Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 26 Desember 2017

Mengenang Peristiwa Tsunami Aceh: Bencana yang Membawa Berkah Perdamaian



Di Indonesia, tanggal 26 Desember biasanya dikenang sebagai hari peringatan bencana Tsunami Aceh yang merenggut nyawa sekitar 105.262 warga Aceh dan Sumatera Utara yang terjadi 13 tahun silam (26 Desember 2004).[1] Bencana ini sendiri sebetulnya tidak hanya melanda Aceh melainkan juga wilayah negara-negara lain yang berada disekitar samudera Hindia. Tetapi Aceh adalah wilayah terdampak bencana Tsunami yang paling parah.[2]
Umumnya orang mengingat dan mengenang peristiwa itu dengan cerita duka karena kerusakan dan kehilangan yang ditimbulkannya. Tidak banyak orang yang sadar bahwa sebetulnya Tsunami Aceh tidak hanya datang membawa malapetaka dan kepiluan saja, tetapi ia juga datang membawa "berkah terselubung” atau blessing indisguised bagi rakyat Aceh dan bangsa Indonesia.
Dua puluh sembilan tahun lamanya Aceh dilanda konflik bersenjata yang memakan korban jiwa yang tak terhitung banyaknya akibat bentrokan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI.
Di sepanjang waktu yang terbentang selama 29 tahun itu pula berbagai upaya perdamaian telah dicoba. Tetapi usaha itu selalu menemui jalan buntu dan kegagalan yang menyebabkan berlanjutnya konflik bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI. Bahkan pada puncaknya, pada tanggal 18 Mei 2003, Presiden Megawati pernah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer dan mengizinkan operasi militer di Aceh.
Konflik antara GAM dan Pemerintah RI semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada masa-masa diberlakukannya darurat militer dalam kurun waktu tahun 2003-2004 itu. Meski kekuatannya telah berkurang drastis akibat operasi militer yang dilancarkan Pemerintah RI, akan tetapi GAM tidak kunjung menyerah dan melupakan cita-citanya mendirikan Negara Aceh yang merdeka dan terpisah dari NKRI.
Namun segalanya menjadi berubah setelah bencana Tsunami menyapu dan memporakporandakan Aceh pada 26 Desember 2004. Gempa yang tercatat dalam sejarah sebagai yang terbesar ketiga di dunia[3] itulah yang pada akhirnya membuat GAM dan Pemerintah RI sama-sama merasa terpanggil untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung selama hampir 3 dekade itu.
Gempa hebat yang menimbulkan Tsunami di Aceh itu telah menyatukan hati dan pikiran antara GAM dan Pemerintah RI untuk pertama kalinya dalam sejarah, yakni satu dalam tekad untuk mengadakan perundingan guna mengakhiri konflik bersenjata diantara keduanya, demi membangun Aceh yang porak poranda dan berduka akibat Tsunami.
Segera setelah peristiwa Tsunami Aceh itu, Pemerintah RI dan GAM bersepakat untuk memulai perundingan untuk mengakhiri konflik di Aceh secara damai, menyeluruh, dan permanen.
Perundingan yang sulit namun penuh harapan itu dimulai pada awal Januari 2005 di Helsinki, Finlandia, dengan bantuan mediasi dari sebuah lembaga swadaya internasional “Crisis Management Initiative” yang ketika itu diketuai oleh Martti Ahtisaari (Mantan Presiden Finlandia). Delegasi Indonesia diketuai oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Sedangkan delegasi GAM diketuai oleh Malik Mahmud Al-Haytar.
Singkat cerita, sebagai hasil daripada perundingan tersebut, pada tanggal 15 Agustus 2005 ditandatangani lah sebuah Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) antara Pemerintah RI dan GAM yang pada prinsipnya berisi kesepakatan perdamaian dan pengakhiran konflik diantara kedua belah pihak.
Dalam salah satu paragraf pembukaannya, tercantum kata-kata yang secara eksplisit menunjukan bahwa tragedi Tsunami Aceh-lah yang telah mendorong kesadaran kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik secara damai guna membangun Aceh pasca Tsunami 26 Desember 2004.
"The parties are deeply convinced that only the peaceful settlement of the conflict will enable the rebuilding of Aceh after the tsunami disaster on 26 December 2004 to progress and succeed."
(Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan).
Pengakuan yang sama juga tercantum pada Konsiderans Menimbang huruf e UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tidak lain merupakan sebuah undang-undang yang ditujukan untuk mengakomodasi dan menindaklanjuti kesepakatan Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM.
"bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia"
Tsunami Aceh mungkin saja bukan satu-satunya causa (penyebab) terjadinya perundingan damai dan pengakhiran konflik antara Pemerintah RI dan GAM, karena ada banyak juga kajian yang mengatakan bahwa merosotnya kekuatan GAM akibat operasi militer selama masa darurat militer 2003-2004 sebagai salah satu faktor pendorong bersedianya GAM maju ke meja perundingan.
Akan tetapi satu yang pasti adalah, Tsunami Aceh telah memungkinkan dan mempercepat upaya perdamaian dan pengakhiran konflik tersebut lantaran kedua belah pihak sama-sama melihat bahwa pembangunan Aceh pasca Tsunami jauh lebih penting daripada sekedar mempertahankan tuntutan masing-masing terhadap satu sama lainnya. Sebaliknya, tanpa adanya bencana Tsunami, sulit rasanya kita membayangkan bahwa perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM benar-benar dapat terwujud pada medio 2005 itu.
Jadi sangat jelas bahwa Tsunami Aceh yang terjadi 13 tahun silam tidak hanya menyisakan kerusakan dan kehilangan yang mendalam, tetapi juga membawa berkah tersulubung di dalamnya, yakni menghadirkan perdamaian yang telah terkoyak selama 29 tahun lamanya.
Saya belum tahu secara persis apakah pernah ada juga konflik atau peperangan lain yang berakhir dengan kesepakatan perdamaian akibat adanya bencana alam seperti kasus Tsunami Aceh ini. Tapi kalaupun ada, maka jelas Tsunami Aceh ini termasuk salah satu diantaranya, yakni konflik bersenjata atau peperangan yang berakhir damai akibat adanya bencana alam!

[1] Data Prakiraan Korban Jiwa Tsunami Aceh, Kementerian Sosial RI, 11 Januari 2005.
[2] BBC News, “Indian Ocean tsunami anniversary: Memorial events held,” http://www.bbc.com/news/world-asia-30602159, Diakses pada tanggal 26 Desember 2017.
[3] National Science Foundation, “Analysis of the Sumatra-Andaman Earthquake Reveals Longest Fault Rupture Ever,” https://www.nsf.gov/news/news_summ.jsp?cntn_id=104179, Diakses pada tanggal 26 Desember 2017.

Rabu, 20 Desember 2017

Palestina Perlu Membentuk Angkatan Bersenjata (Catatan Kecil)



Konflik Israel-Palestina sangat kompleks dan akut. Tidak terlalu sulit untuk melihat betapa suramnya harapan perdamaian di tanah para nabi itu. Lihat saja peta Israel-Palestina sekarang, daerah-daerah yang masih diduduki bangsa Palestina saat ini sudah semakin menyusut dan terpisah satu sama lainnya oleh wilayah Israel. Antara Gaza yang berada ditepi Laut Mediterania dan Yerussalem (termasuk Tepi Barat) sudah terpisah sama sekali oleh wilayah yang diduduki Israel.
Dua wilayah yang secara de jure (hukum) diakui sebagai teritori Palestina itu benar-benar terpisah dan terputus satu sama lainnya. Penduduk Gaza yang ingin masuk dan mengunjungi tanah airnya di Yerussalem harus melewati teritori Israel dan tentu saja harus tunduk pada hukum keimigrasian Israel. Hal tersebut berlaku juga bagi penduduk Yerussalem yang ingin berkunjung ke Gaza. Satu pemandangan yang sangat ganjil yang menggambarkan betapa akutnya masalah kemerdekaan, kedaulatan, dan teritori Palestina yang dihimpit oleh Agresor yang bernama Israel.
Upaya perdamaian yang selama ini dilakukan selalu temporer sifatnya dan tidak banyak mengubah peta pendudukan Israel yang semakin hari semakin banyak mengambil wilayah Palestina.
Kalau boleh berpendapat sedikit ekstrem tetapi jujur, nampaknya Palestina harus segera melengkapi perangkat negaranya dengan membentuk Angkatan Bersenjata yang resmi dan tetap.
Langkah Palestina dalam membentuk Angkatan Bersenjata mungkin sudah jauh terlambat dan tertinggal, karena Israel sudah jauh lebih dulu melakukannya sesaat setelah proklamasi kemerdekaannya pada tahun 1948 dan saat ini Militer Israel adalah salah satu angkatan bersenjata paling kuat dan paling siap berperang di kawasan Timur Tengah. Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?
Militer Israel hampir dapat dipastikan akan merespon pembentukan Angkatan Bersenjata Palestina dengan mengobarkan perang terhadap Palestina. Belum lagi ditambah dengan penolakan dan besar kemungkinan juga sanksi dari negara-negara barat pendukung Israel. Akan tetapi dengan membentuk dan memiliki Angkatan Bersenjata, setidaknya bangsa Palestina punya kesempatan untuk mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan mereka sendiri. Adalah hak Palestina sebagai sebuah negara yang merdeka untuk membentuk angkatan bersenjata guna melindungi dan mempertahankan kemerdekaannya.
Tugas negara-negara muslim dan negara mana pun yang mendukung kemerdekaan Palestina untuk mendukung dan membantu pembentukan angkatan bersenjata Palestina, dengan segala konsekuensinya, sebagaimana juga dulu negara-negara barat seperti Inggris dan Amerika gigih mendukung dan membantu pembentukan angkatan bersenjata Israel di awal-awal berdirinya Israel di tanah Palestina, meskipun negara-negara Arab menentang keras dan meresponnya dengan mengobarkan Perang (yang disebut Perang Kemerdekaan Israel).
Mungkin Palestina akan menerima konsekuensi yang berat atas pilihan tersebut, tapi setidaknya Palestina telah merintis jalan untuk membentuk sebuah negara yang merdeka, berdaulat, dan utuh layaknya negara-negara lain yang juga memiliki Angkatan Bersenjata untuk melindungi kemerdekaannya (kecuali beberapa negara yg memilih untuk tidak membentuk Angkatan Bersenjata seperti Kosta Rika dll).
Diplomasi saja tidak cukup dan terbukti selama berpuluh puluh tahun Palestina semakin tertinggal dan terdesak oleh Israel yang punya militer yang begitu perkasa. Diplomasi Palestina sejak sekarang harus dibarengi dan ditopang oleh kekuatan bersenjata, karena begitu lah cerita bangsa-bangsa yang dahulu pernah dijajah dan berjuang merebut kemerdekaannya, termasuk Indonesia. Suatu kemerdekaan yang tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh penjajah memang harus dilakukan dengan cara merebutnya melalui strategi diplomasi dan juga militer.
Kalau Israel saja yang datang ke tanah Palestina sebagai imigran tapi punya hak membentuk dan memiliki Angkatan Bersenjata, mengapa bangsa Palestina sebagai pemilik yang sah dari tanah tersebut tidak boleh membentuk dan memiliki Angkatan Bersenjatanya juga? Tentu saja Palestina harus melakukannya. Cepat atau lambat Palestina harus memiliki Angkatan Bersenjata.
Si vis pacem para bellum: jika menginginkan perdamaian maka bersiaplah untuk perang!
-          Arief Ainul Yaqin, Depok 20 Des 2017

Sabtu, 11 November 2017

Pengertian dan Jenis-Jenis Sumber Hukum Formil




Sumber hukum formil adalah sumber yang dilihat dari segi bentuk dan cara pembentukannya. Disebut sumber hukum formil karena yang dilihat/diperhatikan adalah bentuk dan cara pembentukannya dengan tidak lagi memperhatikan materi peraturan tersebut.
Dalam ilmu hukum, sumber hukum formil lazimnya dibagi menjadi lima jenis, yaitu:
1.        Undang-undang
2.        Kebiasaan
3.        Yurisprudensi
4.        Traktat
5.        Doktrin

1.        Undang-Undang
Masih banyak orang yang menganggap hukum adalah undang-undang. Persepsi yang demikian mengingatkan kita pada tulisan Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandsce Recht” (terjemahan Oetarid Sadino: Pengantar Ilmu Hukum).
Van Apeldoorn menggambarkan golongan orang dalam memandang hukum. Salah satu golongan itu disebutnya dengan istilah “De Ontwikkelde Leek” yang berarti orang terpelajar tetapi awam. Bagi ontwikkelde leek, hukum dilihat dari rentetan pasal-pasal yang tidak ada habisnya, seperti yang tercantum dalam undang-undang. Golongan ontwikkelde leek melihat hukum dari undang-undang. Oleh karenya ontwikkelde leek itu menyamaratakan pengertian hukum dengan undang-undang. Bagi mereka, hukum adalah undang-undang, karena di dalam undang-undanglah mereka menemukan hukum.
Kiranya pandangan yang seperti itu sudah sepatutnya ditinggalkan, karena merupakan kekeliruan persepsi. Menyamakan hukum dengan undang-undang berarti mempersempit ruang lingkup/makna hukum itu sendiri karena hukum tidak hanya terdiri dari undang-undang, melainkan lebih luas dari undang-undang. Undang-undang itu sendiri adalah bagian dari hukum, yaitu bagian dari sumber hukum formil dan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai undang-undang maka akan dibahas secara jelas dibawah ini.
Undang-undang menurut Prof. Buys dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) dan undang-undang dalam arti formil (wet in formele zin).
a.        Undang-undang dalam arti materiil :
Adalah setiap keputusan pemerintah/penguasa yang menurut isinya mengikat setiap orang secara umum. Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari segi isinya, yaitu isinya mengikat setiap orang secara umum. Pengertian/rumusan undang-undang dalam arti materiil lebih luas dari pengertian/rumusan undang-undang dalam arti formil.  Karena undang-undang dalam arti materiil hanya dilihat dari segi isinya yang mengikat secara umum, maka semua aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah/penguasa yang menurut isinya mengikat secara umum, dapat disebut sebagai undang-undang.
Dalam arti materiil, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan menteri dan peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat disebut sebagai undang-undang. Berbeda dengan undang-undang dalam arti formil yang memberikan sebutan undang-undang hanya pada peraturan yang dibuat oleh DPR bersama-sama dengan Presiden (pemerintah).[1]
b.        Undang-undang dalam arti formil:
Adalah setiap keputusan pemerintah/penguasa yang berdasarkan bentuk dan cara pembentukannya disebut sebagai undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain adalah keputusan pemerintah/penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena bentuk dan cara pembentukannya.
Pada umumnya ketika orang menyebut atau menggunakan kata “undang-undang” maka yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti formil. Lantas peraturan yang mana yang disebut undang-undang dalam arti formil? Peraturan yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil adalah peraturan yang memiliki bentuk dan cara pembentukannya yang tersendiri.
Di setiap negara, berbeda-beda cara pembentukannya. Di Belanda, yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Raja bersama Staten General (Parlemen) berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD) Negeri Belanda. Di Amerika Serikat, yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Congress (Parlemen) AS. Di Indonesia, yang disebut sebagai undang-undang adalah peraturan hukum yang dibuat oleh DPR bersama Presiden berdasarkan pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang teknis proseduralnya diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang lahir/muncul karena dibentuk oleh badan resmi yang berwenang. Badan yang berwenang membentuk undang-undang di suatu negara berbeda dengan negara lain. Umumnya, mengenai kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power) diatur di dalam konstitusi/UUD suatu negara. Sedangkan konstitusi/UUD di setiap negara pastilah berbeda-beda. Oleh sebab itu pembentukan undang-undang disetiap negara berbeda dengan negara lain, andaikata ada persamaan paling hanya dalam beberapa segi, misalnya dari segi badan yang berwenang membentuknya. Contoh, kekuasaan membentuk undang-undang di Indonesia dan Puerto Rico adalah sama, yaitu Parlemen (DPR) bersama dengan Presiden.
Namun masih tetap ada perbedaan dalam pembentukannya, di Indonesia dikenal dan digunakan sistem Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sedangkan di Puerto Rico tidak dikenal sistem Prolegnas seperti yang diterapkan di Indonesia.[2] Melihat uraian diatas, maka pembahasan mengenai pembentukan undang-undang pada bagian ini akan ditinjau dari segi badan yang berwenang membentuknya. Berikut ini adalah beberapa cara pembentukan undang-undang ditinjau dari badan yang berwenang membentuknya dibeberapa negara, antara lain :
1)        Belanda
Di Negeri Belanda, badan yang berwenang membentuk undang-undang adalah Raja (Kroon) bersama dengan Staten General (Parlemen) berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD) Belanda.
2)        Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, badan yang diserahi kewenangan membentuk undang-undang hanya badan legislatif, yaitu Kongres. Kongres sendiri merupakan badan legislatif Amerika Serikat yang terdiri dari dua majelis (bikameral), yaitu Senate dan House of Representative.
Presiden tidak berwenang membentuk undang-undang, namun presiden dapat memveto (menolak menandatangani) suatu undang-undang yang telah diterima baik oleh Kongres. Jika veto Presiden diterima oleh Kongres maka undang-undang tersebut tidak diberlakukan. Sebaliknya, Kongres dapat menolak veto Presiden dengan mengirimkan undang-undang yang di veto kepada sidang Kongres. Jika undang-undang itu diterima/disetujui untuk berlaku dengan kuorum 2/3 dari setiap majelis (Senat dan House of Representative) maka veto presiden dianggap batal dan undang-undang yang bersangkutan tetap diberlakukan.[3]
3)        Indonesia
Di Indonesia, badan yang berwenang membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Kekuasaan membentuk undang-undang menurut pasal 20 ayat (1) UUD 1945 sebenarnya berada ditangan DPR. Namun pada ayat-ayat selanjutnya (ayat 2, 3, 4, dan 5) dalam pasal yang sama (pasal 20 UUD 1945) disebutkan bahwa DPR menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Jadi berbeda dengan di Amerika yang pembentukan undang-undangnya di monopoli oleh Kongres (legislatif). Di Indonesia, Presiden (eksekutif) masih juga dilibatkan dalam pembentukan undang-undang. Pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Dari pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur soal kekuasaan membentuk undang-undang, dapatlah disimpulkan bahwa badan yang berwenang membentuk undang-undang adalah DPR bersama dengan Presiden. Dapat dikatakan bahwa kedua badan tersebut mempunyai kedudukan yang sama kuat dalam membentuk undang-undang. Undang-undang yang dibahas oleh DPR bersama Presiden (eksekutif) harus mendapatkan persetujuan bersama.[4] Jika tidak mendapat persetujuan bersama maka RUU tersebut tidak dapat dimajukan dalam persidangan DPR masa (periode) itu. Jadi teranglah bahwa badan yang berwenang membentuk undang-undang adalah DPR bersama dengan Presiden dan keduanya mempunyai kedudukan yang sama kuatnya.

2.        Kebiasaan
Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum tertua di dunia, sumber hukum dimana dikenal/dapat digali sebagian dari hukum diluar undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau mengenali hukumnya.[5] Sumber hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang tidak tertulis. Namun walaupun bentuknya tidak tertulis (non scripta), kebiasaan tetap memiliki daya mengikat dan ditaati oleh masyarakat.
Kebiasaan merupakan tatanan norma yang dekat dengan kenyataan masyarakat (werkelikjheid) karena timbul dari pergaulan hidup yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkesinambungan.           Sebelum lebih lanjut membahas mengenai kebiasaan maka ada baiknya mengetahui lebih dulu pengertian kebiasaan menurut para ahli antara lain :
      a.       C.S.T. Kansil
Kebisaaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu di terima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa sehingga tindakan yang berlawanan dengan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
      b.      Sudikno Mertokusumo
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg berarti merupakan perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai kekuataan normatif, mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak  maka mengikat orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena menimbulkan keyakinan dan kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan (die normatieve kraft des faktischen).
      c.       R. Soeroso
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat yang selalu dilakukan orang lain sedemikian rupa, sehingga masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian . Jika tidak berbuat demikian merasa berlawanan dengan kebiasaan dan merasa melakukan pelannggaran terhadap hukum. Masyarakat yakin bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu mengandung hukum, maka jika anggota masyarakat itu tidak mentaatinya, dia merasa melakukan pelanggaran perasaan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Dari beberapa pengertian kebiasaan yang diberikan oleh para ahli diatas sebenarnya masing-masing pengertian itu memiliki unsur-unsur persamaan. Dari berbagai pengertian kebiasaan diatas dapat diketahui unsur-unsur kebiasaan. Agar lebih mudah memahami pengertian kebiasaan, ada baiknya diuraikan unsur-unsur kebiasaan yang terkandung dalam pengertian kebiasaan tersebut. unsur-unsurnya antara lain:
1.        Perbuatan/tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang
2.        Kebiasaan itu diyakini sebagai pola/tata cara berperilaku yang harus diikuti
3.        Adanya keyakinan dan kesadaran masyarakat untuk mengikuti kebiasaan
4.        Perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum
Dari uraian mengenai pengertian dan unsur-unsur kebiasaan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebiasaan adalah pola perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan diterima sebagai kelaziman dalam pergaulan hidup masyarakat. Karena kebiasaan itu sudah menjadi pola yang ajeg/dilakukan secara berulang-ulang maka timbulah keyakinan dan kesadaran dari masyarakat bahwa memang demikianlah seharusnya mereka berperilaku. Sebaliknya, perilaku yang bertentangan dengan kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum.
Yang terakhir ini, kebiasaan telah memiliki kekuatan normatif karena dilakukan berulang-ulang (die normatieve kraft des faktischen) artinya, perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang memiliki kekuatan normatif untuk diikuti pula oleh orang lain. Menurut Van Apeldoorn, suatu kebiasaan dirasakan sebagai kelaziman dan kepatutan berdasarkan pendapat masyarakat, bukan pendapat seseorang.[6]
Karena kebiasaan adalah pola perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan aturan tidak tertulis pada suatu masyarakat maka kebiasaan itu berbeda diantara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Sumber kebiasaan adalah masyarakat itu sendiri, kebiasaan lahir dari masyarakat, bukan diterapkan secara paksa oleh penguasa. Oleh karena itu telah dikemukakan sejak awal bahwa kendati pun kebiasaan itu tidak tertulis namun kebiasaan tetap ditaati oleh masyarakat. Apa yang menuntun masyarakat untuk mengikuti pola yang telah ada dan dilakukan secara berulang-ulang adalah keyakinan dan kesadaran mereka sendiri bahwa memang demikianlah seharusnya mereka berperilaku.

3.        Yurisprudensi
Yurisprudensi berasal dari bahasa latin “Jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum/ilmu hukum. Kata ilmu hukum itu sendiri semakna dengan kata ”Jurisprudence.” Jusrisprudence berasal dari kata ”Jus” atau “Juris” yang artinya hukum atau hak. ”Prudence” berarti melihat kedepan, atau mempunyai keahlian. Jadi secara harfiah dan singkat, Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum.
   Biasanya para ahli mengemukakan definisi suatu istilah/kata dengan bertolak dari kajian etimologis. Dengan memperhatikan pengertian yurisprudensi secara etimologis seperti diuraikan diatas, para ahli mencoba memberikan batasan pengertian/definisi mengenai apa yang dimaksud dengan yurisprudensi.
C.S.T Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia mencoba memberikan definisi tentang yurisprudensi. Menurutnya, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
Sementara itu, R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum mengatakan bahwa yurisprudensi adalah  keputusan hakim yang selalu dijadikan  pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus yang sama.
Dengan melihat berbagai definisi yurisprudensi diatas, dapat dirumuskan bahwa yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang diikuti/digunakan oleh hakim lain sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang sejenis.
           a.      Yurisprudensi dalam sistem anglo saxon dan sistem eropa kontinental
1)        Yurisprudensi dalam Sistem Anglo Saxon
Yurisprudensi dalam sistem anglo saxon yang dianut oleh Negara Inggris beserta negara persemakmurannya (bekas jajahannya) dan Negara Amerika Serikat, mempunyai kedudukan terpenting sebagai sumber hukum yang paling utama. Dalam sistem anglo saxon, tujuan hukum yang utama adalah untuk mencapai keadilan.
Dalam hal ini kepastian hukum dengan selalu mengedepankan aturan hukum yang tertulis yaitu undang-undang bukanlah tujuan hukum yang utama. Sebaliknya untuk mencapai keadilan maka harus diterapkan aturan hukum yang paling dekat dengan cita hukum masyarakat dan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Keadaan yang demikian menyebabkan kebutuhan akan sumber hukum selain undang-undang adalah urgen sifatnya. Karena di negara-negara anglo saxon berkembang baik anggapan yang menilai bahwa undang-undang sering tertinggal oleh peristiwa yang seharusnya diatur olehnya (het recht hinkt achter de feiten aan), maka yurisprudensi sebagai hukum yang lahir melalui proses peradilan mempunyai peran yang penting.
Yurisprudensi diharapkan mampu mengatasi kelemahan yang ada pada undang-undang sehingga jalannya peradilan tidak terganggu oleh masalah tersebut. Oleh karena itu, di negara-negara anglo saxon berlaku asas preseden “The binding force of precedent”. Artinya hakim terikat dan wajib mengikuti putusan hakim terdahulu yang mengatur masalah yang sama. Lebih-lebih jika yurisprudensi itu berasal dari pengadilan tertinggi negara (MA), tentu akan mempunyai kedudukan tersendiri bagi hakim bawahan. Oleh sebab itu R. Soeroso menyebutkan bahwa di negara anglo saxon, mempelajari yurisprudensi adalah primer. Sedangkan mengetahui undang-undang adalah sekunder.[7]
2)        Yurisprudensi dalam Sistem Eropa Kontinental
Yurisprudensi di negara-negara eropa kontinental (eropa daratan) serta negara jajahan yang menerima pengaruhnya, mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum setelah undang-undang. Umumnya Yurisprudensi digunakan dalam peradilan/hakim manakala undang-undang tidak mengatur/tidak secara jelas mengatur masalah yang dihadapi oleh hakim. Jadi selama undang-undang mengatur masalah yang dihadapai/diadili oleh hakim undang-undang itulah yang lebih diutamakan.
           b.      Yurisprudensi sebagai sumber hukum formil
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Namun di lain sisi, undang-undang dengan bentuknya yang tertulis seringkali tertinggal oleh perkembangan masyarakat atau sering juga undang-undang tidak mengatur suatu persoalan secara jelas.
Mengenai sejumlah kelemahan undang-undang ini, Bagir Manan menyebutkan bahwa hukum tertulis (undang-undang) tidak lain sebagai “moment opname” dari kekuatan/kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Oleh karena itu undang-undang seringkali aus (out of date) dan tertinggal dari perkembangan masyarakat yang cepat atau dipercepat.[8]
Kebutuhan akan penerapan hukum di pengadilan dan sifat undang-undang yang banyak memiliki kelemahan seperti yang diterangkan oleh Bagir Manan diatas, akhirnya membuka jalan bagi hakim untuk menggunakan yurisprudensi guna mengatasi kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang. Sudikno Mertokusumo mengutarakan pendapatnya mengenai sejumlah permasalahan yang terdapat dalam undang-undang. Menurutnya, makin tua usia undang-undang makin banyaklah timbul yurisprudensi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut karena undang-undang yang sudah tua itu perlu ditafsirkan untuk disesuaikan dengan keadaan baru dengan putusan pengadilan.[9]
Kewajiban hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang dihadapkan pada ketidaksempurnaan undang-undang inilah yang membuat yurisprudensi  memiliki peran dan kedudukan yang penting sebagai salah satu sumber hukum formil disamping undang-undang. Pada tahap ini yurisprudensi memberi sumbangan berarti dalam sistem peradilan dimana hakim dapat mengkonstantir/menggunakan yurisprudensi sebagai dasar dalam memutus suatu perkara.
Berlakunya yurisprudensi sebagai sumber hukum berbeda dengan undang-undang. Undang-undang mengikat setiap orang secara umum, sedangkan yurisprudensi hanya mengikat pihak-pihak dalam perkara yang bersangkutan saja. Di luar perkara tersebut yurisprudensi tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Perbedaan lain antara yurisprudensi dengan undang-undang adalah bahwa yurisprudensi merupakan produk yudikatif yang melakukan penerapan hukum dari yang semula masih bersifat abstrak berubah menjadi putusan pengadilan yang bersifat konkret. Putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang.[10]
Mengenai sifat putusan pengadilan yang hanya mengikat/berlaku bagi para pihak yang berperkara, perlu diketengahkan  pasal 21 AB yang pada intinya melarang hakim membuat putusan yang sifatnya mengatur umum.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi adalah sumber hukum formil. Disebut sumber hukum  formil karena yurisprudensi memiliki bentuk tertentu yaitu berupa putusan hakim dan dibentuk  dengan cara tertentu pula, yaitu dibentuk oleh hakim dalam persidangan pengadilan.
           c.       Alasan-alasan hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain
1)        Alasan psikologis
Hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain karena keputusan hakim tersebut mempunyai kekuatan/kekuasaan hukum. Lebih-lebih jika putusan itu adalah putusan pengadilan/hakim tertinggi negara (MA/Hakim MA) maka putusannya mempunyai kedudukan yang terhormat di lingkungan peradilan. Hakim lain segan untuk menyimpanginya.
2)        Alasan Praktis
Hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain karena pada perkara yang sama sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu. Apalagi putusan itu adalah putusan pengadilan tertinggi negara (MA) atau telah dibenarkan/diperkuat olah pengadilan tertinggi negara. Jadi alasannya adalah alasan praktis, dengan mengikuti putusan yang telah ada. Untuk apa hakim susah payah membuat putusan yang berlainan dengan putusan yang telah ada apalagi jika putusan itu telah dibernarkan/diperkuat oleh pengadilan tingkat atas.
Alasan praktis ini juga berfungsi untuk menjaga konsisteni putusan pengadilan. Jangan sampai terjadi bahwa terhadap perkara yang sama diputus dengan putusan yang berlainan atau bertentangan. Dalam hal ini dikenal asas “similia similibus” yang berarti terhadap perkara yang sama diputuskan dengan putusan yang sama pula. 
3)        Alasan kesamaan pendapat
Hakim mengkuti putusan hakim lain karena hakim tersebut merasa sependapat terhadap putusan hakim yang telah ada/terdahulu.

4.        Traktat
Beberapa definisi mengenai perjanjian internasional atau disebut dengan  Traktat antara lain :
1.        Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Pasal 2)
      Perjanjian Internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan  apapun nama yang diberikannya.
2.         Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
      Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
3.       Oppenheim
Perjanjian Internasional adalah suatu pesetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak yang mengadakannya.
Dalam banyak literatur, masih banyak para ahli yang memberikan definisi traktat/perjanjian internasional hanya sebatas perjanjian antar negara. Pandangan/definisi yang demikian sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan dinamika Internasional dewasa ini, sebab terlalu sempit ruang lingkupnya; hanya negara-dengan negara atau goverment to goverment (G to G). Padahal jika merujuk kepada buku hukum internasional karya para ahli hukum internasional maupun dinamika internasional yang terjadi secara faktual, perjanjian internasional tidak hanya sebatas perjanjian antara dengan negara saja, melainkan juga dapat melibatkan subjek hukum internasional lainnya seperti Organisasi Internasional, Perusahaan mutinasional (multi national coorporation), Palang Merah Internasional, Tahta Suci Vatikan, Pemberontak (belligerent), atau pun Gerakan Pembebasan Nasional misalnya PLO (Palestine Liberation Organization).
Bertolak dari pandangan diatas maka penulis merumuskan pengertian perjanjian internasional dengan tidak hanya mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian antar negara. Kesimpulannya, traktat/perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara dengan negara atau negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang melahirkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
           a.      Macam-macam traktat
Dalam kepustakaan ilmu hukum, dikenal beberapa macam traktat.  Traktat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Traktat  bilateral: adalah perjanjian antara dua negara atau antara negara dengan subjek hukum internasional bukan negara. Contoh, Perjanjian antara dua negara; Perjanjian RI-Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973. Sedangkan contoh perjanjian antara negara dengan subjek hukum internasional adalah Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the ASEAN Relating to the Privileges and Immunities of the ASEAN Secretariat (Persetujuan antara Pemerintah Repubik Indonesia dengan ASEAN tentang Hak Istimewa dan Hak Imunitas Sekretariat ASEA) 20 Januari 1979.
2.    Traktat mutilateral: adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara atau subjek hukum internasional bukan negara. Contoh, Perjanjian antara 5 Negara; Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Philipina tentang Kerjasama Regional (ASEAN) yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor6 Tahun 1976.
3.  Traktat kolektif/terbuka: adalah traktat yang dibuat oleh banyak negara dan memungkinkan negara lain yang semula tidak ikut dalam perjanjian untuk masuk menjadi anggota/pihak dalam perjanjian tersebut. Contoh: Piagam PBB (United Nations Charter).
           b.      Jenis-jenis kaidah hukum yang terkandung dalam traktat
1.     Treaty Contract: Perjanjian Internasional yang hanya mengadung kaidah hukum berupa hak dan kewajiban serta akibat hukum bagi pihak yang mengadakan perjanjian. Contoh, perjanjian keewarganegaraan antara dua negara, perjanjian penetapan batas wilayah antara dua negara, dan perjanjian-perjanjian internasional lain yang hanya menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dalam perjanjian.
2.    Law Making Contract: Perjanjian Internasional yang menghasilkan/meletakan kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara umum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Contoh, Piagam PBB 1945, Konvensi Wina Tahun 1969 yang mengatur mengenai Perjanjian Internasional, Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982,  dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum bagi masyarakat internasional.

5.        Doktrin
Undang-undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, dan Traktat adalah sumber hukum formil. Sumber yang menunjukan dimana kita dapat menemukan hukumnya atau sumber darimana kita dapat mengenal hukumnya. Namun bukan hal yang tidak mungkin keempat sumber hukum formil diatas masih juga belum dapat memberikan jawaban mengenai hukumnya. Dalam hal yang demikian doktrin mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum, yaitu untuk mengatasi masalah seperti yang dikemukakan diatas. Hakim dapat menemukan hukumnya atau hakim dapat berpegang pada doktrin dalam memutus suatu perkara.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai doktrin, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan doktrin.           Doktrin secara etimologis berasal dari bahasa latin “doctor” yang berarti guru atau “doctrina” yang berarti apa yang telah diajarkan guru atas dasar ilmu. Di Romawi kuno, doctrina disebut juga dengan istilah Jusprodentibus constitutum. “jus” berarti hukum, “prudentes” berarti orang cerdik pandai, dan “constitum” memiliki arti diciptakan. Jadi dari pengertian secara etimologis itu doktrin dapat diartikan sebagai hukum yang diciptakan oleh orang cerdik pandai/ahli.[11]
Sedangkan doktrin menurut penulis adalah ajaran atau pendapat para ahli hukum yang telah diakui kepakarannya dan besar pengaruhnya dalam dunia hukum. Namun ajaran para ahli atau ilmu hukum bukan merupakan hukum karena tidak memiliki kekuatan mengikat (binding force). Seorang ahli hukum dapat dikatakan mengeluarkan doktrin apabila pendapat ahli hukum tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam memutus perkara.
Doktrin selain berwibawa juga bersifat objektif, sama halnya dengan pengadilan yang harus berlaku objektif. Oleh karenanya doktrin seringkali digunakan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam putusannya. Lebih-lebih jika doktrin itu mengatur secara eksplisit mengenai perkara yang sedang diperiksa dan diadili hakim, tentu akan mempunyai kedudukan yang tersendiri dalam peradilan.
Doktrin sebagai sumber hukum formil berarti doktrin menjadi tempat bagi hakim dalam mencari dan menemukan hukumnya. Kemudian doktrin itu digunakan hakim sebagai dasar putusannya. Kalimat diatas memberikan pengertian bahwa doktrin yang menjadi sumber hukum formil adalah doktrin yang telah digunakan oleh hakim sebagai dasar putusannya, atau dengan kata lain doktrin yang telah menjelma menjadi putusan hakim. Sedangkan doktrin yang hanya sekedar ajaran atau ilmu pengetahuan dan belum digunakan oleh hakim dalam putusannyam bukan merupakan sumber hukum formil.
Doktrin dalam sumber hukum formil nampak jelas terlihat pada pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice) tentang sumber-sumber Hukum Internasional. Pasal tersebut menyebutkan sumber-sumber hukum internasional, yaitu sebagai berikut:
1.     Perjanjian Internasional (treaty);
2.     Kebiasaan Internasional (international customary);
3.     Prinsip-prinsip umum hukum (the general principles of law) yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; dan
4.  Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teaching of the most highly qualified publicist).



[1] Lihat pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Produk hukum yang dihasilkan melalui prosedur seperti yang diatur dalam kedua pasal UUD 1945 itulah yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil.
[2] Moh. Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.XV.
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmi Politik, Edisi Revisi, Cet. Pertama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 304.
[4] Dalam prakteknya (teknis pelaksanaannya), Presiden selalu menunjuk menteri yang membidangi masalah yang diatur dalam RUU untuk membahsanya bersama DPR. Jadi bukan Presiden yang langsung mengikuti rapat-rapat pembahasan RUU di DPR.
[5] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 137.
[6] Van Apeldoorn, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht (Terjemahan oleh Oetarid Sadino: Pengantar Ilmu Hukum), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm.113.
[7] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.167.
[8] Bagir Manan dalam Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm.63.
[9] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm148.
[10] Ibid., hlm.146.
[11] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.80-81.