A. Catatan dan Evaluasi terhadap Eksistensi dan Signifikasi Peran
Wantimpres dalam Menjalankan Fungsinya
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas maka terdapat beberapa
catatan dan evaluasi terkait eksistensi dan peran Wantimpres dalam menjalankan
fungsinya memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Catatan mana
merefleksikan pemikiran dan evaluasi tentang eksistensi dan signifikasi peran
Wantimpres dalam menjalankan fungsinya selama ini.
Melalui catatan-catatan tersebut ini diharapkan diperoleh suatu
bahan evaluasi atas kekurangan-kekurangan yang ada pada Wantimpres.
Selanjutnya, berdasarkan evaluasi tersebut diharapkan dapat digagas
resolusi-resolusi atau jalan keluar atas persoalan-persoalan yang ada guna
perbaikan Wantimpres dimasa-masa yang akan datang.
Berdasarkan hasil penelaahan dan penelitian ini penulis mencatat
ada sekurang-kurangnya empat (4) catatan dan evaluasi terhadap eksistensi dan
sginifikansi peran Wantimpres dalam menjalankan fungsi advisory yang
diembannya. Empat catatan dan evaluasi tersebut akan dibahas dibawah ini.
1. Larangan bagi Wantimpres untuk Mempublikasikan atau Menyebarluaskan
Materi Nasihat dan Pertimbangannya kepada Publik
Masalah ini telah sempat disinggung dan dibahas pada bagian
sebelumnya, yakni mengenai rezim ketertutupan dan kerahasiaan atas
produk-produk nasihat dan pertimbangan Wantimpres yang terlarang untuk
dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik.
Untuk diketahui bahwa persoalan ini sendiri timbul akibat adanya
ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres yang
melarang anggota Wantimpres untuk mempublikasikan atau menyebarluaskan isi
daripada nasihat dan pertimbangan yang diberikannya kepada Presiden.[1]
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah bunyi pasal tersebut:
“Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan
keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan
kepada pihak mana pun.”
Berdasarkan ketentuan diatas jelaslah bahwa pembentuk undang-undang
ketika menyusun UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres masih terpangaruh alam
pemikiran klasik dan kuno tentang sifat hubungan antara Wantimpres dan
Presiden. Pembentuk undang-undang masih mengidealkan rezim ketertutupan dan
kerahasiaan yang sebetulnya sudah klasik, usang, dan tidak populer dalam
mendesain hubungan antara Wantimpres dan Presiden. Hal tersebut nampak dengan
sangat jelas dengan adanya larangan bagi Wantimpres untuk mempublikasikan
materi-materi nasihat dan pertimbangannya.
Keadaan ini tidak ada bedanya atau malah boleh dibilang merupakan
warisan dari rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang dianut oleh Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) di masa yang lalu. Dahulu, DPA juga menganut rezim
ketertutupan dan kerahasiaan seperti ini. Sidang-sidang DPA beserta segala
produk yang dihasilkannya, berupa nasihat dan usul-usulnya kepada Presiden,
bersifat tertutup dan rahasia. Alasan klasik yang biasanya dijadikan dalih atas ketertutupan dan
kerahasiaan ini adalah bahwa hubungan antara DPA dan Presiden bersifat internal
dan oleh karenanya harus tertutup dan rahasia.[2]
Alasan mana sebetulnya sudah usang dan tidak cocok lagi dengan perkembangan dan
tuntutan zaman yang menuntut diterapkannya prinsip-prinsip good governance seperti
keterbukaan dan akuntabilitas oleh lembaga-lembaga publik.[3]
Sejak era DPA, ketertutupan dan kerahasiaan sidang-sidang dan
produk-produk advisory DPA ini telah mendapat kritik tajam dari publik,
termasuk para ahli (akademisi). Bahkan boleh dikatakan, rezim ketertutupan dan
kerahasiaan inilah yang menjadi salah satu alasan dari kelompok pro penghapusan
DPA yang merupakan pendapat mayoritas di MPR untuk menghapus DPA dalam proses
perubahan UUD antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Salah satu pakar yang
sejak lama mengkritik sifat ketertutupan sidang-sidang dan isi nasihat DPA ini
adalah Sri Soemantri, guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran. Dalam Rapat Panitia Ad Hoc III BP MPR Ke-7, 13 Oktober 1999
(Perubahan Kesatu UUD 1945), Sri Soemantri mengatakan:
“Sidang-sidang DPA itu selalu tertutup, tidak pernah wartawan itu
bisa menghadiri sidang-sidangnya. Nasehat-nasehat yang disampaikan kepada
Presiden, itu juga rahasia ... kalau
demikian, rakyat tidak mengetahui apa yang selama ini dibicarakan oleh DPA,
saran-saran apa saja yang disampaikan DPA kepada Presiden.”[4]
Sehubungan dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie, pada saat berulirnya
perdebatan antara menghapus atau mempertahankan DPA di masa-masa berlangsungnya
proses perubahan UUD yang telah berlangsung sejak tahun 1999 pernah juga
mengingatkan dan mengoreksi rezim ketertutupan dan kerahasiaan di tubuh DPA.
Melalui makalah yang disampaikannya pada pertemuan antara DPA dan para pakar
hukum tata negara di kantor DPA tanggal 21 September 2000, pada pokoknya Jimly
menyampaikan keberatan dan koreksinya terhadap rezim ketertutupan dan
kerahasiaan yang berlangsung di DPA, baik dalam sidang-sidang maupun dalam
nasihat atau usul yang disampaikan DPA kepada Presiden. Dalam menanggapi rezim
ketertutupan dan kerahasiaan di DPA yang dirasa sudah tidak dapat lagi
dipertahankan di masa-masa yang sekarang ini, Jimly mengatakan:
“Zaman
memang sudah berubah. Pada era keterbukaan dan transparansi dewasa ini, kita
tidak mungkin lagi mempertahankan pengertian yang berbau feodalistis dengan
mengaitkan fungsi nasehat sebagai unsur-unsur yang bersifat personal dan
apalagi bersifat rahasia. Meskipun nasehat DPA menyangkut hal-hal yang mungkin
tidak menguntungkan seorang Presiden, tetapi nasehat atau pertimbangan DPA itu
menyangkut persoalan kenegaraan yang berhak diketahui oleh rakyat banyak
sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sumber kekuasaan negara yang
sesungguhnya. Namun, adanya prinsip keterbukaan ini, tidak mengharuskan
dikembangkannya penafsiran bahwa semua kegiatan DPA harus dibuka untuk umum.
Harus tetap diadakan pembedaan antara kegiatan rapat-rapat DPA yang bersifat
internal dengan hakikat putusan-putusan DPA yang sudah seharusnya menjadi milik
publik.”[5]
Akan tetapi sayangnya rezim ketertutupan dan kerahasiaan yang telah
berlangsung sejak era DPA ini nampaknya masih disukai dan oleh karenanya masih
dipertahankan oleh pembentuk undang-undang ketika menyusun UU No. 19 Tahun
2006. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Jimly diatas, zaman telah berubah,
kita tidak mungkin lagi mempertahankan rezim kerahasiaan warisan DPA untuk
tetap diadopsi oleh Wantimpres.
Rezim kerahasiaan di lembaga advisory di negara-negara lain
sudah sejak lama ditinggalkan dan tidak lagi dipakai. Berdasarkan studi
perbandingan yang dilakukan penulis terhadap negara Belanda dan Amerika
Serikat, diperoleh suatu kenyataan bahwa advisory organs di kedua negara
tersebut telah meninggalkan rezim kerahasiaan. Sebaliknya, advisory organs di
kedua negara itu menerapkan prinsip keterbukaan pada derajat yang sangat mapan.
Produk-produk advisory yang dikeluarkan organ penasehat disana
dipublikasikan dan disebarluaskan secara luas sehingga dapat dengan mudah
diketahui atau diakses oleh publik. Advisory organs di AS bahkan secara aktif dan terbuka
mengumumkan jadwal-jadwal rapat dan hasil rapatnya, atau setidak-tidaknya
ringkasan hasil rapatnya (summary meeting). Paradigma klasik yang
memandang fungsi dan tugas advisory berada dalam area tertutup dan
rahasia sudah tidak relevan lagi di kedua negara tersebut.
Dengan sistem yang terbuka itu, kerja-kerja dari advisory organs
di Belanda dan Amerika Serikat dapat dengan mudah diketahui, bahkan dinilai
oleh publik. Rezim keterbukaan itu telah memungkinkan advisory organ di
kedua negara itu menunjukan eksistensi dan perannya dalam pergumulan demokrasi
di negaranya masing-masing.
Kiranya tradisi keterbukaan dari advisory organs di dua
negara itu dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam rangka perbaikan sistem
dan kerangka kerja Wantimpres kedepan, agar tidak lagi terjebak pada rezim dan
tradisi lama yang jelas-jelas sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan.
Rezim kerahasiaan
yang saat ini masih dianut oleh UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres tidak
dapat lagi dipertahankan di era keterbukaan dan good governance seperti
sekarang ini. Ketentuan Pasal 6 UU No. 19 Tahun 2006 yang melarang anggota
Wantimpres mempublikasikan nasihat dan pertimbannya sudah selayaknya ditinjau
ulang dan dihapus. Sebab nasihat dan pertimbangan itulah yang merupakan
satu-satunya produk dari Wantimpres yang sudah seharusnya dapat diketahui
publik. Supaya publik bisa mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas Wantimpres.
Lagipula nasihat dan pertimbangan itu sudah pasti merupakan urusan-urusan
kenegaraan yang seharusnya bisa diketahui bahkan harus dipertanggungjawabkan
kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh karenanya tidak
selayaknya Wantimpres menutup dari publik.
Namun demikian
keterbukaan atas materi nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu tetap
memerlukan pengaturan dan batasan. Dalam hal ini harus diadakan pembedaan
antara nasihat dan pertimbangan yang telah diterima oleh Presiden dengan
nasihat atau pertimbangan yang belum resmi disampaikan atau belum diterima oleh
Presiden.
Terhadap keadaan
yang pertama itu maka sifatnya harus terbuka, dalam arti Wantimpres dapat
menyampaikan atau menyebarluaskannya kepada publik, sebabnya Presiden telah
menerima dan mengetahui adanya nasihat dan pertimbangan itu. Sedangkan yang
boleh tertutup atau rahasia (untuk sementara waktu) adalah materi nasihat dan
pertimbangan yang belum resmi disampaikan oleh Wantimpres kepada Presiden atau
belum diterima oleh Presiden. Terhadap keadaan yang demikian maka sudah
seharusnya nasihat dan pertimbangan itu tidak dipublikasikan dulu, sampai
Presiden menerima dan memahami isi dari nasihat dan pertimbangan yang
disampaikan oleh Wantimpres itu. Sebab alangkah tidak eloknya apabila Presiden
mengetahui adanya nasihat dan pertimbangan Wantimpres itu melalui media masa
atau melalui pihak lain, padahal ia sendiri belum mengetahui dan belum menerima
nasihat dan pertimbangan tersebut.[6]
Pembatasan atau
pengecualian lain bisa dilakukan dengan melihat sifat dan substansi dari
nasihat dan pertimbangannya itu sendiri, apakah memang memuat/mengandung konten
yang bersifat rahasia dan bisa menimbulkan bahaya apabila dipublikasikan,
misalnya menyangkut masalah-masalah keamanan atau pertahanan negara. Terhadap
subtansi nasihat dan pertimbangan yang demikian itu maka boleh saja untuk
ditutup dan dirahasiakan. Mengenai pemilahan materi-materi nasihat mana yang selayaknya
dirahasiakan dan mana yang bisa dipublikasikan, Wantimpres dan Presiden dapat
mengacu kepada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik. Pasal 17
undang-undang tersebut telah memberikan pedoman dan rincian mengenai
jenis-jenis informasi yang dapat dirahasiakan dan ditutup dari akses publik.[7]
Selebihnya, setiap nasihat dan pertimbangan Wantimpres harus selalu terbuka
untuk dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan secara luas kepada rakyat.
Dalam pengamatan penulis, larangan untuk
mempublikasikan dan menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangannya inilah yang
menyebabkan Wantimpres hingga saat ini tidak terdengar gaungnya. Sehingga
kerja-kerja dan produk Wantimpres, berupa pemberian nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden tidak banyak diketahui oleh publik lantaran sifat
ketertutupannya itu.
Oleh sebab itu tidak ada jalan lain apabila
Wantimpres ingin menjadi lembaga yang berbobot dan diakui eksistensinya kecuali
menghapus rintangan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU
Wantimpres, yakni mengenai larangan mempublikasikan isi nasihat dan
pertimbangan Wantimpres. Agar di masa yang akan datang, kerja-kerja dan produk
yang dihasilkan Wantimpres dapat diketahui, bahkan dinilai oleh publik. Hanya
dengan jalan itulah Wantimpres akan dapat menunjukan eksistensi dan
signifikansinya dalam menjalankan fungsi advisory yang diamanatkan oleh
konstitusi.[8]
2.
Minimnya Peran dan Pelibatan Wantimpres dalam Menjalankan Fungsinya
Memberi Nasihat dan Pertimbangan kepada Presiden
Persoalan lain yang menjadi catatan dan evaluasi terkait eksistensi
Wantimpres adalah minimnya peran Wantimpres dalam menjalan fungsi advisory yang
diembannya. Sementara dari unsur eksternal, Presiden sebagai penerima dan user
dari nasihat dan pertimbangan Wantimpres nampaknya juga masih kurang
melibatkan Wantimpres dalam persoalan-persoalan serius yang dihadapi Presiden
yang sebetulnya bisa melibatkan peran Wantimpres.
Sebagai contoh, tentu masih hangat dalam ingatan kita tentang
konflik antara KPK/Polri yang mengemuka dan menyita perhatian publik di
penghujung tahun 2014 sampai dengan awal 2015. Dalam kasus tersebut Presiden
lebih memilih untuk membentuk tim independen yang dikenal luas dengan sebutam
“Tim 9” untuk melakukan tugas-tugas yang sebetulnya bisa dilakukan oleh
Wantimpres. Tugas dan output dari tim tersebut adalah memberikan
rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu yang diambil oleh Presiden dalam
rangka menyelesaikan konflik KPK-Polri yang mana sebetulnya itu merupakan tugas
pokok daripada Wantimpres.[9]
Contoh diatas menggambarkan betapa minimnya pelibatan atau
pemberdayaan Wantimpres oleh Presiden dalam soal-soal yang sebetulnya bisa
dilaksanakan oleh Wantimpres. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya yang membahas mekanisme/tata kerja Wantimpres, sebetulnya dalam
persoalan diatas Presiden dapat saja meminta atau menugasi Wantimpres untuk
melaksanakan apa yang menjadi tugas dari Tim 9 sehingga Presiden tidak perlu
direpotkan mencari-cari dan membentuk tim semacam itu, melainkan cukup dengan
memberdayakan lembaga penasehat yang ada.
Alasan Presiden mengenai penunjukan dan penugasan Tim 9 itu ialah
agar Presiden mendapat banyak masukan terkait konflik KPK-Polri.[10]
Alasan ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.
Sebagai satu-satunya organ yang ditunjuk oleh konstitusi[11]
untuk melaksanakan fungsi advisory kepada Presiden maka kedudukan
Wantimpres dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga
penasehat Presiden yang utama (main president’s advisory organ). Oleh
sebab itu dalam perspektif hubungan dan peran lembaga-lembaga negara menurut
UUD 1945, seharusnya Wantimpres lah yang lebih dahulu dilibatkan atau
diberdayakan dalam persoalan-persoalan kenegaraan yang dihadapi oleh Presiden
yang membutuhkan suatu advis atau pertimbangan.
Sementara perihal minimnya peran Wantimpres dalam menjalan fungsi advisory
yang diembannya, dalam pandangan menulis memiliki dua (2) kemungkinan. Pertama,
mungkin secara faktual Wantimpres aktif dan produktif dalam menjalankan
tugasnya memberi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, hanya saja karena
rintangan Pasal 6 ayat (1) UU Wantimpres, yakni adanya larangan publikasi
nasihat dan pertimbangannya, Wantimpres seolah-olah diam karena tidak terpantau
pekerjaannya. Sehingga persepsi publik yang memang tidak memiliki akses untuk
mengetahui kerja-kerja dan produk Wantimpres menganggap bahwa Wantimpres tidak
produktif dan minim peran. Kedua, persepsi dan penilaian publik terhadap
eksistensi Wantimpres memang benar adanya bahwa secara faktual Wantimpres
memang tidak produktif dan minim peran.
Terhadap kemungkinan yang pertama itu, jika benar begitu adanya
maka jalan keluar yang bisa digagas adalah dengan menghapus ketentuan Pasal 6
ayat (1) UU Wantimpres. Sehingga ke depan, kerja-kerja dan produk Wantimpres
dapat diketahui dan dinilai oleh publik. Sehingga tidak perlu lagi ada
asumsi-asumsi atau prasangka bahwa Wantimpres tidak bekerja dan sebagainya,
sebab jika iklimnya sudah terbuka maka publik dapat mengetahui secara jelas dan
pasti kerja-kerja dan produk Wantimpres. Sedangkan terhadap kemungkinan yang
kedua maka solusi yang dapat digagas tentu saja dengan mengembalikan persoalan
ini kepada institusi Wantimpres itu sendiri, agar ke depan Wantimpres dapat
lebih aktif dan produktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sebab jika
Wantimpres masih tetap dengan keadaan status quo, dalam arti tidak
berperan banyak, maka bukan tidak mungkin akan muncul tuntutan untuk menghapus
lembaga ini dikemudian hari karena tidak dirasakan manfaatnya bagi bangsa dan
negara. Hal mana telah terjadi pada DPA dimana mayoritas orang lebih
menghendaki agar lembaga tersebut dihapus dari UUD 1945 daripada dipertahankan
karena kurang dirasakan manfaatnya.
Sementara terhadap persoalan kurangnya pelibatan atau pemberdayaan
Wantimpres oleh Presiden, maka demi tertib penyelenggaraan negara berdasarkan
etika kelembagaan menurut UUD 1945,[12]
Presiden harus bisa menempatkan dan memberdayakan Wantimpres sebagai main
president’s advisory organ atau lembaga penasehat presiden yang pertama dan
utama. Sehingga apabila dalam menjalankan kekuasan pemerintahannya Presiden
menemui persoalan-persolan yang membutuhkan nasihat dan pertimbangan maka
lembaga penasihat (advisory organ) yang pertama-tama harus diminta
nasihat dan pertimbangannya adalah Wantimpres. Permintaan dan penerimaan
nasihat dan pertimbangan dari organ atau pihak-pihak lain tentu saja masih
sangat dimungkinkan, akan tetapi yang terpenting jangan sampai mengabaikan
keberadaan Wantimpres yang justru merupakan the main president’s advisory
organ.
3.
Muatan Politis (Politik Balas Budi) dalam Pengisian Keanggotaan
Wantimpres
Muatan politis
atau kepentingan politik dibalik pengisian keanggotan lembaga penasihat (advisory
organ) seperti Wantimpres ini agaknya telah menjadi fenomena yang mendunia.
Dilema ini terjadi dimana-mana di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia.
Saking lazimnya fenomena ini terjadi, penunjukan penasehat Presiden yang
berasal dari orang-orang dekat dan kepercayaan presiden sepertinya sudah
menjadi suatu standar dan kebiasaan dalam pengisian keanggotan lembaga penasehat
yang telah maklumi dimana-mana.
Sebagai contoh,
jabatan Senior Advisor yang merupakan jabatan penasehat terpenting bagi
Presiden di AS selalu saja diisi oleh orang-orang dekat dan kepercayaan
Presiden yang berasal dari partai yang sama.[13]
Begitu juga yang terjadi di Belanda, Raad van State yang terdiri dari 10
anggota (di luar Raja/Ratu selaku ketua dan seorang wakil ketua), salah satunya
selalu berasal dari keluarga kerajaan (royal family). Bahkan untuk kasus
Belanda, hal itu diformalkan dalam undang-udang tentang Raad van State,
bahwa tersedia satu kursi dalam keanggotaan Raad van State untuk satu orang
keluarga kerajaan.[14]
Begitu juga
yang terjadi di Indonesia, sejak era DPA hingga sekarang diganti oleh
Wantimpres, pengisian keanggotaan lembaga-lembaga penasihat tersebut tidak
pernah lepas dari kepentingan politis. Orang-orang yang duduk di dalamnya
sebagian besar adalah orang-orang yang memang memiliki afiliasi politik bahkan
afiliasi personal dengan presiden. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila di
masa lalu, pada era DPA, muncul anekdot-anekdot yang memplesetkan nama DPA
sebagai kependekan dari “dewan pensiunan agung.” Maksudnya sindiran terhadap
keanggotaan DPA yang seringkali menjadi tempat bagi para tokoh yang telah
pensiun dari profesi atau jabatan aslinya.[15]
Di masa
sekarang, keanggotaan Wantimpres seringkali diisi oleh tokoh-tokoh yang dikenal
luas oleh publik sebelumnya sebagai tim sukses yang telah membantu presiden
memenangkan Pemilu atau orang yang pernah berjasa kepada presiden. Itulah sebabnya
seringkali Wantimpres ini disebut-sebut oleh publik sebagai tempat politik
balas budi untuk menempatkan orang-orang yang pernah berjasa kepada Presiden.
Sebagaimana
telah dikatakan sebelumnya bahwa fenomena ini memang tidak hanya terjadi di
Indonesia, melainkan sudah menjadi suatu kelaziman yang diterima dimana-mana.
Akan tetapi yang ingin penulis tekankan disini adalah, jika pun muatan politis
atau kepentingan politis itu tidak bisa dihindari dalam pengisian jabatan
Wantimpres maka harus dipastikan bahwa orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden
itu memiliki kapabilitas yang cukup untuk diserahi tugas advisory yang
diemban oleh Wantimpres. Sayang sekali jika lembaga yangg pembentukannya
diamanatkan oleh konstitusi ini hanya dijadikan tempat balas budi dan
selanjutnya hanya menjadi “tempat parkir” untuk orang-orang tersebut
Untuk
menghindari hal itu maka Presiden dituntut cermat dan tegas dalam
penunjukan/pengisian keanggotaan Wantimpres. Jika Wantimpres ini diisi oleh
orang-orang yang sesungguhnya tidak kapabel namun karena alasan politis
tertentu tetap dipaksakan oleh Presiden untuk duduk di dalamnya, maka dapat
dipastikan Wantimpres ini akan semakin kesulitan menunjukan eksistensi dan
signifikansinya. Dengan begitu Presiden juga lah yang akan menanggung akibatnya,
karena lembaga penasihatnya tidak dapat diandalkan dan mengikuti akselerasi
pemerintahan yang dipimpinnya.
Oleh karena itu
sekali lagi ditegaskan disini bahwa kecermatan, kearifan, dan ketegasan
Presiden sangat dibutuhkan dalam hal ini. Sebab kewenangan pengisian jabatan
Wantimpres sepenuhnya berada di tangan Presiden sehingga Presiden sendiri yang
akan menentukan hitam-putih pilihannya tersebut.
B. Rekomendasi
1. Sebagai
lembaga penasehat Presiden yang utama (main president’s advisory organ),
Wantimpres diharapkan bisa lebih aktif dan responsif dalam memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden. Sebab itulah yang menjadi maksud dan harapan (original
initent) dari para perumus perubahan UUD 1945 ketika mengubah Pasal 16 UUD
yang menghapus DPA dan melahirkan Wantimpres ini.
Sementara terhadap persoalan kurangnya pelibatan atau pemberdayaan
Wantimpres oleh Presiden, maka Presiden harus bisa menempatkan dan
memberdayakan Wantimpres sebagai main president’s advisory organ.
Sehingga apabila dalam menjalankan kekuasan pemerintahannya Presiden menemui
persoalan-persolan yang membutuhkan nasihat dan pertimbangan, maka lembaga
penasihat (advisory organ) yang pertama-tama harus diminta nasihat dan
pertimbangannya adalah Wantimpres.
2. Menghapus
Pasal 6 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres yang berisi larangan
bagi Anggota Wantimpres untuk mempublikasikan atau menyebarluaskan isi nasihat
dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden. Ketentuan inilah yang
menyebabkan Wantimpres hingga saat ini tidak terdengar gaungnya. Sebab dengan
adanya ketentuan ini, kerja-kerja dan produk Wantimpres berupa pemberian
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, tidak banyak diketahui oleh publik
karena sifat ketertutupannya itu.
Ketentuan ini sudah tidak relevan dengan perkembangan dan tuntutan
zaman yang semakin mengarah pada prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
yang menuntut semua lembaga negara untuk terbuka dan akuntabel sehingga dapat
diawasi oleh rakyat. Demikian pula apabila ditinjau dari kacamata perbandingan,
advisory organs di negara-negara lain, seperti Belanda dan Amerika
Serikat, telah lama meninggalkan sistem yang tertutup dan rahasia ini.
Sebaliknya, advisory organs di
dua negara tersebut menerapkan prinsip dan semangat keterbukaan sehingga
kerja-kerja dan produk advisory yang dihasilkannya dapat diketahui
secara luas oleh publik.
[1] Vide
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan
Presiden.
[2] Jimly
Asshiddiqie, Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia,
Makalah tersedia dan dapat dibaca pada laman: http://bimoadiwicaksono.blogspot.co.id/2010/08/peningkatan-peran-dewan-pertimbangan.html,
Diakses pada tanggal 18 April 2016.
[3] Lihat
lebih lanjut mengenai tuntutan penerapan prinsip-prinsip good governance ini
dalam pelaksanaan adminitrasi pemerintahan dalam Paulus Effendie Lotulung,
“Tata Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) dalam Korelasinya dengan Hukum
Administrasi,” dalam Muhadi, editor, Hukum Administrasi dan Good Governance,
Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2015, hlm. 35-50.
[4]
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara,
Jilid 1, Edisi Revisi, Jakarta, 2010,
hlm. 699-700.
[5] Jimly
Asshiddiqie, Peningkatan Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia,
Loc. Cit.
[6] Jimly
Asshiddiqie juga pernah mengomentari dan mengkritik sifat ketertutupan dari
sidang-sidang dan substansi nasihat DPA. Kecuali perbedaan lembaga yang menjadi
objek kritik (Jimly mengkritik ketertutupan DPA dan Penulis mengkritik
ketertutupan Wantimpres), substansi kritik yang disampaikan oleh Jimly dan
penulis pada prinsipnya sama, yakni sama-sama mengkritik sifat ketertutupan
dari kedua lembaga tersebut. Untuk diketahui bahwa Jimly memberikan komentar
atau kritiknya itu pada tahun 2000 melalui sebuah makalah yang berjudul “Peningkatan
Peran Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.” Pada waktu itu memang
sedang berkembang perdebatan untuk mempertahankan atau menghapus DPA dalam
proses amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung sejak tahun 1999.
[7] Lihat
selengkapnya mengenai jenis-jenis informasi yang bersifat rahasia dan bisa
dikecualikan dari akses publik ini dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[8] Vide
Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945.
[9] Tim
Independen bentukan Presiden Jokowi yang disebut “Tim 9” ini adalah tim yang
terdiri dari para tokoh nasional lintas bidang yang ditugasi oleh Presiden
untuk mengalisis konflik KPK-Polri dan diakhir memberikan rekomendasi
langkah-langkah yang perlu diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan
konflik dua lembaga tersebut. Tim ini dibentuk secara informal oleh Presiden
tanpa melalui Keputusan Presiden atau dasar legalitas lainnya pada awal tahun
2015. Lihat berita mengenai isu ini, salah satunya misalnya Kompas, Jokowi
Bentuk Tim Atasi Kisruh KPK-Polri, edisi 25
Januari 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi.Bentuk.Tim.Atasi.Kisruh.KPK-Polri, Diakses pada tanggal 17 April 2016.
[10]
Merdeka.com., Ini alasan Jokowi bentuk tim independen, Diakses
pada tanggal 20 April 2016.
[11] Dewan
Pertimbangan Presiden atau yang disingkat Wantimpres ini menurut Jimly
Asshiddiqie adalah satu dari 34 organ konstitusi/organ yang disebut dalam
konstitusi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi, Op. Cit., hlm. 49.
[12]
Mengenai etika konstitusi (constitutional ethic) yang harus diperhatikan
oleh penyelengenggara negara di dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini bisa
dibaca lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika
Konstitusi, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 230-245.
[13] Lihat https://www.whitehouse.gov/administration/senior-leadership,
Diakses pada tanggal 20 April 2016.
[14] Vide
Council of State Act 2012, secton 1, subsection 3.
[15]
Sindiran-sindiran semacam ini pernah sangat populer di masa-masa masih berdirinya Dewan Pertimbangan Agung,
sebagai kritik dan sindirian atas eksistensi dan peran DPA yang sumir dan jauh
dari harapan rakyat sebagai lembaga tinggi negara yang diharapkan dapat
mengawal kebijakan-kebijakan Presiden melalui fungsi advisory yang
dimilikinya. Lihat mengenai hal ini dalam Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan
Pemerintahan Negara, Jilid 1, Edisi Revisi, Jakarta, 2010, hlm. 691 dan 710.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar