Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 13 Januari 2020

Omnibus Law: Pengenalan, Sejarah, Perbandingan dan Peluang Penerapannya di Indonesia

I.  Pengenalan dan Pengertian Omnibus Law

Istilah Omnibus Law atau Omnibus Bill (Undang-Undang Omnibus) diambil dari bahasa latin “Omnis” yang berarti “untuk semua” atau “banyak hal.” Adapun dalam dunia hukum, kata “Omnibus” tersebut disandingkan dengan kata Law atau Bill sehingga secara harfiah dapat dimaknai sebagai satu undang-undang untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal yang berbeda-beda.
Harus diakui bahwa istilah Omnibus Law adalah istilah yang masih cukup asing dan jarang dimengerti oleh khalayak umum, sebab apa yang disebut dengan Omnibus Law itu memang adalah konsep hukum asing yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon/Common Law dan belum lagi diterapkan di Indonesia. Ramainya istilah tersebut di Indonesia boleh dikatakan baru mengemuka setelah disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat pidato pelantikannya sebagai Presiden RI untuk msa jabatannya yang kedua di hadapan sidang MPR tanggal 20 Oktober 2019. Dalam pidato tersebut Presiden memaparkan rencananya untuk membuat dua undang-undang besar, yakni Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang Pemberdayaan UMKM yang mana kedua undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu suatu undang-undang yang mewadahi berbagai subjek pengaturan yang bersifat lintas sektor dan komprehensif.[1]
Dalam Black Law Dictionary, Omnibus Bill berarti “relating to or dealing with numerous object at once; including many thing or having various purpose.”[2] Sedangkan dalam Duhaime Legal Dictionary, Omnibus Bill didefinisikan sebagai “A draft law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience.”[3]
Berdasarkan uraian pengenalan di atas maka dapat ditarik suatu garis pemahaman bahwa apa yang disebut dengan Omnibus Law atau Omnibus Bill itu adalah satu undang-undang yang berisi berbagai materi pengaturan dari berbagai bidang/sektor yang muatannya lebih banyak dan komprehensif daripada undang-undang biasa.
Dalam praktik di negara-negara yang telah menerapkannya, undang-undang yang termasuk dalam kategori Omnibus Law ini ada yang dinamai secara spesifik dengan menggunakan kata-kata Omnibus seperti misalnya Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (US) atau bisa juga dinamai tanpa menggunakan kata-kata Omnibus, tetapi cukup dilihat dari struktur dan materinya publik akan mengenalnya sebagai salah satu Omnibus Law, contohnya The Criminal Law Amendment Act 1968 (Canada).

                    II.    Sejarah dan Perbandingan Penerapan Omnibus Law di Negara Lain
Omnibus Law lahir dan dipraktekan selama lebih dari satu abad di lingkungan negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon/Common Law. Negara yang terbilang pertama sekali mengembangkan Omnibus Law ini adalah Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Dua negara tersebut mempunyai sejarah yang panjang dalam melahirkan dan memproduksi Undang-Undang Omnibus.
      A.    Amerika Serikat
Gagasan awal Omnibus Law pertama kali mengemuka pada tahun 1850 di Amerika Serikat yang kala itu sedang berada di ambang perang saudara (civil war) antara negara-negara bagian di Utara (northern states) yang menghendaki kemerdekaan budak versus negara-negara bagian di Selatan (southern states) yang bersikeras mempertahankan sistem perbudakan.[4]
Ide awal tentang pembentukan sebuah paket undang-undang yang mengatur berbagai hal sekaligus atau yang disebut Omnibus Law ini muncul dalam peristiwa bersejarah Compromise of 1850 yang diinisiasi oleh Senator Senior Henry Clay dari Kentucky dalam rangka menghindari perang saudara antara negara-negara bagian Utara dan Selatan atas sengketa hukum perbudakan di AS kala itu.  Dalam pada itu, Clay menawarkan sejumlah resolusi agar bisa mendamaikan “Utara” dan “Selatan.” Selanjutnya Senator Henry Foote dari Mississippi menyarankan agar resolusi-resolusi itu digabungkan dalam satu undang-undang saja. Saran Henry Foote itu diterima oleh Clay dan sejumlah resolusi yang sebelumnya terpisah-pisah itu akhirnya dikemas ke dalam satu Rancangan Undang-Undang yang oleh Clay dinamakan sebagai “Omnibus Bill.”[5]
Akan tetapi sayangnya, RUU Omnibus yang digagas oleh Senator Henry Clay tersebut gagal mendapat persetujuan Senat sehingga urung menjadi undang-undang. Sebaliknya, RUU tersebut kemudian dipecah menjadi 5 (lima) undang-undang yang merupakan hasil puncak dari peristiwa Compromise of 1850 yang berhasil mendamaikan dan “menunda” perang saudara antara Utara dan Selatan (setidaknya untuk satu dekade ke depan).[6]
Meskipun gagasan Omnibus Bill mengenai penyelesaian permasalahan perbudakan pada tahun 1850 itu gagal disahkan menjadi undang-undang, akan tetapi peristiwa tersebut menjadi tonggak bagi lahirnya Omnibus Bill pada tahun-tahun berikutnya di Amerika yang praktiknya masih terus dipertahankan hingga kini. Omnibus Bill yang lahir di tahun-tahun awal itu antara lain The Omnibus Act of June 1868 yang mengakui berdirinya 7 (tujuh) negara bagian di Selatan[7] dan The Omnibus Act of February 22, 1889 yang mengakui berdirinya 4 (empat) negara bagian yang baru yakni North Dakota, South Dakota, Montana dan Washington.
Hingga saat ini, praktik pembentukan Undang-Undang Omnibus masih terus dilakukan oleh Kongres AS, salah satu contohnya adalah undang-undang di bidang anggaran atau keuangan negara yang secara periodik dibuat dalam bentuk Omnibus Bill seperti Omnibus Budget Reconciliation Act of 1993. Contoh lain misalnya The Omnibus Public Land Management Act of 2009[8] dan USA PATRIOT Act 2001 (UU Anti Terorisme) yang meskipun tidak secara spesifik menggunakan nama “omnibus” tetapi masuk dalam kategori Undang-Undang Omnibus karena berisikan subjek pengaturan yang beragam secara komprehensif dari berbagai sektor.[9]
Omnibus Law cocok diterapkan dan diproduksi di AS karena memang sistem hukum dan perundang-undangan disana memungkinkan dibuatnya satu undang-undang yang berisikan banyak subjek/sektor pengaturan tanpa harus membuatnya dalam undang-undang yang terpisah-pisah sesuai domain/bidangnya. Bahkan 1 undang-undang di AS bisa digunakan untuk merubah banyak ketentuan dari banyak undang-undang yang lain. Hal ini dimungkinkan karena negara-negara Common Law umumnya tidak mengenal dan memiliki aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang tertulis dan baku seperti halnya di Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karenanya, struktur dan teknik pembentukan undang-undang di negara-negara Common Law relatif lebih fleksibel, sepanjang lembaga dan prosedur pembuatannya tidak menyimpangi konsitusi.
      B.     Kanada
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh O’Brien dan Bosch, sejarah awal Omnibus Bill di Kanada diketahui bermula pada tahun 1888 dari adanya Private Bill yang mengkonfirmasi perjanjian pemisahan 2 rel kerata api di Kanada. Dalam undang-undang tersebut diatur berbagai macam persoalan yang tidak semata-mata terbatas pada sektor transportasi kereta api melainkan juga menganai hak-hak keuangan, perpajakan, sumber daya manusia dan lain sebagainya.[10]
Omnibus Bill lain yang cukup popular sekaligus kontroversial yang dapat disebut disini adalah Criminal Law Amandement of 1967-1968 yang diintrodusir oleh Menteri Hukum Kanada saat itu, Pierre Trudeau.[11] Undang-undang tersebut memuat beberapa perubahan pada UU Kriminal sebelumnya secara sekaligus dalam satu undang-undang. Materi-matri yang diubah dalam UU tersebut antara lain, homoseks, aborsi, kontrasepsi, perjudian, kepemilikan senjata api, alkohol, penyadapan telepon, hingga penyiksaan binatang. Kesemua materi perubahan tersebut dituangkan dalam satu undang-undang.[12]
Salah satu Omnibus Bill yang terbaru yang diproduksi Parlemen Kanada adalah Jobs, Growth and Long-term Prosperity Act 2012. Undang-undang ini ditujukan untuk mengimplementasikan kebijakan anggaran pemerintah untuk tahun 2012. Sebetulnya oposisi sangat menentang RUU ini sehingga memaksa pemungutan suara di Parlemen secara marathon selama 22 jam untuk mengesahkannya. Meskipun demikian, RUU ini pada akhirnya disahkan oleh Parlemen dua bulan setelah diperkenalkan.[13]
Berbeda dengan praktik pembentukan Omnibus Law di Amerika Serikat yang relatif tidak mendapat penentangan yang tajam dan berarti, pembentukan Omnibus Law di Kanada selalu diiringi dengan penolakan dan kontroversi yang cukup tajam. Meskipun sudah sangat lama diadopsi (menurut O’Brien dan Bosch sejak tahun 1888), pembentukan Omnibus Law di Kanada masih dianggap oleh banyak orang disana sebagai wujud undang-undang yang tidak lazim dan tidak ideal karena mencakup begitu banyak subjek dari berbagai bidang dalam satu undang-undang yang besar dan gemuk.[14] Salah satu alasan penolakan terhadap Omnibus Law di Kanada ialah adanya kecenderungan Omnibus Bill digunakan oleh Pemerintahan yang anti demokrasi untuk menyelinapkan begitu banyak materi/ketentuan ke dalam satu undang-undang yang gemuk sehingga menyulitkan kontrol publik sekaligus memperkecil kesempatan perdebatan atas pasal demi pasal dari undang-undang tersebut karena materinya yang terlalu banyak sehingga sulit diamati secara teliti pasal per pasal.[15]

          III.   Wacana Pembentukan Omnibus Law di Indonesia
Meskipun pada mulanya Pemerintah merencanakan pembentukan 2 (dua) Omnibus Law yang terdiri dari UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM sebagaimana disampaikan oleh Presiden dalam pidato pelantikannya di hadapan sidang paripurna MPR (20 Oktober 2019), akan tetapi pada perkembangannya saat ini Pemerintah menyiapkan 2 draf RUU Omnibus, masing-masing RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Fasilitasi Perpajakan. Sedangkan untuk RUU Pemberdayaan UMKM, menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly materi muatannya akan dimasukan ke dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (tidak dituangkan dalam undang-undang tersendiri).[16]
Hingga tulisan ini dibuat,[17] posisi kedua RUU Omnibus inisiatif Pemerintah tersebut masih dalam proses penyusunan dan penyempurnaan draf RUU di Kementerian Hukum dan HAM. Menurut rencana, kedua RUU Omnibus tersebut akan dimajukan/disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR untuk masuk ke tahap Pembahasan setelah terlebih dahulu dimasukan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada bulan Januari tahun ini.[18]
Tujuan dan sasaran utama yang hendak dicapai oleh Pemerintah melalui 2 Undang-Undang Omnibus tersebut tidak lain adalah penyederhaan kendala regulasi dan iklim investasi yang berbelit dan panjang. Melalui 2 Omnibus Law tersebut, aturan hukum di bidang ekonomi yang begitu banyak dan tumpang tindih satu sama lain akan dipangkas dan disederhanakan di dalam suatu undang-undang yang akan mengatur banyak hal secara komprehensif.[19] Tujuan akhirnya tentu saja adalah untuk meningkatkan perekonomian bangsa melalui stimulans 2 Undang-Undang Omnibus yang akan memudahkan dan merangsang iklim investasi yang kondusif.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai arah pengaturan dan cakupan materi muatan dari 2 RUU Omnibus di atas, berikut uraiannya:
Tabel
Cluster/Cakupan Materi Muatan RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Fasilitasi Perpajakan[20]
No.
RUU Cipta Lapangan Kerja
RUU Fasilitasi Perpajakan
1.
Penyederhanaan perizinan tanah
Tarif PPh
2.
Persyaratan investasi
Penghapusan PPh dividen dari perusahaan dalam dan luar negeri
3.
Ketenagakerjaan
Perubahan rezim perpajakan dari world wide menjadi teritorial
4.
Kemudahan dan perlindungan UMKM
Mengurangi keringanan dari sanksi
5.
Kemudahan berusaha
Merelaksaksi hak untuk mengkreditkan pajak masukan
6.
Dukungan riset dan invoasi
Pajak bagi perusahaan digital seperti Google, Netflix, Facebook dan sebagainya
7.
Administrasi pemerintahan
Mengubah definisi bentuk usaha tetap sehingga tidak lagi berdasarkan kehadiran fisik
8.
Pengenaan sanksi
Rasionalisasi Pajak Daerah
9.
Pengendalian lahan

10.
Kemudahan proyek pemerintah

11.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)


Khusus untuk RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU tersebut menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan merevisi tidak kurang dari 82 undang-undang dan 1.194 pasal.[21] Begitu pula dengan RUU Fasilitasi Perpajakan yang akan merevisi sejumlah undang-undang di sektor perpajakan. Semua aturan tersebut akan diperbarui dan disusun dalam satu undang-undang Omnibus yang komprehensif.

IV.      Isu dan Konsekuensi Terkait Penerapan Omnibus Law
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Omnibus Law merupakan produk peradaban hukum dari negara-negara Anglo Saxon atau Common Law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Artinya, Omnibus Law adalah produk hukum asing yang berasal dari tradisi dan sistem hukum yang bisa dikatakan sangat berbeda dengan tradisi dan sistem hukum yang kita anut selama ini.
Oleh sebab itu dibutuhkan kecermatan dan pendalaman yang sungguh-sungguh sebelum bangsa ini benar-benar mengambil pilihan politik hukumnya untuk mengadopsi pembentukan sebuah undang-undang dengan model Omnibus (satu undang-undang memuat banyak subjek pengaturan dari lintas sektor, termasuk menggabungkan materi pengaturan baru, perubahan dan pencabutan beberapa undang-undang lain). Sebab pembentukan sebuah undang-undang dengan menggunakan model/teknik Omnibus ini bukan lah pekerjaan yang sederhana, melainkan pekerjaan yang rumit dan kompleks karena Pemerintah dan DPR harus menyusun sebuah undang-undang yang “gemuk dan besar” yang mencakup berbagai hal dari berbagai sector.
Untuk itu ada beberapa hal atau catatan yang penting kiranya untuk diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR dalam rangka pembentukan Omnibus Law ini, antara lain:
     A.    Legalitas atau Kesesuaian Omnibus Law terhadap Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia
Isu ini menjadi sangat penting dan bahkan menurut hemat penulis merupakan isu pertama yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR dalam upayanya membentuk 2 (dua) undang-undang Omnibus (UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Fasilitasi Perpajakan).
Sebelum berbicara tentang isi (materi) dari undang-undang Omnibus yang tentu saja akan memancing perdebatan yang tajam, Pemerintah terlebih dahulu harus memastikan legalitas atau kesesuaian (dari aspek formil) Omnibus Law dengan aturan hukum yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memastikan apakah Omnibus Law tersebut mempunyai tempat dalam sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Apa yang disebut dengan “Omnibus Law” sesungguhnya adalah suatu teknik dan bentuk dari sebuah undang-undang yang bersifat khas (berbeda dari undang-undang pada umumnya), yakni undang-undang yang berisikan beragam bidang pengaturan dengan menggabungkan antara materi pengaturan baru, perubahan, serta pencabutan berbagai undang-undang secara sekaligus di dalam satu undang-undang.[22] Karenanya gagasan pembentukan Omnibus Law ini tidak akan bisa dilepaskan dari jangkauan pengaturan UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 (UU P3), khususnya menyangkut pertanyaan “apakah secara formil (dilihat dari teknik dan bentuknya) Omnibus Law ini kompatibel dan legal untuk diadopsi di Indonesia menurut UU P3?”
Setiap peraturan perundang-undangan harus dibentuk melalui tata cara dan teknik pembentukan yang telah ditetapkan secara baku dalam UU P3 untuk memastikan legalitasnya dari segi formil. Jika tidak, maka peraturan yang dimaksud bisa menjadi objek pembatalan melalui uji formil (formal judicial review) oleh lembaga kehakiman[23] karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU P3.[24] Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2011:
Pasal 64
Ayat (1)
Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Jika mengacu pada UU P3, khususnya mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut, lebih khusus lagi mengenai teknik perubahan undang-undang, maka akan nampak dengan cukup jelas bahwa Undang-Undang Omnibus yang mengatur banyak materi dari banyak bidang, termasuk memuat pencabutan dan perubahan terhadap berbagai undang-undang yang telah ada sebelumnya dengan mengemasnya dalam satu undang-undang, tidak sesuai dan tidak dikenal dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011, tepatnya pada Lampiran II tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangan-Undangan, Bab II (Hal-Hal Khusus), Huruf D (Perubahan Peraturan Perundang-undangan). Sebab menurut aturan tersebut, perubahan suatu undang-undang harus dituangkan dalam satu undang-undang yang khusus mengatur tentang perubahan undang-undang yang dimaksud.[25] Contoh: UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.
Dengan kata lain, menurut teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut tidak bisa beberapa undang-undang diubah secara sekaligus dengan satu undang-undang, terlebih dalam undang-undang tersebut dimuat pula materi pegaturan yang baru dan ada juga pencabutan berbagai undang-undang yang lain. Sedangkan dalam Omnibus Law, baik UU Cipta Lapangan Kerja maupun UU Fasilitasi Perpajakan, keduanya menggabungkan secara bersamaan materi-materi pengaturan baru, pencabutan serta perubahan beberapa undang-undang di dalam satu undang-undang.
Keadaan tersebut jika ditinjau dengan menggunakan sudut pandang UU P3 sebagaimana telah dijelaskan di atas maka nampak jelas bahwa Omnibus Law ini tidak sesuai dengan kaidah pembentukan undang-undang yang telah ditetapkan oleh undang-undang P3.[26]
Meskipun demikian, perlu penulis sampaikan bahwa persoalan tersebut bukan lah persoalan yang serius dan tanpa jalan keluar, sebab hanya menyangkut soal ketidaksesuaian teknik dan bentuk undang-undangnya saja. Sementara Pasal 64 ayat (3) dari UU No. 12 Tahun 2011[27] sendiri telah memberikan semacam jalan keluar untuk persoalan semacam ini dengan menyatakan bahwa Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana menjadi Lampiran II dari undang-undang tersebut bisa diubah (hanya) dengan Peraturan Presiden.[28]
 Dengan demikian maka masalah ketidaksesuaian atau tidak dikenalnya Omnibus Law dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini bisa dengan mudah diatasi, yakni cukup dangan cara Presiden menerbitkan Perpres tentang Perubahan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 yang mana Perpres tersebut akan mengakomodasi teknik penyusunan dan sistematika bagi Undang-Undang Omnibus yang mengatur banyak materi dari berbagai bidang sekaligus memuat di dalamnya klausul-klausul pencabutan dan perubahan berbagai undang-undang.
Pendapat penulis di atas sekaligus menjadi jembatan antara dua kutub pemikiran dalam menimbang legalitas Undang-Undang Omnibus terhadap UU P3. Satu kelompok menyatakan bahwa UU Omnibus tidak memiliki pertentangan apapun dengan UU P3 sehingga UU Omnibus bisa serta merta dibentuk tanpa perlu merubah UU P3 terlebih dahulu[29] sementara kelompok yang lain menilai ada ketidaksesuaian/pertentangan antara UU Omnibus dengan UU P3 sehingga diperlukan revisi terlebih dahulu terhadap UU P3 agar UU Omnibus bisa diterapkan di Indonesia.[30] Sedangkan pendapat penulis tidak berpihak pada salah satu dari dua pemikiran di atas, karena pada kenyataannya UU Omnibus memang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini berdasarkan UU P3. Akan tetapi adanya kendala/persoalan tersebut tidak mengharuskan revisi UU P3 agar UU Omnibus bisa diterapkan, melainkan cukup dengan cara Presiden menerbitkan Perpres tentang Perubahan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 seperti yang telah dijelaskan di atas.
Selain persoalan di atas, penulis tidak menemukan adanya permasalahan atau penyimpangan lainnya dari UU dengan model Omnibus ini terhadap UU P3 sehingga tidak ada permasalahan dari aspek formil apapun yang patut dikhawatirkan terkait legalitas pembentukan UU Omnibus ini.
      B.     Harmonisasi dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain
Salah satu hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh Pemerintah dalam pembentukan UU Omnibus, baik UU Cipta Lapangan Kerja maupun UU Fasilitasi Perpajakan ialah melakukan harmonisasi kedua RUU tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan isu dan materi muatan dengannya.
Hal tersebut dimaksudkan agar jangan sampai terjadi bahwa setelah UU Omnibus terbit dan berlaku masih saja ada persoalan tumpang tindih (overlapping) pengaturan atas suatu hal yang sama. Sebab untuk alasan mengatasi overlapping aturan itulah UU Omnibus ini dibentuk.[31] Untuk itu diperlukan upaya harmonisasi yang komprehensif dan teliti agar titik-titik overlapping aturan itu bisa dideteksi dan dieleminasi dengan cara “take over” aturan-aturan tersebut sehingga nantinya cukup di atur di dalam UU Omnibus itu saja.
     C.    Memperhatikan Aspirasi dan Prinsip Otonomi Daerah
Salah satu perubahan yang dihasilkan dari proses reformasi social dan reformasi (amandemen) konstitusi pasca tumbangnya orde baru pada tahun 1998 ialah menguatnya peran serta dan kewenangan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri (dalam bingkai NKRI) yang lebih populer disebut dengan istilah “Otonomi Daerah.”
Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 hasil amandemen telah meletakan landasan konstitusional yang cukup kuat bagi tumbuh dan berkembangnya Otonomi Daerah di bawah naungan bentuk negara kesatuan yang mengakhiri periode panjang era sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat sepanjang Orde Lama dan Orde Baru. Karenanya jangan sampai terjadi UU Omnibus (dengan alasan penyederhanaan birokrasi, regulasi dan perizinan) menjadi alat atau pendulum yang menarik bandul otonomi daerah kembali ke era sentralisasi kekuasaan seperti di masa yang lalu.
Undang-Undang Omnibus tidak boleh digunakan sebagai alat yang akan munjustifikasi penarikan/pengambilalihan kekuasaan dari daerah kepada pusat. Pemerintah Pusat dengan agendanya untuk menyederhanakan regulasi dan memudahkan investasi melalui pembentukan 2 UU Omnibus (Cipta Lapangan Kerja dan Fasilitasi Perpajakan) harus tetap memperhatikan dan menghormati kewenangan Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan oleh UUD dan Undang-Undang. Pemerintah harus kosisten dan konsekuen bahwa pembentukan UU Omnibus ialah dalam rangka penyederhanaan regulasi, memangkas rumitnya perizinan, dan memudahkan masuknya investasi, bukan untuk memangkas dan mengambil alih kewenangan-kewenangan yang sah dan legal dari Pemerintah Daerah.[32]

[1] Hukum Online, Menyoal Ide Omnibus Law dalam Pidato Pelantikan Jokowi, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dadb8e0be9fc/menyoal-ide-omnibus-law-dalam-pidato-pelantikan-jokowi/, diakses pada tanggal 30 Desember 2019.
[2] Black Law Dictionary, 9th Edition.
[3] Duhaime Legal Dictionary, “Omnibus Bill definition”, website http://www.duhaime.org/LegalDictionary/O/ OmnibusBill.aspx, diakses pada tanggal 30 Desember 2019.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Tujuh negara bagian yang dimaksud di atas adalah Arkansas, Alabama, Florida, Georgia, Louisiana, North Carolina, South Carolina.
[8] Undang-Undang ini menetapkan jutaan hektar lahan Amerika Serikat sebagai Kawasan lindung dan sistem konservasi lanskap nasional, yang diawali karena keprihatinan terhadap perubahan iklim yang dapat mempengaruhi akses terhadap sumber daya air. Undang-Undang ini juga memuat recovery act yang diharapkan dapat menghasilkan investasi yang bermanfaat bagi perlindungan dan pemulihan ekosistem di Amerika Serikat
[9] Nama lengkap undang-undang ini adalah Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools to Restrict, Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001, yang merupakan undnag-undang anti terorisme yang mengatur berbagai materi terkait pemberantasan terorisme dalam satu undang-undang yang terpadu dan komprehensif.
[10] Louis Massicotte, Omnibus Bills in Theory and Practice, Paper dipresentasikan dalam forum “The Canadian Study of Parliament Group” 10 Oktober 2012, Quebec, Kanada, hlm. 2.
[11] Di kemudian hari, Pierre Trudeau menjadi Perdana Menteri Kanada untuk periode 1968-1979 dan 1980-1984.
[12] Ibid.
[13] Government of Canada, Justice Laws Website,  Jobs, Growth and Long-term Prosperity Act, https://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/J-0.8/, Diakses pada tanggal 31 Desember 2019.
[14] Ibid.
[15] Toronto Sun, Omnibus Bills In Hill History, https://torontosun.com/2012/06/18/omnibus-bills-in-hill-history/wcm/5b85232b-b8b4-4c9b-b5b7-9480b9821292, Diakses pada tanggal 30 Desember 2019.
[16] Kompas, Pemerintah Bakal Serahkan Draf RUU Omnibus Law ke DPR Januari 2020, https://nasional.kompas.com/read/2019/12/05/12215041/pemerintah-bakal-serahkan-draf-ruu-omnibus-law-ke-dpr-januari-2020, Diakses pada tanggal 1 Januari 2020.
[17] 3 Januari 2020.
[18] Kompas, Loc. Cit.
[19] Lihat petikan pidato pelantikan Presiden Joko Widodo di hadapan sidang Paripurna MPR RI, 20 Oktober 2019. Bisa dilihat pada Kompas, Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan Periode 2019-2024, https://nasional.kompas.com/jeo/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024, Diakses pada tanggal 1 Januari 2020.
[20] Data ini disarikan dari berbagai sumber, antara lain: Detiknews, Ini 11 Cluster Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja, https://news.detik.com/berita/d-4837745/ini-11-cluster-omnibus-law-uu-cipta-lapangan-kerja, Diakses pada tanggal 1 Januari 2020; dan Bisnis.com, RUU Omnibus Law Perpajakan, Ini 8 Poin Pentingnya, https://ekonomi.bisnis.com/read/20191122/9/1173480/ruu-omnibus-law-perpajakan-ini-8-poin-pentingnya, Diakses pada tanggal 1 Januari 2020 .
[21] Airlangga Hartato dalam Media Indonesia, 2 RUU Omnibus Law Siap Masuk DPR, https://mediaindonesia.com/read/detail/277455-2-ruu-omnibus-law-siap-masuk-dpr, Diakses pada tanggal 1 Januari 2020.
[22] Audrey O’Brien and Robert Bosc, House of Commons Procedure and Practice, 2nd. Editions, Yvon Blais, 2009, 724-725.
[23] Oleh MK untuk level UU dan oleh MA untuk level peraturan di bawah UU.
[24] Ada dua jenis pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) yang dikenal secara universal di negara-negara yang menerapkan judicial review, termasuk Indonesia, yakni uji materi (pengujian isi/subtansi suatu peraturan terhadap peraturan yang lebih tinggi untuk memastikan tidak ada pertentangan norma) dan uji formil (pengujian terhadap prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan untuk memastikan tidak ada cacat formil dalam proses pembentukannya). Lihat lebih lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 1-2
[25] Lihat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran II tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangan-Undangan, Bab II (Hal-Hal Khusus), Huruf D (Perubahan Peraturan Perundang-undangan).
[26] Permasalahan tidak sesuainya Omnibus Law  dengan kaidah/teknik pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ini juga diakui oleh Maria Farida Indrati (Ahli Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Maria Farida Indrati secara umum merasa khawatir dan tidak setuju dengan rencana pembentukan Omnibus Law yang akan membawa dampak yang sangat besar bagi Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan sistem perundangan-undangan yang berlaku saat ini. Simak selengkapnya dalam Hukum Online, Kekhawatiran Maria Farida Terkait Omnibus Law, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5de4f9c9216d0/kekhawatiran-maria-farida-terkait-omnibus-law/, Diakses pada tanggal 1 Januari 2019.
[27] Berikut bunyi lengkap ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
[28] Ketentuan ini menurut penulis sangat baik karena teknik penyusunan peraturan perundang-undangan bukan lah suatu kaidah yang bersifat fundamental sehingga harus dipertahankan secara kaku dan lagi pula teknik penyusunan peraturan perundang-undangan bisa berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan best pactice yang telah diterapkan selama ini sehingga memerlukan kelonggaran/kepraktisan untuk merevisinya agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan terkini.
[29] Ahli hukum yang termasuk dalam kelompok ini adalah Jimly Asshiddiqie. Lihat dalam Hukum Online, Omnibus Law Tak Harus Merevisi UU Pembentukan Peraturan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd6787f9f806/omnibus-law-tak-harus-merevisi-uu-pembentukan-peraturan/, Diakses pada tanggal 2 Januari 2020.
[30] Ahli hukum yang termasuk dalam kelompok ini adalah Moh. Mahfud M.D. Lihat dalam Hukum Online, Menkopolhukam: Omnibus Law Butuh Revisi UU Pembentukan Peraturan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dcbd9a089d87/menkopolhukam--omnibus-law-butuh-revisi-uu-pembentukan-peraturan/, Diakses pada tanggal 2 Januari 2020.
[31] Tempo.Co, Ihwal Pembentukan Omnibus Law, https://kolom.tempo.co/read/1287292/ihwal-pembentukan-omnibus-law, Diakses pada tanggal 2 Januari 2020.
[32] Tempo.Co, Pemerintah Pusat Diminta Libatkan Pemda Bahas Omnibus Law, https://nasional.tempo.co/read/1283986/pemerintah-pusat-diminta-libatkan-pemda-bahas-omnibus-law, Diakses pada tanggal 2 Januari 2020.