Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Jumat, 18 November 2016

Terorisme: Sejarah dan Cikal Bakalnya (Catatan Pendek)



Terorisme ...
Istilah yang sangat familiar dan hampir setiap waktu wara-wiri di telinga kita, bahkan beberapa diantara kita mungkin pernah mengalami langsung keganasan aksi teror tsb. Dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini Islam lah yang seringkali menjadi "suspected" (tersangka) untuk masalah ini akibat ulah segelintir orang Islam yang melakukannya.
Tapi tahukah anda sebetulnya cikal bakal atau asal muasal aksi terorisme ini dalam sejarah peradaban manusia ?
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Robert A. Pape yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul "Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terorism," disebutkan bahwa sebetulnya cikal bakal aksi terorisme itu dapat ditelusuri sejak tahun-tahun terakhir sebelum masehi (sekitar tahun 4 SM) sampai dengan tahun 70 M.
Cikal bakal aksi terorisme itu terjadi di wilayah Yudea, wilayah tempat hidupnya bangsa Israel/Yahudi (sekarang Palestina) ketika Yudea berada di bawah penjajahan bangsa Romawi. Aksi terorisme itu dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari etnis/kelompok Zelot dan Sicarii, dua kelompok Yahudi yang berhaluan ultra-nasionalis dan menentang habis-habisan pendudukan yang dilakukan oleh Romawi atas wilayah mereka.
Aksi teror itu sendiri diklaim oleh mereka sebagai bentuk perlawanan atas penindasan yang dilakukan oleh Romawi, baik perlawanan dalam arti politis untuk membela bangsanya maupun perlawanan dalam arti religius untuk membela kehormatan agama mereka. Akan tetapi aksi itu kemudian dilakukan secara membabi buta sehingga melahirkan teror yang menakutkan di tanah Yudea.
Mereka yang disebut teroris itu biasanya mempersenjatai diri dengan belati dan siap menyerang siapa pun yang mereka anggap musuh, baik orang-orang Romawi maupun orang Yahudi sendiri. Mereka siap mati dalam melakukan penyerangan itu. Aksi itulah yang disebut Pape sebagai cikal bakal dari serangan bunuh diri dan terorisme.
Meski mungkin saja ada sejarah terorisme yg lebih tua/lebih dulu dari peristiwa itu tapi setidaknya itulah sejarah awal terorisme yangg bisa ditelusuri dan dipastikan kebenarannya. Begitu kata Pape .....
Pada waktu-waktu berikutnya, aksi terorisme yang cukup signifikan dan masif terjadi di Eropa dan mencapai puncaknya pada sekitar abad ke- 16, khususnya di Kerajaan Inggris sehubungan dengan friksi yang terjadi antara Katolik dan Protestan.
Aksi terorisme itu marak terjadi di Kerajaan Inggris sehubungan dengan memburuknya hubungan antara Inggris di bawah Ratu Elizabeth I yang menganut Protestan sebagai agama negara dengan wilayah-wilayah bagiannya seperti Skotlandia dan Irlandia yang mayoritasnya menganut Katolik. Pada masa inilah aksi-aksi teror dengan menggunakan bahan peledak yg dilakukan oleh orang-orang Skotlandia dan Irlandia yg beragama Katolik yg merasa tertindas oleh rezim Protesten di pusat (Inggris) mulai dikenal untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia. Aksi itu menyeruak dimana-mana dan menyulut konflik panjang antara Inggris disatu pihak dengan Skotlandia dan Irlandia di pihak yg lain. Suatu konflik yang tidak diragukan lagi berdimensi nasionalisme dan religius sekaligus.
Begitulah kata Simon Sebag Montefiore, seorang sejarawan terkemuka abad ini dalam bukunya "Speech that Changed the World," ketika mengisahkan bagian tentang Ratu Elizabeth I yang di dalamnya mengulas juga konflik antara Inggris dan Skotlandia yg tidak bisa dipungkiri merupakan konflik antara Protestan dengan Katolik. Juga banyak penulis lainnya, antara lain Jessica Stern dalam bukunya "Terror in the Name of God: Why Religous Militants Kill"
Dari kisah diatas, setidaknya dapat ditarik dua (2) kesimpulan penting:
1.   Terorisme bukan milik atau penyakit endemik suatu bangsa maupun suatu agama tertentu, terorisme bisa terjadi dan dilakukan oleh bangsa dan penganut agama mana pun;
2.   Terorisme selalu muncul dan bermula akibat adanya ketidakadilan, penindasan, dan konfigurasi kekuatan sosial-politik yang tidak seimbang dimana satu kekuatan mendominasi kekuatan yang lain sehingga pada akhirnya memicu perlawanan dari kelompok yg berada pada posisi yg lemah dan tertekan. Perlawanan itulah yang pada satu persimpangan jalan sangat mungkin menyimpang jauh dari cita-cita awalnya yang sebetulnya mulia dan kemudian bermetamorfosa menjadi sebuah aksi teror yg menakutkan yang sebetulnya sudah keluar dari nilai-nilai nasionalisme dan religius itu sendiri.

Senin, 08 Agustus 2016

Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme



Keberhasilan TNI dalam Operasi Tinombala yang sukses menembak mati Santoso belum lama ini ternyata menyemarakan lagi ruang-ruang perdebatan tentang perlu tidaknya keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, khususnya dalam pembahasan RUU Terorisme yang saat ini sedang digiatkan oleh DPR dan Pemerintah.
Rancangan Undang-Undang itu sendiri adalah rancangan perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena berawal dari sebuah Perppu yang dibuat dalam keadaan mendesak pasca tragedi Bom Bali 1 pada tahun 2002 silam, maka sudah tentu UU No. 15 Tahun 2003 ini memiliki banyak kekurangan disana sini. Itulah sebabnya pembentuk UU saat ini sedang berusaha menyusun perubahannya.
Salah satu materi perubahan yang diusung oleh RUU ini adalah soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Materi inilah yang sekarang menjadi titik perdebatan. Sebagaimana lazimnya suatu perdebatan tentu saja ada yang pro dan ada juga yang kontra dengan ide pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme ini.
Materi muatan RUU yang berisi klausul keterlibatan TNI itu sendiri tercantum dalam Pasal 43B. Pasal tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa TNI termasuk sebagai salah satu institusi yang diperkenankan terlibat dalam kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme.
Keberatan atas Pelibatan TNI
Mereka yang menolak pelibatan TNI pada prinsipnya berdalih bahwa terorisme adalah tindak pidana dan oleh karenanya harus diselesaikan melalui pendekatan penegakan hukum dibawah rezim hukum pidana (criminal justice system). Pendekatan penegakan hukum inilah yang menurut kelompok ini membawa konsekuensi bahwa hanya Polri-lah yang dapat diberi tugas oleh negara atau undang-undang untuk memberantas tindak pidana terorisme. Sementara keterlibatan TNI yang fungsi pokoknya di bidang pertahanan, bukan penegakan hukum, lebih dianggap sebagai ancaman dan “intervensi” yang tidak diperlukan dari pihak militer dalam soal-soal yang semestinya cukup ditangani Polri.
Terhadap pendapat dan pandangan diatas, penulis mempunyai beberapa catatan dan koreksi.
Sanggahan terhadap Keberatan atas Pelibatan TNI
Pertama, harus dipahami terlebih dahulu bahwa keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme menurut RUU ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menganeksasi wilayah penegakan hukum yang menjadi porsi dan ranah Polri.
Wilayah penegakan hukum seperti penyelidikan dan penyidikan atas kegiatan/peristiwa terorisme akan tetap selamanya menjadi wewenang Polri. Sedangkan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme hanya dapat dilakukan di luar dua area penegakan hukum tersebut.
Dengan demikian, keterlibatan TNI harus dibatasi hanya pada ruang lingkup kegiatan pemberantasan terorisme yang sesuai dengan kapasitas dan fungsi TNI. Sebagai contoh misalnya pemberian bantuan informasi intelejen, operasi penangggulangan teror, baik dalam kerangka pembantuan terhadap Polri (back up) maupun dalam kerangka operasi yang mandiri dan langsung dilaksanakan oleh TNI dalam keadaan darurat yang berada di luar kemampuan Polri untuk menanggulanginya. Sementara tindakan penegakan hukum yang akan dilakukan setelah aksi teror tersebut ditanggulangi, tetap akan menjadi tugas Polri.
Kedua, ada ruang-ruang atau peristiwa-peristiwa teror tertentu yang memang membutuhkan kehadiran TNI, yakni peristiwa-peristiwa teror yang berada di luar jangkauan dan kemampuan Polri untuk menanggulanginya. Seperti misalnya aksi teror terhadap objek vital yang bernilai strategis, aksi teror terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau tamu negara yang setingkat dengannya, serta aksi teror terhadap WNI, aset, atau kepentingan nasional yang berada di luar negeri.
Terhadap peristiwa-peristiwa teror semacam itu tentu saja TNI yang harus menanggulanginya. Sebab memang TNI yang mempunyai sumber daya dan kemampuan untuk melakukannya.
Hal-hal semacam ini tentu saja perlu diatur dan diberi payung hukum, salah satunya melalui RUU Terorisme ini. Sebab selain mengatur proses penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme, umumnya UU Terorisme di berbagai negara lain juga mengatur soal-soal strategi penanggulangannya, termasuk di dalamnya mengenai pelibatan/penggunaan militer bilamana eskalasi teror sudah sedemikian gawatnya.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa keterlibatan TNI itu sendiri harus tetap tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil sebagaimana sudah umum berlaku di semua negara demokratis, yakni menempatkan Polri sebagai leading sector-nya, sementara TNI sebagai kekuatan pendukungnya. Artinya, secara umum Polri lah yang berperan sebagai leading sector atau trigger dalam pemberantasan terorisme, sedangkan posisi TNI berada di lapis kedua atau menjadi pilihan terakhir.
Lagipula jika kita melakukan studi perbandingan mengenai model-model pemberantasan terorisme di negara-negara lain, kita akan menjumpai banyak UU Terorisme dari negara-negara lain yang mengatur dan memungkinkan pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme pada situasi-situasi tertentu.
Sekilas Perbandingan dengan Amerika
Salah satu negara yang bisa dirujuk dalam hal ini adalah Amerika Serikat (AS). Undang-Undang Terorisme AS yang dibuat tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001 dapat disebut sebagai UU Terorisme modern yang pertama di dunia (William Michaels, 2005). Jika dicermati, UU Terorisme AS yang populer disebut “USA Patriot Act 2001” itu pun memuat klausul tentang bantuan dan pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme, khususnya terhadap peristiwa teror yang terjadi di luar teritorial AS. Sedangkan dalam arena domestik, berdasarkan UU yang mengatur batasan penggunaan militer oleh pemerintah federal (Posse Comitatus Act 1878), militer tidak diperkenankan terlibat dalam operasi penanganan terorisme di dalam negeri, kecuali ada permintaan bantuan dari Polisi dalam keadaan darurat.
Mengenai bantuan dan pelibatan militer dalam UU Terorisme AS ini dapat dilihat antara lain pada section 104 tentang permintaan bantuan dari Polisi kepada Militer; section 1010 tentang penggunaan/pengerahan militer untuk pemberantasan terorisme di luar negeri.
Undang-Undang Terorisme AS itu tentu saja bukan satu-satunya UU Terorisme yang memungkinkan dan mengatur pelibatan militer dalam memberantas terorisme. Masih banyak UU Terorisme dari negara-negara lain yang juga mengadopsi model yang sama, yaitu  menempatkan upaya pemberantasan terorisme dalam kerangka penegakan hukum dibawah rezim hukum pidana (criminal justice system) akan tetapi pada saat yang bersamaan tetap memungkinkan dan mengatur pelibatan militer dalam keadaan-keadaan tertentu.
Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme di bawah UU Terorisme bukan lah sesuatu yang diharamkan. Bahkan kenyataan menunjukan, negara-negara maju dan demokratis seperti AS sekali pun memungkinkan dan mengatur hal itu dalam UU Terorisme-nya.
Dengan demikian sekali lagi penulis tegaskan bahwa pelibatan TNI dalam RUU Terorisme tidak mesti ditanggapi secara sinis dan a priori. Perumusan keterlibatan TNI secara terukur dan proporsional seperti yang telah dijelaskan diatas itu justru adalah suatu suatu kebutuhan demi kemajuan pemberantasan terorisme di Indonesia.

*Tulisan ini pernah di muat di Harian Radar Banten edisi Selasa, 2 Agustus 2016.

Kamis, 28 Juli 2016

Menyoal Pengangkatan Staf Khusus Presiden



Isu pengangkatan dua Staf Khusus baru Presiden telah menjadi viral di media-media pemberitaan beberapa hari terakhir ini. Dua Staf Khusus Presiden yang baru itu adalah Gories Mere dan Diaz Hendropriyono.
Gories Mere dikenal sebagai Mantan Kepala Densus 88 dan Kepala Badan Narkotika Nasional yang pertama. Sementara Diaz Hendropriyono lebih dikenal sebagai anak ketiga dari A. M Hendropriyono dan merupakan pendiri “Kawan Jokowi,” sebuah kelompok pendukung Jokowi pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang lalu.
Masalah di Seputar Pengangkatan Staf Khusus Presiden
Sebagaimana kita ketahui, pegangkatan dua Staf Khusus Presiden yang baru ini menuai reaksi dan kontroversi dari masyarakat luas. Jika diringkas, setidaknya terdapat tiga masalah pokok yang dipersoalkan oleh publik terkait pengangkatan Staf Khusus Presiden ini.
Pertama, proses pengangkatannya yang terkesan tertutup dan tidak disertai penjelasan tentang latar belakang penunjukan dan kompetensi dua Staf Khusus Presiden yang dimaksud. Akibatnya masyarakat merasa kaget dan bertanya-tanya mengenai pengangkatan Staf Khusus Presiden yang sebetulnya akan menjadi hal biasa jika proses itu dilaksanakan secara terbuka. Apalagi jika misalnya orang yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden itu memiliki rekam jejak yang baik dan kompeten di bidang yang akan menjadi tanggung jawabnya.
Terhadap persoalan tersebut, seharusnya Presiden, atau setidak-tidaknya para pembantunya memberikan penjelasan yang cukup kepada publik terkait alasan penunjukan dua Staf Khusus baru itu berikut kompetensinya masing-masing. Dengan begitu publik dapat mengetahui secara jelas alasan penunjukan dan kompetensi dari dua orang Staf Khusus tersebut. Sebab Staf Khusus Presiden adalah jabatan publik yang sepenuhnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga sangat wajar dan bahkan sudah seharusnya apabila proses pengangkatannya dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
Kedua, pengangkatan dua Staf Khusus baru itu tidak disertai dengan penetapan job desk atau bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawab masing-masing. Alasan yang dikemukakan oleh Istana, sebagaimana dikatakan oleh Mensesneg Pratikno, ialah agar dua Staf Khusus Presiden itu dapat berkeja secara fleksibel sesuai tugas yang diberikan Presiden tanpa terbatas pada bidang-bidang tertentu (Kompas, 11 Juli 2016). Akibatnya publik bertanya-tanya apa sebenarnya bidang tugas dari dua Staf Khusus Presiden tersebut.
Terhadap persoalan diatas, penulis sendiri termasuk salah seorang yang bertanya-tanya dan keberatan dengan pola kerja Staf Khusus Presiden yang seperti itu, yakni tanpa job desk atau pembidangan yang jelas. Padahal job desk itu adalah hal yang sangat dasar dan prinsip yang akan menentukan batas-batas atau area tanggung jawab dari masing-masing Staf Khusus Presiden. Dengan kata lain, adanya job desk itu akan menentukan “siapa bertanggung jawab apa ?”
Kondisi semacam ini, yakni penyelengaaraan negara tanpa job desk yang jelas, sejak berabad-abad yang lalu sudah dikritisi habis-habisan oleh para ahli. Salah seorang diantaranya adalah Max Weber. Sejak akhir abad ke 19 Weber telah mengkritik postur dan pola pemerintahan tanpa pembidangan tugas atau spesialisasi fungsi yang jelas. Menurutnya, kondisi tersebut telah menghasilkan penyelenggaraan negara yang serba tidak menentu dan kurang memuaskan. Untuk mengatasi ketidakpastian itu Weber mengemukakan beberapa poin tentang ciri-ciri/syarat birokrasi ideal yang salah satunya adalah adanya pembidangan kerja yang jelas berdasarkan keahlian orang yang menduduki pekerjaan tersebut (Weber dalam Tony Waters dan Dagmar Waters, 2015: 76-77). Prinsip itulah yang kemudian melahirkan adagium “the right man in the right place.”
Berdasarkan uraian diatas penulis meyakini bahwa penentuan job desk atau bidang tugas dari dua Staf Khusus baru itu sangat lah penting. Sementara untuk menyiasati adanya kebutuhan penugasan di luar bidang yang telah ditentukan, bisa saja ditegaskan dalam Keputusan Presiden tentang pengangkatan Staf Khusus yang dimaksud bahwa tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan diberi tugas-tugas khusus oleh Presiden di luar bidang tugas yang telah ditentukan, dalam hal terdapat kebutuhan atau tuntutan untuk itu.
Dengan begitu kejelasan tugas dari Staf Khusus Presiden tetap dapat diperoleh tanpa mengurangi fleksibilitasnya untuk mengerjakan tugas-tugas di luar bidangnya itu manakala ada kebutuhan untuk itu.
Ketiga, pengangkatan Staf Khusus Presiden ini disinyalir oleh publik sebagai tindakan nepotisme atau politik balas budi, terutama yang menyangkut nama Diaz Hendropriyono. Sebab sebagaimana telah diketahui secara luas, Diaz adalah anak dari A. M. Hendropriyono. Sementara kita tahu, A. M. Hendropriyono adalah salah satu tokoh kunci pendukung Jokowi sejak masa Pilpres 2014 yang lalu.
Mengenai hal ini perlu diketahui bahwa memang sudah menjadi kelaziman dan kebiasaan yang berlaku di mana-mana bahwa jabatan penasehat presiden seperti Staf Khusus Presiden ini selalu diisi oleh orang-orang dekat dan kepercayaan Presiden.
Fenomena ini terjadi juga di Amerika. Jabatan yang serupa atau dapat disamakan dengan Staf Khusus Presiden disana adalah Senior Advisor to the  U.S President (Senior Advisor). Di Amerika, jabatan Senior Advisor ini pun selalu diisi oleh orang-orang dekat Presiden (president’s man). Seperti Senior Advisor Presiden Obama saat ini misalnya, ada 3 orang dan semuanya berasal dar Partai Demokrat.
Jadi tidak perlu heran kalau situasi ini terjadi juga di Indonesia, dimana Presiden Jokowi menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi Staf Khusus-nya dalam rangka membantu tugas-tugas kepresidenannya, sepanjang orang itu memang kompeten dengan jabatan dan tugasnya itu. Sebab hal itu merupakan kewenangan/hak prerogratif Presiden. Jadi sepanjang orang itu kompeten dan dipandang cakap untuk mengemban tugas sebagai Staf Khusus Presiden, maka faktor kedekatan dan ikatan-ikatan persolan dengan Presiden seyogianya dapat kita maklumi. Sebab memang begitu lah konvensi (kebiasaan tidak tertulis) yang berlaku di mana-mana dalam soal pengisian jabatan penasehat Presiden atau Staf Khusus Presiden ini.
Namun demikian, meski pengangkatan Staf Khusus Presiden ini sepenuhnya adalah hak prerogratif Presiden, bukan berarti bahwa Presiden dapat menggunakan haknya ini dengan sembarangan dan sesuka hatinya. Tetap diperlukan pertimbangan yang matang dan kecermatan dalam memilih siapa-siapa yang akan menjadi Staf Khusus Presiden. Sebab hasil daripada pilihan itu akan berpulang kepada Presiden sendiri selaku penerima manfaat atau user daripada Staf Khusus tersebut.
Tanggung Jawab Moral di Balik Pengangkatan Staf Khusus Presiden
Seperti yang telah dikatakan diatas, meskipun pengangkatan Staf Khusus Presiden ini adalah hak prerogratif Presiden, akan tetapi penulis meyakini bahwa Presiden tetap terikat, setidak-tidaknya secara moral, untuk mempertanggungjawabkan pilihannya itu kepada rakyat.
Sebagai bahan refleksi, perlu diketahui bahwa menurut Peraturan Presiden No. 144 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan Staf Khusus Presiden,  hak keuangan yang diterima Staf Khusus Presiden setiap bulannya adalah sebesar Rp. 51 juta.
Dengan jumlah nominal yang sebesar itu, disamping juga besarnya tanggung jawab yang diemban oleh seorang Staf Khusus Presiden, maka sudah seharusnya Presiden benar-benar mempertimbangkan dengan cermat siapa-siapa yang akan dipilihnya untuk menerima hak sekaligus tanggung jawab yang besar itu.

*Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Analisa Daily, edisi Jumat 22 Juli 2016.

Senin, 27 Juni 2016

Tiga Jenis Kejahatan Serius atau Pelanggaran Berat Terhadap HAM menurut Hukum Internasional



Dalam konteks internasional, berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional yang ada dan telah menjadi kesepakatan diantara para ahli (comminis opinio docturum), yang dipandang sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM ialah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.[1]
Pengaturan mengenai hal itu dapat ditemukan dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti:
a.       London Charter 1945 (Piagam Pengadilan Nuremberg);
b.      Charter of the International Military Tribunal for the Far East 1946 (Piagam Pengadilan Tokyo);
c.       Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948);
d.       Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia 1993;
e.       Statute of the International Criminal Tribunal for Former Rwanda 1994; dan
f.        Statute Rome of the International Criminal Court 1998.
Kejahatan-kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM sehingga menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM sejak era Pengadilan Nuremberg (1945-1946) dan Pengadilan Tokyo (1946-1948).[2] Dasar-dasar yang diletakan oleh kedua Pengadilan Militer Internasional tersebut kemudian menjadi preseden yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan HAM internasional yang dibentuk setelahnya, yakni International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (1994), International Criminal Tribunal for Former Rwanda (1995), dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court; ICC).
Pada mulanya, berdasarkan charter (piagam) Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, yang dikualifikasikan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat HAM yang menjadi yurisdiksi materiil dari kedua pengadilan tersebut adalah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak termasuknya kejahatan genosida sebagai kejahatan yang beridiri sendiri dalam kedua piagam pengadilan itu dikarena rumusan/unsur-unsur kejahatan genosida belum berhasil dirumuskan secara internasional ketika itu. Kejahatan genosida baru berhasil diangkat dan dirumuskan secara internasional pada tahun 1948 melalui Covention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.[3]
 Namun demikian, tidak berarti unsur-unsur kejahatan yang tergolong sebagai “genosida” sebagaimana yang dikenal dan dirumuskan pada saat tidak terakomodir atau “unpunishment” dalam Piagam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo. Tindakan-tindakan yang tergolong sebagai genosida juga sebetulnya sudah diatur/terckaup dalam kedua piagam itu, hanya saja tidak ditempatkan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri sebagai “genosida” sebagaimana yang kita kenal saat ini[4]
Selanjutnya, di bawah ini akan dikemukakan perihal tiga kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM menurut hukum Internasional.
1.     Genosida
Secara terminologis, genosida terdiri dari dua kata, yaitu geno atau genos yang berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis dan cide atau cidium yang berasal dari bahasa Latin yang artinya membunuh.[5] Jadi secara harfiah genosida bermakna pembunuhan terhadap suatu ras, bangsa, atau etnik.
Para ahli hukum internasional seperti William A. Schabas, Roy Gutman dan Davied Rief satu suara dalam menyebut Raphael Lemkin sebagai orang yang pertama kali mengintrodusir istilah “genocide.”[6]  Istilah itu diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe.[7]
Oleh karena terminologi “genosida” itu baru diperkenalkan di tahun 1944 maka kejahatan genosida tidak termuat dalam Piagam Pengadilan Nuremberg maupun Piagam Pengadilan Tokyo yang disusun pada tahun 1945 dan 1946 Pengertian dan unsur-unsur kejahatan genosida belum berhasil dirumuskan secara yuridis dalam kedua piagam yang menjadi dasar lahir dan bekerjanya dua pengadilan tersebut meskipun istilah “genosida” sempat mengemuka di dalam sidang-sidang penyusunan kedua piagam tersebut. Akan tetapi sayangnya istilah genosida dan unsur-unsurnya  tidak muncul dalam kedua piagam itu, melainkan hanya menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagaimana diterangkan oleh William A. Schabas bahwa:
The term “genocide” was first used by Raphael Lemkin in his book Axis Rule in Occupied Europe, published in late 1944. Although the word appears in the drafting history of the Charter of the International Military Tribunal, the final text of that instrument uses the cognate term “crimes against humanity” to deal with the persecution and physical extermination of national, ethnic, racial and religious minorities.[8]
Dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe, Raphael Lemkin mendefinisikan Genosida sebagai:
“as intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction of essential foundations of the life of national group with the aim of annihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be disintegration of the political and social institutions of culture, language, national feelings, religio, economic existence, of national groups and the destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups, ..... the actions involved are directed against individuals, not in their individual capacity, but as member of the national group.”[9]
Sementara itu, Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan genosida secara lebih singkat, yaitu “an act committed with the intent to destroy, in whole or part, a national, ethnic, racial, or religious group.[10]
Penting untuk dipahami bahwa penemuan istilah “genosida” dan perumusannya dalam piagam-piagam ataupun konvensi-konvensi internasional memang baru dimulai pada dekade 1940-an, namun tidak berarti bahwa sebelum itu tidak pernah terjadi kejahatan genosida di dunia ini. Sejarah panjang peradaban manusia menunjukan bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan yang saat ini dikualifikasikan sebagai genosida telah terjadi dalam banyak kasus, tempat, dan waktu. Hanya saja ketika itu belum ada istilah genosida untuk menyebut kejahatan-kejahatan yang dimaskud.[11] Demikian juga belum ada hukum internasional yang mengatur tentang apa itu genosida, apa saja unsur-unsurnya, dan bagaimana tata cara mengadili pelakunya.
Diperkenalkannnya istilah genosida dan pengaturannya dalam berbagai instrumen hukum internasional dilatarbelakangi oleh banyaknya peristiwa kejahatan yang meliputi pembunuhan, pembantaian, pemusnahan dan bentuk-bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap suatu kelompok ras, etnik, atau agama tertentu pada awal abad ke-20. Diantara peristiwa yang dapat disebut sebagai genosida yang terjadi di paruh pertama abad ke 20 itu antara lain adalah pembantaian suku bantu pada tahun 1904 oleh tentara Jerman di Herero Namibia (Afrika), pembantaian suku Kurdi Turki di distrik Dersim 1937-1938, dan yang paling fenomenal ialah pembantaian dan pemusnahan secara sistematis orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman menjelang dan selama Perang Dunia II.[12]
Belajar dari pengalaman buruk di masa lalu itu maka masyarakat bangsa-bangsa (internasional) memulai usaha untuk membentuk  sebuah konvensi yang berskala internasional yang akan merumuskan kejahatan genosida dan upaya untuk menghukum para pelakunya. Usaha untuk itu mulai diprakarsai oleh Majelis Umum PBB sejak akhir 1946. Pada saat itu Majelis Umum PBB memulai usaha untuk menyusun sebuah traktat yang akan mengatur mengenai kejahatan genosida.[13] Dua tahun kemudian, tepatnya pada 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB menerima Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; Kovensi Genosida) melalui Resolusi Majelis Umum PBB 260A (III).[14]
Konvensi tersebut berisi ketentuan-ketentuan mengenai genosida seperti pengertian genosida, rumusan atau unsur-unsurnya, ruang lingkup kejahatan genosida, dan keharusan untuk menghukum pelaku kejahatan genosida, baik oleh Pengadilan Nasional maupun oleh suatu Pengadilan Internasional.
              2.     Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)” pertama kali muncul dan digunakan pada tahun 1915 dalam kasus pembantaian populasi Armenia di Turki oleh tentara Turki (Massacres of Turkey’s Armenian Population). Istilah itu digunakan dalam Deklarasi Bersama antara Perancis, Inggris, dan Rusia pada tanggal 24 Mei 1915 yang mengutuk tindakan Turki dalam kasus pembantaian tersebut. Namun upaya untuk menuntut kejahatan itu gagal dengan asalan tidak dimungkinkannya pemberlakuan retroactive criminal legislation (hukum yang berlaku surut).[15]
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan ini mengemuka kembali, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya, dengan dibentuknya International Military Tribunal atau yang lebih dikenal sebagai Pengadilan Nuremberg pada tahun 1945. Pengadilan Nuremberg sendiri dibentuk untuk mengadili “mantan kolaborator Nazi”[16] yang salah satu yurisdiksi materinya ialah mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan (disamping kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang).
Dalam perkembangan selanjutnya, kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi salah satu dari tiga jenis kejahatan yang dinyatakan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM oleh masyarakat internasional. Hal itu tercermin dalam berbagai piagam atau statuta internasional yang membentuk Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM.
              3.     Kejahatan Perang
Kejahatan perang bersama-sama dengan kejahatan piracy atau bajak laut merupakan dua kejahatan internasional yang tertua di dunia. Dalam catatan sejarah, khususnya di eropa, penuntutan secara internasional terhadap kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach di Breisach, Jerman, tahun 1474. Peradilan terhadap Hagenbach dilakukan di Austria oleh persekutuan negara Kerajaan Suci Roma dimana Hagenbach didakwa atas kasus pembunuhan, pemerkosaan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang melanggar hukum kanonik (hukum Tuhan) dan hukum Negara Romawi pada saat ia melakukan pendudukan militer. Dalam persidangan tersebut, Hagenbach dijatuhi hukum mati.[17]
Setelah peristiwa itu, seiring dengan kemajuan zaman dan tumbuhnya negara-negara nasional, telah banyak terjadi peperangan di banyak tempat di hampir seluruh penjuru dunia. Peristiwa yang paling terkenal dari sekian banyak cerita tentang perang itu adalah meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914-198. Banyak negara yang terlibat di dalamnya dan banyak pula korban yang berjatuhan dalam perang yang dahsyat di awal abad ke 20 tersebut.[18]
Perang Dunia I yang “berdarah-darah” dan menyimpan banyak cerita kejahatan perang di dalamnya itu kemudian terulang lagi pada tahun 1939 dengan skala yang lebih dahyat, yang kita kenal dengan Perang Dunia II.[19] Dapat dikatakan bahwa sejarah peperangan sama tuanya dengan sejarah perdaban manusia itu sendiri. Perang mewarnai sepanjang perjalanan perdaban manusia. Hanya mungkin aktor dan tempatnya saja yang berganti-ganti.
Pengalaman-pengalaman mengerikan sebagaimana tergambar diatas akhirnya menyadarkan masyarakat internasional untuk tidak membiarkan perang berkobar sedemikian rupa tanpa batasan. Itulah sebabnya kemudian masyarakat internasional berupaya merumuskan pembatasan-pembatasan di dalam perang. Usaha untuk memberikan pembatasan semacam itu sebetulnya sudah dimulai sejak dahulu. Hal itu dapat ditelusuri misalnya dari mulai tulisan-tulisan Sun Tzu (ahli militer China Kuno) pada abad ke-6 SM, hukum-hukum Yunani yang mengatur dan membatasi perang, serta tidak terkecuali juga hukum agama yang mengatur dan membatasi peperangan agar jangan sampai menimbulkan kerugian yang tidak diperlukan.[20]
Untuk memahami apa dan bagaimana itu kejahatan perang maka perlu kiranya terlebih dahulu dipahami hubungan antara perang, hukum yang mengatur mengenai perang (hukum humaniter), dan kejahatan perang itu sendiri. Hubungan ketiganya itu perlu dipahami karena ketiga hal tersebut saling bertautan dan bergandengan satu sama lain. Adanya perang membutuhkan aturan-aturan dan pembatasan agar tidak berkecamuk tanpa terkendali. Pada titik itu maka diciptakanlah hukum humaniter. Jika terjadi perang dan perang itu melanggar hukum humaniter sehingga menimbulkan korban dan kerugian yang tidak dibenarkan menurut hukum humaniter maka pada saat itulah terjadi kejahatan perang. Seperti itulah kira-kira ilustrasi interelasi diantara ketiganya.
Pertama; perihal perang. Telah banyak ahli yang mendifinisikan apa itu perang, namun dalam tulisan ini hanya akan diangkat beberapa diantara saja. Dalam Black’s Law Dictionary, perang didefinisikan sebagai “Hostile conflict by means of armed forces, carried on between nations, states, or rules, or sometimes between parties in the same nation or state.”[21] Sementara itu G. P. H Djatikoesomo mengartikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata.[22] Pengertian yang singkat namun menarik diberikan oleh Carl Von Clausewitz yang mendefinisikan perang sebagai politik dengan jalan kekerasan.[23]
Kedua; perihal hukum yang mengatur mengenai perang atau hukum humaniter. Menurut K. G. P. H. Haryomataram, mulanya hukum yang mengatur perihal perang disebut sebagai hukum perang kemudian berubah menjadi hukum mengenai konflik bersenjata dan yang terakhir sebagaimana kita kenal saat ini sebutannya menjadi “hukum humaniter.”[24]
Djatikoesomo mendifinisikan hukum perang sebagai aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai perang.[25] Sementara Lauterpacht memandang hukum perang dalam arti “the rules of the law of nations respecting warfare.”
Terkait dengan hukum humaniter, dewasa ini telah terdapat dua sumber hukum humaniter yang sangat penting dan fundamental dalam kerangka hukum internasional, yaitu:
1)     Konferensi Den Haag 1907 tentang Hukum Perang yang terdiri dari 13 konvensi; dan
2)     Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat (4) buku dan kemudian ditambah dengan dua (2) Protokol Tambahan 1977.
Ketiga; mengenai kejahatan perang. Pengertian klasik dan sederhana dari kejahatan biasanya merujuk pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum perang atau kebiasan perang. Akan tetapi menurut Deinstein pengertian ini harus dipahami secara hati-hati sebab tidak semua tindakan yang melanggar hukum perang atau kebiasaan perang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.[26]
Definisi kejahatan perang menurut Steven Ratner adalah pelanggaran terhadap hukum-hukum perang atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individual.[27]
Pada bagian selanjutnya akan dibahas rumusan kejahatan perang menurut berbagai isntrumen hukum internasional yang berupa piagam atau statuta pembentukan Pengadilan Internasional yang mengadili kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM, salah satunya kejahatan perang.



[1] Pandangan yang mengatakan bahwa kejahatan serius terhadap HAM meliputi tiga jenis kejahatan yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang antara lain dikemukakan oleh M. Cherif Bassiouni yang dikenal luas sebagai salah satu pelopor pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Lihat selengkapnya dalam M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, New York, 1996, hlm. 110
[2] Pada saat Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo dibentuk sesaat setelah Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan di pihak sekutu, istilah “genosida” belum ditemukan/digunakan secara resmi ketika itu, karena kejahatan genosida baru pertama kali diangkat dan dirumuskan secara internasional pada tahun 1948 melalui Covention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang diterima oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 260A (III) pada 9 Desember 1948. Kejahatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Nurember dan Pengadilan Tokyo berdasarkan charter dari masing-masing Pengadilan itu adalah kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
[3] Lihat William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Makalah disampaikan dan dipublikasikan pada United Nations Audiovisual Library of International Law, United Nations, 2008.
[4] Unsur-unsur kejahatan genosida sebetulnya sudah tercakup, meskipun tidak berdiri sendiri sebagai suatu kejahatan dalam piagam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik menurut Piagam Pengadilan Nuremberg (Pasal 6 huruf c), maupun Piagam Pengadilan Tokyo tepatnya (Pasal 5 huruf c).
[5] William A Schabas, Genocide in International Law, Cambridge University Press, 2000, hlm. 25.
[6] Lihat William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1; lihat juga Roy Gutman dan David Rief dalam Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 7.
[7] Sebagai informasi, Raphael Lemkin adalah seorang Yahudi kelahiran Polandia yang kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1930.
[8] William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1.
[9] Willia A Schabas, Genocide in International Law, Op. Cit., hlm. 24-25.
[10] Bryan A. Garner dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 8.
[11] Oleh karena belum adanya istilah atau terminologi untuk menyebut kejahatan-kejahatan yang sekarang disebut “genosida” pada masa-masa berkecamuknya Perang Dunia II, Winston Churchill menyebut kejahatan-kejahatan “genosida” yang dilakukan oleh Nazi pada waktu dengan sebutan “the crime withput a name.” Lihat William Schabas, Genocide in International Law, Op. Cit., hlm. 14-17.
[12] Eddy O. S Hariej, Op. Cit., hlm. 9.
[13] Muladi, Op. Cit., hlm. 172.
[14] William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1.
[15] Muladi, Op. Cit., hlm. 176; lihat pula Eddy O. S. Hariej Op. Cit., hlm. 14.
[16] Istilah ini digunakan oleh Satya Arinanto untuk menyebut para terdakwa yang diadili di Pengadilan Nuremberg. Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. Ketiga, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2011, hlm. 243-247.
[17] M. Shokry El-Dakkak,State’s Crimes against Humanity:Genocide, Deportation, and Torture: From the Perspectives of International and Islamic Laws, A. S Noordeen, 2000, hlm. 206-207.
[18] Lihat Wikipedia, Perang Dunia I, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_I, Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
[19]  Lihat Wikipedia, Perang Dunia II, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_II, Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
[20] Roy Gutman dan David Rieff dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 24.
[21] Bryan A. Garner dalam Eddy O. S. Hariej
[22] G. P. H. Djatikoesomo, Hukum Internasional Bagian Perang, N.V Pemandangan Djakarta, 1956, hlm. 15.
[23] Dani Krisnawati et. all., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena, Jakarta, 2006, hlm. 258.
[24] K. G. P. H. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 6.
[25] G. P. H. Djatikoesomo, Op. Cit., hlm. 2.
[26] Deinsten dalam Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 77.
[27] Steven Ratner dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 31.