Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 10 November 2015

Bela Negara Amanat Konstitusi



Hari-hari ini kita dihadapkan pada kontroversi soal program bela negara yang digagas oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Meskipun baru sekedar gagasan tapi sontak saja isu ini menuai reaksi yang beragam dari masyarakat. Ada kalangan yang mendukungnya dan tentu saja tidak sedikit juga yang menentangnya.
Dari beragam respon yang mengemuka, entah karena sikap a priori yang sudah terlanjur tidak menyukai program ini atau karena kurangnya penjelasan dari pihak Kemenhan, muncul pemahaman yang keliru di tengah masyarakat. Program bela negara yang digagas oleh Kemenhan ditafsirkan oleh sementara pihak sebagai wajib militer.
Perlu diluruskan disini bahwa program bela negara yang digagas oleh Kemenhan bukanlah wajib militer (Wamil). Sebagaimana telah disampaikan secara luas oleh Kemenhan, program bela negara yang dimaksud dalam hal ini hanyalah sebatas program pendidikan dan pelatihan yang bersifat kognitif (pengetahuan) dan psikis (mentalitas). Jika pun ada kegiatan fisik maka sifatnya hanya sebatas olah jasmani saja.
Jadi jelaslah bahwa program bela negara yang digagas oleh Kemenhan bukan wajib militer sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Israel. Sehingga tidak perlu dibayangkan bahwa program ini akan “memaksa” warga negara untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan militer secara reguler dan menempatkannya di satuan-satuan militer. Pemahaman yang demikian adalah keliru dan sudah seharusnya diluruskan.
Amanat Konstitusi
Penting untuk diketahui bahwa doktrin bela negara merupakan doktrin yang telah diterima dan dianut oleh semua negara di seluruh penjuru dunia. Saking fundamentalnya doktrin bela negara ini bagi kelangsungan suatu bangsa, maka tidak mengherankan jika doktrin ini dicantumkan dan diamanatkan oleh hampir semua konstitusi negara-negara di dunia (tentu saja dengan redaksi dan penekanan yang berbeda-beda).
Negara-negara yang dapat disebut dan dijadikan contoh dalam hal ini antara lain Amerika Serikat, Jerman, dan Singapura. Bahkan doktrin bela negara ini pun tetap dianut oleh negara yang secara formal melarang adanya angkatan bersenjata (militer), seperti Kosta Rika.
Di Amerika Serikat, doktrin bela negara ini diletakan dilevel tertinggi dengan mencantumkannya dalam Pembukaan Konstitusi yang berbunyi “Kami Rakyat Amerika Serikat, agar dapat membentuk suatu Perserikatan yang lebih sempurna ... menetapkan pertahanan secara bersama-sama ... dan mengamankan berkah kemerdekaan bagi diri kita dan keturunan.”
Sementara di Jerman, pengaturan dan pengorganisasian bela negara diatur secara rinci melalui Pasal 12a Konstitusinya, baik melalui lembaga wajib militer maupun alternatif layanan sipil lainnya selain wajib militer.
Fakta yang mengesankan dari fenomena global ini ialah apa yang terjadi di Kosta Rika. Pasal 18 Konstitusi Kosta Rika secara tegas menyatakan bahwa seluruh warga negara Kosta Rika wajib mempertahankan tanah airnya (fatherland). Padahal negara tersebut tegas-tegas melarang adanya organisasi militer yang permanen. Tetapi kenyataan menunjukan doktrin bela negara tetap dianut oleh Kosta Rika.
Di Indonesia, bela negara telah diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 30 ayat 1). Ketentuan bela negara yang tercantum dalam UUD itu pada pokoknya berbunyi “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Berdasarkan ketentuan tersebut jelas lah bahwa bela negara merupakan hak sekaligus kewajiban konstitusional dari tiap-tiap Warga Negara Indonesia. Hal ini semakin membuktikan bahwa doktrin bela negara telah diterima dan diadopsi dimana-mana, karena pada doktrin inilah terletak jaminan kelangsungan hidup suatu bangsa. Tanpa adanya kewajiban dan kesediaan bela negara, sesungguhnya bangsa itu adalah bangsa yang rapuh.
Namun demikian harus diakui bahwa konsep bela negara yang termaktub dalam UUD 1945 itu masih amat sumir. Undang-Undang Dasar tidak menjelaskan lebih detail mengenai apa yang dimaksud dengan bela negara dan bagaimana implementasinya. Atas dasar itulah maka pembuat undang-undang kemudian mencoba merumuskan konsep bela negara ini melalui UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Menurut Pasal 9 UU tersebut, penyelenggaraan bela negara dilakukan melalui kegiatan/program: (a) pendidikan kewarganegaraan; (b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; (c) menjadi anggota TNI, baik secara sukarela ataupun wajib (wajib militer); (d) pengabdian sesuai profesi yang berkaitan dengan pertahanan negara.
Oleh karena ketentuan mengenai bela negara ini telah ada garis hukumnya dalam UU No. 3/2002 (meskipun masih sangat terbatas), maka jika pemerintah ingin melembagakan atau menghidupkan program bela negara, pemerintah harus berpedoman pada aturan yang telah ada (UU No. 3 Tahun 2002). Harus jelas program bela negara yang mana yang akan dihidupkan.
Pilihan Sikap dan Catatan Kritis
Kenyataan adanya kewajiban bela negara ini tidak perlu terlalu dirisaukan, karena hal demikian sudah merupakan kebutuhan kita sebagai sebuah bangsa. Jika bangsa ini kuat dan kokoh maka manfaatnya pasti akan berpulang pada kita juga sebagai sebuah bangsa. Seperti dikatakan oleh Ir. Soekarno “... strenghen ourselves, because only a nation who strengthens itself can become a strong country (dalam Chappy Hakim, 2011: 108).
Lagipula tuntutan ini tidak saja berlaku di Indonesia, melainkan berlaku juga di semua negara. Bahkan di beberapa negara lain, kewajiban bela negara ini telah mencapai taraf yang demikian tinggi dan boleh dikatakan menuntut pengorbanan hidup-matinya seorang warga negara, misalnya melalui program wajib militer dan penugasan di medan tempur.
Meskipun demikian, bukan berarti setiap upaya atau bentuk-bentuk pembelaan negara yang diorganisir oleh pemerintah bisa dilakukan dengan semau-maunya. Pengejawantahan prinsip bela negara ini, dalam bentuk apa pun, hanya bisa dilakukan diatas landasan dan prosedur yang sah.
Berkenaan dengan program bela negara yang digagas oleh Kemhan, maka program yang akan diwajibkan bagi seluruh WNI itu harus mempunyai landasan dan pedoman yuridis yang jelas. Untuk tujuan ini maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan dan membentuk undang-undang yang akan mengatur hal ihwal bela negara terlebih dahulu sebelum program itu dijalankan. Sebab undang-undang yang ada saat ini, yaitu UU No. 3/2002, sangat tidak memadai untuk dijadikan landasan yuridis penyelenggaraan program bela negara karena hanya mengatur soal bela negara secara sepintas lalu saja.
Jika undang-undang dan instrumen hukum yang akan mengatur soal penyelenggaraan bela negara itu sudah dibuat dan siap dioperasikan, maka menurut hemat penulis tidak ada lagi alasan untuk menolak hak dan kewajiban konstitusional untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Kita harus mulai membangun kesadaran dan konsensus nasional bahwa bela negara bukan saja merupakan kewajiban, melainkan juga suatu hak dan kehormatan bagi tiap-tiap warga negara yang mencintai tanah airnya.
Sebagaimana dikatakan oleh mendiang Presiden AS, John F. Kennedy dalam pidato pelantikannya yang amat sangat terkenal “Jangan tanya apa bisa diberikan negara untukmu, tanyalah apa yang kau berikan untuk negaramu !”

Notes: Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini Tribun Jabar Edisi 21Oktober 2015.