Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 25 April 2016

Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres): Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI (Tulisan Berseri: Seri Pertama)



A.      Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan secara bertahap sebanyak empat (4) kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa akibat yang luas dan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan konstitusi secara besar-besaran itu mengakibatkan berubahnya format dan struktur ketatanegaraan secara cukup ekstrem,[1] baik berupa penghapusan lembaga negara tertentu, pembentukan lembaga-lembaga negara baru, maupun restrukturisasi dan penataan ulang kewenangan lembaga-lembaga negara yang ada.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama, yang pada masa sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945 yang asli (sebelum perubahan).[2]
Pada perkembangannya, perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 menghapus lembaga yang bernama Dewan Pertimbangan Agung tersebut. Dewan Pertimbangan Agung yang sebelumnya berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang pengaturannya ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung, dihapus dan diganti dengan suatu dewan pertimbangan bentukan Presiden yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.[3] Penghapusan DPA dan penggantiannya dengan sebuah dewan pertimbangan bentukan Presiden itu termaktub dalam Pasal 16 UUD 1945 hasil perubahan keempat. Pasal tersebut berbunyi:
“Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.”[4]
Berdasarkan penjelasan diatas nampak bahwa fungsi pemberian nasihat dan pertimbangan (advisory function) kepada Presiden masih tetap diperlukan. Hanya saja organ yang mengemban dan melaksanakan fungsi tersebut diganti, tidak lagi dilaksanakan oleh DPA, melainkan oleh suatu dewan pertimbangan baru yang oleh UUD diserahkan pembentukannya kepada Presiden.
Pasal 16 UUD juga direposisi peletakannya, tidak dicakup dalam bab tersendiri seperti sebelum perubahan, melainkan menjadi bagian dari Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Hal ini mengandung makna bahwa dewan pertimbangan yang menggantikan DPA adalah bagian dan berada dalam rumpun kekuasaan negara bidang eksekutif yang berpuncak pada Presiden selaku pemegang kekuasan pemerintahan tertinggi.[5] Artinya, dewan pertimbangan baru yang menggantikan DPA ini secara hierarkis kedudukannya berada dibawah Presiden.[6]
Berdasarkan rumusan Pasal 16 UUD 1945 hasil perubahan, UUD tidak menyebut secara tegas nama dari dewan pertimbangan yang dimaksud. Mengenai pemberian nama dari dewan pertimbangan yang dimaksud oleh Pasal 16 ini, adalah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menetapkannya. Undang-Undang Dasar hanya menetapkan mengenai adanya fungsi dan organ pemberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang kewenangan pembentukannya diserahkan kepada Presiden. Sementara soal teknis pembentukan dan isi daripada lembaga tersebut, menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur dan menuangkannya melalui sebuah undang-undang.[7]
Atas dasar ketentuan Pasal 16 UUD 1945 tersebut maka pada tahun 2006 diterbitkanlah sebuah undang-undang yang dimaksudkan untuk melaksanakan amanat Pasal 16 tersebut. Melalui undang-undang itu pula ditetapkan oleh pembentuk undang-undang bahwa dewan pertimbangan yang dimaksud oleh Pasal 16 UUD itu diberi nama resmi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
Ada sejarah panjang dengan segala alasan yang melatarbelakangi mengapa Dewan Pertimbangan Agung dihapus dan diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden. Alasan yang paling penting adalah tidak efektifnya peran DPA sebagai lembaga tinggi negara dalam mengaktualisasikan fungsinya sebagai advisory organ (organ penasihat).[8]
Meskipun DPA secara umum dianggap kurang berhasil dalam mengemban tugas konstitusionalnya dalam ranah advisory power, akan tetapi mayoritas perumus perubahan UUD 1945 masih menghendaki dipertahankannya fungsi pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Oleh karena itu munculah suatu alternatif yang kemudian berhasil disepakati perubahan keempat UUD 1945 bahwa fungsi pemberian nasihat dan pertimbangan itu masih perlu dipertahankan dengan cara melembagakannya pada lembaga baru yang berkedudukan dibawah Presiden,[9] yang saat ini dikenal dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden.
Hal ini dipandang perlu mengingat luas dan pentingnya tugas-tugas Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Presiden dianggap masih perlu mendapat dukungan dari suatu dewan pertimbangan yang akan memberinya nasihat-nasihat dan pertimbangan-pertimbangan dalam menjalankan tugas-tugasnya itu. Lagipula fungsi dan dukungan advisory yang semacam itu sudah menjadi suatu kelaziman yang telah dipraktekan dimana-mana diseluruh dunia, baik yang melembagakannya melalui lembaga yang khusus seperti model Wantimpres ini maupun yang menyebarkan fungsi ini ke berbagai lembaga atau jabatan-jabatan tertentu (tidak mengkonsentrasikan/memusatkannya pada satu organ).[10]
Dibalik penghapusan dan penggantian DPA menjadi Wantimpres tentu ada maksud dan harapan bahwa lembaga yang baru ini akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan belajar dari “kegagalan” DPA di masa lalu.
Filosofi pembentukan Wantimpres ialah guna memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden agar Presiden tidak gegabah apalagi salah dalam mengambil kebijakan/keputusan. Sebab kebijakan dan keputusan Presiden akan berdampak luas bagi rakyat. Betul memang sifat daripada nasihat dan pertimbangan itu tidak mengikat, karena jika sifatnya mengikat maka bukan nasihat dan pertimbangan lagi namanya, melainkan sebuah perintah, mandat, atau persetujuan. Akan tetapi apabila materi daripada nasihat atau pertimbangan itu memang bermutu dan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh Presiden maka dengan sendiri nasihat dan pertimbangan itu akan mempunyai derajat wibawa yang tinggi di mata Presiden.
Sejak dibentuk untuk pertama kalinya pada bulan April 2007 pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, terhitung sudah 9 tahun Wantimpres ini berdiri.[11] Dari sepanjang masa berdirinya Wantimpres tersebut hingga saat ini, nampaknya sulit dipungkiri bahwa eksistensi dan peran dari lembaga ini masih kurang terdengar gaungnya. Bahkan dalam perkembangannya yang terkini, dalam kasus gesekan kepentingan antara KPK dan Polri pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, Presiden lebih memilih untuk membentuk tim independen yang dikenal luas dengan sebutam “Tim 9” untuk melakukan tugas-tugas yang sebetulnya bisa dilakukan oleh Wantimpres. Tugas dan output dari tim tersebut adalah memberi rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu yang diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan konflik KPK-Polri yang mana sebetulnya itu merupakan tugas pokok daripada Wantimpres.[12]
Hal tersebut diatas mengindikasikan masih lemahnya peran dan eksistensi Wantimpres dalam menjalankan fungsinya memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Atau setidak-tidaknya menunjukan kurangnya pelibatan/pemberdayaan Wantimpres dalam persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Presiden yang sebetulnya bisa melibatkan Wantimpres dalam pemecahannya, melalui nasihat-nasihat atau pertimbangan yang diberikan Wantimpres.
Persoalan-persoalan yang menyangkut eksistensi dan peran Wantimpres dalam menjalankan fungsinya tersebut akan dibahas dan diteliti dalam tulisan berseri ini, bersamaan dengan persoalan tentang kedudukan dan fungsi Wantimpres dalam sistem dan struktur ketatanegaraan RI. Harapannya, melalui penelitian ini dapat diperoleh suatu bahan evaluasi atas eksistensi dan peran Wantimpres dalam menjalankan fungsinya guna perbaikan lembaga ini dihari-hari mendatang.
B.       Kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan RI
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Kedudukan Dewan Pertimbangan Agung sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah sejajar dengan lembaga negara yang lain.[13] Namun demikian fungsi DPA terbatas hanya untuk mendukung Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara melalui nasihat dan pertimbangan yang diberikannya kepada Presiden. Dewan Pertimbangan Agung hanya ditugasi untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan Dewan Pertimbangan Agung berhak mengajukan usul kepada pemerintah, hal tersebut demi membantu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.[14]
Untuk menjawab kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan RI pasca perubahan UUD 1945, menurut Jimly Asshiddiqie, jika mencermati UUD 1945 pasca perubahan, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya.[15]
Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang ber­ sifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja. Sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah.
Keseluruhan lembaga-lembaga negara tersebut merupakan bagian-bagian dari negara sebagai suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing menjalankan fungsi tertentu dan saling berhubungan sehingga memerlukan pengaturan dan pemahaman yang tepat untuk benar-benar berjalan sebagai suatu sistem.[16]
Dari segi hirarkinya, Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara yang nama dan kewenanganya disebutkan secara jelas dalam Undang-Undang Dasar. Lembaga-lembaga tersebut adalah:
1)        Presiden dan Wakil Presiden;
2)        Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3)        Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4)        Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5)        Mahkamah Konstitusi (MK);
6)        Mahkamah Agung (MA);
7)        Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). [17]
Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara yang kewenangannya bersumber dari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang seperti Komisi Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara. Sementara organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah.[18]
Dari segi fungsinya, di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana (administratur, bestuurzorg); (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
Untuk menentukan  mana organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan mana organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs) dapat dilihat dari fungsi lembaga tersebut, apakah lembaga tersebut merupakan lembaga utama atau pendukung kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), TNI, Polri, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan, mengapa demikian karena semua lembaga tersebut tidak melaksanakan fungsi utama dari kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti halnya Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA.[19]
Jika kita mengacu pada gagasan dan pendapatnya Jimly Asshidiqie tentang kedudukan dan fungsi-fungsi lembaga negara diatas, maka kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden dilihat dari segi hirarkinya berkedudukan sebagai lembaga Negara lapis kedua, yang oleh Jimly Asshiddiqie disebut sebagai “Lembaga Negara.” Sebab Wantimpres merupakan salah satu organ yang tugas dan fungsinya disebutkan dalam UUD 1945, meskipun secara singkat. Kedudukan konstitusional Wantimpres yang demikian itu menurut teori Jimly Ashiddiqie diatas digolongkan sebagai lembaga negara yang menempati hierarki atau lapisan yang kedua, berada dibawah lembaga negara lapis pertama yang disebut lembaga tinggi negara yang terdiri dari tujuh (7) lembaga.[20]
Sedangkan jika dilihat dari segi fungsinya, Wantimpres merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs) karena Wantimpres tidak melaksanakan fungsi utama dari kekuasan eksekutif seperti halnya Presiden/Wapres, melainkan hanya memberi dukungan kepada Presiden (eksekutif) dalam bentuk pemberian nasihat dan pertimbangan.
Jadi berdasarkan teori lembaga-lembaga negara yang dilihat berdasarkan fungsinya, fungsi yang dimiliki Wantimpres berupa fungsi advisory itu adalah termasuk fungsi penunjang atau pendukung (supproting) untuk mendukung pelaksana dan pelaksanaan fungsi utama dari cabang kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu berdasarkan Pasal 16 UUD 1945 hasil perubahan, Wantimpres ini berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan secara hierarki berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Inilah yang membedakan antara DPA dengan Wantimpres. Dahulu DPA berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang secara hierarkis kedudukannya sederajat dengan Presiden dan tidak menjadi bagian dari eksekutif. Sedangkan Wantimpres, secara kelembagaan lebih inferior jika dibandingkan dengan DPA karena Wantimpres berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan lagi merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 16 UUD 1945 yang kemudian dipertegas oleh UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang menyatakan bahwa Wantimpres adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.[21]
C.      Tugas, Fungsi, dan Mekanisme Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden
Setelah dihapuskannya Dewan Pertimbangan Agung pasca perubahan keempat Undang-Undang Dasar RI 1945, maka berakhir pula kedudukan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Selanjutnya DPA dan digantikan oleh Wantimpres yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD, Wantimpres berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Hal itu dapat dilihat dari letak Pasal 16 dalam konstruksi UUD hasil perubahan yang berada dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Itu artinya secara struktural, menurut teori tiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), Wantimpres termasuk sebagai salah satu lembaga yang berada dalam ranah kekuasaan eksekutif yang secara fungsional merupakan supporting organ terhadap main executive organ, yakni Presiden. Supporting yang dimaksud (yang diberikan oleh Wantimpres) adalah pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.
Perihal tugas dan fungsi Wantimpres, telah diatur dalam Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Berdasarkan pasal tersebut dinyatakan bahwa Wantimpres bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.[22] Pemberian nasihat dan pertimbangan itu dapat dilakukan baik atas inisiatif sendiri atau pun atas permintaan dari Presiden.[23] Selain itu, pemberian nasihat dan pertimbangan itu bisa dilakukan secara perorangan sesuai dengan bidang tugasnya maasing-masing atau secara kolektif sebagai satu kesatuan nasihat dari Wantimpres.[24] Sementara fungsi yang diemban oleh Wantimpres menurut Pasal 5 UU No. 19 Tahun 2006 adalah fungsi nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya itu, anggota Wantimpres atas permintaan Presiden dapat:
a.    mengikuti sidang kabinet;
b.    mengikuti kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan.[25]
Terhadap nasihat dan pertimbangan yang disampaikan oleh Wantimpres maka Presiden berhak untuk mengikuti atau tidak mengikutinya. Jadi sesuai dengan makna dan hakekat sebuah nasihat dan pertimbangan maka ia tidak bersifat mengikat, dalam arti tidak wajib untuk selalu diikuti. Sebab jika sifatnya mengikat maka bukan lagi nasihat dan pertimbangan namanya, melainkan sebuah perintah, mandat, atau persetujuan.
Meski sifat daripada nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu tidak mengikat dan tidak harus selalu diikuti oleh Presiden namun bukan berarti Presiden dapat mengesampingkannya begitu saja. Nasihat dan pertimbangan dari Wantimpres memang belum tentu dan tidak mesti diikuti oleh Presiden akan tetapi sudah pasti bahwa Presiden harus mempertimbangkannya matang-matang, apakah akan diikuti atau ada pilihan tersendiri dari Presiden diluar nasihat dan pertimbangan yang telah disampaikan oleh Wantimpres.[26]
Meski sifat daripada nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu tidak mengikat namun tidak berarti bahwa Wantimpres tidak memiliki peran dan pengaruh apa-apa. Kita mesti menyadari bahwa hakekat dan fungsi Wantimpres memang hanya sebatas advisory organ yang keberadaannya ditujukan untuk mendukung dan menunjang Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, dimana bentuk dukungan yang dilaksanakan oleh Wantimpres itu ialah berupa pemberian nasihat dan pertimbangan. Jadi sejak awal Wantimpres memang digagas untuk menjadi supporting organ terhadap Presiden dengan memberikan kepada Presiden nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan yang memang perlu diberikan sebagai bahan masukan bagi Presiden dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jadi adalah suatu kekeliruan jika kita berfikir bahwa Wantimpres dapat menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden. Sebab Wantimpres tidak berada dalam kapasitas itu karena Wantimpres adalah lembaga penasehat (advisory organ) bukan lembaga pemberi mandat layaknya MPR dengan Presiden sabagai mandatarisnya di masa lalu.[27]
Walaupun tidak ada keharusan dan tidak pula ada garansi bahwa setiap nasihat dan pertimbangan Wantimpres akan diikuti oleh Presiden, akan tetapi setidaknya apa yang diberikan oleh Wantimpres tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan atau bekal bagi Presiden untuk mengambil sesuatu kebijakan. Sehingga setiap kebijakan atau keputusan yang diambil oleh Presiden telah melalui proses pertimbangan dan penggodokan yang matang. Sebab, karena kedudukannya yang sangat penting sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan maka setiap kebijakan atau keputusan Presiden akan berdampak luas bagi kehidupan rakyat. Oleh karenanya kebijakan atau keputusan itu harus betul-betul dipertimbangkan secara cermat. Pada titik inilah Wantimpres memainkan peran dan fungsinya, yakni memberikan dukungan berupa pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalan kekuasaan pemerintahan negara.
Memang benar bahwa sifat daripada nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu tidak mengikat. Akan tetapi apabila materi daripada nasihat atau pertimbangan itu memang bermutu dan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh Presiden maka dengan sendiri nasihat dan pertimbangan itu akan mempunyai derajat wibawa yang tinggi di mata Presiden sehingga kemungkinan besar akan diterima atau diikuti oleh Presiden. Oleh sebab itu yang harus dilakukan oleh Wantimpres adalah memberikan nasihat dan pertimbangan yang berkualitas dan objektif. Berkualitas disini artinya nasihat dan pertimbangan itu benar-benar telah dibuat dengan sungguh-sungguh dan dengan memperhitungkan baik buruknya bagi bangsa dan negara.
Ruang lingkup daripada nasihat dan pertimbangan yang diberikan oleh Wantimpres itu sendiri meliputi bidang yang sangat luas, yakni meliputi semua bidang kekuasaan pemerintahan negara. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2006 yang berbunyi:
“Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.”
Sama halnya dengan yang berlaku pada masa DPA, Pasal 6 UU No. 19 Tahun 2006 juga melarang publikasi atas materi nasihat dan pertimbangan yang disampaikan Wantimpres kepada Presiden. Menurut pasal tersebut anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan dan menyebarluaskan materi daripada nasihat dan pertimbangan yang disampaikan Wantimpres kepada Presiden.[28] Jadi berdasarkan ketentuan tersebut segala hal yang berkenaan dengan isi nasihat dan pertimbangan Wantimpres adalah rahasia dan tertutup.
Nampaknya rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang telah berlangsung sejak era DPA ini masih disukai dan oleh karenanya dipertahankan oleh pembentuk undang-undang. Alasan klasik yang biasanya dijadikan dalih atas ketertutupan dan kerahasiaan ini adalah bahwa hubungan antara Wantimpres dan Presiden bersifat internal dan oleh karenanya harus tertutup dan rahasia.[29] Alasan mana sudah tidak dapat lagi dipertahankan di era keterbukaan dan good governance seperti sekarang ini. Sebab nasihat dan pertimbangan itulah yang merupakan satu-satunya produk dari Wantimpres yang sudah seharusnya dapat diketahui publik. Supaya publik bisa mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas Wantimpres. Lagipula nasihat dan pertimbangan itu sudah pasti merupakan urusan-urusan kenegaraan yang seharusnya bisa diketahui bahkan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang telah menghendaki dibentuknya Wantimpres melalui perubahan keempat UUD 1945. Oleh karenanya tidak selayaknya Wantimpres menutup dari publik.
Namun demikian keterbukaan atas materi nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu tetap memerlukan pengaturan dan batasan. Satu hal penting yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa harus diadakan pembedaan antara nasihat dan pertimbangan yang telah disampaikan dan diterima oleh Presiden dengan nasihat atau pertimbangan yang belum resmi disampaikan atau diterima oleh Presiden. Terhadap keadaan yang pertama itu maka sifatnya harus terbuka, dalam arti Wantimpres dapat menyampaikan atau menyebarluaskannya kepada publik, sebabnya Presiden telah menerima nasihat dan pertimbangan itu. Sedangkan yang boleh tertutup atau rahasia untuk sementara waktu adalah materi nasihat dan pertimbangan yang belum resmi disampaikan oleh Wantimpres kepada Presiden atau yang belum diterima oleh Presiden. Terhadap keadaan yang demikian maka kerahasiannya justru menjadi penting. Sebab alangkah tidak eloknya apabila Presiden mengetahui materi daripada nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu melalui media masa atau melalui pihak lain misalnya, padahal ia sendiri belum mengetahui dan belum menerima nasihat dan pertimbangan tersebut. Jadi apabila materi daripada nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu telah disampaikan dan telah resmi diterima oleh Presiden maka materi nasihat tersebut dapat saja dan malah sudah seharusnya bisa dipublikasikan.[30]
Pembatasan atau pengecualian lain bisa dilakukan dengan melihat sifat dan substansi dari nasihat dan pertimbangan itu sendiri, apakah memang memuat/mengandung konten yang bersifat rahasia dan bisa menimbulkan bahaya apabila dipublikasikan, misalnya menyangkut masalah-masalah keamanan atau pertahanan negara. Terhadap subtansi nasihat dan pertimbangan yang demikian itu maka boleh saja untuk ditutup dan dirahasiakan. Mengenai pemilahan materi-materi nasihat mana yang selayaknya dirahasiakan dan mana yang bisa dipublikasikan, Wantimpres dan Presiden dapat mengacu kepada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik. Pasal 17 undang-undang tersebut telah memberikan pedoman dan rincian mengenai jenis-jenis informasi yang dapat dirahasiakan dan ditutup dari akses publik.[31] Selebihnya, setiap nasihat dan pertimbangan Wantimpres harus selalu terbuka untuk dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan secara luas kepada rakyat.
Larangan untuk mempublikasikan dan menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangannya inilah yang menyebabkan Wantimpres hingga saat ini tidak terdengar gaungnya. Sehingga kerja-kerja dan produk Wantimpres, berupa pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden tidak banyak diketahui oleh publik lantaran sifat ketertutupannya itu. Padahal rezim ketertutupan yang merupakan warisan lama dari DPA ini telah mendapat banyak komentar dan kritik dari khalayak umum, khususnya para ahli sejak era DPA (sebelum perubahaan keempat UUD 1945).[32] Akan tetapi amat disayangkan rezim ketertutupan ini masih juga dipertahankan dan diwariskan kepada Wantimpres sehingga menyebabkan Wantimpres kurang terdengar kiprah dan prestasinya.
Keanggotaan Wantimpres sendiri terdiri 9 orang anggota dimana salah satunya merangkap sebagai ketua. Anggota Wantimpres diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pengangkatan anggota Wantimpres dilakukan paling lambat tiga (bulan) sejak tanggal pelantikan Presiden.[33] Sementara masa jabatan Wantimpres berakhir bersamaan dengan masa berakhirnya jabatan Presiden. Jadi secara formal masa jabatan Wantimpres lebih kurang adalah lima (5) tahun.
Dalam tata kerja dan hubungannya dengan Presiden, pemberian nasihat dan pertimbangan oleh Wantimpres tidak mesti selalu bersifat satu arah, dalam arti antara pemberi nasihat dan penerima nasihat saja. Tugas pemberian nasihat dan pertimbangan itu bisa juga dilakukan secara dialogis atau dua arah antara Wantimpres dan Presiden. Misalnya melalui pertemuan atau rapat bersama antara Wantimpres dengan Presiden. Sehingga nasihat atau pertimbangan itu bisa dikemukakan secara dialogis dan saling dengar. Bahkan UU No. 19 Tahun 2006 sendiri membuka kemungkinan apabila Presiden meminta Wantimpres untuk mengikuti sidang kabinet dan kunjungan kerja Presiden. Semua itu dimaksudkan agar Wantimpres dapat mengikuti dinamika pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden sehingga Wantimpres dapat memberi nasihat dan pertimbangan yang baik dan tepat terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Presiden.
Dalam hal-hal tertentu,  Presiden dapat menunjuk 1 (satu) atau beberapa anggota Wantimpres untuk melakukan suatu kajian atau telaahan dan memberi nasihat dan pertimbangan tertulis langsung kepada Presiden.[34]
Untuk mendukung pelaksanaan tugas Wantimpres, dibentuk sebuah Sekretariat Wantimpres. Sekretariat Wantimpres dipimpin oleh Sekretaris yang bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Presiden dan secara administratif dikoordinasikan oleh Menteri Sekretaris Negara.[35]
Dewan Pertimbangan Presiden periode pertama diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Keputusan Presiden Nomor 28/M Tahun 2007 tanggal 26 Maret 2007 dan dilantik pada 10 April 2007.




[1] Mengenai perubahan UUD 1945 yang dilakukan secara besar-besaran ini, Donald L. Horowitz (profesor ilmu hukum dan politik Duke University U.S) dalam hasil penelitiannya yang mengamati proses perubahan konstitusi dan transisi demokrasi di Indonesia menyebut proses perubahan UUD 1945 sebagai sebuah proses yang “ekstrem dan radikal.” Disebut ekstrem dan radikal karena menghasilkan perubahan yang melibatkan banyak pasal dan ayat serta menghasilkan konstitusi yang sama sekali baru dari sebelumnya. Lihat Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia, Cambridge University Press, New York, 2013, hlm. 1-3.
[2] Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, paragraf kedua.
[3] Mengenai sejarah pembentukan dan penghapusan DPA ini, lihat selengkapnya dalam Jimly Asshiddiqie, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
[4] Vide Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945.
[5] Vide Pasal 4 Undang-Undang Dasar  1945. Pasal tersebut berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
[6] Jimly Assidiqqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Edisi Kedua, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 155.
[7] Lihat kembali Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. (cetak tebal dan garis bawah dari penulis).
[8] Lihat kesimpulan-kesimpulan yang sama mengenai hal ini, salah satunya misalnya dalam Jimly Asshiddiqie, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung, Loc. Cit.
[9] Lihat proses dan perdebatan tentang perubahan Pasal 16 UUD 1945  ini dalam Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,  Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Edisi Revisi, Jakarta, 2010,  hlm. 691-692 dan 863-897.
[10] Sebagai informasi, negara yang menganut model pelembagaan fungsi advisory semacam ini, yakni yang tidak melembagakannya secara khusus dan terpusat pada satu organ saja seperti Wantimpres adalah Amerika Serikat. Disana, fungsi pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden disebar dan dimiliki oleh berbagai organ atau jabatan sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing. Sebagai contoh, dalam bidang keamanan dan pertahanan negara, organ yang memiliki fungsi advisory kepada Presiden AS adalah National Security Council (NSC). Sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga yang mempunyai otoritas untuk memberikan advis adalah President's Council of Advisors on Science and Technology.
[11] Meskipun undang-undangnya telah terbit pada tahun 2006 (UU No. 19 Tahun 2006) akan tetapi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tidak seketika itu juga terbentuk. Anggota Wantimpres periode pertama baru diangkat pada 26 Maret 2007 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28/M Tahun 2007 dan resmi dilantik pada tanggal 10 April 2007.
[12] Tim Independen bentukan Presiden Jokowi yang disebut “Tim 9” ini adalah tim yang terdiri dari para tokoh nasional lintas bidang yang ditugasi oleh Presiden untuk mengalisis konflik KPK-Polri dan diakhir memberikan rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan konflik dua lembaga tersebut. Tim ini dibentuk secara informal oleh Presiden tanpa melalui Keputusan Presiden atau dasar legalitas lainnya pada awal tahun 2015. Lihat berita mengenai isu ini, salah satunya misalnya Kompas, Jokowi Bentuk Tim Atasi Kisruh KPK-Polri, edisi 25 Januari 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi.Bentuk.Tim.Atasi.Kisruh.KPK-Polri, Diakses pada tanggal 17 April 2016.

[13] Lihat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. Kelima, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1983, hlm. 181-182.
[14] Vide Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945 yang asli (sebelum perubahan).
[15] Lihat bagian Pengantar dalam buku Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Edisi Kedua, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. vi-vii.
[16] Ibid.
[17] Disarikan dari Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Op. Cit., hal. 95-97.
[18] Ibid.
[19] Ibid. hal. 111-112.
[20] Tujuh lembaga negara yang dimaksud adalah Presiden/Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK.
[21] Vide Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[22] Vide Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[23] Vide Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[24] Vide Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[25] Vide Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[26] Jimly Asshidiqie, Op. Cit., hlm. 155.
[27] Sebelum perubahan UUD 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara karena berdasarkan Pasal 1 ayat (2) MPR-lah yang melaksanakan kedaulatan rakyat sehingga MPR berada diatas lembaga-lembaga negara lainnya. Dalam hubungannya dengan Presiden, UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan) merangkai hubungan antara MPR dan Presiden dalam hubungannya yang bersifat vertikal dimana ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR (Mandataris MPR).
[28] Vide Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[29] Jimly Asshiddiqie, Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia, Makalah tersedia dan dapat dibaca pada laman: http://bimoadiwicaksono.blogspot.co.id/2010/08/peningkatan-peran-dewan-pertimbangan.html, Diakses pada tanggal 18 April 2016.
[30] Jimly Asshiddiqie juga pernah mengomentari dan mengkritik sifat ketertutupan dari sidang-sidang dan substansi nasihat DPA. Kecuali perbedaan lembaga yang menjadi objek kritik (Jimly mengkritik ketertutupan DPA dan Penulis mengkritik ketertutupan Wantimpres), substansi kritik yang disampaikan oleh Jimly dan penulis pada prinsipnya sama, yakni sama-sama mengkritik sifat ketertutupan dari kedua lembaga tersebut. Untuk diketahui bahwa Jimly memberikan komentar atau kritiknya itu pada tahun 2000 melalui sebuah makalah yang berjudul “Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.” Pada waktu itu memang sedang berkembang perdebatan untuk mempertahankan atau menghapus DPA dalam proses amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung sejak tahun 1999. Ibid.
[31] Lihat selengkapnya mengenai jenis-jenis informasi yang bersifat rahasia dan bisa dikecualikan dari akses publik ini dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[32] Salah satu ahli hukum yang sejak lama mengkritik sifat ketertutupan sidang-sidang dan isi nasihat DPA ini adalah Sri Soemantri, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Salah satu kritiknya dapat ditelusuri dan dibaca dalam Rapat  PAH III BP MPR Ke-7, 13 Oktober 1999 (Perubahan Kesatu UUD 1945). Dalam rapat tersebut Sri Soemantri mengatakan “Sidang-sidang DPA itu selalu tertutup, tidak pernah wartawan itu bisa menghadiri sidang-sidangnya. Nasehat-nasehat yang disampaikan kepada Presiden, itu juga rahasia ...  kalau demikian, rakyat tidak mengetahui apa yang selama ini dibicarakan oleh DPA, saran-saran apa saja yang disampaikan DPA kepada Presiden.” Lihat selengkapnya dalam Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,  Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Edisi Revisi, Jakarta, 2010,  hlm. 699-700.
[33] Vide Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[34] Vide Pasal 12 ayat (1) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.
[35] Vide Pasal 17 Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden.