Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 09 Juli 2020

Apakah Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 Membatalkan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019?

Putusan MA yang membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU mengenai aturan penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wapres Pemenang Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 Pasangan Calon TIDAK MEMPENGARUHI KEABSAHAN APALAGI MEMBATALKAN KEMENANGAN PASANGAN JOKOWI-MA'RUF dalam Pilpres 2019 yang lalu!

Mengapa?

1. Alasan yang paling dasar dan paling penting adalah, menurut UUD 1945 Mahkamah Agung tidak mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa Hasil Pilpres dan tidak juga berwenang mengesahkan atau membatalkan Hasil Pilpres yang telah ditetapkan oleh KPU, kewenangan semacam itu merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung.

2. Perlu dipahami bahwa konteks pengujian  yang dilakukan oleh MA adalah semata-mata menguji norma PKPU terhadap UU (judicial review) yang memang adalah kewenangannya, yakni menguji peraturan di bawah UU terhadap UU (Pasal 24 A ayat 1 UUD), bukan dalam rangka menguji penetapan hasil Pilpres yang telah ditetapkan KPU. Karenanya apapun yang diputuskan MA tidak akan mempengaruhi apalagi menganulir hasil Pilpres yang telah ditetapkan KPU.

Dalam hal ini MA menguji Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 yang bunyinya mengatur tata cara penentuan pasangan calon presiden dan wapres terpilih dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan calon, yakni dengan suara terbanyak (tanpa harus memenuhi kriteria persebaran suara di provinsi di Indonesia). Pasal tersebut diuji dengan Pasal 416 UU No. 7/2019 tentang Pemilu yang mengatur tata cara penentuan pemenang Pilpres (dalam hal Pilpres diikuti oleh lebih dari 2 pasangan calon).

Substansi Pasal 416 UU Pemilu itu sendiri sama dengan bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD, yakni mengatur tata cara penentuan pemenang Pilpres dengan memperhatikan jumlah persentase suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia, berikut bunyi lengkapnya:

"Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50%(lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia."

Terhadap norma di atas, yakni Pasal 416 UU Pemilu (sebelummya diatur dalam Pasal 158 UU No. 42/2008 tentang Pilpres) yang sesungguhnya bersumber dari Pasal 6A ayat (3) UUD, sebetulnya telah ditafsirkan dan diputus oleh MK dalam Putusannya No. 50/2014, yang pada pokoknya MK memutuskan bahwa norma tersebut tidak berlaku bagi penyelenggaraan Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon.

Dalam Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon maka MK menetapkan Pemenangnya adalah pasangan calon yg memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan syarat persebaran perolehan suara seperti yang diatur oleh Pasal 6A ayat (3) UUD.

Jadi aturan main dalam menentukan pasangan calon presiden dan wapres pemenang Pemilu yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon itu sesungguhnya sudah final dengan adanya Putusan MK No. 50 Tahun 2014, yakni pasangan yang memperoleh suara terbanyak.

Kembali kepada hasil pengujian yang dilakukan MA, jadi sebetulnya dalam hal ini MA menguji dua norma yang beda konteks dan beda ruang lingkupnya. Yang satu, yang dimohonkan utk diuji dan dibatalkan adalah norma PKPU yang mengatur secara khusus tata cara penentuan pasangan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan. Sedangkan yg lainnya, yang dijadikan batu uji untuk menguji dan membatalkan norma PKPU itu adalah pasal UU Pemilu yang mengatur tata cara penentuan pasangan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres diikuti oleh lebih dari 2 pasangan calon.

Oleh karenanya hasilnya pun sudah bisa diduga, jika pengujian yang dilakukan oleh MA ini tidak memperhatikan Putusan MK No. 50 Tahun 2014 yang sebetulnya sudah memutus masalah ini sebelumnya dan MA semata - mata hanya mengujinya secara normatif-tekstual, maka hasilnya aturan dalam PKPU itu jelas akan dibatalkan oleh MA karena secara tekstual memang tidak sesuai dengan Pasal 416 UU No. 7/2017 tentang Pemilu.

Lantas apakah ini kesalahan MA?

Jawabannya akan sangat subjektif tergantung pada penilaian masing-masing orang, akan tetapi satu yang pasti adalah, jika dinilai secara objektif-normatif (melihat ketentuan undang-undang yang mengatur kewenangan judicial review oleh MA) tentu ini bukan kesalahan MA! Sebab sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD dan UU, MA memang tidak berwenang menguji peraturan di bawah UU terhadap Putusan MK, karenanya dalam memutus perkara judicial review yang dilakukannya tidak ada keharusan bagi MA untuk memperhatikan dan menjadikan Putusan MK sebagai dasar/batu uji sekalipun mungkin Putusan MK tersebut ada kaitannya dengan perkara yang sedang diuji oleh MA (seperti dalam kasus ini).

Kesimpulan dari poin nomor 2 ini adalah, Putusan MA yang membatalkan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 tidak berpengaruh apa-apa terhadap legalitas kemenangan Pasangan Jokowi-Ma'ruf yang telah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres oleh KPU dengan berdasar pada Pasal 3 ayat (7) PKPU ini, sebab aturan hukum mengenai hal ini (maksudnya aturan penentuan pemenang Pilpres dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan calon) sudah ditetapkan lebih dahulu oleh MK dalam Putusannya No. 50 Tahun 2014.

Karenanya, ada ataupun tidak adanya ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU yang telah dibatalkan oleh MA ini, penentuan pemenang Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon akan tetap ditentukan berdasarkan pada perolehan suara terbanyak (tanpa memperhatikan syarat persebaran suaranya seperti yg diatur dalam Pasal 6A ayat 3 UUD dan Pasal 416 UU Pemilu). Sebab aturan ini telah ditetapkan oleh MK sehingga sudah menjadi semacam "aturan konstitusional yang tidak tertulis" (unwritten constitutional norm) di Indonesia dalam menentukan pemenang Pilpres yang diikuti oleh hanya 2 pasangan calon. 

Yang salah dan akan menjadi masalah justru adalah jika KPU menentukan dan menetapkan Pemenang Pilpres yang hanya diikuti oleh 2 pasangan calon dengan menggunakan dasar hukum Pasal 416 UU No. 7/2017 tentang Pemilu (juncto Pasal 6A ayat 3 UUD), yakni dengan mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia. Sebab aturan yang demikian sudah dinyatakan conditionally unconstitutional (inkonstitutional bersyarat) oleh MK dalam Putusannya No. 50 Tahun 2014[1] apabila aturan tersebut dimaknai berlaku juga untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon. 

Dengan kata lain, aturan penentuan Pemenang Pilpres yang mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD dan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat diberlakukan untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon. Sebaliknya, untuk menentukan Pemenang Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon, MK memutuskan bahwa Pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, tanpa harus memperhatikan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (3) UUD.

3. Yang terakhir, tentu saja karena Putusan MA tidak berlalu surut (non retroaktif).

Putusan MA dalam perkara pengujian peraturan di bawah UU terhadap UU tidak bisa membatalkan dan mengubah hasil/pelaksanaan dari norma yang telah dibatalkannya itu. Sebaliknya, Putusan MA dalam perkara uji materi hanya berlaku sejak saat diputuskan dan berlaku ke depan (prospektif).

Artinya, penetapan Pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai pasangan Presiden dan Wapres terpilih hasil Pilpres 2019 tidak bisa diubah dan dibatalkan dengan Putusan MA yang terbit saat ini, jauh setelah Jokowi-Ma'ruf ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019 dan telah dilantik secara resmi sebagai Presiden dan Wapres.

Jadi jelas sudah bahwa Putusan MA No. 44 P/HUM/2019 yang baru saja diterbitkan beberapa hari yang lalu (3 Juli 2020) tidak mempengaruhi apalagi membatalkan kemenangan Pasangan Jokowi-Ma'ruf sebagai Presiden dan Wapres terpilih hasil Pilpres 2019.

Munculnya problematika sehubungan dengan terbitnya Putusan MA ini kembali menyadarkan kita betapa pentingnya penyatuatapan atau pemusatan kewenangan pengujian semua peraturan perundang-undangan (judicial review) di bawah satu lembaga. Dan lembaga yang paling tepat untuk diserahi kewenangan ini adalah MK.

Seperti halnya di hampir semua negara yang telah memiliki MK, pasti kewenangan judicial review atas semua jenis dan jenjang peraturan dipusatkan di MK sehingga carut marut atau tidak sinkronnya Putusan MK dengan Putusan MA dalam perkara judicial review terhadap materi yang sama seperti yg mengemuka dalam kasus ini tidak terjadi. Sebab tidak ada dualisme kekuasaan pengujian peraturan di dalamnya.



[1] saat itu aturan mengenai hal ini termaktub dalam Pasal 158 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, dan karena substansinya sama dengan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maka Putusan MK No. 50 Tahun 2014 itu juga berlaku mutatis mutandis terhadap Pasal 416 UU Pemilu, dalam arti aturan penentuan Pemenang Pilpres yang mempersyaratkan persentase perolehan suara tertentu dengan persebaran tertentu di sejumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (3) UUD dan Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dapat diberlakukan untuk Pilpres yang diikuti hanya oleh 2 pasangan calon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar