Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 18 Februari 2016

H.L.A Hart: Dari Positivisme Hukum menuju Neo Positivisme





Keberadaan positivisme hukum tidak dapat dilepaskan dari kehadiran negara modern. Sebelum abad ke 18 pikiran itu telah hadir, dan menjadi semakin kuat sejak lahrnya negara modern pada abab ke 18-20 M. Selain itu, pemikiran positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu).[1] Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Jawaban terhadap permasalahan konkrit tersebut, berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam positivisme, yakni:[2]
  1. Suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (Comte dan Spenser), bukan pula bersumber pada jiwa bangsa (Savigny) dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan mendapatkan bentuk  postifnya dari instansi yang berwenang.
  2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
  3. Isi hukum (material) diakui, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak karakteristik ilmiah dari ilmu hukum itu sendiri.
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dari hakekat hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan dunia hukum dari segala sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum tersebut. Aliran pemikiran ini hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap yang didasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem normatif yang berlaku itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan kelengkapannya, yaitu sanksi.[3] Pemikiran postivisme dapat dibagi menjadi dua: Postivisme Klasik dengan tokohnya antara lain John Austin dan Hans Kelsen dan Neo Postivisme dengan tokohnya antara lain adalah H. L. A Hart.
Berbicara tentang kritik Hart terhadap teori positivisme Austin maka tidak bisa dilepaskan dari teori positivismenya Austin itu sendiri. Karena pada dasarnya apa yang dikemukakan Hart merupakan koreksi terhadap teori Austin.
Menurut Hart, dalam melihat hukum tidak mungkin mendefinisikannya secara menyeluruh dan dapat diterima oleh semua orang.[4] Dia berargumentasi bahwa hukum dapat dimengerti dari persatuan antara peraturan-peraturan primer dan peraturan-peraturan sekunder. Persatuan ini, menurut dia, akan menjadi peraturan-peraturan sosial. Ketika melihat hukum, Hart memposisikan diri sebagai social observer of law. Dia mencoba mengerti dan menerangkan hukum dari pandangan eksternal agar terbebas dari moral. Namun dalam kenyataannya, pandangan eksternal ini hanya digunakan sebagai pengantar terhadap persoalan intinya. Beangsur-angsur pandangan eksternal itu menjadi lenyap dan digantikan sama sekali oleh pandangan internal. Dia mengatakan bahwa hukum harus dilihat “essentially from internal point of view.” Dengan demikian dia tidak konsisten. Ketika dia mengatakan internal point of view, yang dimaksud pada dasarnya adalah officials. Sedangkan yang dimaksud officials adalah pejabat peradilan, dalam hal ini adalah hakim. Di sinilah telah terjadi reduksi. Reduksi pertama mengenai sumber hukum. Hakim didudukkan sebagai pembentuk hukum. Meskipun harus berakar pada gabungan antara peraturan-peraturan primer dan sekunder, namun pada akhirnya hakim lah yang menentukan apakah peraturan primer itu valid atau tidak.
Seperti yang sudah dikemukakan diatas, dalam banyak literatur hukum, khususnya yang “ber-genre” filfasat hukum, Hart seringkali digolongkan ke dalam kelompok filsuf  yang berhaluan positivis. Namun diakui bahwa posivisme Hart sudah tidak seketat positivisme yang dianut oleh Austin dan Hans Kelsen yang betul-betul mengkonsepsikan hukum sebagai aturan normatif yang lepas dari unsur moralitas dan keadilan.[5] Dalam filsafat yang dikembangkan Austin dan Hans Kelsen bahkan ada istilah yang menyebut bahwa hukum adalah hukum, sepanjang ia dibuat oleh pihak yang berwenang, oleh karenanya ia mengikat, tidak peduli apakah ia bermoral atau tidak bermoral bahkan tidak teduli apakah ia adil atau tidak adil.
Dalam bukunya yang terkenal “The Concept of Law” Hart justru banyak mengkritik konsep hukum yang dikembangkan Austin. Salah satu kritik tajam yang diarahkan Hart pada Austin ialah perihal pemaknaan hukum yang hanya semata-mata dipersepsikan sebagai perintah (law as command) yang dilengkapi dengan ancaman sanksi. Konsep tersebut seolah-olah memandang hukum hanya dari sifat imperatifnya saja berupa keharusan-keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disertai dengan ancaman sanksi bagi yang melanggarnya. Konsep tersebut dikritik oleh Hart karena ia berpandangan bahwa hukum tidak hanya berupa perintah-perintah yang disertai dengan ancaman-ancaman sanksi bagi pelanggarnya (imperatif), hukum dapat juga berwujud peraturan yang memberikan kekuasaan pada seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau dengan kata lain dapat juga bersifat fakultatif.[6]
Konsep dua segi (imperatif dan fakultatif) dari aturan hukum yang bermula dari kritiknya terhadap teori perintah Austin ini kemudian dikembangkan lebih lanjut olehnya (Hart) menjadi teori peraturan primer dan peraturan sekunder. Peraturan primer adalah tipe peraturan yang membebankan kewajiban (imperatif) sedangkan Peraturan sekunder adalah tipe peraturan yang memberikan kekuasaan (fakultatif).[7]
Salah satu teori yang dikembangkan Hart melalui bukunya “The Concept of Law” ialah mengenai sifat terbuka dari peraturan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah “tekstur terbuka hukum (open texture)”. Menurutnya, peraturan hukum memiliki kelemahan alamiah berupa keterbatasan bahasa serta keterbatasan jangkauannya akan situasi-situasi yang muncul di masa depan. Peraturan seringkali terkendala oleh masalah bahasa yang kurang lugas dan menimbulkan beragam interpretasi (multi tafsir). Demikian juga peraturan seringkali tidak dapat mengantisipasi situasi-situasi yang muncul kemudian, sehingga diperlukan ruang diskresi bagi hakim untuk mencocokan peristiwa hukum dengan peraturan yang mengaturnya. Atas dasar itulah kemudian Hart menyebut bahwa hukum memiliki dimensi yang terbuka yang ia tuangkan dalam istilah “tektur terbuka hukum.” Apabila terjadi persoalan hukum akibat sifat hukum yang terbuka itu maka terbuka pula ruang bagi pengadilan untuk memerankan fungsi sebagai penghasil/pembuat hukum guna menyelesaikan persoalan yang dimaksud.[8]
Dalam membangun argumentasi kritisnya terhadap postivism terdahulu (Austin dan Hans Kelsen), Hart ternyata juga tidak terlepas dari kritik filsuf hukum lainnya. Salah satu diantara pengkritik itu ialah Ronald Dworkin. Objek perdebatan antara Hart dan Dworkin itu ialah tentang diskresi hakim. Hart berada dalam pendirian yang menyetujui diskresi yang kuat atau luas bagi hakim-hakim di pengadilan untuk menciptakan/membuat hukum, sementara Dworkin berada dalam posisi yang kurang setuju dengan konsep diskresi hakim yang dilontarkan olrh Hart. Perdebatan itu bermula ketika Dworkin melontarkan ketidaksetujuannya kepada Hart perihal diskresi yang luas bagi hakim, termasuk kewenangan hakim untuk membuat hukum baru melalui putusannya. Selain itu, Dworkin juga mengemukakan pentingnya prinsip-prinsip hukum. Menurutnya (Dworkin), prinsip-prinsip hukum lebih berharga ketimbang peraturan karena dasar mengikatnya sebuah peraturan justru terletak pada kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip hukum, hal mana tidak ditemukan dalam filsafat pemikiran Hart. Masih menurutnya, prinsip-prinsip hukum harus selalu diperhatikan oleh pengadilan sepanjang prinsip itu relevan.[9]
Hart, di dalam postscript-nya yang berjudul “Postivisme dan Pemisahan Hukum dengan Moral” menceritakan “hijrah pemikiran” salah seorang filsuf termashyur Jerman abad 20, yaitu Gustav Radbruch. Sebelum Nazi berkuasa dan mengobarkan perang paling berdarah sepanjang peradaban manusia, Radbruch adalah seorang positivis. Akan tetapi berdasarkan penglaman buruk dan mengerikan selama periode kekuasaan Nazi yang menggunakan positivisme sebagai legitimasi kekuasaannya, Radbruch kemudian menjadi berfikir ulang akan hakekat positivisme yang selama ini ia anut karena positivisme itu dianggapnya telah turut menyumbang kerusakan yang ditimbulkan Nazi karena dengan mudahnya rezim diktatorial itu berlindung dibalik positivsme hukum yang pada periode itu memang sedang mengemuka.
Pengalaman mengerikan dibawah rezim Nazi yang dialami sendiri oleh Radbruch itulah yang kemudian mendorong Radbruch untuk meninjau ulang pendiriannya dan akhirnya membawa Radbruch pada kesimpulan untuk beranjak meninggalkan paham positivisme hukum yang selama itu dianutnya.
Setelah tumbangnya rezim Nazi yang ditandai dengan berakhirnya Perang Dunia II di Eropa dengan kemenangan di pihak sekutu, Radbruch merubah total pendirian sebelumnya, bahkan ia kemudian menjadi kritikus yang paling lantang menentang positivisme hukum dan konsep pemisahan antara hukum dan moral. Radbruch melakukan perubahan besar dalam pemikirannya pasca Perang Dunia II dan peristiwa inilah yang dipuji oleh Hart sebagai pengakuan akan kesalahan yang luar biasa dari seorang Radbruch:
“..... his appeal to other men to discard the doctrine of the separation of law and morals has the special poignancy of recantation.”[10]
Pandangan-pandangan post postivism Radbruch seolah menjadi angin segar bagi dunia hukum yang sudah cukup lama terbelenggu oleh kekangan positivisme hukum sejak munculnya negara-negara modern. Sejak saat itu, Radbruch mematrikan kembali nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum. Hukum tidak lagi teraleniasi dari pertimbangan moral dan keadilan.[11]
Pandangan Radbruch yang kembali menekankan pentingnya keadilan, dan hubungan diantara hukum dan moral oleh Hart disebut sebagai pertanda kebangkitan kembali hukum alam sekligus keruntuhan positivisme hukum. Lebih-lebih kejahatan dan kehancuran yang ditimbulkan Nazi demikian hebatnya sehingga positivisme hukum dianggap tidak cukup memadai untuk mengadili kejahatan Nazi karena pada kenyataanya tindakan brutal Nazi itu adalah legal dibawah hukum Nazi yang berlaku pada saat tindakan itu dilakukan. Jika tetap berpegangan pada paham positivis maka kejahatan-kejahatan itu tidak akan bisa dituntut dan dijatuhi hukuman. Itulah sebabnya Radbruch hadir menawarkan gagasan barunya akan prinsip keadilan sebagai mahkota hukum.
Pendapat-pendapat Radbruch yang mengkritisi habis dan merobohkan dinding-dinding positivisme guna mengatasi “kemacetan hukum” yang disebabkan benturan antara kepastian hukum dan keadilan telah menjadikan namanya membumbung tinggi melebihi siapa pun sesaat setelah Perang Dunia II berakhir. Salah satu petikan pendapatnya yang terkenal dalam soal itu ialah:
“Preference should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enacment and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general welfare, unless the violation of justice reaches so intolerable a degree that the rule become in effect “lawless law” and must therefore yield to justice.”[12]
Dari petikan kalimat diatas, pada pokoknya Radbruch menyatakan bahwa jika pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan sudah sedemikian besar dan tidak dapat ditolelir maka kepastian hukum itu harus dilepaskan dan keadilanlah yang harus didahulukan. Doktrin ini kemudian dengan segera menjadi populer, dikarenakan adanya kebutuhan legitimasi doktrin yang dapat memberi jalan untuk mengadili para penjahat Nazi yang berlindung di balik positivisme hukum.
Doktrin Radbruch ini kemudian diadopsi dan “berbicara” dalam persidangan-persidangan yang mengadili para pelaku kejahatan di masa Nazi berkuasa. Bahkan doktrin ini telah pula diadopsi oleh International Military Tribunal terhadap penjahat Perang Dunia II, baik dalam Peradilan Nuremberg (1945-1946) yang mengadili penjahat perang Nazi maupun dalam Peradilan Tokyo (1946-1948) yang mengadili penjahat perang Jepang.[13]
Diakhir postscript-nya, Hart mengakui bahwa doktrin Gustav Radbruch yang menentang positivisme hukum dan pemisahan hukum dan moral telah banyak diikuti dan diadopsi oleh pengadilan-pengadilan, tidak hanya di Jerman melainkan di banyak penjuru dunia. Postscript yang ditulis Hart ini dalam pandangan penulis menunjukan semacam “pengakuan diam-diam” dari Hart terhadap perkembangan pemikiran hukum yang bergerak ke arah post positivism dan keniscahyaan hubungan antara hukum dan moral.
Hal tersebut sebenarnya juga sudah dapat dibaca dalam bagian-bagian akhir dari buku Hart yang berjudul “The Concept of Law” dimana Hart yang meskipun disatu sisi hendak mempertahankan pemisahan antara hukum dan moral namun dalam keadaan tertentu ia juga dapat tidak menafikan hubungan antara hukum dan moral. Sebagai contoh, Hart mengatakan bahwa:
“Hukum di semua negara modern dalam berbagai seginya memperlihatkan adanya pengaruh dari moralitas sosial yang diterima maupun cita-cita moral yang lebih luas........ dalam sebagian sistem, seperti di Amerika Serikat, kriteria terakhir validitas hukum meliputi secara eksplisit prinsip-prinsip keadilan atau nilai-nilai moral substantif ..... tidak ada seorang pun “penganut posivisme hukum” yang bisa menyangkal bahwa stabilitas sistem hukum untuk sebagian bergantung pada kesesuaiannya dengan moral. Jika yang dimaksud dengan hubungan perlu antara hukum dan moral adalah seperti ini, tentu saja keberadaannya akan bisa diterima.”[14]
Meskipun secara prinsip pemikiran Hart masih dikategorikan atau bercorak positivis namun Hart sudah mulai kritis terhadap teori positivisme itu sendiri.  Itulah sebabnya ia kemudian disebut-sebut sebagai pelopor aliran pemikiran Ilmu Hukum Normatif Dan Modern Analitis atau sebagian kalangan menyebutnya sebagai aliran “Neo Positivism,” maksudnya adalah aliran positivis yang terbarukan, yang sudah mulai kritis terhadap pemikiran-pemikiran positivism konservatif sebagaimana dahulu dibawakan oleh John Austin dan Hans Kelsen.



[1] Arief Shidarta, Postivisme Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta, 2007,  hlm. 2-3.
[2] Lili Rasydi dan I.B. Wyasa Putera, .Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 119.
[3] E Sumaryono, Etika Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 183.
[4] H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Cet. Ke-V, Bandung, 2013, hlm. 1-3.
[5] Untuk mengetahui pandangan-pandangan John Austin ini lihat selengkapnya dalam bukunya “The Province of Jurisprudence Determined”;  sementara untuk mengetaui pandangan-pandangan Hans Kelsen lihat selengkapnya dalam bukunya “General Theory of Law and State” dan “Pure Theory of Law.”
[6] Lihat dalam H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Diterjemahkan oleh M. Khozim, Cet. Ke-V, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 28-48.
[7] Ibid., hlm. 127.
[8] Ibid., hlm. 192-210.
[9] Lihat kritik Dowrkin terhadap Hart ini lebih lanjut dalam Ronald M. Dworkin, The Model of Rules, Yale Law School, 1967.
[10] H. L. A. Hart, Positivism and the Separation of Law and Morals, Harvard Law Review, 1958, hlm.1.
[11] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 116-117.
[12] Gustav Radbruch dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 169.
[13] Mengenai peristiwa Peradilan Nuremberg dan Peradilan Tokyo ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 45-82.  
[14] H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Op Cit., hlm. 315-316.