Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Jumat, 01 November 2013

Keterbukaan Informasi Publik dan Jaminan Hak atas Informasi di Indonesia



Dewasa ini, hak atas informasi diakui sebagai salah satu hak asasi manusia yang perlu mendapat jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Dalam pelbagai instrumen hukum internasional yang mengatur soal hak asasi manusia, hak atas informasi atau hak memperoleh informasi dicantumkan di dalamnya sebagai salah satu hak asasi (hak dasar) yang dijamin oleh hukum internasional.
Oleh karena itu universalitas perlindungan dan jaminan terhadap hak atas informasi (rights to know) sudah tidak diragukan lagi, karena hak atas informasi telah mendapat pengakuan secara universal sebagai salah satu hak yang paling mendasar yang melekat pada setiap individu manusia dan karenanya harus dihormati dan dipenuhi. Namun demikian pelaksanaan dan pemenuhannya disetiap negara diserahkan sepenuhnya kepada negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing negara.[1]
Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR 1948) telah merumuskan jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi. Pasal 19 UDHR 1948 menyebutkan:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”
Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.”

Meskipun deklarasi tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum terhadap negara-negara peserta atau penandatangannya, namun deklarasi tersebut mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya sehingga rumusan hak-hak yang terdapat di dalamnya, termasuk juga hak atas informasi, mendapat kekuatan tersendiri untuk dihormati oleh negara-negara di dunia ini.[2]
Pada perkembangan global selanjutnya, Komisi HAM PBB menyusun dan mengesahkan dua kovenan internasional sebagai tindak lanjut atas UDHR 1948 agar rumusan perlindungan HAM yang terdapat dalamnya dapat dielaborasi lebih lanjut dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi negara-negara peratifikasinya. Dua kovenan internasional tersebut ialah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Kedua kovenan tersebut disahkan (diterima baik oleh Sidang Umum PBB) pada 1966 dan baru berlaku sepuluh tahun kemudian, yaitu pada 1976 setelah memenuhi persyaratan jumlah negara peratifikasi sebanyak 35 negara.
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagian dari hak sipil dan politik, oleh karenanya hak tersebut dimasukan/diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Hak atas informasi dirumuskan dalam Pasal 19 ayat (2) ICCPR yang tiada lain merupakan derivasi dari ketentuan Pasal 19 UDHR 1948. Berikut adalah bunyi Pasal 19 ayat (2) ICCPR:
“Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.”
Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu tidak terlepas dari kesepakatan tersebut. Melalui jalan yang cukup panjang dan perdebatan yang melelahkan akhirnya tiba  giliran bagi Indonesia untuk meratifikasi ICCPR pada tahun 2005 dengan mengesahkannya melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Ratifikasi ICCPR tentu bukan hanya sekedar tindakan pengesahan oleh legislatif semata, melainkan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi Indonesia untuk melaksanakan segala ketentuan yang terdapat di dalamnya kerana telah disahkan melalui undang-undang dan menjadi hukum positif, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi.
Perkembangan keterbukaan informasi dan hak atas informasi di Indonesia, seperti juga di negara-negara lainnya mengalami fase-fase perkembangan yang cukup panjang. Butuh waktu lama untuk merubah rezim ketertutupan menjadi rezim keterbukaan. Dari segi yurudis atau landasan hukum yang menjamin dan mengatur keterbukaan informasi pun harus melalui perjalanan dan penantian yang cukup panjang.
Momentum perubahan kearah keterbukaan informasi dan penyelenggaran negara yang  terbuka dan akuntabel di negeri ini muncul bersamaan dengan gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim orde baru yang dianggap membelenggu hak atas informasi ketika itu. Harapan tersebut semakin menemui titik terang dan menjadi sebuah keniscahyaan berkat kesepakatan bangsa ini untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang dianggap; baik secara langsung maupun tidak langsung, turut menyebabkan timbulnya otoritarianisme karena berwatak executive heavy.[3]
Pengaturan dan jaminan hak atas informasi mendapat landasan yang sangat kokoh dengan dirumuskannya hak tersebut dalam Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 sebagai hasil amandemen kedua yang dilakukan pada tahun 2000.[4] Dengan demikian hak atas informasi telah memiliki landasan konstiusional dan telah menjadi hak konstitusional warganegara. Pasal 28F merupakan salah satu pasal UUD NRI Tahun 1945 yang terhimpun dalam Bab XA (Hak Asasi Manusia). Berikut ini adalah bunyi Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945:
“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Setelah mempunyai landasan konstiusional melalui Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, era keterbukaan informasi di Indonesia menjadi suatu keniscahyaan. Pada perkembangan selanjutnya dimulailah usaha dan perjuangan untuk membentuk undang-undang yang akan secara komprehensif mengatur mengenai keterbukaan informasi. Usaha tersebut dimulai sejak tahun 2000, diinisisasi oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang terdiri dari sejumlah LSM dan perorangan yang secara aktif melakukan advokasi mengenai urgensi Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).[5]
Melalui proses yang sangat panjang dan cukup alot, akhirnya pada tanggal 30 April 2008, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan dan diundangkan. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU KIP, undang-undang tersebut baru akan berlaku dua (2) tahun sejak diundangkan. Artinya, UU KIP baru berlaku pada tanggal 30 April 2010. Adanya jeda waktu dua tahun antara waktu pengesahan dengan waktu berlakunya UU KIP dimaksudkan untuk mempersiapkan segala  hal termasuk peraturan pelaksana serta sarana dan prasarana agar UU tersebut dapat berlaku secara efektif.
Melalui UU KIP itulah kemudian dibentuk suatu badan penyelesai sengketa informasi publik yang bersifat independen yang disebut Komisi Informasi. Kehadiran Komisi Informasi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai state auxiliary organ[6] yang menangani dan menyelesaikan sengketa informasi publik, menambah terang era keterbukaan informasi (openness information age) di Indonesia.
 Berdasarkan Pasal 23 UU KIP disebutkan bahwa “Komisi  Informasi  adalah lembaga mandiri yang berfungsi  menjalankan Undang-Undang ini  dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar  layanan informasi  publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi  Publik melalui  Mediasi  dan/atau Ajudikasi  nonlitigasi.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa Komisi Informasi adalah penjaga hak untuk tahu (the guardian of the rights to know).
Kehadiran UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan dibentuknya Komisi Informasi sebagai pelaksana UU tersebut membawa implikasi perubahan yang luas dan mendasar dalam bidang keterbukaan informasi dan pemenuhan hak atas informasi. Jika masa-masa sebelum lahirnya UU KIP diwarnai dengan ketertutupan maka masa-sama setelah adanya UU KIP ditandai dengan perubahan paradigma keterbukaan. Sebelum adanya UU KIP “semua informasi publik bersifat tertutup dan rahasia kecuali informasi tertentu yang dapat dibuka” tetapi setelah adanya UU KIP “semua informasi publik bersifat terbuka selain yang dikecualikan menurut undang-undang.”[7] Singkatnya Kehadiran UU KIP dan Komisi Informasi membawa kita dari era kegelapan/ketertutupan menuju era keterbukaan (from brown to brain).
Di dalam UU KIP ditegaskan secara rinci hak publik atas informasi publik yang pada hakekatnya adalah milik publik itu sendiri. Secara konsepsional, hak atas informasi bermakna dan meliputi hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Saat ini, hak atas informasi telah memiliki landasan yang kuat karena telah diformilkan baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam bentuk undang-undang (UU KIP) serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP memberikan definisi yuridis tentang informasi, yaitu:
“Informasi  adalah keterangan,  pernyataan,  gagasan,  dan tanda-tanda yang mengandung nilai,  makna,  dan pesan,  baik data,  fakta maupun penjelasannya yang dapat  dilihat,  didengar,  dan dibaca yang disajikan dalam berbagai  kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi  informasi  dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.”
Walaupun istilah informasi telah didefinisikan oleh Pasal 1 angka 1 diatas namun penting untuk dipahami bahwa tidak semua informasi dapat menjadi objek pengaturan UU KIP. Sesuai dengan judul/namanya, UU No. 14 Tahun 2008 hanya mengatur mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Artinya, tidak semua informasi dapat dibuka dan diakses oleh publik, hanya informasi publik sajalah yang dapat dibuka dan diakses oleh publik, itu pun masih ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Bab V (Pasal 17) mengenai Informasi yang Dikecualikan.[8] Jadi hak atas informasi yang dijamin dan dilindungi pemenuhannya oleh UU KIP adalah hak atas informasi publik.
Sedangkan mengenai apa yang dimaksud dengan informasi publik dan bagaimana batasannya, diuraikan dalam Pasal 1 angka 2 (Ketentuan Umum) UU KIP, yaitu:
“Informasi  Publik adalah informasi  yang dihasilkan,  disimpan,  dikelola,  dikirim,  dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai  dengan Undang- Undang ini  serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.”
Dari definisi yuridis diatas jelaslah bahwa hak atas informasi yang dapat dituntut pemenuhannya berdasarkan UU KIP adalah hak atas informasi yang dihasilkan,  disimpan,  dikelola,  dikirim,  dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai  dengan Undang- Undang ini  serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.” Jadi singkatnya hak atas informasi yang dijamin dan dilindungi pemenuhannya oleh UU KIP adalah hak atas informasi yang dimiliki/dikelola oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara atau kepentingan publik.
Sedangkan mengenai definisi dan cakupan badan publik yang dimaksud oleh UU KIP dijelaskan oleh Pasal 1 angka 3 UU KIP, yaitu sebagai berikut:
“Badan Publik adalah lembaga eksekutif,  legislatif,  yudikatif,  danbadan lain yang fungsi  dan tugas pokoknya berkaitan denganpenyelenggaraan negara,  yang sebagian atau seluruh dananyabersumber  dari  anggaran pendapatan dan belanja negaradan/atau anggaran pendapatan dan  belanja daerah,  atauorganisasi  nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruhdananya bersumber  dari anggaran pendapatan dan  belanjanegara dan/atau anggaran pendapatan dan  belanja daerah, sumbangan masyarakat,  dan/atau luar  negeri.”
Kata publik dalam konteks ini merupakan titik pangkal sekaligus inti perlindungan hak atas informasi. Informasi publik yang dihasilkan,  disimpan,  dikelola,  dikirim,  dan/atau  diterima oleh suatu Badan Publik pada hakekatnya merupakan milik publik itu sendiri, karena badan publik tersebut dibentuk, diselenggarakan, dan dibiayai (sebagian maupun seluruhnya) oleh publik. Oleh karena itu badan publik tersebut memupunyai kewajiban untuk selalu dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatannya kepada publik. Salah satu bentuk pertanggungjawaban tersebut ialah melalui pembukaan akses informasi sebagai media kontrol publik terhadap badan publik yang bersangkutan.[9] Oleh sebab itulah dikatakan sebelumnya bahwa kepentingan publik menjadi inti dari perlindungan hak atas informasi publik. Selama informasi itu dikategorikan sebagai informasi publik berdasarkan rumusan dan batasan yang diberikan oleh UU KIP maka hak untuk memperoleh dan mengaksesnya harus dijamin dan dipenuhi. Namun sebaliknya, apabila informasi yang diminta berada dibawah kekuasaan pribadi seseorang dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan penyelenggaraan negara atau kepentingan publik maka hukum keterbukaan informasi sebagai hukum publik tidak dapat menjangkaunya. Misal: permintaan untuk membuka dan mempublikasikan catatan-catatan pribadi seseorang yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik. Permintaan informasi yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai hak atas informasi publik dan oleh karenanya tidak dapat dituntut pemenuhannya berdasarkan UU KIP.




[1] Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 213.
[2] Ibid., hlm. 219.
[3] Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 27-28.
[4] Penyebutan dan penggunaan nomenklatur “UUD NRI Tahun 1945”  dimaksudkan agar sesuai dengan frasa yang digunakan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk menyebut UUD dan sekaligus menunjukan bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah UUD hasil amandemen.
[5] Anotasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat, Jakarta, 2009, hlm. 8.
[6] Yang dimaksud dengan state auxiliary organ menurut Jimly Asshiddiqie adalah lembaga negara yang sifat dan fungsinya menunjang salah satu atau ketiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif). Lihat lebih lanjut dalam buku Jimly Asshiddiqie “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
[7] Bandingkan dengan Centre for Law and Democracy, Penafsiran atas Pengecualian dalam Hak atas Informasi: Pengalaman di Indonesia dan Negara Lain, Centre for Law and Democracy dan ICEL, tanpa tempat terbit, 2012, hlm. 7.
[8] Jenis-Jenis Informasi Publik yang dikecualikan disebutkan dalam Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[9] Lihat juga Centre for Law and Democracy, Op.Cit., hlm. 8.