Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 10 November 2015

Bela Negara Amanat Konstitusi



Hari-hari ini kita dihadapkan pada kontroversi soal program bela negara yang digagas oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Meskipun baru sekedar gagasan tapi sontak saja isu ini menuai reaksi yang beragam dari masyarakat. Ada kalangan yang mendukungnya dan tentu saja tidak sedikit juga yang menentangnya.
Dari beragam respon yang mengemuka, entah karena sikap a priori yang sudah terlanjur tidak menyukai program ini atau karena kurangnya penjelasan dari pihak Kemenhan, muncul pemahaman yang keliru di tengah masyarakat. Program bela negara yang digagas oleh Kemenhan ditafsirkan oleh sementara pihak sebagai wajib militer.
Perlu diluruskan disini bahwa program bela negara yang digagas oleh Kemenhan bukanlah wajib militer (Wamil). Sebagaimana telah disampaikan secara luas oleh Kemenhan, program bela negara yang dimaksud dalam hal ini hanyalah sebatas program pendidikan dan pelatihan yang bersifat kognitif (pengetahuan) dan psikis (mentalitas). Jika pun ada kegiatan fisik maka sifatnya hanya sebatas olah jasmani saja.
Jadi jelaslah bahwa program bela negara yang digagas oleh Kemenhan bukan wajib militer sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Israel. Sehingga tidak perlu dibayangkan bahwa program ini akan “memaksa” warga negara untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan militer secara reguler dan menempatkannya di satuan-satuan militer. Pemahaman yang demikian adalah keliru dan sudah seharusnya diluruskan.
Amanat Konstitusi
Penting untuk diketahui bahwa doktrin bela negara merupakan doktrin yang telah diterima dan dianut oleh semua negara di seluruh penjuru dunia. Saking fundamentalnya doktrin bela negara ini bagi kelangsungan suatu bangsa, maka tidak mengherankan jika doktrin ini dicantumkan dan diamanatkan oleh hampir semua konstitusi negara-negara di dunia (tentu saja dengan redaksi dan penekanan yang berbeda-beda).
Negara-negara yang dapat disebut dan dijadikan contoh dalam hal ini antara lain Amerika Serikat, Jerman, dan Singapura. Bahkan doktrin bela negara ini pun tetap dianut oleh negara yang secara formal melarang adanya angkatan bersenjata (militer), seperti Kosta Rika.
Di Amerika Serikat, doktrin bela negara ini diletakan dilevel tertinggi dengan mencantumkannya dalam Pembukaan Konstitusi yang berbunyi “Kami Rakyat Amerika Serikat, agar dapat membentuk suatu Perserikatan yang lebih sempurna ... menetapkan pertahanan secara bersama-sama ... dan mengamankan berkah kemerdekaan bagi diri kita dan keturunan.”
Sementara di Jerman, pengaturan dan pengorganisasian bela negara diatur secara rinci melalui Pasal 12a Konstitusinya, baik melalui lembaga wajib militer maupun alternatif layanan sipil lainnya selain wajib militer.
Fakta yang mengesankan dari fenomena global ini ialah apa yang terjadi di Kosta Rika. Pasal 18 Konstitusi Kosta Rika secara tegas menyatakan bahwa seluruh warga negara Kosta Rika wajib mempertahankan tanah airnya (fatherland). Padahal negara tersebut tegas-tegas melarang adanya organisasi militer yang permanen. Tetapi kenyataan menunjukan doktrin bela negara tetap dianut oleh Kosta Rika.
Di Indonesia, bela negara telah diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 30 ayat 1). Ketentuan bela negara yang tercantum dalam UUD itu pada pokoknya berbunyi “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Berdasarkan ketentuan tersebut jelas lah bahwa bela negara merupakan hak sekaligus kewajiban konstitusional dari tiap-tiap Warga Negara Indonesia. Hal ini semakin membuktikan bahwa doktrin bela negara telah diterima dan diadopsi dimana-mana, karena pada doktrin inilah terletak jaminan kelangsungan hidup suatu bangsa. Tanpa adanya kewajiban dan kesediaan bela negara, sesungguhnya bangsa itu adalah bangsa yang rapuh.
Namun demikian harus diakui bahwa konsep bela negara yang termaktub dalam UUD 1945 itu masih amat sumir. Undang-Undang Dasar tidak menjelaskan lebih detail mengenai apa yang dimaksud dengan bela negara dan bagaimana implementasinya. Atas dasar itulah maka pembuat undang-undang kemudian mencoba merumuskan konsep bela negara ini melalui UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Menurut Pasal 9 UU tersebut, penyelenggaraan bela negara dilakukan melalui kegiatan/program: (a) pendidikan kewarganegaraan; (b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; (c) menjadi anggota TNI, baik secara sukarela ataupun wajib (wajib militer); (d) pengabdian sesuai profesi yang berkaitan dengan pertahanan negara.
Oleh karena ketentuan mengenai bela negara ini telah ada garis hukumnya dalam UU No. 3/2002 (meskipun masih sangat terbatas), maka jika pemerintah ingin melembagakan atau menghidupkan program bela negara, pemerintah harus berpedoman pada aturan yang telah ada (UU No. 3 Tahun 2002). Harus jelas program bela negara yang mana yang akan dihidupkan.
Pilihan Sikap dan Catatan Kritis
Kenyataan adanya kewajiban bela negara ini tidak perlu terlalu dirisaukan, karena hal demikian sudah merupakan kebutuhan kita sebagai sebuah bangsa. Jika bangsa ini kuat dan kokoh maka manfaatnya pasti akan berpulang pada kita juga sebagai sebuah bangsa. Seperti dikatakan oleh Ir. Soekarno “... strenghen ourselves, because only a nation who strengthens itself can become a strong country (dalam Chappy Hakim, 2011: 108).
Lagipula tuntutan ini tidak saja berlaku di Indonesia, melainkan berlaku juga di semua negara. Bahkan di beberapa negara lain, kewajiban bela negara ini telah mencapai taraf yang demikian tinggi dan boleh dikatakan menuntut pengorbanan hidup-matinya seorang warga negara, misalnya melalui program wajib militer dan penugasan di medan tempur.
Meskipun demikian, bukan berarti setiap upaya atau bentuk-bentuk pembelaan negara yang diorganisir oleh pemerintah bisa dilakukan dengan semau-maunya. Pengejawantahan prinsip bela negara ini, dalam bentuk apa pun, hanya bisa dilakukan diatas landasan dan prosedur yang sah.
Berkenaan dengan program bela negara yang digagas oleh Kemhan, maka program yang akan diwajibkan bagi seluruh WNI itu harus mempunyai landasan dan pedoman yuridis yang jelas. Untuk tujuan ini maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan dan membentuk undang-undang yang akan mengatur hal ihwal bela negara terlebih dahulu sebelum program itu dijalankan. Sebab undang-undang yang ada saat ini, yaitu UU No. 3/2002, sangat tidak memadai untuk dijadikan landasan yuridis penyelenggaraan program bela negara karena hanya mengatur soal bela negara secara sepintas lalu saja.
Jika undang-undang dan instrumen hukum yang akan mengatur soal penyelenggaraan bela negara itu sudah dibuat dan siap dioperasikan, maka menurut hemat penulis tidak ada lagi alasan untuk menolak hak dan kewajiban konstitusional untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Kita harus mulai membangun kesadaran dan konsensus nasional bahwa bela negara bukan saja merupakan kewajiban, melainkan juga suatu hak dan kehormatan bagi tiap-tiap warga negara yang mencintai tanah airnya.
Sebagaimana dikatakan oleh mendiang Presiden AS, John F. Kennedy dalam pidato pelantikannya yang amat sangat terkenal “Jangan tanya apa bisa diberikan negara untukmu, tanyalah apa yang kau berikan untuk negaramu !”

Notes: Tulisan ini telah dimuat di kolom Opini Tribun Jabar Edisi 21Oktober 2015.

Senin, 12 Oktober 2015

Pengadilan HAM Ad Hoc atas Kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat 1999



Latar Belakang Pembentukan
Setelah terjadinya transisi politik di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998 dengan tumbangnya rezim orde baru dan dimulainya era reformasi, isu mengenai hak asasi manusia menjadi salah satu isu sentral pada hari-hari itu. Salah satu kepingan isu tersebut ialah tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu.
Akan tetapi pada kenyataanya, antara tuntutan dan respon dari pemerintah dalam menjawab tuntutan itu menunjukan hasil yang kurang menggembirakan. Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia masih terkesan lamban, diskriminatif, dan belum tuntas sementara praktek-praktek pelanggaran HAM tetap berlangsung bahkan seringkali terjadi penyalahgunaan upaya penegakan hak asasi manusia.[1]
Sehubungan dengan penilaian tersebut maka kemudian MPR menugaskan Presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia secara serius dan adil.[2]
Menindaklanjuti amanat MPR tersebut kemudian dibentuklah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Melalui Pasal 104-nya, UU No. 39 Tahun 1999 itu mengamanatkan Pembentukan UU tentang Pengadilan HAM sebagai tempat mengadili kejahatan-kejahatan serius terhadap HAM.[3]
Menindaklanjuti amanat Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 dan dalam rangka menjawab tuntutuan akan penyelesaian sejumlah kasus pelangagran berat HAM yang terjadi ketika itu, khususnya kasus Timor Timur, maka Presiden ketika itu mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Namun sayangnya Perpu tersebut tidak sempat dilaksanakan karena ditolak oleh DPR dengan alasan isinya dianggap tidak memadai.[4] Sebagai penggantinya, ditengah-tengah desakan yang luar biasa kencangnya, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional untuk mengadili dugaan pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat, Presiden dan DPR akhirnya berhasil mengesahkan UU No. 26 Tahun  2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut secara resmi menggantikan dan mencabut Perpu No.1 Tahun 1999 yang telah ditolak oleh DPR.[5]
Sebagai pengejawantahan ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang “memerintahkan” pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kejahatan berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu (sebelum diundanglannya UU No. 26 Tahun 2000), pada tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerbitkan Keppres No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Isi daripada Keppres tersebut ialah mengenai kewenangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat untuk memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999 dan kasus Tanjung Priok tahun 1984.
Ketika terjadi pergantian Presiden dari Gus Dur ke Megawati Soekarno Putri, Keppres No. 53 Tahun 2001 yang belum sempat dioperasionalkan itu di revisi dengan  diterbitkannya Keppres No. 96 tahun 2001. Pada prinsipnya Keppres yang baru tersebut hanya menegaskan dan menyempurnakan perihal locus dan tempus delicti pelanggaran berat HAM yang akan diadili oleh Pengadilan Ad Hoc Jakarta Pusat.[6]
Dengan perangkat hukum seperti yang telah disebutkan diatas maka kemudian dimulailah proses peradilan atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999 oleh Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat.
Secara umum, proses atau latar belakang pembentukan Pengadilan Ad Hoc Jakarta Pusat untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timor Timur pada 1999 dapat dirunutkan sebagai berikut:
1.      Keppres No. 770/TUA/IX/99 juncto Keppres No. 797/TUA/X/99 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (disingkat KPP-HAM Timtim);[7]
2.     Perpu 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian ditolak oleh DPR dan dicabut serta diganti dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
3.      Keppres No. 53 Tahun 2001 juncto Keppres No. 96 Tahun 2001 (Perubahan) tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
4.   Kepress No. 6/M/2002 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hak Asasi Manusia.[8]
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan KPP-HAM Timtim yang dilaporkan pada tanggal 31 Januari 2000, disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timtim yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan paksa serta tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap penduduk sipil. Dalam laporan tersebut juga ditemukan fakta bahwa menurut KPP-HAM Timtim, selain Jenderal Wiranto, terdapat pula sejumlah nama yang berjumlah 33 orang yang diduga keras terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timtim pada periode tahun 1999.[9]
Berdasarkan laporan KPP-HAM Timtim itu maka dibentuklah Pengadilan HAM ad. hoc untuk Kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat melalui Keppres No. 53 Tahun 2001 juncto Keppres No. 96 Tahun 2001 (Perubahan) tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[10]
Yurisdiksinya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kasus Timor Timur
Sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 dan Keppres No. 53 Tahun 2001 jo Keppres No. 96 Tahun 2001, Yurisdiksi Pengadilan HAM ad hoc ini hanya meliputi pelanggaran berat HAM yang mencakup genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang locus dan tempus delictinya dibatasi hanya pada kejahatan yang terjadi di Timor Timur (Liquica, Dili, dan Suai,) pada bulan April dan September 1999.[11]
Persidangan dan Putusan
Dari 34 nama yang direkomendasikan oleh KPP-HAM Timtim untum disidik oleh Jaksa Agung, hanya 18 orang yang kemudian dibawa dan diadili di hadapan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat tahun 2002. Dari nama-nama yang diadili tersebut ternyata nama Jenderal Wiranto tidak termasuk diantaranya.
Dari 18 orang yang diadili di Pengadilan HAM itu pada akhirnya, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun PK, mendapat vonis bebas.[12]
Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan tabel yang berisi: (1) nama-nama yang direkomendasikan oleh KPP-HAM Timtim untuk disidik oleh Jaksa Agung; dan (2) nama-nama terdakwa dan kapasitas/jabatannya (ketika itu), serta putusan terhadap kasusnya:
Tabel 1
Nama-Nama yang Direkomendasikan oleh KPP-HAM Timtim kepada Jaksa Agung untuk Disidik[13]
No.
Nama
Jabatan
1.
Jenderal Wiranto
Panglima TNI
2.
Abilio Jose Osorio Soare
Gubernur Timor Timur
3.
Brigjen Pol. Timbul Silaen
Kapolda Timor Timur (1998-1999)
4.
Letkol TNI Endar Priyanto
Dandim 1627 Dili (1997- Agustus 1999)
5.
Letkol. Soedjarwo
Dandim 1627 Dili (Agustus 2000-Maret 2000
6.
Eurico Gueterres
Komandan Milisi Aitarak dan Wakil Komandan Pasukan Pejuang Integrasi
7.
Mayjen TNI Adam Rachmat Damiri
Pangdam Udayana
8.
Brigjen TNI Suhartono Suratman
Danrem 164 Wiradarma Dili (1998-Agustus 1999)
9.
Kolonel TNI M. Nur Muis
Danrem 164 Wiradarma Dili (Agustus 1999-Maret 2000)
10.
Letkol TNI Yayat Sudrajat
Komandan Satgab Intelejen, BKO Korem dan Satgas Kopassus Tribuana VIII Dili
11.
Letkol Pol. Hulman Gultom
Kapolres Dili
12.
Kolonel TNI Herman Sedyono
Bupati Covalima (1992-1999)
13.
Kolonel TNI Lilik Koesherdiyanto
Dandim 1635 Suai
14.
Letkol Pol. Gatot Subiaktoro
Kapolres Suai
15.
Kapten TNI Achmad Syamsudin
Kasdim 1635 Suai
16.
Lettu TNI Sugito
Danramil 1635 Covalima, Suai
17.
Letkol TNI Asep Kusnawi
Dandim 1636 Liquica
18.
Letkol Pol. Adios Salova
Kapolres Liquica
19.
Leoneto Martins
Bupati Liquica (1994-1999)
20.
Dominggus Soares
Bupati Dili
21.
Guileherme dos Santos
Bupati Bobonaro
22.
Edmundo Conceicao SIlva
Bupati Los Palos
23.
Mayjen TNI Zaki Makarim
Penasehat Keamanan
24.
Letkol TNI Burhanudin Siagian
Dandim Bobonaro
25.
Letkol TNI Sudrajat
Dandim Los Palos
26.
Kapten TNI Tatang
Komandan Kompi B Batalyon  Infanteri 744
27.
Mayor Yakraman Yagus
Komandan Batalyon Infanteri 744-Dili
28.
Mayor Jacob Sarosa
Komandan Batalyon Infanteri 745-Los Palos
29.
Lettu Sutrisno
Kasi Intel Kodim Bobonaro
30.
Lettu Jacob
Staf Kodim Liquica
31.
Olivio Moruk
Komandan Milisi Laksaur
32.
Martinus
Komandan Kompi Milisi Laksaur
33.
Manuel Sousa
Komandan Milisi Besi Merah Putih
34.
Joni Marquez
Komandan Milisi Tim Alfa

Tabel 2
Nama-Nama Terdakwa, Jabatan, dan Putusan Kasus Pelanggaran Berat HAM Timor Timur Pasca Jajak Pendapat[14]
No.
Nama
Jabatan
Putusan
Tingkat I
Tingkat Banding
Kasasi
PK
1.
Abilio Jose Osorio Soare
Gubernur Timor Timur
3 tahun
3 tahun
3 tahun
bebas
2.
Brigjen Pol. Timbul Silaen
Kapolda Timor Timur (1998-1999)
bebas
bebas
bebas
-
3.
Letkol TNI Endar Priyanto
Dandim 1627 Dili (1997- Agustus 1999)
bebas
bebas
bebas
-
4.
Letkol. Soedjarwo
Dandim 1627 Dili (Agustus 2000-Maret 2000
5 tahun
bebas
bebas
-
5.
Eurico Gueterres
Komandan Milisi Aitarak dan Wakil Komandan Pasukan Pejuang Integrasi
10 tahun
5 tahun
5 tahun
bebas
6.
Mayjen TNI Adam Rachmat Damiri
Pangdam Udayana
3 tahun
Bebas
-
-
7.
Brigjen TNI Suhartono Suratman
Danrem 164 Wiradarma Dili (1998-Agustus 1999)
bebas
bebas
bebas
-
8.
Kolonel TNI M. Nur Muis
Danrem 164 Wiradarma Dili (Agustus 1999-Maret 2000)
5 tahun
bebas
bebas
-
9.
Letkol TNI Yayat Sudrajat
Komandan Satgab Intelejen, BKO Korem dan Satgas Kopassus Tribuana VIII Dili
bebas
bebas
Bebas
-
10.
Letkol Pol. Hulman Gultom
Kapolres Dili
3 tahun
bebas
bebas
-
11.
Kolonel TNI Herman Sedyono
Bupati Covalima (1992-1999)
bebas
bebas
bebas
-
12.
Kolone; TNI Lilik Koesherdiyanto
Dandim 1635 Suai
bebas
bebas
bebas
-
13.
Letkol Pol. Gatot Subiaktoro
Kapolres Suai
bebas
bebas
bebas
-
14.
Kapten TNI Achmad Syamsudin
Kasdim 1635 Suai
bebas
bebas
bebas
-
15.
Lettu TNI Sugito
Danramil 1635 Covalima, Suai
bebas
bebas
bebas
-
16.
Letkol TNI Asep Kusnawi
Dandim 1636 Liquica
bebas
bebas
bebas
-
17.
Letkol Pol. Adios Salova
Kapolres Liquica
bebas
bebas
bebas
-
18.
Leoneto Martins
Bupati Liquica
bebas
bebas
bebas
-

Diantara kedelapan belas terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc itu terdapat dua kasus yang (menurut peneliti) paling menarik perhatian, yaitu kasus dengan terdakwa Mayjen Adam Rahmat Damiri dan Euricco Guterres.
Kasus Mayjen Adam Rachmat Damiri
Adam Rahmat Damiri adalah Panglima Daerah Militer (Pangdam) Udayana yang wilayah teritorialnya meliputi  Timor Timor ketika terjadi kekerasan pasca referendum di wilayah itu pada tahun 1999.
Kasus Mayjen Adam Rahmat Damiri (selanjutnya disebut Rahmat Damiri) merupakan kasus yang dapat dikatakan paling kontroversial diantara kasus yang lain dalam Pengadilan HAM Ad Hoc. Hal itu disebabkan karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut (requisitoir) Rahmat Damiri dengan tuntutan bebas setelah JPU merasa dakwaannya kepada Rahmat Damiri tidak dapat dibuktikan. Namun Majelis Hakim yang mengadili Rahmat Damiri menjatuhkan pidana 3 tahun penjara terhadap Damiri. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc kemudian mengabulkan permohonan Damiri dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga Rahmat Damiri divonis bebas dari segala dakwaan JPU.[15]
Kasus Eurico Guterres
Kasus Eurico Guterres menarik perhatian karena setidak-tidaknya dilihat dari dua aspek. Pertama, Eurico Guterres memegang peranan penting dalam sejarah pergolakan/kekerasan di Timor Timur, khususnya menjelang dan setelah referendum terkait posisinya sebagai Komandam Milisi Aitarak dan sekaligus Wakil Panglima Pejuang Pro Integrasi. Kedua, Eurico Guterres adalah terdakwa dengan vonis terberat diantara 17 terdakwa lainnya dan harus berjuang hingga PK ke Mahkamah Agung baru kemudia ia mendapat vonis bebas dari MA pada tahun 2008. Vonis bebasnya pada tahun 2008 oleh MA di tingkat PK menyempurnakan daftar vonis bebas seluruh terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada Pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama, Guterres dijatuhi pidana 10 tahun. Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc kemudian membatalkan putusan tingkat pertama dan meringankan hukuman Guterres dari 10 tahun penjara menjadi 5 tahun. Menariknya, Putusan kasasi atas kasusnya kembali menguatkan putusan tingkat pertama dan membatalkan putusan tingkat banding sehingga Guterres dijatuhi hukum 10 tahun penjara oleh MA pada 13 Maret 2006. Tidak menyerah sampai kasasi, Guterres kemudian mengajukan PK kepada MA pada tahun 2007 dan akhirnya setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang MA kemudian menjatuhkan vonis bebas atas Eurico Guterres pada 14 Maret 2008.[16]
Refleksi Kritis
Catatan kritis yang dapat Penulis berikan terhadap Pengadilan HAM ad.hoc untuk Kasus Timor Timur pasca Jajak Pendapat antara lain:
Pertama, dilihat dari latar historis pembentukannya, Pengadilan HAM a.d hoc untuk Kasus Timtim lahir atas desakan dan tuntutan baik yang datang dari dalam negeri maupun dari dunia internasional atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Timtim menjelang dan setelah diadakannya jajak pendapat di Timtim pada tanggal 30 Agustus 1999.[17]
Desakan yang datang dari dunia internasional itu antara lain dapat dilihat dari dikeluarkannya Resolusi DK PBB No. 1264 tanggal 15 September 1999. Resolusi DK PBB terseut pada pokoknya berisi desakan kepada Pemerintah RI untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas serangkaian kasus kekerasan yang terjadi di Timor Timur tahun 1999 melalui Pengadilan HAM.[18]
Namun begitu langkah yang diambil pemerintah ini, terepas dari segala kekurangannya, patut diapresiasi. Inilah Pengadilan HAM (walaupun bersifat ad. hoc) yang dalam sejarah perkembangan HAM di Indonesia tercatat sebagai yang pertama. Upaya untuk membawa dugaan kasus pelanggaran berat terhadap HAM melalui Pengadilan HAM ini sekurang-kurangnya menunjukan itikad dari bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk mengutuk dan tidak membiarkan (impunity) terjadinya kejahatan serius yang mengancam hak asasi manusia.
Kedua, Pengadilan HAM ad. hoc ini di dalam perjalanannya ternyata banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan. Salah satu kritik tajam itu antara lain berkenaan dengan tidak tersentuhnya level tertinggi di jajaran ABRI, yaitu Panglima ABRI yang ketika itu dijabat oleh Wiranto. Banyak kalangan, termasuk hasil penyelidikan dan kesimpulan KPP-HAM Timtim yang menyebut nama Wiranto sebagai salah satu tokoh yang harus dimintai pertanggungjawaban dihadapan Pengadilan HAM. Namun yang perlu dijelaskan disini ialah, memang secara normatif berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, Jaksa Agung yang memegang kekuasaan penyidikan dan penuntutan dalam kasus pelanggaran berat terhadap HAM, tidak terikat oleh hasil penyelidikan atau kesimpulan dari penyelidik yang dalam hal ini KPP-HAM Timtim. Sehingga secara normatif memang Jaksa Agung dalam tahap penyidikan maupun penuntutan dapat saja tidak melaksanakan/menerima semua hasil penyeledidikan tim penyelidik.[19] Mekanisme inilah yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai salah satu kelemahan dalam hukum acara Pengadilan HAM.[20]
Ketiga, perihal bebasnya semua terdakwa yang diadili dihadapan Pengadilan HAM, baik sejak di tingkat pertama, tingkat, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK). Dalam menyoroti fakta ini penulis berdiri pada posisi yang tidak akan mengomentari apalagi mengkritik putusan bebas terhadap para terdakwa. Sebab apa pun vonnis yang dijatuhkan hakim pada Pengadilan HAM ad. hoc terhadap para terdakwa, itu sepenuhnya merupakan kemerdekaan hakim untuk menentukannya berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya.
Jadi menurut pendapat penlus, tidak lah perlu mempersoalkan putusan bebas yang diperoleh para terdakwa selama proses persidangannya dijalankan diatas mekanisme hukum yang benar, fair, dan terbuka, bukan. Apalagi jika kritik itu ditujukan seolah-olah bahwa siapa pun yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pelanggaran berat terhadap HAM yang diadili di muka Pengadilan HAM “harus” dinyatakan bersalah dan “harus” di hukum. Jika paradigma berfikirnya seperti itu maka jelas pemikiran itu sudah tidak dapat disebut sebagai pemikiran kritis lagi melainkan pemikiran yang kebablasan dan tidak dapat diterima dalam logika hukum.
Jika kita mencermati pengalaman dari praktek pengadilan-pengadilan internasional yang mengadili kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM, di dalam praktek pengadilan-pengadilan itu pun tetap saja ada diantara terdakwanya yang diputus bebas jika memang menurut penilaian hakim yang bersangkutan tidak bersalah atau tidak cukup bukti untuk menghukumnya.
Jadi kembali penulis tegaskan bahwa tidak lah perlu memperdebatkan apalagi memaksakan bahwa semua terdakwa yang diadili dihadapan Pengadilan HAM harus selalu divonnis bersalah dan dijatuhi hukuman. Yang terpenting adalah semua proses peradilannya harus dilaksanakan berdasar atas hukum yang berlaku, terbuka, dan adil. Apa pun putusan yang akan dihasilkan atau dijatuhkan, jika proses peradilannya telah dilakukan diatas prinsip-prinsip dasar itu maka niscahya publik akan dapat menerima dan menghormatinya.


[1] Vide Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2000 Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000.
[2] Idem.
[3] Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 berbunyi:
(1)     Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
(2)     Pengadilan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang- undang dalam jangka waktu paling lama 4 ( empat) tahun.
[4] Vide Konsiderans Menimbang Huruf C Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; lihat juga Satya Arinanto, Op. Cit., hlm. 18.
[5] Meskipun Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM telah ditolak oleh DPR, namun DPR sendiri tidak langsung mencabut Perpu tersebut dengan alasan untuk mengisi kekosongan hukum sampai terbentuknya undang-undang yang akan menggangtikannya. Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. Ketiga, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2011, hlm. 19.
[6] Berdasarkan Pasal 2 Keppres No. 96 Tahun 2001, Pengadilan Ham Ad Hoc Jakarta Pusat memiliki yurisdikasi terhadap pelanggaran-pelanggaran berat HAM di Timor Timur yang terjadi diwilayah hukum Liquica, Dili, Suai, yang terjadi pada bulan April 1999  dan di Tanjung Priok pada bulan September 1984.
[7] Keppres ini sendiri lahir karena ada desakan yang kuat baik dari dalam negeri maupun dunia internasional kepada Pemerintah RI ketika untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timor Timur sekitar tahun 1999 dan mengadili pelakunya di hadapan sebuah pengadilan HAM (yang ketika itu; 1999, belum terbentuk atau masih dalam usaha kearah pembentukan). Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari adanya Resolusi DK PBB No. 1264 tanggal 15 September 1999 yang pada intinya mengutuk keras aksi kekerasan di Timtim pada tahun 1999 dan mendesak agar Pemerintah RI mengadili para pelakunya melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
[8] Lihat Eddy O. S. Hiariej, Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 85.
[9] Ibid., hlm. 85-86.
[10] Keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad. Hoc di PN Jakarta Pusat itu sebetulnya meliputi juga kasus Tanjung Priok tahun 1984. Lihat juga Rhona K. M. Smith et. all., Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. Kedua, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010,  hlm. 309.
[11] Untuk Yurisdiksi Materiil Pengadilan HAM ad. hoc ini lihat Pasal 4 dan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, untuk Yurisdiksi tempat dan waktu terjadinya kejahatan lihat Pasal 2 Keputusan Presiden No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
[12] Lihat pada tabel nama-nama terdakwa pelanggaran berat HAM pada Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 88-94;
[13] Eddy O. S., Hariej, Op. Cit., hlm 86-87.
[14] Eddy O. S., Hariej, Op. Cit., hlm. 94.
[15] Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 94-101.
[16] Vide Putusan PK No. 34 PK/PID.HAM.AD HOC/2007 atas nama Pemohon PK Eurico Guterres.
[17] Lihat Wikipedia, Sejarah Timor Leste,  http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Timor_Leste, Diakses pada tanggal 5 April 2015.
[18] Lihat Andrey Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste, dan lainnya, Grasindo, Jakarta, 2005, hlm. 96-115.
[19] Vide Bab IV (Hukum Acara) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[20] Lihat Rhona K. M Smith, Op. Cit., hlm. 315.