Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 27 Maret 2014

Isu Kudeta dalam Huru-Hara 1998

Catatan Singkat

Mengenai isu kudeta 1998 pasca kejatuhan Soeharto, sebetulnya yg lebih berkesempatan untuk kudeta pada waktu itu bukan Panglima ABRI (pimpinan tertinggi TNI-Polri) yg ketika itu dijabat Jend. Wiranto. Kesempatan lebih besar justru ada dalam genggaman Letjen. Prabowo.

Ketika itu hubungan Letjen Prabowo - Brigjen Suharto - Mayjen Muchdi P.R, masing-masing sebagai Pangkostrad, Danpasmar, dan Danjen Kopassus, disebut-sebut sebagai triumvirat. Masing-masing panglima itu memimpin pasukan tempur terpusat; Kostrad, Marinir, dan Kopassus.

Kekuatan triumvirat yang membawahi unsur terpenting dalam tubuh ABRI itu ditambah lagi oleh setidaknya satu kekuatan yang akan sangat menentukan. Komando teritorial di Jakarta (Kodam Jaya) ketika itu dipegang Pangdam Sjafrie Sjamsoeddin yg dikenal dekat dengan Prabowo karena satu leting lulusan Akmil 74 serta sama-sama berasal dari kesatuan baret merah (Kopassus).

Dengan sikap Prabowo yg "dikenal" seringkali melakukan insubordinasi terhadap Wiranto, bahkan tercium aroma persaingan diantara keduanya, jelas lah Wiranto kurang percaya diri untuk melakukan kudeta. Kubu Prabowo dikhawatirkan akan bersebrangan dengannya sehingga Wiranto tidak punya cukup kekuatan untuk kudeta. Justru akan menjadi malapetaka bila seandainya Prabowo melakukan kontra-kudeta.

Wiranto memang Pangab ketika itu, menjadi pucuk pimpinan dalam hierarki ABRI, namun Wiranto hampir tidak punya cukup kekuatan untuk kudeta jika Prabowo bersebrangan dengannya. Sedangkan Prabowo, meskipun hanya seorang Pangkostrad (bintang 3), namun ia memiliki dukungan kekuatan pasukan yang ril, khususnya dari Kostrad-Marinir-Kopassus, plus perkiraan dukungan Kodam Jaya.

"Persaingan" atau bahkan mungkin "persebrangan" diantara keduanya (WIranto-Prabowo), sadar tidak sadar adalah faktor utama pencegah terjadinya kudeta ditengah" kondisi ibu pertiwi yg sedang "sakit" ketika itu.

Keduanya sama-sama bertahan, sama-sama mengkalkulasi kekuatan masing-masing sampai akhirnya tiba pada kesimpulan: ABRI tidak akan solid untuk kudeta, Wiranto ataupun Prabowo yang melakukannya. Masing-masing diantara mereka akan menjadi pendulum yg bersebrangan dan berhadap-hadapan.

Itulah teori singkat terkait peristiwa huru-hara 98 dengan segala intrik di dalamnya, utamanya isu pengambilalihan kekuasaan pemerintahan oleh militer atau disebut kudeta.

Kamis, 13 Maret 2014

Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht)

Sejarah Kelahiran dan Kedudukan MK Jerman

Pembentukan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassung gericht) tahun 1949 merupakan bagian dari reformasi total pasca kehancuran negara tersebut akibat Perang Dunia ke 2. Pembentukannya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang situasi yang ada pada saat itu dimana muncul keinginan yang kuat dari rakyat Jerman untuk mendirikan negara demokratik konstitusional setelah sebelumnya dibelenggu oleh rezim totaliter Nazi. Tujuannya ialah untuk memastikan agar di masa mendatang, tidak akan ada lagi pemerintahan totaliter atau fasis di Jerman seperti yang terjadi pada masa lalu dibawah pimpinan Adolf Hitler.[1] Mengenai hal ini Michaela Hailbronner mengatakan bahwa:
“The German Constitutional Court draws its considerable strength from the reaction to the German Nazi past: Because the Nazis abused rights and had been elected by the people, the argument runs, it was necessary to create a strong Court to guard these rights in the future.”[2]
Pembentukan MK Jerman dituangkan dalam Basic Law 1949 (Grundgesetz). Mahkamah Konstitusi Jerman berkedudukan di Kalsruhe, sebuah kota yang disebut-sebut sebagai ibu kotanya hukum, karena di kota itulah pengadilan-pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung Jerman berkedudukan.[3]
Sebetulnya, jauh sebelum terbentuknya MK Jerman pada tahun 1949, di Jerman telah dibentuk semacam Peradilan Negara (State Adjudication) pada era Konfederasi tahun 1815 yang fungsinya mirip dengan Mahkamah Konstitusi. Ide pembentukan Peradilan Negara itu sendiri dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menangani sengketa kewenangan antar negara bagian yang ada dibawah Konfederasi Jerman 1815.[4]
Jadi kompetensi Peradilan Negara ini ialah menyelesaikan sengketa kewenangan antar negara bagian yang bernaung di bawah Konfederasi Jerman yang ketika itu berjumlah 36 negara bagian.[5] Peradilan ini lah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari MK Jerman yang kita kenal sekarang ini.
Sayangnya, di dalam perjalanannya, Peradilan Negara ini tidak berhasil menunjukan eksistensi dan supremasinya. Hal tersebut disebabkan karena pada waktu itu ide konstitusionalisme dan persoalan HAM tidak mendapat perhatian serius di Jerman.[6]
Perkembangan ketatanegaraan Jerman memasuki babak baru pada saat terbentuknya Konstitusi Weimar 11 Agustus 1919. Konstitusi yang dibuat setahun setelah kekalahan Jerman pada Perang Dunia ke 1 itu secara resmi mengganti bentuk pemerintahan Jerman dari yang semula berbentuk Kekaisaran (sejak tahun 1871-1918) menjadi Republik (1919-1933).[7]
Melalui Konstitusi Weimar dibentuklah sebuah organ bernama Staatsgerichtshof/Reichgerichtshof. Organ ini disebut-sebut sebagai embrio dari MK Jerman.[8] Organ tersebut memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah federal/pusat dengan negara bagian serta sengketa yang terjadi diantara negara-negara bagian itu sendiri. Akan tetapi sayangnya mekanisme perlindungan HAM dan judicial review pada periode ini kurang berkembang karena dianggap bertentangan dengan teori konstitusional yang berlaku pada saat itu, yakni teori supremasi parlemen.[9]
Pada periode Konstitusi Weimar (1919-1933), Reichgerichtshof dan lembaga judicial review lebih banyak dilingkupi aneka kontroversi daripada prestasi. Akibatnya, Reichgerichtshof oleh banyak kalangan (salah satunya Carl Schmitt), dinilai telah gagal menjalankan tugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).[10]
Pengalaman yang kurang menggembirakan berupa kegagalan demi kegagalan dalam merancang Peradilan Negara yang akan difungsikan sebagai pelindung konstitusi ternyata menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Jerman di kemudian hari untuk menemukan bentuk yang ideal dari peradilan yang dimaksud.
Harapan untuk membentuk peradilan konstitusi yang solid dan efektif menemui titik terang seiring dengan berakhirnya Perang Dunia ke 2. Sesaat setelah berakhirnya perang, para ahli hukum tata negara Jerman berusaha merancang kembali bangunan peradilan (konstitusi) yang ideal sebagai bagian dari reformasi total di Jerman pasca Perang Dunia ke 2. Diantara ahli hukum itu terdapat tiga nama penting yang besar pengaruhnya dalam menggagas pembentukan MK Jerman sebagai institusi peradilan yang mandiri dan terpisah dari MA. Mereka adalah Richrad Thoma, Gerhard Anschutz, dan Gustav Radbruch.
Menurut mereka, tugas dan kewajiban untuk menyelesaikan perkara-perkara konstitusional seyogianya dilaksanakan oleh MK, bukan peradilan biasa yang berpuncak pada MA seperti model Amerika.[11]
Upaya untuk membentuk MK Jerman menjadi semakin konkret manakala diadakan rapat dalam rangka menyusun Konstitusi Jerman yang dikenal dengan istilah “Rapat Besar Konstitusi” pada tahun 1948 di Herrenchiemsee.[12] Semangat pembentukan MK Jerman dalam rapat tersebut nampaknya sudah tidak terbendung lagi. Rapat tersebut telah berhasil menetapkan substansi-substansi penting bagi Konstitusi (Basic Law) yang akan disahkan dikemudian hari.
Salah satu substansi penting yang berhasil disepakati dalam rapat tersebut ialah mengenai perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi Jerman, lengkap dengan kewenangannya yang luas dan lebih kuat dari Staatsgerichtshof pada masa yang lalu. Sehingga lembaga tersebut diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam menjamin tegaknya konstitusi dan perlindungan HAM di Jerman.[13]
Dalam tulisan Martin Borowski yang salah satu bagiannya mengulas sejarah singkat penyusunan Konstitusi Jerman 1949, diceritakan bahwa:
The conference—whose participants’ expertise is an established fact—worked up a draft of a constitution as a guideline for the deliberations that would follow. They succeeded in setting down many of the fundamentals of the forthcoming constitution. The draft of the Herrenchiemsee Conference (HChE) comprises, in section viii, arts. 97 to 100, an independent section respecting the Federal Constitutional Court; ..... the Herrenchiemsee Conference emphasizes that the powers of the constitutional court, by comparison with those of the Staatsgerichtshof of the Weimar Constitution, ought to be enlarged. In this way, the new constitution could become the “real guardian of the constitution.”[14]
Akhirnya, melalui pengesahan Basic Law pada tanggal 23 Mei 1949, lahirlah sebuah institusi peradilan baru di Jerman yang dirancang untuk menangani perkara-perkara konstitusional yang bernama “Bundesverfassungsgericht” atau yang kita kenal dengan sebutan Mahkamah Konstitusi Jerman.
Dalam pergaulan dan pembicaraan tentang Mahkamah Konstitusi di dunia, MK Jerman menempati kedudukan yang sangat terhormat. Hal ini disebabkan karena luasnya kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh MK Jerman sebagai pengawal Konstitusi di negaranya (grundgesetz). Disamping itu, pada kenyataannya MK Jerman juga mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya yang luas itu dengan sangat baik sehingga semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai organ federal yang sangat dihormati dan disegani, tidak hanya di Jerman melainkan juga di dunia.[15]
Luasnya kewenangan yang dimiliki MK Jerman bersumber dari Konstitusi dan juga undang-undang yang mengatur tentang MK Jerman. Salah satu faktor yang menyebabkan luas dan fleksibelnya kewenangan MK Jerman ialah karena Konstitusi Jerman, tepatnya Pasal 93 ayat (2), mengizinkan adanya penambahan kewenangan MK Jerman melalui undang-undang (UU tentang Mahkamah Konstitusi).[16] Hal mana merupakan suatu ketentuan yang sangat bertolak belakang dengan rumusan kewenangan MK Indonesia yang secara limitatif sudah ditentukan dan dibatasi oleh UUD 1945, tepatnya oleh Pasal 24 C.
Sebagai sebuah negara federal, selain memiliki Mahkamah Konstitusi di tingkat pusat (Bundesverfassungsgericht), tiap-tiap negara bagian di Jerman yang jumlahnya 16[17] juga memiliki MK negara bagiannya masing-masing.[18]
Meski antara satu MK negara bagian dengan MK negara bagian lainnya memiliki kewenangan yang berbeda-beda, namun secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi MK negara bagian itu ialah untuk menyelesaikan perkara-perkara konstitusional di level regional/negara bagian dengan mengacu pada konstitusi negara bagiannya masing-masing. Dengan kata lain, fungsi MK negara bagian ini ialah untuk mempertahankan konstitusi negara bagiannya masing-masing dari segala bentuk pelanggaran.
Diantara beragam kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing MK Negara Bagian itu, kewenangan pengujian konstitusional (abstract dan concrete review) dan kewenangan penyelesaian sengketa Pemilu (di tingkat negara bagian) merupakan dua kewenangan yang paling umum dan dimiliki oleh semua MK negara bagian di Jerman.[19]
Ruang lingkup kekuasaan atau kompetensi relatif dari MK negara bagian ini tentu saja terbatas hanya pada wilayah negara bagiannya saja.
Dalam kaitannya dengan MK Federal Jerman, dapat dipastikan bahwa tidak ada hubungan struktural atau hierarkis antara MK Federal dengan MK negara bagian. Artinya, MK negara bagian bukan lah cabang dari MK Federal.[20] Yurisdiksi Mahkamah Konstitusi Federal ialah menangani perkara-perkara konstitusional ditingkat federal dengan menggunakan Konstitusi Federal sebagai landasannya, sementara MK negara bagian menangani perkara-perkara konstitusional ditingkat regional/negara bagian dengan menggunakan Konstitusi Negara Bagian sebagai landasannya.[21]
Mungkin satu-satunya hubungan antara MK Federal dengan MK negara bagian adalah hubungan dalam perpsektif struktur ketatanegaraan yang menimbulkan konsekuensi bahwa segala Putusan MK Federal mengikat MK negara bagian. Sebab dalam struktur ketatanegaraan Jerman, kedudukan MK Federal Jerman lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan MK negara bagian. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa landasan pembentukan MK Jerman beserta kewenangannya bersumber dari Konstitusi Federal. Sedangkan landasan pembentukan MK Negara Bagian berikut kewenangannya bersumber dari Konstitusi Negara bagian. Sementara kita tahu bahwa Konstitusi Federal Jerman merupakan hukum tertinggi di Jerman dan tentu saja mengatasi Konstitusi Negara Bagian.[22]
Mengenai hubungan antara MK Negara Bagian dengan MK Federal Jerman, Arthur Gunlicks dalam bukunya “The Lander and German Federalism,” mengatakan bahwa:
“There is some hierarchy in the relationship between the The Länder and German federalism federal and Land constitutional courts, but not in a formal, structural sense; ..... These are autonomous courts whose organization, authority, and procedure are set by Land constitutions and laws.”[23]
Demikian itulah sekilas ulasan mengenai keberadaan dan eksistensi MK negara bagian di Jerman.[24] Selain itu, dalam rangka memahami keberadaan MK Jerman dalam sistem hukum Jerman secara komprehensif, perlu juga kiranya diketahui susunan atau organisasi kekuasaan kehakiman di Jerman, dimana, tentu saja MK Jerman menjadi satu satunya aktor/pelakunya.
Berdasarkan Konstitusi Jerman, dapat diketahui bahwa sistem kekuasaan kehakiman di Jerman ditopang oleh tiga pelaku kekuasaan kehakiman, yakni: Mahkamah Konstitusi Federal, Peradilan Federal, dan Peradilan Negara Bagian (termasuk di dalamnya MK Negara Bagian).[25]
Peradilan Federal itu sendiri menurut Pasal 95 Konstitusi Jerman, terdiri dari beberapa organ peradilan dengan yurisdiksi/kompetensi yang berbeda-beda satu sama lainnya. Peradilan-Peradilan tingkat federal itu adalah:
a.         Federal Court of Justice;[26]
b.         Federal Administrative Court;[27]
c.         Federal Finance Court;[28]
d.        Federal Labour Court;[29]
e.         Federal Social Court;[30] 
Peradilan-Peradilan tingkat Federal itu masing-masing berstatus/berkedudukan sebagai peradilan tertinggi (supreme court) dalam yurisdiksinya masing-masing. Sebagaimana dikatakan oleh Arthur Gunlicks bahwa “These courts are the highest authorities within their subject area.” Dengan demikian dapat diketahui bahwa di Jerman, terdapat lima (5) Supreme Court (Mahkamah Agung) yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah satu sama lainnya.[31]
Peradilan-Peradilan Federal yang terdiri dari lima (5) Mahkamah Agung itu hanya menerima perkara-perkara yang sebelumnya telah diperiksa dan diadili oleh pengadilan negara bagian[32] sesuai dengan yurisdiksinya masing-masing.[33]
Sementara di luar kelima Mahkamah Agung diatas, Pasal 96 Konstitusi Jerman membuka kemungkinan untuk dibentuknya Peradilan lain di tingkat federal. Seperti misalnya Pengadilan Industrial, Pengadilan Militer, dan pengadilan-pengadilan lainnya yang dianggap perlu.[34]
Kembali kepada pembicaraan mengenai MK Federal Jerman, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi Federal Jerman dan UU tentang MK Jerman, MK Jerman memiliki kewenangan yang sangat luas, meliputi semua persoalan konstitusional yang ada di Republik Federal Jerman. Bahkan dengan kewenangannya yang luas itu, MK Jerman dapat disebut sebagai sebagai “Peradilan Puncak” terhadap semua persoalan hukum yang memiliki dimensi konstitusional di dalamnya.[35] 

Kewenangan MK Jerman 
Jika diringkas, berikut adalah kewenangan MK Jerman menurut Konstitusi Federal Jerman:[36]
1.    Memutus sengketa kewenangan organ-organ negara yang meliputi:
a.    Pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian; atau
b.    organ federal yang satu dengan organ federal yang lainnya yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi;[37]
2.    Menguji peraturan perundang-undangan secara abstrak (a posteriori asbtract review) atas permohonan Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, atau ¼ anggota Bundestag (DPR), yang meliputi:
a.  Pengujian peraturan perundang-undangan, baik tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap Konstitusi Federal; dan
b.  Pengujian peraturan perundang-undangan tingkat negara bagian terhadap undang-undang federal. [38]
3.    Memutus permohonan yang diajukan oleh Bundesrat, Pemerintah atau Legislatif Negara Bagian tentang persoalan apakah suatu undang-undang jatuh dalam yurisidiksi Legislatif Federal atau Legislatif Negara Bagian;[39]
4.    Memutus perbedaan pendapat mengenai hak dan kewajiban antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian akibat pelaksanaan UU Federal oleh Negara Bagian dan memutus keberatan Negara Bagian atas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Federal;[40]
5.    Memutus sengketa hukum yang bersifat publik (public law) lainnya yang terjadi antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian, antar Negara Bagian, atau inter (di dalam) suatu Negara Bagian, sepanjang tidak ada mekanisme lain yang dapat ditempuh di pengadilan lain di luar MK;[41]
6.     Mengadili permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang diajukan oleh;[42]
a. Individu/perorangan warga negara yang merasa hak-hak dasar atau hak konstitusionalnya dilanggar oleh organ negara; dan
b.    Pemerintah Kota atau Perkumpulan Pemerintah Kota yang merasa hak otonomi daerahnya (sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Basic Law 1949) dilanggar, baik oleh UU Federal maupun UU Negara Bagian.[43]
7.      Memutus dugaan/permohonan pemberhentian hakim dari seluruh organ peradilan di Jerman atas dugaan melanggar konstitusi berdasarkan usulan Bundestag.[44]
8.   Menguji peraturan perundang-undangan secara konkret berdasarkan permohonan yang diajukan oleh hakim (concrete judicial review/constitutional question) manakala ia meragukan konstitusionalitas atau legalitas suatu norma hukum yang akan ia terapkan dalam kasus konkret yang sedang ditanganinya. Concrete review ini meliputi:
a.  Pengujian peraturan perundang-undangan, baik tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap Konstitusi Federal (constiutional review); dan
b.  Pengujian peraturan perundang-undangan tingkat negara bagian terhadap undang-undang federal (legal review).[45] 
9.    Memutus pertanyaan yang diajukan oleh hakim yang sedang menangani suatu perkara konkret yang di dalamnya melibatkan suatu norma hukum internasional tentang persoalan:
a.    Apakah suatu norma hukum internasional telah menjadi bagian yang integral dalam hukum federal ?; dan
b.    Apakah norma hukum internasional yang dimaksud menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara ?;[46]
10.  Memutus pertanyaan MK Negara Bagian manakala dalam menafsirkan Konstitusi Federal, MK Negara Bagian tersebut bermaksud menyimpangi Putusan MK Federal atau Putusan MK Negara Bagian lainnya;[47]
11.     Memutus pembubaran partai politik yang tujuan atau kegiatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan Konstitusi;[48]
12.     Memutus sengketa hasil Pemilu yang telah ditetapkan oleh Bundestag;[49]
13.  Memutus dugaan Bundestag atau Bundesrat  mengenai pelanggaran Konstitusi atau UU federal oleh Presiden dalam rangka Impeachment Presiden;[50]
Sistem pengujian konstitusional atau judicial review yang berlaku di Jerman ini sangat luas jangkauannya dan mirip sekali dengan sistem yang berlaku di Austria, yakni meliputi abstract review dan juga concrete review. Sebagaimana dikatakan oleh Martin Borowski bahwa:

“Constitutional review in the Germany’s Federal Court distinguish between Abstract Review (Abstrakte Normenkontrolle) and Concrete Review (Konkrete Normenkontrolle).”[51]

Sama halnya dengan Austria, baik abstract review maupun concrete review yang berlaku di Jerman semuanya berada dalam kerangka ex post review atau posteriori review. Artinya, aktifitas pengujian baru dapat dilakukan setelah UU atau peraturannya resmi disahkan dan diundangkan, bukan undang-undang yang masih dalam bentuk rancangan (RUU) seperti yang berlaku dalam sistem Perancis.[52]
Namun demikian penting untuk diketahui bahwa abstract review atau lebih lengkapnya a posteriori abstract review yang berlaku di Jerman ini hanya dapat diajukan oleh organ-organ negara tertentu saja. Sedangkan individu/perorangan tidak diberi hak untuk mengajukan pengujian jenis ini.[53] Mekanisme pengujian konstitusional yang dapat diakses oleh individu/perorangan adalah mekanisme concrete review, itu pun harus melalui hakim pengadilan (judicial referral of constitutional question). Selain itu, ada satu lagi mekanisme yang dapat diakses langsung oleh individu atau perorangan yang merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh tindakan pejabat atau badan publik, yakni melalui mekanisme constitutional complaint (verfassungsbescwerde).
Pihak-pihak (organ negara) yang dapat mengajukan permohonan abstract review di Jerman adalah: (1) Pemerintah Federal; (2) Pemerintah Negara Bagian; dan (3) 1/4 anggota Bundestag.[54]
Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari sistem pengujian konstitusional yang berlaku di Jerman ini ialah bahwa MK Jerman memegang penuh kekuasaan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) baik dalam kerangka pengujian legalitas (judicial review on the legality of regulation) maupun dalam kerangka pengujian konstitusionalitas (judicial review on the legality of laws/statutes). Artinya, semua kegiatan judicial review di Jerman dipusatkan dan dikonsentrasikan pada MK Jerman.[55] Gambaran mengenai hal tersebut dijabarkan, salah satunya oleh Danielle E. Finck yang mengatakan bahwa:
The Constitutional Court has a monopoly position in that it alone can declare wether statutes valid or invalid (e.g judicial review) .....No other court, not even a high federal court, is empowered to declare a statute unconstitutional.”[56] 


[1] Lihat Anja Seibert-Fohr, “Judicial Independence in Germany,” dalam Anja Seibert-Fohr (editor), Judicial Independence in Transition,  Max Planck Institute for Comparative Public Law and International Law, Heidelberg - Karlsruhe, 2012, hlm. 447-448.
[2] Michaela Hailbronner, “Rethinking the rise of the German  Constitutional Court: From anti-Nazism to value formalism,” International Journal of Constitutional Law, Vol. 12, No. 3, Juli 2014, (Oxford: Oxford University Press), hlm. 626.
[3] Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. hlm. 36.
[4] Ibid.
[5] Perihal negara-negara bagian yang menjadi anggota Konfederasi Jerman yang dipersatukan melalui Kongres Wina 1815 ini dapat dibaca lebih lanjut pada Wikipedia, Konfederasi Jerman, https://id.wikipedia.org/wiki/Konfederasi_Jerman, Diakses pada 15 Mei 2016.
[6] Alfred Rinken dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm. 39.
[7] Konstitusi Weimar ini sendiri lahir sebagai hasil dari dinamika kenegaraan yang berkembang  pada saat itu (tahun 1918-1919), dimana terjadi penurunan kepercayaan rakyat pada titik yang paling nadir terhadap Kekaisaran Jerman akibat kekalahan yang di derita Jerman dalam Perang Dunia ke 1. Itulah sebabnya Konstitusi Weimar 1919 ini secara resmi membubarkan Kekaisaran Jerman dan menggantinya dengan Pemerintahan Republik. Lihat lebih lanjut mengenai hal ini dalam Arthur Gunlicks, The Lander and German Federalism, Manchester University Press, Manchester and New York, 2003, hlm. 29-33.
[8] Lihat Martin Borowski, “The Beginnings of Germany’s Federal Constitutional Court,” Journal Ratio Juris, Vol. 16, No. 2, Juni 2003, (Malden, John Wiley & Sons Inc), hlm. 159-160.
[9] Teori dan alam pemikiran yang berkembang pada waktu itu adalah Supremasi Parlemen, dimana Parlemen dan segala produk yang dikeluarkannya dianggap sebagai yang paling tinggi atau supreme sehingga tidak terpikirkan waktu itu untuk menguji produk-produk Parlemen (undang-undang) yang diasumsikan sebagai perwujudan dan representasi dari rakyat yang berdaulat.
[10] Alfred Rinken dalam Jimly Asshiddie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm. 41.
[11] Ibid.
[12] Rapat atau kongres ini adalah forum tempat berlangsungnya pembahasan-pembahasan dalam rangka penyusunan Konstitusi Jerman yang baru dimana puncaknya adalah dirampungkan dan disahkannya Konstitusi atau Basic Law pada tanggal 23 Mei 1949. Lihat sepenggal sejarah penyusunan Basis Law 1949 ini dalam David P. Currie, The Constitution of the Federal Republic of Germany, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1994, hlm. 1-8.
[13] Ibid.
[14] Martin Borowski, Op. Cit., hlm. 158 dan 159.
[15] Hamid Chalid, “Urgensi dan Upaya untuk Implementasi Mekanisme Constitutional Question melalui Mahkamah Konstitusi RI,” dalam Nur Hidayat Sardini dan Gunawan Suswantoro (editor), 60 Tahun Jimly Asshiddiqie Menurut Para Sahabat, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 370.
[16] I Dewa Gede Palguna, “Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia,” Makalah pada Seminar Nasional “Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan MK RI, Malang, 21 November 2009, hlm. 6.
[17] Sebetulnya jika dirinci secara lebih detail, dari 16 entitas Federal Jerman itu, hanya 13 yang benar-benar berstatus sebagai negara bagian (Flächenland), sedangkan 3 lainnya sebetulnya berstatus sebagai kota yang setingkat dengan negara bagian (Stadtstaaten). Ketiganya itu ialah: (1) Berlin, (2) Bremen, dan (3) Hamburg. Lihat Wikipedia, Jerman, https://id.wikipedia.org/wiki/Jerman, Diakses pada tanggal 25 Juli 2016.
[18] Arthur Gunlicks, The Lander and German Federalism, Manchester University Press, Manchester and New York, 2003, hlm. 71. Sebetulnya Arthur Gunlicks di dalam bukunya ini menyebutkan bahwa dari 16 negara bagian Jerman, ada satu (1) yang tidak memiliki MK negara bagian (Land Constitutional Court), yakni Negara Bagian Schleswig-Holstein. Dengan kata lain menurutnya di Jerman hanya ada 15 MK Negara Bagian. Akan tetapi setelah dilakukan pengecekan dan penelusuran lebih lanjut, Penulis menemukan bahwa sebetulnya Negara Bagian Schleswig-Holstein juga telah memiliki Land Constitutional Court (MK Negara Bagian). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua negara bagian di Jerman yang berjumlah 16 itu telah memiliki Mahkamah Konstitusi Negara Bagiannya masing-masing.
[19] Lihat Arne Mavcic, Constitutional Review in the Federal States, http://www.concourts.net/lecture/lecture4.html, Diakses pada tanggal 20 Juli 2016.
[20] Untuk medapatkan dan memperjelas kesimpulan ini baca Konstitusi Federal Jerman, Bab II The Federation and the Länder dan Bab IX The Judiciary.
[21] Anna Deutelmoser dalam Jonathan Grix, Paul Cooke, dan Lothar Funk (editor), Ten Years of German Reunification, University of Birmingham Press, Birmingham, 2002, hlm. 134
[22] Vide Pasal 92 dan Pasal 93 Konstitusi Federal Jerman. Dari Pasal tersebut kita akan menemukan bahwa Putusan MK Jerman mengikat seluruh warga negara dan seluruh organ negara. Demikian juga kita dapat menyimpulkan bahwa Konstitusi Federal mengataasi Konstitusi Negara Bagian.
[23] Arthur Gunlicks, Op. Cit., hlm. 70-71.
[24] Ke-16 Negara Bagian yang memiliki MK Negara Bagian itu adalah: (i) Baden-WĂĽrttemberg (ii) Bavaria (iii) Berlin (iv) Brandenburg (v) Bremen (vi)Hamburg (vii) Hesse (viii) Mecklenburg-Vorpommern (ix) Niedersachsen (x) Nordrhein-Westfalen (xi) Rhineland-Palatinate (xii) Saarlend (xiii) Sachen (xiv) Saxony-Anhalt (xv) Schleswig-Holstein (xvi) Thuringia.
[25] Vide Pasal 92 Konstitusi Federal Jerman (Basic Law 1949).
[26] Federal Court of Justice memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara biasa/konvensional seperti perkara-perkara perdata dan pidana. Lihat Arthur Gunlicks, Op. Cit., hlm. 71.
[27] Federal Administrative Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara sengketa administratif. Lihat Arthur Gunlicks, Ibid.
[28] Federal Finance Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara di bidang keuangan, seperti misalnya pajak, cukai, dan lain sebagainya. Lihat Sabine Heidenbauer, Charity Crossing Borders: The Fundamental Freedoms' Influence on Charity and Donor Taxation in Europe, Kluwer Law Internation in cooperation with Aspen Publisher, Maryland, 2011, hlm. 105.
[29] Federal Labour Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara di bidang ketenagakerjaan. Lihat Arthur Gunlicks, Loc. Cit.
[30] Federal Social Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara yang timbul di bidang perlindungan sosial, dan jaminan sosial seperti misalnya soal asuransi, jaminan hari tua, subsidi/bantuan pemerintah untuk biaya pendidikan dan lain sebagainya. Lihat situs resmi Federal Social Court of Germany (Das Bundessozialgericht), Competence of Social Jurisdiction, http://www.bsg.bund.de/EN/Home/home_node.html;jsessionid=EFC19A5E4C0973DA2C6F80C02218B690.2_cid389#doc3468470bodyText8, Diakses pada tanggal 25 Juli 2016.
[31] Arthur Gunlicks, Loc. Cit.
[32] Komposisi atau jenis-jenis Peradilan Negara Bagian biasanya mengikuti komposisi peradilan tingkat federal, yakni terdiri dari lima jenis peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Administrasi, Peradilan Keuangan, Peradilan Ketenagakerjaan, dan Peradilan Sosial). Hanya saja untuk konsturksi atau susunan dari masing-masing jenis Peradilan Negara Bagian itu memang berbeda-beda alias tidak seragam. Ada satu jenis peradilan di suatu negara bagian yang terdiri dari tiga (3) lapis atau tiga tingkat (Lokal/Distrik, Regional, dan Peradilan Tertinggi di tingkat Negara Bagian) dan ada pula yang terdiri dari dua (2) lapis atau dua tingkat (Lokal/Distrik dan Peradilan Tertinggi di tingkat Negara Bagian).
[33] Anja Seibert-Fohr, “Judicial Independence in Germany,” dalam Anja Seibert-Fohr (editor), Judicial Independence in Transition,  Max Planck Institute for Comparative Public Law and International Law, Heidelberg - Karlsruhe, 2012, hlm. 452-453.
[34] Vide Pasal 96 Konstitusi Federal Jerman (Basic Law 1949).
[35] MK Jerman melalui kewenangan eksklusifnya menegakan konstitusi dapat menjadi semacam pengadilan banding atau peninjauan atas putusan-putusan pengadilan lain yang diduga telah dibuat diatas pelanggaran terhadap Konstitusi Jerman. Lihat David P. Currie, Op. Cit., hlm. 27.
[36] Vide Pasal 93 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman).
[37] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 1.
[38] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 2.
[39] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 2a juncto Pasal 72 ayat (2).
[40] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 3.
[41] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4.
[42] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4a.
[43] Untuk diketahui bahwa dalam hal pelanggaran hak otonomi pemerintahan itu diduga dilakukan oleh UU Negara Bagian maka pengaduan konstitusional atas persoalan tersebut hanya bisa diajukan kepada MK Federal sepanjang tidak tersedia mekanisme untuk mengajukannya ke MK Negara Bagian. Sebaliknya, jika MK Negara Bagian mengatur bahwa hal tersebut jatuh dalam yurisdiksinya maka persoalan tersebut harus diajukan kepadanya. Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4b.
[44] Ibid. Pasal 98 ayat (2).
[45] Ibid. Pasa, 100 ayat (1)
[46] Ibid. Pasal 100 ayat (2).
[47] Ibid. Pasal 100 ayat (3).
[48] Ibid. Pasal 21 ayat (2).
[49] Ibid. Pasal 41 ayat (2).
[50] Ibid. Pasal 61.
[51] Martin Borowski, Op.Cit. hlm. 155-156
[52] Lihat Pasal 93 ayat (1) angka 1 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman) juncto Pasal 76 – Pasal 79 Unang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Ketentuan-ketentuan tersebut berisi pengaturan mengenai mekanisme abstract review yang dilaksanakan secara ex post review (a posteriori review), yakni pengujian terhadap suatu produk hukum yang telah resmi disahkan dan diundangkan. Lihat juga Danielle E. Finck, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German Constitutional Court,” Boston College International and Comparative Law Review, Vol. 20 No. 1, December 1997 (Boston: Boston University), hlm. 147.
[53] Dalam praktik, menurut Wolfgang yang notabene merupakan mantan Ketua MK Jerman, abstract review ini biasanya diajukan oleh kelompok oposisi atau minoritas di dalam Parlemen atau Pemerintah Negara Bagian yang merasa hak dan aspirasinya terabaikan oleh kelompok mayoritas. Lihat Wolfgang Zeidler, “The Federal Constitutional Court of the Federal Republic of Germany: Decisions on the Constitutionality of Legal Norms,” Notre Dame Law Review, Vo. 62, Issue 4, 1987 (Indiana: University of Notre Dame), hlm. 505.
[54] Lihat ketentuan yang mengatur mengenai hal ini dalam Pasal  93 ayat (1) angka 1 ( Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman).
[55] Keadaan ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Menurut UUD 1945, tepatnya Pasal 24A dan Pasal 24C, kekuasaan judicial review di Indonesia dibagi/disebar ke dalam dua yurisdiksi yang terpisah satu sama lain. Judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU menjadi kewenangan MA. Sedangkan judicial review  atas UU terhadap UUD menjadi kewenangan MK.
[56] Danielle E. Finck, Op. Cit., hlm. 127 dan 145.