Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 29 Juli 2020

PROTOKOL MADRID: PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, PROSES PENDAFTARAN, DAN KELEBIHAN-KEKURANGANNYA

  I.     Apa itu Protokol Madrid?

Pada prinsipnya, Protokol Madrid adalah suatu perjanjian atau protokol internasional yang mengatur dan memberlakukan sistem pendaftaran dan pemeliharaan perlindungan merek secara internasional (di banyak negara) dengan cukup satu aplikasi permohonan saja (One Application, One number of registration, One Renewal, One Currency, and One Document). Permohonan tersebut cukup diajukan di negara asal untuk kemudian diteruskan oleh Kantor Merek setempat ke Biro Internasional WIPO untuk diproses.
Jika tanpa Protokol Madrid biasanya pendaftaran suatu merek dengan tujuan banyak negara harus dilakukan secara terpisah satu persatu di negara yang dituju maka dengan menggunakan Madrid Protokol ini, pendaftaran di banyak negara tersebut cukup dilakukan sekali di Kantor Merek di negara asalnya. Selanjutnya pemilik merek dapat memilih negara-negara tujuan di mana mereknya hendak didaftarkan dalam satu permohonan yang dimaksud.
Protokol Madrid diadopsi dan diberlakukan dalam rangka memberikan kemudahan dan kepraktisan pendaftaran dan pemeliharaan perlindungan merek internasional, di mana pendaftaran merek dengan tujuan banyak negara dan pemeliharaan perlindungannya di negara-negara yang dimaksud cukup dilakukan dalam satu permohonan saja secara terpusat. Itulah inti daripada Protokol Madrid ini.
Protokol Madrid disahkan pada tanggal 27 Juni 1989 di Madrid  Spanyol dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 April 1996 di lingkungan negara pesertanya. Indonesia sendiri baru mengaksesi dan memberlakukan Protokol Madrid ini pada 30 September 2017 melalui Peraturan Presiden No. 92 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol Relating To The Madrid Agreement Concerning The International Registration Of Mark, 1989.
Sejak saat itu berlaku lah sistem pendaftaran merek internasional berdasarkan Protokol ini, di mana merek dalam negeri dapat didaftarkan secara internasional di banyak negara sekaligus, dan pada saat yang bersamaan Indonesia juga menerima pendaftaran merek internasional dari luar negeri dengan menggunakan protokol ini.

  II.     Ruang Lingkup Protokol Madrid:
Hal-hal yang dicakup dan dapat diproses dengan menggunakan mekanisme Protokol Madrid adalah sebagai berikut:
A.    Pendaftaran Merek (secara Internasional);[1]
B.     Pemeliharaan Merek Pasca Pendaftaran, yang meliputi:
  1.      Pembaruan pendaftaran (renewal);[2]
  2.      Perluasan pendaftaran di negara tujuan baru (subsequent designations);[3]
  3.     Modifikasi (Perubahan) terhadap Merek yang telah terdaftar, seperti perubahan alamat,    perubahan/pengalihan kepemilikan, perubahan nama/alamat perwakilan, pencatatan lisensi, dan pencoretan jenis barang/jasa tertentu.[4]

 III.       Proses Pendaftaran Merek melalui Sistem Protokol Madrid di Indonesia
Permohonan Internasional diajukan kepada Biro Internasional WIPO melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.  Permohonan Internasional diajukan dengan mengisi formulir MM2 dalam bahasa Inggris.
Syarat subyek yang dapat mengajukan Permohonan Internasional:
  1. Pemohon yang memiliki kewarganegaraan Indonesia;
  2. Pemohon yang memiliki domisili atau tempat kedudukan hukum di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Pemohon yang memiliki kegiatan usaha industri atau komersial yang nyata di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Syarat objek yang dapat diajukan: 
Pengajuan Permohonan Internasional hanya dapat dilakukan jika Pemohon telah memiliki Permohonan atau Pendaftaran (secara nasional) di DJKI sebelumnya.[5]

 IV.           Kelebihan dan Kekurangan Akibat Pemberlakuan Protokol Madrid
A.       Kelebihan
Beberapa kelebihan atau keuntungan akibat dari pemberlakuan Madrid Potocol ini antara lain:
  1. Dari sisi pelaku dunia usaha atau pemilik merek, pendaftaran merek internasional akan lebih murah/hemat biaya, karena pendaftaran dengan tujuan banyak negara tersebut cukup dilakukan sekali di negara asal (one application for all), sehingga pemilik merek tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk mebayar jasa konsultan HAKI di negara-negara tujuan;  
  2. Dari segi kepraktisan dan kemudahan birokrasi, pendaftaran merek internasional juga akan jauh lebih mudah dan praktis, karena pendaftaran dengan tujuan banyak negara tersebut cukup dilakukan sekali di negara asal (one application for all), sehingga pemilik merek tidak perlu lagi mendaftarkan mereknya satu persatu secara terpisah di negara-negara yang dituju; 
  3. Protokol Madrid menentukan batas waktu yang pasti untuk proses pendaftaran sampai dengan notifikasi penolakan, yakni 12 bulan atau 18 bulan (tergantung masing-masing negara memilih yang mana, untuk Indonesia 18 bulan). Apabila jangka waktu tersebut lewat tanpa adanya notifikasi penolakan maka merek yang dimaksud secara otomatis menjadi merek terdaftar;[6] 
  4. Madrid Protokol adalah sistem alternatif. Pendaftaran merek secara internasional (di beberapa negara) tetap bisa dilakukan melalui jalur konvensional di masing-masing negara tujuan jika memang pemilik merek mengehendakinya. Artinya, pemberlakuan Protokol Madrid tidak menutup sepenuhnya pintu pendaftaran konvensional di masing-masing negara tujuan. Cost effectiveness dari pendaftaran merek dengan menggunakan Protokol Madrid ini justru baru tercapai jika jumlah negara yang dituju (designated country) signifikan. Sebaliknya, pendaftaran merek dengan menggunakan Protokol Madrid akan menjadi tidak cost effectiveness apabila negara yang dituju hanya beberapa saja yang mana hal tersebut bisa dilakukan melalui pendaftaran secara konvensional; 
  5. Dari sisi Konsultan HAKI, dalam hal ada Oposisi atau Penolakan, Konsultan HAKI di negara tujuan tetap dibutuhkan karena yang dapat mengajukan jawaban untuk itu adalah Konsultan HAKI di negara yang dimaksud;
  6. Dengan adanya Protokol Madrid ini maka merek-merek nasional akan dapat mudah masuk ke pasar internasional.
     B.         Kekurangan
Beberapa kekurangan atau kerugian akibat dari pemberlakuan Madrid Potocol ini antara lain: 
  1. Adanya Prinsip Ketergantungan (Dependensi) Selama Jangka Waktu 5 Tahun Pertama Sejak Pendaftaran Internasional:
Untuk jangka waktu lima tahun (masa dependensi) nasib suatu merek yang telah terdaftar secara internasional/merek IR (international registration) akan tetap tergantung pada nasib merek pokoknya (permohonan pendaftaran atau pendaftaran) di negara asal.
Jika, karena alasan apa pun, merek pokok di negara asalnya berhenti berlaku secara keseluruhan atau sebagian (penolakan atau penarikan permohonan pendaftaran pokok, atau pembatalan, penolakan, pencabutan, pembatalan, atau pengakhiran pendaftaran pokok) dalam jangka waktu tersebut (lima tahun sejak tanggal IR), merek IR tersebut akan dibatalkan secara keseluruhan atau sebagian (hanya untuk beberapa barang atau jasa).
Namun demikian, untuk meringankan konsekuensi dari fitur dependensi ini, Protokol Madrid menyediakan kemungkinan ‘perubahan’ merek IR menjadi permohonan pendaftaran nasional atau regional di tiap-tiap DCP (designations contracting party). Dalam waktu tiga bulan sejak pembatalan suatu merek IR, Pemilik merek tersebut dapat mengajukan permohonan pendaftaran merek yang sama dalam DCP tersebut dan permohonan pendaftaran tersebut (berdasarkan ‘perubahan’ merek IR) akan diperlakukan seolah-olah telah diajukan pada tanggal merek IR asli (sehingga mempertahankan hak sebelumnya yang telah dinikmati).
Setelah periode dependensi lima tahun pertama ini terlewati, merek IR menjadi sepenuhnya independen dari merek pokok di negara asalnya dan tidak dapat dibatalkan lagi jika merek pokoknya berhenti berlaku;[7] dan:
2. Dari sisi Konsultan HAKI, Protokol Madrid berdampak secara langsung pada penurunan income yang biasa didapat dari proses pendaftaran merek secara konvensional (sebelum pemberlakuan Protokol Madrid). Sebab pemilik merek dari luar negeri yang bermaksud mendaftarkan mereknya secara internasional termasuk dengan tujuan Indonesia dengan menggunakan Protokol Madrid ini, tidak perlu lagi menggunakan jasa Konsultan lokal di negara-negara tujuan, karena pendaftaran cukup dilakukan sekali dari negara asal.


[1] Diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Protokol Madrid.
[2] Diatur dalam Pasal 7 Protokol Madrid.
[3] Diatur dalam Pasal 3 Protokol Madrid.
[4] Diatur dalam Pasal 9 Protokol Madrid.
[5] Panduan mengenai tata cara pendaftaran dan pemeliharaan merek pasca pendaftaran secara internasional dengan menggunakan Protokol Madrid ini dapat dilihat pada Buku Panduan Protokol Madrid yang diterbitkan DJKI. Dapat diakses dan diunduh pada laman: https://dgip.go.id/images/ki-images/pdf-files/merek/buku%20panduan%20protokol%20madrid1ok.pdf.
[6] Pasal 5 Protokol Madrid.
[7] Pengaturan mengenai Prinsip Ketergantungan ini tercantum pada Pasal 6 Protokol Madrid.

Kamis, 09 Juli 2020

Apakah Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 Membatalkan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019?

Putusan MA yang membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU mengenai aturan penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wapres Pemenang Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 Pasangan Calon TIDAK MEMPENGARUHI KEABSAHAN APALAGI MEMBATALKAN KEMENANGAN PASANGAN JOKOWI-MA'RUF dalam Pilpres 2019 yang lalu!

Mengapa?

1. Alasan yang paling dasar dan paling penting adalah, menurut UUD 1945 Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa Hasil Pilpres dan tidak juga berwenang mengesahkan atau membatalkan Hasil Pilpres yang telah ditetapkan oleh KPU, kewenangan semacam itu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung.

2. Perlu dipahami bahwa konteks pengujian  yang dilakukan oleh MA adalah semata-mata menguji norma PKPU terhadap UU (judicial review) yang memang adalah kewenangannya, yakni menguji peraturan di bawah UU terhadap UU (Pasal 24 A ayat 1 UUD), bukan dalam rangka menguji penetapan hasil Pilpres yang telah ditetapkan KPU. Karenanya apapun yang diputuskan MA tidak akan mempengaruhi apalagi menganulir hasil Pilpres yang telah ditetapkan KPU.

Dalam hal ini MA menguji Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 yang bunyinya mengatur tata cara penentuan pasangan calon presiden dan wapres terpilih dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan calon, yakni dengan suara terbanyak (tanpa harus memenuhi kriteria persebaran suara di provinsi di Indonesia). Pasal tersebut diuji dengan Pasal 416 UU No. 7/2019 tentang Pemilu yang mengatur tata cara penentuan pemenang Pilpres (dalam hal Pilpres diikuti oleh lebih dari 2 pasangan calon).

Substansi Pasal 416 UU Pemilu itu sendiri sama dengan bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD, yakni mengatur tata cara penentuan pemenang Pilpres dengan memperhatikan jumlah persentase suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia, berikut bunyi lengkapnya:

"Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50%(lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia."

Terhadap norma di atas, yakni Pasal 416 UU Pemilu (sebelummya diatur dalam Pasal 158 UU No. 42/2008 tentang Pilpres) yang sesungguhnya bersumber dari Pasal 6A ayat (3) UUD, sebetulnya telah ditafsirkan dan diputus oleh MK dalam Putusannya No. 50/2014, yang pada pokoknya MK memutuskan bahwa norma tersebut tidak berlaku bagi penyelenggaraan Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon.

Dalam Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon maka MK menetapkan Pemenangnya adalah pasangan calon yg memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan syarat persebaran perolehan suara seperti yang diatur oleh Pasal 6A ayat (3) UUD.

Jadi aturan main dalam menentukan pasangan calon presiden dan wapres pemenang Pemilu yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon itu sesungguhnya sudah final dengan adanya Putusan MK No. 50 Tahun 2014, yakni pasangan yang memperoleh suara terbanyak.

Kembali kepada hasil pengujian yang dilakukan MA, jadi sebetulnya dalam hal ini MA menguji dua norma yang beda konteks dan beda ruang lingkupnya. Yang satu, yang dimohonkan utk diuji dan dibatalkan adalah norma PKPU yang mengatur secara khusus tata cara penentuan pasangan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan. Sedangkan yg lainnya, yang dijadikan batu uji untuk menguji dan membatalkan norma PKPU itu adalah pasal UU Pemilu yang mengatur tata cara penentuan pasangan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres diikuti oleh lebih dari 2 pasangan calon.

Oleh karenanya hasilnya pun sudah bisa diduga, jika pengujian yang dilakukan oleh MA ini tidak memperhatikan Putusan MK No. 50 Tahun 2014 yang sebetulnya sudah memutus masalah ini sebelumnya dan MA semata - mata hanya mengujinya secara normatif-tekstual, maka hasilnya aturan dalam PKPU itu jelas akan dibatalkan oleh MA karena secara tekstual memang tidak sesuai dengan Pasal 416 UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Lantas apakah ini kesalahan MA?

Jawabannya akan sangat subjektif tergantung pada penilaian masing-masing orang, akan tetapi satu yang pasti adalah, jika dinilai secara objektif-normatif (melihat ketentuan undang-undang yang mengatur kewenangan judicial review oleh MA) tentu ini bukan kesalahan MA! Sebab sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD dan UU, MA memang tidak berwenang menguji peraturan di bawah UU terhadap Putusan MK, karenanya dalam memutus perkara judicial review yang dilakukannya tidak ada keharusan bagi MA untuk memperhatikan dan menjadikan Putusan MK sebagai dasar/batu uji sekalipun mungkin Putusan MK tersebut ada kaitannya dengan perkara yang sedang diuji oleh MA (seperti dalam kasus ini).

Kesimpulan dari poin nomor 2 ini adalah, Putusan MA yang membatalkan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 tidak berpengaruh apa-apa terhadap legalitas kemenangan Pasangan Jokowi-Ma'ruf yang telah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres oleh KPU dengan berdasar pada Pasal 3 ayat (7) PKPU ini, sebab aturan hukum mengenai hal ini (maksudnya aturan penentuan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan calon) sudah ditetapkan lebih dahulu oleh MK dalam Putusannya No. 50 Tahun 2014.

Karenanya, ada ataupun tidak adanya ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU yang telah dibatalkan oleh MA ini, penentuan pemenang Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon akan tetap ditentukan berdasarkan pada perolehan suara terbanyak (tanpa memperhatikan syarat persebaran suaranya seperti yg diatur dalam Pasal 6A ayat 3 UUD dan Pasal 416 UU Pemilu). Sebab aturan ini telah ditetapkan oleh MK sehingga sudah menjadi semacam "aturan konstitusional yang tidak tertulis" (unwritten constitutional norm) di Indonesia dalam menentukan pemenang Pilpres yang diikuti oleh hanya 2 pasangan calon. 

Yang salah dan akan menjadi masalah justru adalah jika KPU menentukan dan menetapkan Pemenang Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon dengan menggunakan dasar hukum Pasal 416 UU No. 7/2017 tentang Pemilu (juncto Pasal 6A ayat 3 UUD), yakni dengan mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia. Sebab aturan yang demikian sudah dinyatakan conditionally unconstitutional (inkonstitutional bersyarat) oleh MK dalam Putusannya No. 50 Tahun 2014[1] apabila aturan tersebut dimaknai berlaku juga untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon. 

Dengan kata lain, aturan penentuan Pemenang Pilpres yang mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD dan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat diberlakukan untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon. Sebaliknya, untuk menentukan Pemenang Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon, MK memutuskan bahwa Pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (3) UUD.

3. Yang terakhir, tentu saja karena Putusan MA tidak berlalu surut (non retroaktif).

Putusan MA dalam perkara pengujian peraturan di bawah UU terhadap UU tidak bisa membatalkan dan mengubah hasil/pelaksanaan dari norma yang telah dibatalkannya itu. Sebaliknya, Putusan MA dalam perkara uji materi hanya berlaku sejak saat diputuskan dan berlaku ke depan (prospektif).

Artinya, penetapan Pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai pasangan Presiden dan Wapres terpilih hasil Pilpres 2019 tidak bisa diubah dan dibatalkan dengan Putusan MA yang terbit saat ini, jauh setelah Jokowi-Ma'ruf ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019 dan telah dilantik secara resmi sebagai Presiden dan Wapres.

Jadi jelas sudah bahwa Putusan MA No. 44 P/HUM/2019 yang baru saja diterbitkan beberapa hari yang lalu (3 Juli 2020) tidak mempengaruhi apalagi membatalkan kemenangan Pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai Presiden dan Wapres terpilih hasil Pilpres 2019.

Munculnya problematika sehubungan dengan terbitnya Putusan MA ini kembali menyadarkan kita betapa pentingnya penyatuatapan atau pemusatan kewenangan pengujian semua peraturan perundang-undangan (judicial review) di bawah satu lembaga. Dan lembaga yang paling tepat untuk diserahi kewenangan ini adalah MK.

Seperti halnya di hampir semua negara yang telah memiliki MK, pasti kewenangan judicial review atas semua jenis dan jenjang peraturan dipusatkan di MK sehingga carut marut atau tidak sinkronnya Putusan MK dengan Putusan MA dalam perkara judicial review terhadap materi yang sama seperti yg mengemuka dalam kasus ini tidak terjadi. Sebab tidak ada dualisme kekuasaan pengujian peraturan di dalamnya.



[1] saat itu aturan mengenai hal ini termaktub dalam Pasal 158 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, dan karena substansinya sama dengan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maka Putusan MK No. 50 Tahun 2014 itu juga berlaku mutatis mutandis terhadap Pasal 416 UU Pemilu, dalam arti aturan penentuan Pemenang Pilpres yang mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD dan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat diberlakukan untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon.