Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 25 April 2016

Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres): Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI (Tulisan Berseri: Seri Ketiga/Terakhir)


A.  Catatan dan Evaluasi terhadap Eksistensi dan Signifikasi Peran Wantimpres dalam Menjalankan Fungsinya
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas maka terdapat beberapa catatan dan evaluasi terkait eksistensi dan peran Wantimpres dalam menjalankan fungsinya memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Catatan mana merefleksikan pemikiran dan evaluasi tentang eksistensi dan signifikasi peran Wantimpres dalam menjalankan fungsinya selama ini.
Melalui catatan-catatan tersebut ini diharapkan diperoleh suatu bahan evaluasi atas kekurangan-kekurangan yang ada pada Wantimpres. Selanjutnya, berdasarkan evaluasi tersebut diharapkan dapat digagas resolusi-resolusi atau jalan keluar atas persoalan-persoalan yang ada guna perbaikan Wantimpres dimasa-masa yang akan datang.
Berdasarkan hasil penelaahan dan penelitian ini penulis mencatat ada sekurang-kurangnya empat (4) catatan dan evaluasi terhadap eksistensi dan sginifikansi peran Wantimpres dalam menjalankan fungsi advisory yang diembannya. Empat catatan dan evaluasi tersebut akan dibahas dibawah ini.
1.    Larangan bagi Wantimpres untuk Mempublikasikan atau Menyebarluaskan Materi Nasihat dan Pertimbangannya kepada Publik
Masalah ini telah sempat disinggung dan dibahas pada bagian sebelumnya, yakni mengenai rezim ketertutupan dan kerahasiaan atas produk-produk nasihat dan pertimbangan Wantimpres yang terlarang untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik.
Untuk diketahui bahwa persoalan ini sendiri timbul akibat adanya ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres yang melarang anggota Wantimpres untuk mempublikasikan atau menyebarluaskan isi daripada nasihat dan pertimbangan yang diberikannya kepada Presiden.[1] Untuk lebih jelasnya, berikut adalah bunyi pasal tersebut:
 “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun.”
Berdasarkan ketentuan diatas jelaslah bahwa pembentuk undang-undang ketika menyusun UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres masih terpangaruh alam pemikiran klasik dan kuno tentang sifat hubungan antara Wantimpres dan Presiden. Pembentuk undang-undang masih mengidealkan rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang sebetulnya sudah klasik, usang, dan tidak populer dalam mendesain hubungan antara Wantimpres dan Presiden. Hal tersebut nampak dengan sangat jelas dengan adanya larangan bagi Wantimpres untuk mempublikasikan materi-materi nasihat dan pertimbangannya.
Keadaan ini tidak ada bedanya atau malah boleh dibilang merupakan warisan dari rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang dianut oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di masa yang lalu. Dahulu, DPA juga menganut rezim ketertutupan dan kerahasiaan seperti ini. Sidang-sidang DPA beserta segala produk yang dihasilkannya, berupa nasihat dan usul-usulnya kepada Presiden, bersifat tertutup dan rahasia. Alasan klasik yang biasanya dijadikan dalih atas ketertutupan dan kerahasiaan ini adalah bahwa hubungan antara DPA dan Presiden bersifat internal dan oleh karenanya harus tertutup dan rahasia.[2] Alasan mana sebetulnya sudah usang dan tidak cocok lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang menuntut diterapkannya prinsip-prinsip good governance seperti keterbukaan dan akuntabilitas oleh lembaga-lembaga publik.[3]
Sejak era DPA, ketertutupan dan kerahasiaan sidang-sidang dan produk-produk advisory DPA ini telah mendapat kritik tajam dari publik, termasuk para ahli (akademisi). Bahkan boleh dikatakan, rezim ketertutupan dan kerahasiaan inilah yang menjadi salah satu alasan dari kelompok pro penghapusan DPA yang merupakan pendapat mayoritas di MPR untuk menghapus DPA dalam proses perubahan UUD antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Salah satu pakar yang sejak lama mengkritik sifat ketertutupan sidang-sidang dan isi nasihat DPA ini adalah Sri Soemantri, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Dalam Rapat Panitia Ad Hoc III BP MPR Ke-7, 13 Oktober 1999 (Perubahan Kesatu UUD 1945), Sri Soemantri mengatakan:
“Sidang-sidang DPA itu selalu tertutup, tidak pernah wartawan itu bisa menghadiri sidang-sidangnya. Nasehat-nasehat yang disampaikan kepada Presiden, itu juga rahasia ...  kalau demikian, rakyat tidak mengetahui apa yang selama ini dibicarakan oleh DPA, saran-saran apa saja yang disampaikan DPA kepada Presiden.”[4]
Sehubungan dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie, pada saat berulirnya perdebatan antara menghapus atau mempertahankan DPA di masa-masa berlangsungnya proses perubahan UUD yang telah berlangsung sejak tahun 1999 pernah juga mengingatkan dan mengoreksi rezim ketertutupan dan kerahasiaan di tubuh DPA. Melalui makalah yang disampaikannya pada pertemuan antara DPA dan para pakar hukum tata negara di kantor DPA tanggal 21 September 2000, pada pokoknya Jimly menyampaikan keberatan dan koreksinya terhadap rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang berlangsung di DPA, baik dalam sidang-sidang maupun dalam nasihat atau usul yang disampaikan DPA kepada Presiden. Dalam menanggapi rezim ketertutupan dan kerahasiaan di DPA yang dirasa sudah tidak dapat lagi dipertahankan di masa-masa yang sekarang ini, Jimly mengatakan:
“Zaman memang sudah berubah. Pada era keterbukaan dan transparansi dewasa ini, kita tidak mungkin lagi mempertahankan pengertian yang berbau feodalistis dengan mengaitkan fungsi nasehat sebagai unsur-unsur yang bersifat personal dan apalagi bersifat rahasia. Meskipun nasehat DPA menyangkut hal-hal yang mungkin tidak menguntungkan seorang Presiden, tetapi nasehat atau pertimbangan DPA itu menyangkut persoalan kenegaraan yang berhak diketahui oleh rakyat banyak sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sumber kekuasaan negara yang sesungguhnya. Namun, adanya prinsip keterbukaan ini, tidak mengharuskan dikembangkannya penafsiran bahwa semua kegiatan DPA harus dibuka untuk umum. Harus tetap diadakan pembedaan antara kegiatan rapat-rapat DPA yang bersifat internal dengan hakikat putusan-putusan DPA yang sudah seharusnya menjadi milik publik.”[5]
Akan tetapi sayangnya rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang telah berlangsung sejak era DPA ini nampaknya masih disukai dan oleh karenanya masih dipertahankan oleh pembentuk undang-undang ketika menyusun UU No. 19 Tahun 2006. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Jimly diatas, zaman telah berubah, kita tidak mungkin lagi mempertahankan rezim kerahasiaan warisan DPA untuk tetap diadopsi oleh Wantimpres.
Rezim kerahasiaan di lembaga advisory di negara-negara lain sudah sejak lama ditinggalkan dan tidak lagi dipakai. Berdasarkan studi perbandingan yang dilakukan penulis terhadap negara Belanda dan Amerika Serikat, diperoleh suatu kenyataan bahwa advisory organs di kedua negara tersebut telah meninggalkan rezim kerahasiaan. Sebaliknya, advisory organs di kedua negara itu menerapkan prinsip keterbukaan pada derajat yang sangat mapan. Produk-produk advisory yang dikeluarkan organ penasehat disana dipublikasikan dan disebarluaskan secara luas sehingga dapat dengan mudah diketahui atau diakses oleh publik. Advisory organs  di AS bahkan secara aktif dan terbuka mengumumkan jadwal-jadwal rapat dan hasil rapatnya, atau setidak-tidaknya ringkasan hasil rapatnya (summary meeting). Paradigma klasik yang memandang fungsi dan tugas advisory berada dalam area tertutup dan rahasia sudah tidak relevan lagi di kedua negara tersebut.
Dengan sistem yang terbuka itu, kerja-kerja dari advisory organs di Belanda dan Amerika Serikat dapat dengan mudah diketahui, bahkan dinilai oleh publik. Rezim keterbukaan itu telah memungkinkan advisory organ di kedua negara itu menunjukan eksistensi dan perannya dalam pergumulan demokrasi di negaranya masing-masing.
Kiranya tradisi keterbukaan dari advisory organs di dua negara itu dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam rangka perbaikan sistem dan kerangka kerja Wantimpres kedepan, agar tidak lagi terjebak pada rezim dan tradisi lama yang jelas-jelas sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan.
Rezim kerahasiaan yang saat ini masih dianut oleh UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres tidak dapat lagi dipertahankan di era keterbukaan dan good governance seperti sekarang ini. Ketentuan Pasal 6 UU No. 19 Tahun 2006 yang melarang anggota Wantimpres mempublikasikan nasihat dan pertimbannya sudah selayaknya ditinjau ulang dan dihapus. Sebab nasihat dan pertimbangan itulah yang merupakan satu-satunya produk dari Wantimpres yang sudah seharusnya dapat diketahui publik. Supaya publik bisa mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas Wantimpres. Lagipula nasihat dan pertimbangan itu sudah pasti merupakan urusan-urusan kenegaraan yang seharusnya bisa diketahui bahkan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh karenanya tidak selayaknya Wantimpres menutup dari publik.
Namun demikian keterbukaan atas materi nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu tetap memerlukan pengaturan dan batasan. Dalam hal ini harus diadakan pembedaan antara nasihat dan pertimbangan yang telah diterima oleh Presiden dengan nasihat atau pertimbangan yang belum resmi disampaikan atau belum diterima oleh Presiden.
Terhadap keadaan yang pertama itu maka sifatnya harus terbuka, dalam arti Wantimpres dapat menyampaikan atau menyebarluaskannya kepada publik, sebabnya Presiden telah menerima dan mengetahui adanya nasihat dan pertimbangan itu. Sedangkan yang boleh tertutup atau rahasia (untuk sementara waktu) adalah materi nasihat dan pertimbangan yang belum resmi disampaikan oleh Wantimpres kepada Presiden atau belum diterima oleh Presiden. Terhadap keadaan yang demikian maka sudah seharusnya nasihat dan pertimbangan itu tidak dipublikasikan dulu, sampai Presiden menerima dan memahami isi dari nasihat dan pertimbangan yang disampaikan oleh Wantimpres itu. Sebab alangkah tidak eloknya apabila Presiden mengetahui adanya nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu melalui media masa atau melalui pihak lain, padahal ia sendiri belum mengetahui dan belum menerima nasihat dan pertimbangan tersebut.[6]
Pembatasan atau pengecualian lain bisa dilakukan dengan melihat sifat dan substansi dari nasihat dan pertimbangannya itu sendiri, apakah memang memuat/mengandung konten yang bersifat rahasia dan bisa menimbulkan bahaya apabila dipublikasikan, misalnya menyangkut masalah-masalah keamanan atau pertahanan negara. Terhadap subtansi nasihat dan pertimbangan yang demikian itu maka boleh saja untuk ditutup dan dirahasiakan. Mengenai pemilahan materi-materi nasihat mana yang selayaknya dirahasiakan dan mana yang bisa dipublikasikan, Wantimpres dan Presiden dapat mengacu kepada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik. Pasal 17 undang-undang tersebut telah memberikan pedoman dan rincian mengenai jenis-jenis informasi yang dapat dirahasiakan dan ditutup dari akses publik.[7] Selebihnya, setiap nasihat dan pertimbangan Wantimpres harus selalu terbuka untuk dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan secara luas kepada rakyat.
Dalam pengamatan penulis, larangan untuk mempublikasikan dan menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangannya inilah yang menyebabkan Wantimpres hingga saat ini tidak terdengar gaungnya. Sehingga kerja-kerja dan produk Wantimpres, berupa pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden tidak banyak diketahui oleh publik lantaran sifat ketertutupannya itu.
Oleh sebab itu tidak ada jalan lain apabila Wantimpres ingin menjadi lembaga yang berbobot dan diakui eksistensinya kecuali menghapus rintangan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Wantimpres, yakni mengenai larangan mempublikasikan isi nasihat dan pertimbangan Wantimpres. Agar di masa yang akan datang, kerja-kerja dan produk yang dihasilkan Wantimpres dapat diketahui, bahkan dinilai oleh publik. Hanya dengan jalan itulah Wantimpres akan dapat menunjukan eksistensi dan signifikansinya dalam menjalankan fungsi advisory yang diamanatkan oleh konstitusi.[8]
           2.      Minimnya Peran dan Pelibatan Wantimpres dalam Menjalankan Fungsinya Memberi     Nasihat dan Pertimbangan kepada Presiden
Persoalan lain yang menjadi catatan dan evaluasi terkait eksistensi Wantimpres adalah minimnya peran Wantimpres dalam menjalan fungsi advisory yang diembannya. Sementara dari unsur eksternal, Presiden sebagai penerima dan user dari nasihat dan pertimbangan Wantimpres nampaknya juga masih kurang melibatkan Wantimpres dalam persoalan-persoalan serius yang dihadapi Presiden yang sebetulnya bisa melibatkan peran Wantimpres.
Sebagai contoh, tentu masih hangat dalam ingatan kita tentang konflik antara KPK/Polri yang mengemuka dan menyita perhatian publik di penghujung tahun 2014 sampai dengan awal 2015. Dalam kasus tersebut Presiden lebih memilih untuk membentuk tim independen yang dikenal luas dengan sebutam “Tim 9” untuk melakukan tugas-tugas yang sebetulnya bisa dilakukan oleh Wantimpres. Tugas dan output dari tim tersebut adalah memberikan rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu yang diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan konflik KPK-Polri yang mana sebetulnya itu merupakan tugas pokok daripada Wantimpres.[9]
Contoh diatas menggambarkan betapa minimnya pelibatan atau pemberdayaan Wantimpres oleh Presiden dalam soal-soal yang sebetulnya bisa dilaksanakan oleh Wantimpres. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya yang membahas mekanisme/tata kerja Wantimpres, sebetulnya dalam persoalan diatas Presiden dapat saja meminta atau menugasi Wantimpres untuk melaksanakan apa yang menjadi tugas dari Tim 9 sehingga Presiden tidak perlu direpotkan mencari-cari dan membentuk tim semacam itu, melainkan cukup dengan memberdayakan lembaga penasehat yang ada.
Alasan Presiden mengenai penunjukan dan penugasan Tim 9 itu ialah agar Presiden mendapat banyak masukan terkait konflik KPK-Polri.[10] Alasan ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebagai satu-satunya organ yang ditunjuk oleh konstitusi[11] untuk melaksanakan fungsi advisory kepada Presiden maka kedudukan Wantimpres dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga penasehat Presiden yang utama (main president’s advisory organ). Oleh sebab itu dalam perspektif hubungan dan peran lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945, seharusnya Wantimpres lah yang lebih dahulu dilibatkan atau diberdayakan dalam persoalan-persoalan kenegaraan yang dihadapi oleh Presiden yang membutuhkan suatu advis atau pertimbangan.
Sementara perihal minimnya peran Wantimpres dalam menjalan fungsi advisory yang diembannya, dalam pandangan menulis memiliki dua (2) kemungkinan. Pertama, mungkin secara faktual Wantimpres aktif dan produktif dalam menjalankan tugasnya memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, hanya saja karena rintangan Pasal 6 ayat (1) UU Wantimpres, yakni adanya larangan publikasi nasihat dan pertimbangannya, Wantimpres seolah-olah diam karena tidak terpantau pekerjaannya. Sehingga persepsi publik yang memang tidak memiliki akses untuk mengetahui kerja-kerja dan produk Wantimpres menganggap bahwa Wantimpres tidak produktif dan minim peran. Kedua, persepsi dan penilaian publik terhadap eksistensi Wantimpres memang benar adanya bahwa secara faktual Wantimpres memang tidak produktif dan minim peran.
Terhadap kemungkinan yang pertama itu, jika benar begitu adanya maka jalan keluar yang bisa digagas adalah dengan menghapus ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Wantimpres. Sehingga ke depan, kerja-kerja dan produk Wantimpres dapat diketahui dan dinilai oleh publik. Sehingga tidak perlu lagi ada asumsi-asumsi atau prasangka bahwa Wantimpres tidak bekerja dan sebagainya, sebab jika iklimnya sudah terbuka maka publik dapat mengetahui secara jelas dan pasti kerja-kerja dan produk Wantimpres. Sedangkan terhadap kemungkinan yang kedua maka solusi yang dapat digagas tentu saja dengan mengembalikan persoalan ini kepada institusi Wantimpres itu sendiri, agar ke depan Wantimpres dapat lebih aktif dan produktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sebab jika Wantimpres masih tetap dengan keadaan status quo, dalam arti tidak berperan banyak, maka bukan tidak mungkin akan muncul tuntutan untuk menghapus lembaga ini dikemudian hari karena tidak dirasakan manfaatnya bagi bangsa dan negara. Hal mana telah terjadi pada DPA dimana mayoritas orang lebih menghendaki agar lembaga tersebut dihapus dari UUD 1945 daripada dipertahankan karena kurang dirasakan manfaatnya.
Sementara terhadap persoalan kurangnya pelibatan atau pemberdayaan Wantimpres oleh Presiden, maka demi tertib penyelenggaraan negara berdasarkan etika kelembagaan menurut UUD 1945,[12] Presiden harus bisa menempatkan dan memberdayakan Wantimpres sebagai main president’s advisory organ atau lembaga penasehat presiden yang pertama dan utama. Sehingga apabila dalam menjalankan kekuasan pemerintahannya Presiden menemui persoalan-persolan yang membutuhkan nasihat dan pertimbangan maka lembaga penasihat (advisory organ) yang pertama-tama harus diminta nasihat dan pertimbangannya adalah Wantimpres. Permintaan dan penerimaan nasihat dan pertimbangan dari organ atau pihak-pihak lain tentu saja masih sangat dimungkinkan, akan tetapi yang terpenting jangan sampai mengabaikan keberadaan Wantimpres yang justru merupakan the main president’s advisory organ.
           3.      Muatan Politis (Politik Balas Budi) dalam Pengisian Keanggotaan Wantimpres
Muatan politis atau kepentingan politik dibalik pengisian keanggotan lembaga penasihat (advisory organ) seperti Wantimpres ini agaknya telah menjadi fenomena yang mendunia. Dilema ini terjadi dimana-mana di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia. Saking lazimnya fenomena ini terjadi, penunjukan penasehat Presiden yang berasal dari orang-orang dekat dan kepercayaan presiden sepertinya sudah menjadi suatu standar dan kebiasaan dalam pengisian keanggotan lembaga penasehat yang telah maklumi dimana-mana.
Sebagai contoh, jabatan Senior Advisor yang merupakan jabatan penasehat terpenting bagi Presiden di AS selalu saja diisi oleh orang-orang dekat dan kepercayaan Presiden yang berasal dari partai yang sama.[13] Begitu juga yang terjadi di Belanda, Raad van State yang terdiri dari 10 anggota (di luar Raja/Ratu selaku ketua dan seorang wakil ketua), salah satunya selalu berasal dari keluarga kerajaan (royal family). Bahkan untuk kasus Belanda, hal itu diformalkan dalam undang-udang tentang Raad van State, bahwa tersedia satu kursi dalam keanggotaan Raad van State untuk satu orang keluarga kerajaan.[14]
Begitu juga yang terjadi di Indonesia, sejak era DPA hingga sekarang diganti oleh Wantimpres, pengisian keanggotaan lembaga-lembaga penasihat tersebut tidak pernah lepas dari kepentingan politis. Orang-orang yang duduk di dalamnya sebagian besar adalah orang-orang yang memang memiliki afiliasi politik bahkan afiliasi personal dengan presiden. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila di masa lalu, pada era DPA, muncul anekdot-anekdot yang memplesetkan nama DPA sebagai kependekan dari “dewan pensiunan agung.” Maksudnya sindiran terhadap keanggotaan DPA yang seringkali menjadi tempat bagi para tokoh yang telah pensiun dari profesi atau jabatan aslinya.[15]
Di masa sekarang, keanggotaan Wantimpres seringkali diisi oleh tokoh-tokoh yang dikenal luas oleh publik sebelumnya sebagai tim sukses yang telah membantu presiden memenangkan Pemilu atau orang yang pernah berjasa kepada presiden. Itulah sebabnya seringkali Wantimpres ini disebut-sebut oleh publik sebagai tempat politik balas budi untuk menempatkan orang-orang yang pernah berjasa kepada Presiden.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa fenomena ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah menjadi suatu kelaziman yang diterima dimana-mana. Akan tetapi yang ingin penulis tekankan disini adalah, jika pun muatan politis atau kepentingan politis itu tidak bisa dihindari dalam pengisian jabatan Wantimpres maka harus dipastikan bahwa orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden itu memiliki kapabilitas yang cukup untuk diserahi tugas advisory yang diemban oleh Wantimpres. Sayang sekali jika lembaga yangg pembentukannya diamanatkan oleh konstitusi ini hanya dijadikan tempat balas budi dan selanjutnya hanya menjadi “tempat parkir” untuk orang-orang tersebut
Untuk menghindari hal itu maka Presiden dituntut cermat dan tegas dalam penunjukan/pengisian keanggotaan Wantimpres. Jika Wantimpres ini diisi oleh orang-orang yang sesungguhnya tidak kapabel namun karena alasan politis tertentu tetap dipaksakan oleh Presiden untuk duduk di dalamnya, maka dapat dipastikan Wantimpres ini akan semakin kesulitan menunjukan eksistensi dan signifikansinya. Dengan begitu Presiden juga lah yang akan menanggung akibatnya, karena lembaga penasihatnya tidak dapat diandalkan dan mengikuti akselerasi pemerintahan yang dipimpinnya.
Oleh karena itu sekali lagi ditegaskan disini bahwa kecermatan, kearifan, dan ketegasan Presiden sangat dibutuhkan dalam hal ini. Sebab kewenangan pengisian jabatan Wantimpres sepenuhnya berada di tangan Presiden sehingga Presiden sendiri yang akan menentukan hitam-putih pilihannya tersebut.
B.  Rekomendasi
1.   Sebagai lembaga penasehat Presiden yang utama (main president’s advisory organ), Wantimpres diharapkan bisa lebih aktif dan responsif dalam memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Sebab itulah yang menjadi maksud dan harapan (original initent) dari para perumus perubahan UUD 1945 ketika mengubah Pasal 16 UUD yang menghapus DPA dan melahirkan Wantimpres ini.
Sementara terhadap persoalan kurangnya pelibatan atau pemberdayaan Wantimpres oleh Presiden, maka Presiden harus bisa menempatkan dan memberdayakan Wantimpres sebagai main president’s advisory organ. Sehingga apabila dalam menjalankan kekuasan pemerintahannya Presiden menemui persoalan-persolan yang membutuhkan nasihat dan pertimbangan, maka lembaga penasihat (advisory organ) yang pertama-tama harus diminta nasihat dan pertimbangannya adalah Wantimpres.
2.      Menghapus Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres yang berisi larangan bagi Anggota Wantimpres untuk mempublikasikan atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden. Ketentuan inilah yang menyebabkan Wantimpres hingga saat ini tidak terdengar gaungnya. Sebab dengan adanya ketentuan ini, kerja-kerja dan produk Wantimpres berupa pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, tidak banyak diketahui oleh publik karena sifat ketertutupannya itu.
Ketentuan ini sudah tidak relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin mengarah pada prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas yang menuntut semua lembaga negara untuk terbuka dan akuntabel sehingga dapat diawasi oleh rakyat. Demikian pula apabila ditinjau dari kacamata perbandingan, advisory organs di negara-negara lain, seperti Belanda dan Amerika Serikat, telah lama meninggalkan sistem yang tertutup dan rahasia ini. Sebaliknya, advisory organs  di dua negara tersebut menerapkan prinsip dan semangat keterbukaan sehingga kerja-kerja dan produk advisory yang dihasilkannya dapat diketahui secara luas oleh publik.



[1] Vide Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
[2] Jimly Asshiddiqie, Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia, Makalah tersedia dan dapat dibaca pada laman: http://bimoadiwicaksono.blogspot.co.id/2010/08/peningkatan-peran-dewan-pertimbangan.html, Diakses pada tanggal 18 April 2016.
[3] Lihat lebih lanjut mengenai tuntutan penerapan prinsip-prinsip good governance ini dalam pelaksanaan adminitrasi pemerintahan dalam Paulus Effendie Lotulung, “Tata Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) dalam Korelasinya dengan Hukum Administrasi,” dalam Muhadi, editor, Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2015, hlm. 35-50.
[4] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,  Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Edisi Revisi, Jakarta, 2010,  hlm. 699-700.
[5] Jimly Asshiddiqie, Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia, Loc. Cit.
[6] Jimly Asshiddiqie juga pernah mengomentari dan mengkritik sifat ketertutupan dari sidang-sidang dan substansi nasihat DPA. Kecuali perbedaan lembaga yang menjadi objek kritik (Jimly mengkritik ketertutupan DPA dan Penulis mengkritik ketertutupan Wantimpres), substansi kritik yang disampaikan oleh Jimly dan penulis pada prinsipnya sama, yakni sama-sama mengkritik sifat ketertutupan dari kedua lembaga tersebut. Untuk diketahui bahwa Jimly memberikan komentar atau kritiknya itu pada tahun 2000 melalui sebuah makalah yang berjudul “Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.” Pada waktu itu memang sedang berkembang perdebatan untuk mempertahankan atau menghapus DPA dalam proses amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung sejak tahun 1999.
[7] Lihat selengkapnya mengenai jenis-jenis informasi yang bersifat rahasia dan bisa dikecualikan dari akses publik ini dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[8] Vide Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945.
[9] Tim Independen bentukan Presiden Jokowi yang disebut “Tim 9” ini adalah tim yang terdiri dari para tokoh nasional lintas bidang yang ditugasi oleh Presiden untuk mengalisis konflik KPK-Polri dan diakhir memberikan rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan konflik dua lembaga tersebut. Tim ini dibentuk secara informal oleh Presiden tanpa melalui Keputusan Presiden atau dasar legalitas lainnya pada awal tahun 2015. Lihat berita mengenai isu ini, salah satunya misalnya Kompas, Jokowi Bentuk Tim Atasi Kisruh KPK-Polri, edisi 25 Januari 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi.Bentuk.Tim.Atasi.Kisruh.KPK-Polri, Diakses pada tanggal 17 April 2016.
[10] Merdeka.com., Ini alasan Jokowi bentuk tim independen, Diakses pada tanggal 20 April 2016.
[11] Dewan Pertimbangan Presiden atau yang disingkat Wantimpres ini menurut Jimly Asshiddiqie adalah satu dari 34 organ konstitusi/organ yang disebut dalam konstitusi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Op. Cit., hlm. 49.
[12] Mengenai etika konstitusi (constitutional ethic) yang harus diperhatikan oleh penyelengenggara negara di dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini bisa dibaca lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 230-245.
[13] Lihat https://www.whitehouse.gov/administration/senior-leadership, Diakses pada tanggal 20 April 2016.
[14] Vide Council of State Act 2012, secton 1, subsection 3.
[15] Sindiran-sindiran semacam ini pernah sangat populer di masa-masa  masih berdirinya Dewan Pertimbangan Agung, sebagai kritik dan sindirian atas eksistensi dan peran DPA yang sumir dan jauh dari harapan rakyat sebagai lembaga tinggi negara yang diharapkan dapat mengawal kebijakan-kebijakan Presiden melalui fungsi advisory yang dimilikinya. Lihat mengenai hal ini dalam Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,  Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 1, Edisi Revisi, Jakarta, 2010,  hlm. 691 dan 710.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar