadap kasus tersebut dihentikan sementara.[5]
Sejarah
kelahiran constitutional question
tidak terlepas dari sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi, sebab mekanisme constitutional question itu sendiri
adalah bagian dari kewenangan MK dalam area pengujian konstitusional. Sebagaimana
diketahui, ide membentuk Mahkamah Konstitusi yang pertama kali digagas oleh
Hans Kelsen tidak lain ialah untuk menegakkan konstitusi dengan kewenangan
utama membatalkan undang-undang jika undang-undang itu bertentangan dengan
konstitusi.[6]
Dengan demikian,
fungsi Mahkamah Konstitusi adalah melaksanakan pengujian konstitusional atau constitutional review. Ada dua tugas
utama yang diemban oleh Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya melakukan
pengujian konstitusional. Pertama, menjaga
berfungsinya proses-proses demokrasi dalam hubungan saling mempengaruhi antara
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan kata lain, constitutional review bertugas mencegah
perebutan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan
cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Kedua,
yang tidak kalah pentingnya dan berkait erat dengan tugas pertama itu ialah
untuk melindungi hak-hak atau kehidupan pribadi warga negara dari pelanggaran
yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan negara.[7]
Jadi, secara
singkat dapat dikatakan bahwa gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi adalah
upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi perlindungan
maksimum terhadap hak-hak dasar warga negara.[8]
Perlindungan terhadap hak-hak dasar ini menjadi penting digarisbawahi dalam
setiap negara hukum (yang demokratis) yang menempatkan konstitusi sebagai hukum
tertinggi di negara yang bersangkutan (supreme
law of the land), karena tatkala hak-hak dasar itu dimasukkan ke dalam
konstitusi, yang berarti telah menjadi bagian dari konstitusi, maka ia mengikat
seluruh cabang kekuasaan negara.[9]
Berdasarkan
pengantar di atas jelaslah bahwa diadopsinya mekanisme constitutional question dalam sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication) adalah
sebagai bagian dari pemberian perlindungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional
warga negara. Perlindungan demikian merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan
dalam setiap negara hukum yang demokratis.[10]
Dalam pada itu
tepatlah kiranya jika Donald Horowitz mengatakan bahwa melalui kewenangan untuk
mengadili masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi, sekaligus kewenangan untuk
“memaksakan” pentaatan terhadap konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah menjadikan
konstitusi benar-benar sebagai dokumen yang hidup (a living document) yang memberi bentuk dan arah kekuasaan politik
dalam suatu negara, bukan sekadar kumpulan kalimat-kalimat simbolik atau
aspirasional. Dengan cara yang demikian, Mahkamah Konstitusi memberi kontribusi
besar bukan hanya bagi terciptanya negara hukum tetapi juga bagi demokrasi.[11]
[1]
Lihat Muchamad Ali Safa’at, “Menggagas
Constitutional Question di Indonesia” Majalah Konstitusi Berita Mahkamah
Konstitusi, Desember 2009, hlm. 1 dan 5.
[2]
Lihat Mauro Cappelleti, The Judicial
Process Comperative Perspective,
Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 133-135.
[3] Leon Duguit dalam
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Op.
Cit., hlm. 22-23.
[4]
Lihat Donald P. Kommers, The
Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, Durham and
London, Duke University Press, 1989, hlm. 1.
[5]
Victor Ferreres Comella, “Is the European
Model of Constitutional Review in Crisis”, paper presented for the 12th
Annual Conference on ‘the Individual Vs. the State’, Central European
University, Budapest, June 18-19, 2004, hlm. 4.
[6]
Herman Schwartz, Loc.Cit.
[7]
H. Hausmaninger, The Austrian Legal
System, Wien, Manzsche Verlags- und Universitätsbuchhandlung, 2003, hlm.
139.
[8]
Trevor L. Brown & Charles R. Wise, “Constitutional
Courts and Legislative-Executive Relations: The Case of Ukraine”, Political
Science Quarterly, Vol. 119, No. 1, 1994, hlm. 155.
[9]
I Dewa Gede Palguna, Constitutional Question: Latar Belakang
dan Praktik Di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia,
Makalah Pada Seminar Nasional “Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana
Menjamin Supremasi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian
Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen
dan Kepaniteraan MK RI di Malang, 21 November 2009, hlm. 3; lebih lanjut dapat
dilihat dalam Durga Das Basu, Human
Rights in Constitutional Law, Wadhwa and Company, New Delhi- Nagpur-Agra,
2003, khususnya hlm. 48-78 dan hlm. 107-135.
[11]
Donald L. Horowitz, “Constitutional
Courts: A Primer for Decision Makers” dalam Journal of Democracy, Volume
17, Number 4, October 2006, hlm. 126.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar