Putusan
MA yang membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU mengenai aturan penentuan
Pasangan Calon Presiden dan Wapres Pemenang Pilpres yang diikuti hanya oleh 2
Pasangan Calon TIDAK MEMPENGARUHI KEABSAHAN APALAGI MEMBATALKAN KEMENANGAN
PASANGAN JOKOWI-MA'RUF dalam Pilpres 2019 yang lalu!
Mengapa?
1. Alasan
yang paling dasar dan paling penting adalah, menurut UUD 1945 Mahkamah Agung
tidak mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa Hasil Pilpres dan tidak juga
berwenang mengesahkan atau membatalkan Hasil Pilpres yang telah ditetapkan oleh
KPU, kewenangan semacam itu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, bukan
Mahkamah Agung.
2. Perlu
dipahami bahwa konteks pengujian yang dilakukan oleh MA adalah
semata-mata menguji norma PKPU terhadap UU (judicial review) yang memang
adalah kewenangannya, yakni menguji peraturan di bawah UU terhadap UU (Pasal 24
A ayat 1 UUD), bukan dalam rangka menguji penetapan hasil Pilpres yang telah
ditetapkan KPU. Karenanya apapun yang diputuskan MA tidak akan mempengaruhi
apalagi menganulir hasil Pilpres yang telah ditetapkan KPU.
Dalam hal
ini MA menguji Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 yang bunyinya mengatur tata
cara penentuan pasangan calon presiden dan wapres terpilih dalam hal Pilpres
hanya diikuti oleh 2 pasangan calon, yakni dengan suara terbanyak (tanpa harus
memenuhi kriteria persebaran suara di provinsi di Indonesia). Pasal tersebut
diuji dengan Pasal 416 UU No. 7/2019 tentang Pemilu yang mengatur tata cara
penentuan pemenang Pilpres (dalam hal Pilpres diikuti oleh lebih dari 2
pasangan calon).
Substansi
Pasal 416 UU Pemilu itu sendiri sama dengan bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD, yakni
mengatur tata cara penentuan pemenang Pilpres dengan memperhatikan jumlah
persentase suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di
Indonesia, berikut bunyi lengkapnya:
"Pasangan
Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50%(lima
puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan
sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia."
Terhadap
norma di atas, yakni Pasal 416 UU Pemilu (sebelummya diatur dalam Pasal 158 UU
No. 42/2008 tentang Pilpres) yang sesungguhnya bersumber dari Pasal 6A ayat (3)
UUD, sebetulnya telah ditafsirkan dan diputus oleh MK dalam Putusannya No.
50/2014, yang pada pokoknya MK memutuskan bahwa norma tersebut tidak berlaku
bagi penyelenggaraan Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon.
Dalam
Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon maka MK menetapkan Pemenangnya
adalah pasangan calon yg memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan
syarat persebaran perolehan suara seperti yang diatur oleh Pasal 6A ayat (3)
UUD.
Jadi
aturan main dalam menentukan pasangan calon presiden dan wapres pemenang Pemilu
yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon itu sesungguhnya sudah final dengan
adanya Putusan MK No. 50 Tahun 2014, yakni pasangan yang memperoleh suara
terbanyak.
Kembali
kepada hasil pengujian yang dilakukan MA, jadi sebetulnya dalam hal ini MA
menguji dua norma yang beda konteks dan beda ruang lingkupnya. Yang satu, yang
dimohonkan utk diuji dan dibatalkan adalah norma PKPU yang mengatur secara
khusus tata cara penentuan pasangan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres hanya
diikuti oleh 2 pasangan. Sedangkan yg lainnya, yang dijadikan batu uji untuk
menguji dan membatalkan norma PKPU itu adalah pasal UU Pemilu yang mengatur
tata cara penentuan pasangan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres diikuti oleh
lebih dari 2 pasangan calon.
Oleh
karenanya hasilnya pun sudah bisa diduga, jika pengujian yang dilakukan oleh MA
ini tidak memperhatikan Putusan MK No. 50 Tahun 2014 yang sebetulnya sudah
memutus masalah ini sebelumnya dan MA semata - mata hanya mengujinya secara
normatif-tekstual, maka hasilnya aturan dalam PKPU itu jelas akan dibatalkan
oleh MA karena secara tekstual memang tidak sesuai dengan Pasal 416 UU No.
7/2017 tentang Pemilu.
Lantas
apakah ini kesalahan MA?
Jawabannya
akan sangat subjektif tergantung pada penilaian masing-masing orang, akan
tetapi satu yang pasti adalah, jika dinilai secara objektif-normatif (melihat
ketentuan undang-undang yang mengatur kewenangan judicial review oleh
MA) tentu ini bukan kesalahan MA! Sebab sesuai dengan kewenangan yang diberikan
oleh UUD dan UU, MA memang tidak berwenang menguji peraturan di bawah UU
terhadap Putusan MK, karenanya dalam memutus perkara judicial review yang
dilakukannya tidak ada keharusan bagi MA untuk memperhatikan dan menjadikan
Putusan MK sebagai dasar/batu uji sekalipun mungkin Putusan MK tersebut ada
kaitannya dengan perkara yang sedang diuji oleh MA (seperti dalam kasus ini).
Kesimpulan
dari poin nomor 2 ini adalah, Putusan MA yang membatalkan Pasal 3 ayat (7) PKPU
No. 5/2019 tidak berpengaruh apa-apa terhadap legalitas kemenangan Pasangan
Jokowi-Ma'ruf yang telah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres oleh KPU dengan
berdasar pada Pasal 3 ayat (7) PKPU ini, sebab aturan hukum mengenai hal ini
(maksudnya aturan penentuan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres hanya diikuti
oleh 2 pasangan calon) sudah ditetapkan lebih dahulu oleh MK dalam Putusannya
No. 50 Tahun 2014.
Karenanya,
ada ataupun tidak adanya ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU yang telah dibatalkan
oleh MA ini, penentuan pemenang Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 pasangan
calon akan tetap ditentukan berdasarkan pada perolehan suara terbanyak (tanpa
memperhatikan syarat persebaran suaranya seperti yg diatur dalam Pasal 6A ayat
3 UUD dan Pasal 416 UU Pemilu). Sebab aturan ini telah ditetapkan oleh MK
sehingga sudah menjadi semacam "aturan konstitusional yang tidak
tertulis" (unwritten constitutional norm) di Indonesia dalam
menentukan pemenang Pilpres yang diikuti oleh hanya 2 pasangan calon.
Yang
salah dan akan menjadi masalah justru adalah jika KPU menentukan dan menetapkan
Pemenang Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon dengan menggunakan
dasar hukum Pasal 416 UU No. 7/2017 tentang Pemilu (juncto Pasal 6A ayat
3 UUD), yakni dengan mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan
persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia. Sebab aturan yang
demikian sudah dinyatakan conditionally unconstitutional (inkonstitutional
bersyarat) oleh MK dalam Putusannya No. 50 Tahun 2014[1]
apabila aturan tersebut dimaknai berlaku juga untuk Pilpres yang diikuti hanya
oleh 2 pasangan calon.
Dengan
kata lain, aturan penentuan Pemenang Pilpres yang mempersyaratkan persentase
perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di
Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD dan Pasal 416 UU No.
7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat diberlakukan untuk Pilpres yang diikuti
hanya oleh 2 pasangan calon. Sebaliknya, untuk menentukan Pemenang Pilpres yang
diikuti hanya oleh 2 pasangan calon, MK memutuskan bahwa Pemenangnya adalah
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan persentase
perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di
Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (3) UUD.
3. Yang
terakhir, tentu saja karena Putusan MA tidak berlalu surut (non retroaktif).
Putusan MA
dalam perkara pengujian peraturan di bawah UU terhadap UU tidak bisa
membatalkan dan mengubah hasil/pelaksanaan dari norma yang telah dibatalkannya
itu. Sebaliknya, Putusan MA dalam perkara uji materi hanya berlaku sejak saat
diputuskan dan berlaku ke depan (prospektif).
Artinya,
penetapan Pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai pasangan Presiden dan Wapres terpilih
hasil Pilpres 2019 tidak bisa diubah dan dibatalkan dengan Putusan MA yang
terbit saat ini, jauh setelah Jokowi-Ma'ruf ditetapkan sebagai pemenang Pilpres
2019 dan telah dilantik secara resmi sebagai Presiden dan Wapres.
Jadi
jelas sudah bahwa Putusan MA No. 44 P/HUM/2019 yang baru saja diterbitkan
beberapa hari yang lalu (3 Juli 2020) tidak mempengaruhi apalagi membatalkan
kemenangan Pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai Presiden dan Wapres terpilih hasil
Pilpres 2019.
Munculnya
problematika sehubungan dengan terbitnya Putusan MA ini kembali menyadarkan
kita betapa pentingnya penyatuatapan atau pemusatan kewenangan pengujian semua
peraturan perundang-undangan (judicial review) di bawah satu lembaga.
Dan lembaga yang paling tepat untuk diserahi kewenangan ini adalah MK.
Seperti
halnya di hampir semua negara yang telah memiliki MK, pasti kewenangan judicial
review atas semua jenis dan jenjang peraturan dipusatkan di MK sehingga
carut marut atau tidak sinkronnya Putusan MK dengan Putusan MA dalam perkara judicial
review terhadap materi yang sama seperti yg mengemuka dalam kasus ini tidak
terjadi. Sebab tidak ada dualisme kekuasaan pengujian peraturan di dalamnya.
[1] saat itu aturan mengenai hal ini
termaktub dalam Pasal 158 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, dan karena
substansinya sama dengan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maka
Putusan MK No. 50 Tahun 2014 itu juga berlaku mutatis mutandis terhadap Pasal
416 UU Pemilu, dalam arti aturan penentuan Pemenang Pilpres yang
mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu
di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3)
UUD dan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat diberlakukan
untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar