Sejarah Kelahiran dan Kedudukan MK Jerman
Kewenangan MK Jerman
Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Jerman (Bundesverfassung gericht)
tahun 1949 merupakan bagian dari reformasi total pasca kehancuran negara
tersebut akibat Perang Dunia ke 2. Pembentukannya tidak bisa dilepaskan dari
latar belakang situasi yang ada pada saat itu dimana muncul keinginan yang kuat
dari rakyat Jerman untuk mendirikan negara demokratik konstitusional setelah sebelumnya
dibelenggu oleh rezim totaliter Nazi. Tujuannya ialah untuk memastikan agar di
masa mendatang, tidak akan ada lagi pemerintahan totaliter atau fasis di Jerman
seperti yang terjadi pada masa lalu dibawah pimpinan Adolf Hitler.[1]
Mengenai hal ini Michaela Hailbronner mengatakan bahwa:
“The German Constitutional Court draws its considerable strength
from the reaction to the German Nazi past: Because the Nazis abused rights and
had been elected by the people, the argument runs, it was necessary to create a
strong Court to guard these rights in the future.”[2]
Pembentukan MK Jerman dituangkan
dalam Basic Law 1949 (Grundgesetz).
Mahkamah Konstitusi Jerman berkedudukan di Kalsruhe, sebuah kota yang disebut-sebut
sebagai ibu kotanya hukum, karena di kota itulah pengadilan-pengadilan tinggi
dan Mahkamah Agung Jerman berkedudukan.[3]
Sebetulnya, jauh sebelum
terbentuknya MK Jerman pada tahun 1949,
di Jerman telah dibentuk semacam Peradilan Negara (State Adjudication) pada
era Konfederasi tahun 1815 yang fungsinya mirip dengan Mahkamah Konstitusi.
Ide pembentukan Peradilan Negara itu sendiri dilatarbelakangi oleh kebutuhan
untuk menangani sengketa kewenangan antar negara bagian yang ada dibawah
Konfederasi Jerman 1815.[4]
Jadi kompetensi Peradilan Negara ini
ialah menyelesaikan sengketa kewenangan antar negara bagian yang bernaung di
bawah Konfederasi Jerman yang ketika itu berjumlah 36 negara bagian.[5]
Peradilan ini lah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari MK Jerman yang
kita kenal sekarang ini.
Sayangnya, di dalam perjalanannya,
Peradilan Negara ini tidak berhasil menunjukan eksistensi dan supremasinya. Hal
tersebut disebabkan karena pada waktu itu ide konstitusionalisme dan persoalan
HAM tidak mendapat perhatian serius di Jerman.[6]
Perkembangan ketatanegaraan Jerman
memasuki babak baru pada saat terbentuknya Konstitusi Weimar 11 Agustus 1919. Konstitusi
yang dibuat setahun setelah kekalahan Jerman pada Perang Dunia ke 1 itu secara
resmi mengganti bentuk pemerintahan Jerman dari yang semula berbentuk
Kekaisaran (sejak tahun 1871-1918) menjadi Republik (1919-1933).[7]
Melalui Konstitusi Weimar
dibentuklah sebuah organ bernama Staatsgerichtshof/Reichgerichtshof.
Organ ini disebut-sebut sebagai embrio dari MK Jerman.[8]
Organ tersebut memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah
federal/pusat dengan negara bagian serta sengketa yang terjadi diantara negara-negara
bagian itu sendiri. Akan tetapi sayangnya mekanisme perlindungan HAM dan judicial review pada periode ini kurang
berkembang karena dianggap bertentangan dengan teori konstitusional yang
berlaku pada saat itu, yakni teori supremasi parlemen.[9]
Pada periode Konstitusi Weimar
(1919-1933), Reichgerichtshof dan
lembaga judicial review lebih banyak
dilingkupi aneka kontroversi daripada prestasi. Akibatnya, Reichgerichtshof oleh banyak kalangan (salah satunya Carl Schmitt),
dinilai telah gagal menjalankan tugas sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution).[10]
Pengalaman yang kurang
menggembirakan berupa kegagalan demi kegagalan dalam merancang Peradilan Negara
yang akan difungsikan sebagai pelindung konstitusi ternyata menjadi pelajaran
yang berharga bagi bangsa Jerman di kemudian hari untuk menemukan bentuk yang
ideal dari peradilan yang dimaksud.
Harapan untuk membentuk peradilan
konstitusi yang solid dan efektif menemui titik terang seiring dengan
berakhirnya Perang Dunia ke 2. Sesaat setelah berakhirnya perang, para ahli
hukum tata negara Jerman berusaha merancang kembali bangunan peradilan
(konstitusi) yang ideal sebagai bagian dari reformasi total di Jerman pasca
Perang Dunia ke 2. Diantara ahli hukum itu terdapat tiga nama penting yang
besar pengaruhnya dalam menggagas pembentukan MK Jerman sebagai institusi
peradilan yang mandiri dan terpisah dari MA. Mereka adalah Richrad Thoma,
Gerhard Anschutz, dan Gustav Radbruch.
Menurut mereka, tugas dan kewajiban untuk
menyelesaikan perkara-perkara konstitusional seyogianya dilaksanakan oleh MK,
bukan peradilan biasa yang berpuncak pada MA seperti model Amerika.[11]
Upaya untuk membentuk MK Jerman menjadi
semakin konkret manakala diadakan rapat dalam rangka menyusun Konstitusi Jerman
yang dikenal dengan istilah “Rapat Besar Konstitusi” pada tahun 1948 di
Herrenchiemsee.[12]
Semangat pembentukan MK Jerman dalam rapat tersebut nampaknya sudah tidak
terbendung lagi. Rapat tersebut telah
berhasil menetapkan substansi-substansi penting bagi Konstitusi (Basic Law) yang akan disahkan dikemudian hari.
Salah
satu substansi penting yang berhasil disepakati dalam rapat tersebut ialah
mengenai perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi Jerman, lengkap dengan
kewenangannya yang luas dan lebih kuat dari Staatsgerichtshof pada masa yang lalu. Sehingga lembaga tersebut diharapkan dapat
menjadi garda terdepan dalam menjamin tegaknya konstitusi dan perlindungan HAM
di Jerman.[13]
Dalam tulisan Martin Borowski yang
salah satu bagiannya mengulas sejarah singkat penyusunan Konstitusi Jerman
1949, diceritakan bahwa:
The conference—whose participants’ expertise is an established
fact—worked up a draft of a constitution as a guideline for the deliberations
that would follow. They succeeded in setting down many of the fundamentals of
the forthcoming constitution. The draft of the Herrenchiemsee Conference (HChE)
comprises, in section viii, arts. 97 to 100, an independent section respecting
the Federal Constitutional Court; ..... the Herrenchiemsee Conference
emphasizes that the powers of the constitutional court, by comparison with
those of the Staatsgerichtshof of the Weimar Constitution, ought to be
enlarged. In this way, the new constitution could become the “real guardian of
the constitution.”[14]
Akhirnya, melalui pengesahan Basic Law pada tanggal 23 Mei 1949, lahirlah
sebuah institusi peradilan baru di Jerman yang dirancang untuk menangani
perkara-perkara konstitusional yang bernama “Bundesverfassungsgericht” atau
yang kita kenal dengan sebutan Mahkamah Konstitusi Jerman.
Dalam pergaulan dan pembicaraan
tentang Mahkamah Konstitusi di dunia, MK Jerman menempati kedudukan yang sangat
terhormat. Hal ini disebabkan karena luasnya kewenangan konstitusional yang
dimiliki oleh MK Jerman sebagai pengawal Konstitusi di negaranya (grundgesetz). Disamping itu, pada
kenyataannya MK Jerman juga mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya yang
luas itu dengan sangat baik sehingga semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai
organ federal yang sangat dihormati dan disegani, tidak hanya di Jerman
melainkan juga di dunia.[15]
Luasnya
kewenangan yang dimiliki MK Jerman bersumber dari Konstitusi dan juga
undang-undang yang mengatur tentang MK Jerman. Salah satu faktor yang
menyebabkan luas dan fleksibelnya kewenangan MK Jerman ialah karena Konstitusi
Jerman, tepatnya Pasal 93 ayat (2), mengizinkan adanya penambahan kewenangan MK
Jerman melalui undang-undang (UU tentang Mahkamah Konstitusi).[16]
Hal mana
merupakan suatu ketentuan yang sangat bertolak belakang dengan rumusan
kewenangan MK Indonesia yang secara limitatif sudah ditentukan dan dibatasi
oleh UUD 1945, tepatnya oleh Pasal 24 C.
Sebagai
sebuah negara federal, selain memiliki Mahkamah Konstitusi di tingkat pusat (Bundesverfassungsgericht), tiap-tiap negara bagian di Jerman yang jumlahnya 16[17]
juga memiliki MK negara bagiannya masing-masing.[18]
Meski antara satu MK negara bagian
dengan MK negara bagian lainnya memiliki kewenangan yang berbeda-beda, namun
secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi MK negara bagian itu ialah untuk
menyelesaikan perkara-perkara konstitusional di level regional/negara bagian
dengan mengacu pada konstitusi negara bagiannya masing-masing. Dengan kata
lain, fungsi MK negara bagian ini ialah untuk mempertahankan konstitusi negara
bagiannya masing-masing dari segala bentuk pelanggaran.
Diantara beragam kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing MK Negara Bagian itu, kewenangan pengujian
konstitusional (abstract dan concrete review) dan kewenangan
penyelesaian sengketa Pemilu (di tingkat negara bagian) merupakan dua
kewenangan yang paling umum dan dimiliki oleh semua MK negara bagian di Jerman.[19]
Ruang lingkup kekuasaan atau
kompetensi relatif dari MK negara bagian ini tentu saja terbatas hanya pada
wilayah negara bagiannya saja.
Dalam kaitannya dengan MK Federal
Jerman, dapat dipastikan bahwa tidak ada hubungan struktural atau hierarkis antara
MK Federal dengan MK negara bagian. Artinya, MK negara bagian bukan lah cabang
dari MK Federal.[20]
Yurisdiksi Mahkamah Konstitusi Federal ialah menangani perkara-perkara
konstitusional ditingkat federal dengan menggunakan Konstitusi Federal sebagai
landasannya, sementara MK negara bagian menangani perkara-perkara konstitusional
ditingkat regional/negara bagian dengan menggunakan Konstitusi Negara Bagian
sebagai landasannya.[21]
Mungkin satu-satunya hubungan antara
MK Federal dengan MK negara bagian adalah hubungan dalam perpsektif struktur
ketatanegaraan yang menimbulkan konsekuensi bahwa segala Putusan MK Federal
mengikat MK negara bagian. Sebab dalam struktur ketatanegaraan Jerman,
kedudukan MK Federal Jerman lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan MK negara
bagian. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa landasan pembentukan MK Jerman
beserta kewenangannya bersumber dari Konstitusi Federal. Sedangkan landasan
pembentukan MK Negara Bagian berikut kewenangannya bersumber dari Konstitusi
Negara bagian. Sementara kita tahu bahwa Konstitusi Federal Jerman merupakan
hukum tertinggi di Jerman dan tentu saja mengatasi Konstitusi Negara Bagian.[22]
Mengenai
hubungan antara MK Negara Bagian dengan MK Federal Jerman, Arthur Gunlicks
dalam bukunya “The Lander and German Federalism,” mengatakan bahwa:
“There is some hierarchy in the relationship between the The Länder
and German federalism federal and Land constitutional courts, but not in a formal,
structural sense; ..... These are autonomous courts whose organization,
authority, and procedure are set by Land constitutions and laws.”[23]
Demikian itulah sekilas ulasan
mengenai keberadaan dan eksistensi MK negara bagian di Jerman.[24]
Selain itu, dalam rangka memahami keberadaan MK Jerman dalam sistem hukum
Jerman secara komprehensif, perlu juga kiranya diketahui susunan atau
organisasi kekuasaan kehakiman di Jerman, dimana, tentu saja MK Jerman menjadi satu
satunya aktor/pelakunya.
Berdasarkan Konstitusi Jerman, dapat
diketahui bahwa sistem kekuasaan kehakiman di Jerman ditopang oleh tiga pelaku
kekuasaan kehakiman, yakni: Mahkamah Konstitusi Federal, Peradilan Federal, dan
Peradilan Negara Bagian (termasuk di dalamnya MK Negara Bagian).[25]
Peradilan Federal itu sendiri
menurut Pasal 95 Konstitusi Jerman, terdiri dari beberapa organ peradilan
dengan yurisdiksi/kompetensi yang berbeda-beda satu sama lainnya. Peradilan-Peradilan
tingkat federal itu adalah:
a.
Federal
Court of Justice;[26]
b.
Federal
Administrative Court;[27]
c.
Federal
Finance Court;[28]
d.
Federal
Labour Court;[29]
e.
Federal
Social Court;[30]
Peradilan-Peradilan tingkat Federal
itu masing-masing berstatus/berkedudukan sebagai peradilan tertinggi (supreme
court) dalam yurisdiksinya masing-masing. Sebagaimana dikatakan oleh Arthur
Gunlicks bahwa “These courts are the highest authorities within their
subject area.” Dengan demikian dapat diketahui bahwa di Jerman, terdapat
lima (5) Supreme Court (Mahkamah Agung) yang masing-masing berdiri
sendiri dan terpisah satu sama lainnya.[31]
Peradilan-Peradilan Federal yang
terdiri dari lima (5) Mahkamah Agung itu hanya menerima perkara-perkara yang
sebelumnya telah diperiksa dan diadili oleh pengadilan negara bagian[32]
sesuai dengan yurisdiksinya masing-masing.[33]
Sementara di luar kelima Mahkamah
Agung diatas, Pasal 96 Konstitusi Jerman membuka kemungkinan untuk dibentuknya
Peradilan lain di tingkat federal. Seperti misalnya Pengadilan Industrial,
Pengadilan Militer, dan pengadilan-pengadilan lainnya yang dianggap perlu.[34]
Kembali kepada pembicaraan mengenai
MK Federal Jerman, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi
Federal Jerman dan UU tentang MK Jerman, MK Jerman memiliki kewenangan yang
sangat luas, meliputi semua persoalan konstitusional yang ada di Republik
Federal Jerman. Bahkan dengan kewenangannya yang luas itu, MK Jerman dapat
disebut sebagai sebagai “Peradilan Puncak” terhadap semua persoalan hukum yang
memiliki dimensi konstitusional di dalamnya.[35]
Jika diringkas, berikut adalah
kewenangan MK Jerman menurut Konstitusi Federal Jerman:[36]
1.
Memutus
sengketa kewenangan organ-organ negara yang meliputi:
a.
Pemerintah
federal dengan pemerintah negara bagian; atau
b.
organ
federal yang satu dengan organ federal yang lainnya yang kewenangannya
diberikan oleh konstitusi;[37]
2.
Menguji
peraturan perundang-undangan secara
abstrak (a posteriori asbtract
review) atas permohonan Pemerintah
Federal, Pemerintah Negara Bagian, atau ¼ anggota Bundestag (DPR), yang
meliputi:
a. Pengujian peraturan perundang-undangan, baik tingkat
federal maupun tingkat negara bagian terhadap Konstitusi Federal; dan
b. Pengujian peraturan perundang-undangan tingkat
negara bagian terhadap undang-undang federal. [38]
3. Memutus permohonan yang diajukan oleh Bundesrat,
Pemerintah atau Legislatif Negara Bagian tentang persoalan apakah suatu
undang-undang jatuh dalam yurisidiksi Legislatif Federal atau Legislatif Negara
Bagian;[39]
4. Memutus perbedaan pendapat mengenai hak dan
kewajiban antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian akibat
pelaksanaan UU Federal oleh Negara Bagian dan memutus keberatan Negara Bagian
atas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Federal;[40]
5. Memutus sengketa hukum yang bersifat publik (public law) lainnya yang terjadi antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian,
antar Negara Bagian, atau inter (di dalam) suatu Negara Bagian, sepanjang tidak
ada mekanisme lain yang dapat ditempuh di pengadilan lain di luar MK;[41]
6. Mengadili
permohonan pengaduan konstitusional (constitutional
complaint) yang diajukan oleh;[42]
a. Individu/perorangan warga negara yang
merasa hak-hak dasar atau hak konstitusionalnya dilanggar oleh organ negara;
dan
b. Pemerintah Kota atau Perkumpulan
Pemerintah Kota yang merasa hak otonomi daerahnya (sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 Basic
Law 1949) dilanggar,
baik oleh UU Federal maupun UU Negara Bagian.[43]
7. Memutus dugaan/permohonan pemberhentian hakim dari
seluruh organ peradilan di Jerman atas dugaan melanggar konstitusi berdasarkan
usulan Bundestag.[44]
8. Menguji peraturan perundang-undangan secara konkret
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh hakim (concrete judicial review/constitutional question) manakala ia meragukan konstitusionalitas
atau legalitas suatu norma hukum yang akan ia terapkan dalam kasus konkret yang
sedang ditanganinya. Concrete review ini meliputi:
a. Pengujian peraturan
perundang-undangan, baik tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap
Konstitusi Federal (constiutional review); dan
b. Pengujian
peraturan perundang-undangan tingkat negara bagian terhadap undang-undang
federal (legal
review).[45]
9. Memutus pertanyaan yang diajukan oleh hakim yang
sedang menangani suatu perkara konkret yang di dalamnya melibatkan suatu norma
hukum internasional tentang persoalan:
a. Apakah suatu norma hukum internasional
telah menjadi bagian yang integral dalam hukum federal ?; dan
b. Apakah norma hukum internasional yang
dimaksud menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara ?;[46]
10. Memutus pertanyaan MK Negara Bagian manakala
dalam menafsirkan Konstitusi Federal, MK Negara Bagian tersebut bermaksud
menyimpangi Putusan MK Federal atau Putusan MK Negara Bagian lainnya;[47]
11. Memutus pembubaran partai politik yang
tujuan atau kegiatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan
Konstitusi;[48]
12. Memutus sengketa hasil Pemilu yang telah ditetapkan oleh Bundestag;[49]
13. Memutus dugaan Bundestag atau
Bundesrat mengenai pelanggaran
Konstitusi atau UU federal oleh Presiden dalam rangka Impeachment Presiden;[50]
Sistem
pengujian konstitusional atau judicial review yang berlaku di Jerman ini
sangat luas jangkauannya dan mirip sekali dengan sistem yang berlaku di Austria,
yakni meliputi abstract review dan juga concrete review. Sebagaimana dikatakan oleh Martin Borowski bahwa:
“Constitutional review in the
Germany’s Federal Court distinguish between Abstract Review (Abstrakte
Normenkontrolle) and Concrete Review (Konkrete Normenkontrolle).”[51]
Sama halnya dengan Austria, baik abstract review maupun concrete
review yang berlaku di Jerman semuanya berada dalam kerangka ex post
review atau posteriori review. Artinya, aktifitas pengujian baru
dapat dilakukan setelah UU atau peraturannya resmi disahkan dan diundangkan,
bukan undang-undang yang masih dalam bentuk rancangan (RUU) seperti yang
berlaku dalam sistem Perancis.[52]
Namun demikian penting untuk diketahui bahwa abstract review atau
lebih lengkapnya a posteriori abstract review yang berlaku di Jerman ini
hanya dapat diajukan oleh organ-organ negara tertentu saja. Sedangkan
individu/perorangan tidak diberi hak untuk mengajukan pengujian jenis ini.[53]
Mekanisme pengujian konstitusional yang dapat diakses oleh individu/perorangan
adalah mekanisme concrete review, itu pun harus melalui hakim pengadilan (judicial referral of constitutional question). Selain itu, ada satu lagi mekanisme
yang dapat diakses langsung oleh individu atau perorangan yang merasa hak-hak
konstitusionalnya telah dilanggar oleh tindakan pejabat atau badan publik,
yakni melalui mekanisme constitutional complaint (verfassungsbescwerde).
Pihak-pihak (organ negara) yang dapat mengajukan permohonan abstract
review di Jerman adalah: (1) Pemerintah Federal; (2) Pemerintah Negara
Bagian; dan (3) 1/4 anggota Bundestag.[54]
Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari sistem pengujian
konstitusional yang berlaku di Jerman ini ialah bahwa MK Jerman memegang penuh
kekuasaan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) baik
dalam kerangka pengujian legalitas (judicial review on the legality of regulation)
maupun dalam kerangka pengujian konstitusionalitas (judicial review on
the legality of laws/statutes). Artinya, semua kegiatan judicial review di
Jerman dipusatkan dan dikonsentrasikan pada MK Jerman.[55]
Gambaran mengenai hal tersebut dijabarkan, salah satunya oleh Danielle E. Finck
yang mengatakan bahwa:
“The
Constitutional Court has a monopoly position in that it alone can declare
wether statutes valid or invalid (e.g judicial review) .....No other court, not even a high federal court, is empowered to
declare a statute unconstitutional.”[56]
[2] Michaela
Hailbronner, “Rethinking the rise of the German
Constitutional Court: From anti-Nazism to value formalism,” International
Journal of Constitutional Law, Vol. 12, No. 3, Juli 2014, (Oxford: Oxford
University Press), hlm. 626.
[3] Jimly
Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. hlm. 36.
[4] Ibid.
[5] Perihal
negara-negara bagian yang menjadi anggota Konfederasi Jerman yang dipersatukan
melalui Kongres Wina 1815 ini dapat dibaca lebih lanjut pada Wikipedia,
Konfederasi Jerman, https://id.wikipedia.org/wiki/Konfederasi_Jerman, Diakses pada
15 Mei 2016.
[6] Alfred Rinken
dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm. 39.
[7] Konstitusi
Weimar ini sendiri lahir sebagai hasil dari dinamika kenegaraan yang
berkembang pada saat itu (tahun
1918-1919), dimana terjadi penurunan kepercayaan rakyat pada titik yang paling
nadir terhadap Kekaisaran Jerman akibat kekalahan yang di derita Jerman dalam
Perang Dunia ke 1. Itulah sebabnya Konstitusi Weimar 1919 ini secara resmi
membubarkan Kekaisaran Jerman dan menggantinya dengan Pemerintahan Republik.
Lihat lebih lanjut mengenai hal ini dalam Arthur Gunlicks, The Lander and
German Federalism, Manchester University Press, Manchester and New York,
2003, hlm. 29-33.
[8] Lihat Martin
Borowski, “The Beginnings of Germany’s Federal Constitutional Court,” Journal
Ratio Juris, Vol. 16, No. 2, Juni 2003, (Malden, John Wiley & Sons
Inc), hlm. 159-160.
[9] Teori dan alam
pemikiran yang berkembang pada waktu itu adalah Supremasi Parlemen, dimana
Parlemen dan segala produk yang dikeluarkannya dianggap sebagai yang paling
tinggi atau supreme sehingga tidak terpikirkan waktu itu untuk menguji
produk-produk Parlemen (undang-undang) yang diasumsikan sebagai perwujudan dan
representasi dari rakyat yang berdaulat.
[10] Alfred Rinken
dalam Jimly Asshiddie dan Ahmad Syahrizal, Op.
Cit., hlm. 41.
[11] Ibid.
[12] Rapat atau
kongres ini adalah forum tempat berlangsungnya pembahasan-pembahasan dalam
rangka penyusunan Konstitusi Jerman yang baru dimana puncaknya adalah
dirampungkan dan disahkannya Konstitusi atau Basic Law pada tanggal 23
Mei 1949. Lihat sepenggal sejarah penyusunan Basis Law 1949 ini dalam
David P. Currie, The Constitution of the
Federal Republic of Germany, The University of Chicago Press, Chicago and
London, 1994, hlm. 1-8.
[13] Ibid.
[14] Martin
Borowski, Op. Cit., hlm. 158 dan 159.
[15] Hamid Chalid,
“Urgensi dan Upaya untuk Implementasi Mekanisme Constitutional Question melalui
Mahkamah Konstitusi RI,” dalam Nur Hidayat Sardini dan Gunawan Suswantoro (editor),
60 Tahun Jimly Asshiddiqie Menurut Para Sahabat, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 370.
[16] I Dewa Gede
Palguna, “Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain
Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia,” Makalah pada Seminar Nasional
“Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi
Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK)
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan
MK RI, Malang, 21 November 2009, hlm. 6.
[17] Sebetulnya
jika dirinci secara lebih detail, dari 16 entitas Federal Jerman itu, hanya 13
yang benar-benar berstatus sebagai negara bagian (Flächenland),
sedangkan 3 lainnya sebetulnya berstatus sebagai kota yang setingkat dengan
negara bagian (Stadtstaaten). Ketiganya itu ialah: (1) Berlin, (2)
Bremen, dan (3) Hamburg. Lihat Wikipedia, Jerman, https://id.wikipedia.org/wiki/Jerman, Diakses
pada tanggal 25 Juli 2016.
[18] Arthur
Gunlicks, The Lander and German Federalism, Manchester University Press,
Manchester and New York, 2003, hlm. 71. Sebetulnya Arthur Gunlicks di dalam
bukunya ini menyebutkan bahwa dari 16 negara bagian Jerman, ada satu (1) yang
tidak memiliki MK negara bagian (Land Constitutional Court), yakni
Negara Bagian Schleswig-Holstein. Dengan kata lain menurutnya di Jerman hanya
ada 15 MK Negara Bagian. Akan tetapi setelah dilakukan pengecekan dan
penelusuran lebih lanjut, Penulis menemukan bahwa sebetulnya Negara Bagian Schleswig-Holstein juga telah
memiliki Land Constitutional Court (MK Negara Bagian). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa semua negara bagian di Jerman yang berjumlah 16 itu
telah memiliki Mahkamah Konstitusi Negara Bagiannya masing-masing.
[19] Lihat Arne
Mavcic, Constitutional Review in the Federal States, http://www.concourts.net/lecture/lecture4.html, Diakses pada
tanggal 20 Juli 2016.
[20] Untuk
medapatkan dan memperjelas kesimpulan ini baca Konstitusi Federal Jerman, Bab
II The Federation and the Länder dan Bab IX The Judiciary.
[21] Anna Deutelmoser
dalam Jonathan Grix, Paul Cooke, dan Lothar Funk (editor), Ten Years of
German Reunification, University of Birmingham Press, Birmingham, 2002,
hlm. 134
[22] Vide Pasal 92
dan Pasal 93 Konstitusi Federal Jerman. Dari Pasal tersebut kita akan menemukan
bahwa Putusan MK Jerman mengikat seluruh warga negara dan seluruh organ negara.
Demikian juga kita dapat menyimpulkan bahwa Konstitusi Federal mengataasi
Konstitusi Negara Bagian.
[23] Arthur
Gunlicks, Op. Cit., hlm. 70-71.
[24] Ke-16 Negara
Bagian yang memiliki MK Negara Bagian itu adalah: (i) Baden-WĂĽrttemberg (ii) Bavaria (iii) Berlin (iv) Brandenburg (v) Bremen (vi)Hamburg
(vii) Hesse (viii) Mecklenburg-Vorpommern (ix) Niedersachsen (x) Nordrhein-Westfalen (xi) Rhineland-Palatinate (xii) Saarlend (xiii) Sachen (xiv) Saxony-Anhalt (xv) Schleswig-Holstein (xvi) Thuringia.
[25] Vide Pasal 92
Konstitusi Federal Jerman (Basic Law 1949).
[26] Federal
Court of Justice memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara
biasa/konvensional seperti perkara-perkara perdata dan pidana. Lihat Arthur
Gunlicks, Op. Cit., hlm. 71.
[27] Federal
Administrative Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara
sengketa administratif. Lihat Arthur
Gunlicks, Ibid.
[28] Federal
Finance Court memiliki
yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara di bidang keuangan, seperti misalnya
pajak, cukai, dan lain sebagainya. Lihat Sabine Heidenbauer, Charity
Crossing Borders: The Fundamental Freedoms' Influence on Charity and Donor
Taxation in Europe, Kluwer Law Internation in cooperation with Aspen
Publisher, Maryland, 2011, hlm. 105.
[29] Federal
Labour Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara di bidang
ketenagakerjaan. Lihat Arthur Gunlicks, Loc. Cit.
[30] Federal
Social Court memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara-perkara yang
timbul di bidang perlindungan sosial, dan jaminan sosial seperti misalnya soal
asuransi, jaminan hari tua, subsidi/bantuan pemerintah untuk biaya pendidikan
dan lain sebagainya. Lihat situs resmi Federal Social Court of Germany (Das
Bundessozialgericht), Competence of Social Jurisdiction, http://www.bsg.bund.de/EN/Home/home_node.html;jsessionid=EFC19A5E4C0973DA2C6F80C02218B690.2_cid389#doc3468470bodyText8, Diakses pada
tanggal 25 Juli 2016.
[31] Arthur
Gunlicks, Loc. Cit.
[32] Komposisi atau
jenis-jenis Peradilan Negara Bagian biasanya mengikuti komposisi peradilan
tingkat federal, yakni terdiri dari lima jenis peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan Administrasi, Peradilan Keuangan, Peradilan Ketenagakerjaan, dan
Peradilan Sosial). Hanya saja untuk konsturksi atau susunan dari masing-masing
jenis Peradilan Negara Bagian itu memang berbeda-beda alias tidak seragam. Ada
satu jenis peradilan di suatu negara bagian yang terdiri dari tiga (3) lapis
atau tiga tingkat (Lokal/Distrik, Regional, dan Peradilan Tertinggi di tingkat
Negara Bagian) dan ada pula yang terdiri dari dua (2) lapis atau dua tingkat
(Lokal/Distrik dan Peradilan Tertinggi di tingkat Negara Bagian).
[34] Vide Pasal 96
Konstitusi Federal Jerman (Basic Law 1949).
[35] MK Jerman
melalui kewenangan eksklusifnya menegakan konstitusi dapat menjadi semacam
pengadilan banding atau peninjauan atas putusan-putusan pengadilan lain yang
diduga telah dibuat diatas pelanggaran terhadap Konstitusi Jerman. Lihat David
P. Currie, Op. Cit., hlm. 27.
[36] Vide Pasal 93 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal
Jerman).
[37] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 1.
[38] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 2.
[39] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 2a juncto Pasal 72 ayat (2).
[40] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 3.
[41] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 4.
[42] Ibid. Pasal
93 ayat (1) angka 4a.
[43] Untuk
diketahui bahwa dalam hal pelanggaran hak otonomi pemerintahan itu diduga
dilakukan oleh UU Negara Bagian maka pengaduan konstitusional atas persoalan
tersebut hanya bisa diajukan kepada MK Federal sepanjang tidak tersedia
mekanisme untuk mengajukannya ke MK Negara Bagian. Sebaliknya, jika MK Negara
Bagian mengatur bahwa hal tersebut jatuh dalam yurisdiksinya maka persoalan
tersebut harus diajukan kepadanya. Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4b.
[44] Ibid. Pasal
98 ayat (2).
[45] Ibid. Pasa,
100 ayat (1)
[46] Ibid. Pasal
100 ayat (2).
[47] Ibid. Pasal
100 ayat (3).
[48] Ibid. Pasal
21 ayat (2).
[50] Ibid. Pasal
61.
[51] Martin
Borowski, Op.Cit. hlm. 155-156
[52] Lihat Pasal 93
ayat (1) angka 1 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman) juncto Pasal
76 – Pasal 79 Unang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman.
Ketentuan-ketentuan tersebut berisi pengaturan mengenai mekanisme abstract
review yang dilaksanakan secara ex post review (a posteriori review), yakni
pengujian terhadap suatu produk hukum yang telah resmi disahkan dan
diundangkan. Lihat juga Danielle E. Finck, Judicial Review: The United States
Supreme Court Versus the German Constitutional Court,” Boston College
International and Comparative Law Review, Vol. 20 No. 1, December 1997
(Boston: Boston University), hlm. 147.
[53] Dalam praktik,
menurut Wolfgang yang notabene merupakan mantan Ketua MK Jerman, abstract
review ini biasanya diajukan oleh kelompok oposisi atau minoritas di dalam
Parlemen atau Pemerintah Negara Bagian yang merasa hak dan aspirasinya
terabaikan oleh kelompok mayoritas. Lihat Wolfgang Zeidler, “The Federal
Constitutional Court of the Federal Republic of Germany: Decisions on
the Constitutionality of Legal Norms,” Notre Dame Law Review, Vo. 62,
Issue 4, 1987 (Indiana: University of Notre Dame), hlm. 505.
[54] Lihat
ketentuan yang mengatur mengenai hal ini dalam Pasal 93 ayat (1) angka 1 ( Basic Law 1949 (Konstitusi
Federal Jerman).
[55] Keadaan ini
sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Menurut UUD 1945, tepatnya
Pasal 24A dan Pasal 24C, kekuasaan judicial review di Indonesia
dibagi/disebar ke dalam dua yurisdiksi yang terpisah satu sama lain. Judicial
review atas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU menjadi
kewenangan MA. Sedangkan judicial review
atas UU terhadap UUD menjadi kewenangan MK.
[56] Danielle E.
Finck, Op. Cit., hlm. 127 dan 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar