Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 16 September 2013

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum


Badan Hukum sebagai subjek hukum

Subjek hukum terdiri atas manusia pribadi (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Jadi disamping manusia, ada pula subjek hukum lain, yaitu badan hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Sebelum lebih lanjut membahas badan hukum sebagai subjek hukum, perlu diketahui lebih dulu apa itu badan hukum.  Pengertian badan hukum diberikan oleh dua ahli dibawah ini, yaitu:

1)      Prof. Subekti
Badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh hukum (rechtspersoon).
2)      R. Soeroso
Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerjasama dan atas dasar ini merupakan suatu kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum.
              
Dari dua pengertian badan hukum yang dikemukakan oleh kedua ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum adalah badan yang dibentuk berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku oleh sejumlah orang yang bekerjasama untuk tujuan tertentu dan dengan demikian badan itu memiliki hak dan kewajiban.
Badan hukum disebut sebagai subjek hukum karena memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu timbul dari hubungan hukum yang dilakukan oleh badan hukum tersebut. Badan hukum juga memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan anggotanya, turut serta dalam lalu lintas hukum, serta dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan.
Badan hukum sebagai subjek hukum layaknya manusia, dapat melakukan perbuatan hukum seperti mengdakan perjanjian, manggabungkan diri dengan perusahaan lain (merger), melakukan jual beli, dan lain sebagainya. Dengan demikian badan hukum diakui keberadaannya sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum) karena turut serta dalam lalu lintas hukum.
Badan hukum tidak lain adalah badan yang diciptakan oleh manusia dan tidak berjiwa. Oleh sebab itu dalam melaksanakan perbuatan hukumnya, badan hukum diwakili oleh pengurus atau anggotanya.
Untuk dapat ikut serta dalam lalu lintas hukum dan diakui sebagai subjek hukum, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh badan hukum. Syarat-syarat tersebut adalah:
1)      Dibentuk dan didirikan secara resmi sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur perihal pembentukan/pendirian badan hukum. Syarat pembentukan badan hukum ini sesuai dengan bentuk/jenis badan hukum yang akan didirikan. Syarat pembentukan badan hukum ini berbeda antara satu bentuk/jenis badan hukum dengan bentuk/jenis badan hukum yang lain. Contoh: syarat/cara pembentukan badan hukum  partai politik berbeda dengan syarat/cara pembentukan badan hukum perseroan terbatas (PT). Syarat/cara pembentukan kedua jenis badan hukum itu diatur dalam undang-undang yang berbeda dan dengan prosedur yang berbeda pula.
2)      Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan anggotanya.
3)      Hak dan kewajiban hukum yang terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.

Dalam hukum dikenal adanya dua macam badan hukum, yaitu:
1)      Badan hukum publik: yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik dan bergerak di bidang publik/yang menyangkut kepentingan umum. Badan hukum ini merupakan  badan negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi untuk itu. Contoh:
a.    Negara Indonesia, dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945
b.   Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, dasarnya adalah Pasal 18, 18 A, dan 18 B UUD 1945 dan kemudian dielaborasi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda ini telah dirubah sebanyak dua kali)
c.    Badan Usaha Milik Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
d.   Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971

2)      Badan Hukum Privat; yaitu badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum perdata dan beregrak di bidang privat/yang menyangkut kepentingan orang perorang. Badan hukum ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu, seperti mencari laba, sosial/kemasyarakatan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain sebagainya. Contoh:
a.       Perseroan terbatas (PT), pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
b.      Koperasi, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi
c.       Partai Politik, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perpol jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.

Berkenaan dengan badan hukum, terdapat beberapa teori yang dikemukakan para ahli tentang badan hukum, yaitu:
1)      Teori fiksi
Badan hukum di anggap buatan negara saja, sebenarmya badan hukum itu tidak ada, hanya orang menghidupkan bayangannya sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini di kemukakan F. Carl Von Savigny.

2)      Teori harta kekayaan bertujuan (Doel vermogenstheorie)
Hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Adanya badan hukum di beri kedudukan sebagai orang disebabkan badan ini mempunyai hak dan kewajiban, yaitu hak atas harta kekayaan dan dengannya itu memenuhi kewajiban-kewajiban kepada pihak ke tiga. Penganut teori ini ialah Brinz dan Van der Heijden dari Belanda.

3)      Teori organ (Organnen theory)
Badan hukum ialah sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam pergaulan yang mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat-alatnya (organ) yang ada padanya (pengurusnya). Jadi bukanlah sesuatu fiksi tapi merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari konstruksi yuridis. Teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke dan Z. E. Polano.

4)      Teori milik bersama (Propriete collectif theory)
Hak dan kewajiban pada badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota secara bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama para anggota. Pengikut teori ini adalah Star Busmann dan Kranenburg.

5)      Teori kenyataan yuridis (Juridische realiteitsleer)
Badan hukum merupakan suatu realitet, konkret, riil, walaupun tidak bisa di raba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori ini di kemukakan oleh Mejers.



Prolegnas (Selayang Pandang)

 PROLEGNAS

Salah satu materi yang penting dalam menunjang pembangunan hukum nasional secara terencana, terpadu dan sistematis adalah perencanaan pembentukan undang-undang dalam Prolegnas.[1]
Program legislasi nasional sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang merupakan salah satu elemen penting dalam kerangka pembangunan hukum, khususnya dalam konteks pembangunan materi hukum (legal substance).[2]
Proses pembentukan undang-undang dimulai dari perencanaan, yaitu melalui Prolegnas. Oleh karena itu Prolegnas diharapkan menjadi pedoman dan pengendali penyusunan undang-undang yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuknya.[3]
Melalui Prolegnas, sebuah RUU dari mulai tahap perencanaannya sudah harus direncanakan dengan pertimbangan yang matang dan didukung oleh kesiapan pembentukannya, sehingga setelah disahkan dan diundangkan, undang-undang tersebut benar-benar dapat dioperasionalkan karena tidak mengandung kontradiksi, baik terhadap peraturan perundang-undangan yang lain maupun dengan kenyataan sosial di masyarakat (social wirkelijkheid).
Demikian pentingnya Prolegnas dalam pranata pembentukan peraturan perundang-undangan, maka sejak berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 dan yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011, Prolegnas ditetapkan menjadi salah satu syarat atau proses yang wajib dilalui dalam pembentukan suatu undang-undang.[4] Hal tersebut dapat dilihat pada bunyi pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011 yang menegaskan bahwa “Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas.”
Definisi yuridis daripada Prolegnas itu sendiri menurut UU No. 12 Tahun 2011 adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secaraterencana, terpadu, dan sistematis.[5]
Instrumen Perencanaan Pembentukan Undang-undang
Merujuk pada pengertian Prolegnas sebagaimana yang didefinisikan dalam UU No. 12 Tahun 2011, Prolegnas tidak lain adalah suatu instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang. Maksudnya, Prolegnas merupakan wadah dimana pembentukan suatu undang-undang direncanakan secara terencana, terpadu, dan sistematis dalam rangka pembangunan (materi) hukum nasional.
Senada dengan pernyataan diatas, Moh Mahfud M.D menyatakan bahwa:
"Prolegnas adalah instrumen perencanaan pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis yang memuat potret rencana hukum dalam periode tertentu disertai prosedur yang harus ditempuh dalam pembentukannya."[6] 
                                                                                                  
      Secara teknis, Prolegnas memuat daftar skala prioritas RUU yang akan dibentuk pada suatu periode tertentu. Periode tersebut ada yang 5 tahun, yang disebut sebagai Prolegnas jangka menengah atau lima tahunan dan ada juga untuk periode 1 tahun, yang disebut sebagai Prolegnas prioritas tahunan. Prolegnas 5 tahunan tersebut pada pelaksanaannya dipenggal-penggal menjadi prioritas tahunan atau Prolegnas tahunan.Prolegnas 5 tahunan itu dapat dievaluasi atau disesuaikan dengan perkembangan setiap tahunnya bersamaan dengan ditetapkannya Prolegnas tahunan.
Dalam daftar tersebut, dimuat judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Yang dimaksud dengan materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yakni adalah keterangan mengenai konsepsi RUU yang terdiri dari:
                 a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
                 b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
                 c. jangkauan dan arah pengaturan.[7]
Untuk RUU yang sudah ada naskah akademiknya maka naskah akademik tersebut disertakan juga dalam Prolegnas sebagai dokumen penunjang bagi RUU yang bersangkutan.[8]
Adapun Prolegnas sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang bertujuan agar adanya suatu perencanaan yang matang dan mendalam dalam pembentukan undang-undang, sehingga undang-undang yang dihasilkan kemudian adalah undang-undang yang berkualitas, sinkron dengan peraturan lainnya, serta efektif dalam pelaksanaannya.[9]


[1] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 48.
[2] Ahmad Yani, Pembentukan Undang-Undang & Perda, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 29
[3] Andi Matalata dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional, Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN, BPHN, Jakarta, 2008, hlm 6.
[4]Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pembentukan undang-undang dilakukan dengan tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Prolegnas merupakan salah satu proses pembentukan undang-undang pada tahap perencanaan, dimana suatu undang-undang yang akan dibentuk harus direncanakan terlebih dahulu dalam Prolegnas.
[5] Vide Pasal 1 angka 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[6] Mahfud M.D, Permasalahan Aktual Koordinasi Prolegnas, Makalah Disampaikan pada Lokakarya 30 Tahun Prolegnas oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 19-21 November 2007.
[7] Vide pasal 19 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[8]Berdasarkan pasal 106 ayat (9) Peraturan DPR RI No.1/DPR RI/2009 tentang Tata Tertib, naskah akademik menjadi salah satu dasar penyusunan skala prioritas suatu RUU dalam Prolegnas. Artinya apabila RUU yang diusulkan dilengkapi dengan NA maka RUU tersebut akan mempunyai skala prioritas yang utama di dalam Prolegnas dibanding dengan RUU yang tidak dilengkapi NA.
[9] Lihat juga tujuan Prolegnas menurut Sunaryati dalam Makalahnya, Program Legislasi Nasional antara Kenyataan dan Harapan, Makalah Disampaikan pada Lokakarya 30 Tahun Prolegnas oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 19-21 November 2007.