Salah satu
persoalan krusial yang dihadapi oleh masyarakat internasional saat ini ialah
terjadinya ledakan pengungsi sebagai akibat berkecamuknya perang/konflik yang
berkepanjangan, khususnya di negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Hingga
akhir saja 2014 misalnya, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
mencatat ada sebanyak 59,5 juta orang yang terpaksa mengungsi dan meninggalkan
tempat tinggalnya (forcibly displaced person) karena sebab-sebab man made
disasters seperti perang, konflik, dan pengejaran terhadap etnis tertentu (UNHCR,
2014: 2).
Sebagai bagian
dari komunitas internasional, Indonesia pun tidak luput dari persoalan pengungsi.
Indonesia menjadi salah satu negara yang “kedatangan” pengungsi, baik sebagai
negara tujuan maupun negara transit (sebelum pengungsi melanjutkan
perjalanannya ke Australia atau Selandia Baru).
Berdasarkan
data yang dirilis Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia (selanjutnya disebut
UNHCR Indonesia), hingga akhir September 2015, ada sebanyak 13.405 pencari
suaka dan pengungsi di wilayah Indonesia. Kebanyakan dari mereka berasal dari
negara-negara yang sedang bergejolak seperti Afghanistan, Myanmar, dan Somalia.
(data diperoleh dari website resmi UNHCR: www.unhcr.or.id).
Perlunya Payung Hukum Penanganan Pengungsi
Berdasarkan kenyataan
tersebut nampak lah bahwa permasalahan pengungsi tidak bisa dianggap remeh.
Jumlah pengungsi yang ada wilayah Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya.
Hal ini tentu memerlukan penanganan yang serius dari Pemerintah.
Meskipun
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, tidak berarti Indonesia
bisa berpangku tangan dari persoalan pengungsi. Sebab persoalan pengungsi saat
ini telah menjadi masalah dan tanggung jawab bersama (common problem)
dari masyarakat bangsa-bangsa di seluruh dunia (Dewan Keamanan PBB dalam Pers
Release 20 Mei 2004).
Sebagai bagian
dari masyarakat internasional tentu saja Indonesia tidak bisa menutup mata dari
persoalan pengungsi yang secara faktual memang sedang dihadapi juga oleh
Indonesia. Akan tetapi sayangnya sejauh ini belum ada perangkat
perundang-undangan yang secara khusus dan spesifik mengatur soal penanganan
pengungsi di Indonesia.
Akibat
ketiaadaan payung hukum itu maka penanganan pengungsi di Indonesia masih dilakukan
melalui pendekatan hukum keimigrasian. Hal mana merupakan suatu kekeliruan
karena sesungguhnya pengungsi bukan lah imigran yang tunduk pada rezim hukum
keimigrasian. Meskipun sama-sama melakukan perjalanan lintas batas negara, akan
tetapi pengungsi dan imigran adalah dua subjek yang berbeda dan tunduk pada
rezim hukum yang berbeda pula; hukum keimigrasian untuk imigran dan hukum
pengungsi untuk para pengungsi.
Imigran adalah
orang yang keluar dari negaranya dan masuk ke negara lain atas kehendak sendiri
yang biasanya bermotifkan ekonomi, yaitu mencari penghidupan dan masa depan
yang lebih baik. Sementara pengungsi adalah orang yang keluar dari negaranya
menuju negara lain atas dasar keterpaksaan (forcibly displaced person) karena
adanya ancaman yang nyata terhadap hidup dan kebebasannya, sehingga tidak ada
pilihan baginya kecuali keluar dari negara asalnya dan mencari tempat baru yang
dirasa aman.
Jika pendekatan
hukum keimigrasian yang dipakai, maka dapat dipastikan bahwa para pengungsi
yang memasuki wilayah Indonesia akan dianggap dan diperlakukan sebagai imigran
gelap atau imigran ilegal. Hal itu terjadi karena biasanya para pengungsi tidak
memiliki dokumen keimigrasian sebagaimana dipersyaratkan oleh UU No. 6 tahun
2011 tentang Keimigrasian. Sebab keluarnya pengungsi dari negara asalnya justru
disebabkan oleh keterpaksaan dan ancaman yang menuntut mereka segera
meninggalkan negaranya dan mencari perlindungan di negara lain. Dalam keadaan
yang demikian tidak lah mungkin bagi mereka untuk mengurus dan menyiapkan
dokumen keimigrasian terlebih dahulu.
Ilustrasi
diatas dengan jelas menggambarkan kekeliruan dalam hal penanganan pengungsi dan
implikasinya bagi para pengungsi jika penanganan pengungsi dilakukan melalui
pendekatan keimigrasian. Hal mana tidak sesuai dengan prinsip pembedaan (distinguished
principle) antara pengungsi dan imigran sebagaimana berlaku dalam hukum
pengungsi internasional.
Inilah salah
satu persoalan yang masih mengganjal dalam kebijakan penanganan pengungsi di Indonesia
yang tentu saja memerlukan penyelesaian yang segera. Untuk mengentaskan
persoalan ini maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan instrumen hukum yang
akan mengatur soal penanganan pengungsi. Sehingga kedepan, diharapkan penanganan
pengungsi tidak lagi menggunakan rezim hukum keimigrasian yang nyata-nyata
tidak kompatibel untuk digunakan dalam penanganan pengungsi.
Amanat Pembentukan Perpres Penanganan Pengungsi
Sebetulnya
pengaturan mengenai penanganan pengungsi di Indonesia telah diamanatkan oleh
Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pasal 27 UU
tersebut mengamanatkan pembentukan sebuah Keputusan Presiden (sekarang
Peraturan Presiden) yang akan mengatur mengenai penanganan pengungsi di
Indonesia.
Setelah sekian
lama menanti, akhirnya angin segar datang dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)
yang saat ini sedang menyiapkan dan merampungkan Perpres sebagaimana dimaksud
diatas. Lewat prakarsa Kemenlu, dibuatlah Rancangan Perpres tentang Penanganan
Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi. Berdasarkan informasi dari Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), per tanggal 29 Oktober 2015, Perpres ini
sedang dalam proses perbaikan di Kemenlu (pemrakarsa) untuk kemudian masuk
dalam tahap harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi yang
pelaksanaannya akan dikoordinasikan oleh Kemenkumham (situs resmi BPHN).
Dilihat dari progres
pembentukannya, Rancangan Perpres ini akan segera memasuki tahap harmonisasi.
Setelah tahap melalui harmonisasi maka Rancangan Perpres ini sudah bisa
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Perpres. Itu artinya tahapan
yang sedang dilalui oleh Rancangan Perpres ini sudah mendekati tahap akhir.
Secercah Harapan di Balik Perpres Penanganan Pengungsi
Berdasarkan
progres pembentukannya sebagaimana telah diuraikan diatas, diharapkan dalam
waktu yang tidak terlalu lama lagi Rancangan Perpres ini dapat segera terbit. Dengan
demikian penanganan pengungsi di Indonesia akan memiliki landasan hukum yang
jelas dan tidak lagi menggunakan rezim hukum keimigrasian.
Meskipun hanya
dituangkan dalam sebuah Perpres akan tetapi langkah ini tetap diperlukan untuk mangatur
penanganan pengungsi di Indonesia yang selama ini berada dalam kevakuman hukum (rechtsonzarkerheid).
Harus diakui,
Perpres ini memang bukan lah solusi yang paling ideal dalam mengurai masalah penanganan
pengungsi asing di Indonesia. Solusi yang komprehensif dan ideal hanya mungkin
tercapai jika kita meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan mengikuti standar
penanganan pengungsi yang diatur dalam Konvensi tersebut.
Akan tetapi
harus diakui juga bahwa Perpres ini merupakan alternatif solusi yang cukup
bijak bagi bangsa Indonesia dalam merespon tuntutan penanganan pengungsi yang
lebih baik, selagi kita belum meratifikasi dan mengikatkan diri pada Konvensi
Pengungsi 1951. Setidaknya dengan Perpres ini akan ada pedoman dan landasan
hukum yang jelas dalam menangani pengungsi yang ada di wilayah Indonesia.
Sebagai penutup,
penulis ingin mengingatkan bahwa sesungguhnya keadaban suatu bangsa dapat
dilihat dan diukur dari caranya memperlakukan orang asing, dalam hal ini adalah
pengungsi, yang notabene adalah orang-orang yang sangat memerlukan perlindungan
dari persekusi yang mengancam hidup dan kebebasannya. Kita tidak akan pernah
beradab sebelum memperlakukan mereka yang lemah ini (vulnerable people)
dengan cara-cara yang manusiawi sebagaimana dikehendaki oleh hukum dan
kebiasaan internasional tentang perlindungan pengungsi (Jean Allain, 2002:
538).
Selain dituntut
oleh hukum dan kebiasaan internasional, perlakuan yang layak terhadap pengungsi
juga sangat dekat dan sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Salah satunya ialah yang termaktub dalam Surat Al-Anfal: 74 “....
dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang-orang yang berhijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar
beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar