Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 26 Desember 2017

Mengenang Peristiwa Tsunami Aceh: Bencana yang Membawa Berkah Perdamaian



Di Indonesia, tanggal 26 Desember biasanya dikenang sebagai hari peringatan bencana Tsunami Aceh yang merenggut nyawa sekitar 105.262 warga Aceh dan Sumatera Utara yang terjadi 13 tahun silam (26 Desember 2004).[1] Bencana ini sendiri sebetulnya tidak hanya melanda Aceh melainkan juga wilayah negara-negara lain yang berada disekitar samudera Hindia. Tetapi Aceh adalah wilayah terdampak bencana Tsunami yang paling parah.[2]
Umumnya orang mengingat dan mengenang peristiwa itu dengan cerita duka karena kerusakan dan kehilangan yang ditimbulkannya. Tidak banyak orang yang sadar bahwa sebetulnya Tsunami Aceh tidak hanya datang membawa malapetaka dan kepiluan saja, tetapi ia juga datang membawa "berkah terselubung” atau blessing indisguised bagi rakyat Aceh dan bangsa Indonesia.
Dua puluh sembilan tahun lamanya Aceh dilanda konflik bersenjata yang memakan korban jiwa yang tak terhitung banyaknya akibat bentrokan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI.
Di sepanjang waktu yang terbentang selama 29 tahun itu pula berbagai upaya perdamaian telah dicoba. Tetapi usaha itu selalu menemui jalan buntu dan kegagalan yang menyebabkan berlanjutnya konflik bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI. Bahkan pada puncaknya, pada tanggal 18 Mei 2003, Presiden Megawati pernah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer dan mengizinkan operasi militer di Aceh.
Konflik antara GAM dan Pemerintah RI semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada masa-masa diberlakukannya darurat militer dalam kurun waktu tahun 2003-2004 itu. Meski kekuatannya telah berkurang drastis akibat operasi militer yang dilancarkan Pemerintah RI, akan tetapi GAM tidak kunjung menyerah dan melupakan cita-citanya mendirikan Negara Aceh yang merdeka dan terpisah dari NKRI.
Namun segalanya menjadi berubah setelah bencana Tsunami menyapu dan memporakporandakan Aceh pada 26 Desember 2004. Gempa yang tercatat dalam sejarah sebagai yang terbesar ketiga di dunia[3] itulah yang pada akhirnya membuat GAM dan Pemerintah RI sama-sama merasa terpanggil untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung selama hampir 3 dekade itu.
Gempa hebat yang menimbulkan Tsunami di Aceh itu telah menyatukan hati dan pikiran antara GAM dan Pemerintah RI untuk pertama kalinya dalam sejarah, yakni satu dalam tekad untuk mengadakan perundingan guna mengakhiri konflik bersenjata diantara keduanya, demi membangun Aceh yang porak poranda dan berduka akibat Tsunami.
Segera setelah peristiwa Tsunami Aceh itu, Pemerintah RI dan GAM bersepakat untuk memulai perundingan untuk mengakhiri konflik di Aceh secara damai, menyeluruh, dan permanen.
Perundingan yang sulit namun penuh harapan itu dimulai pada awal Januari 2005 di Helsinki, Finlandia, dengan bantuan mediasi dari sebuah lembaga swadaya internasional “Crisis Management Initiative” yang ketika itu diketuai oleh Martti Ahtisaari (Mantan Presiden Finlandia). Delegasi Indonesia diketuai oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Sedangkan delegasi GAM diketuai oleh Malik Mahmud Al-Haytar.
Singkat cerita, sebagai hasil daripada perundingan tersebut, pada tanggal 15 Agustus 2005 ditandatangani lah sebuah Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) antara Pemerintah RI dan GAM yang pada prinsipnya berisi kesepakatan perdamaian dan pengakhiran konflik diantara kedua belah pihak.
Dalam salah satu paragraf pembukaannya, tercantum kata-kata yang secara eksplisit menunjukan bahwa tragedi Tsunami Aceh-lah yang telah mendorong kesadaran kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik secara damai guna membangun Aceh pasca Tsunami 26 Desember 2004.
"The parties are deeply convinced that only the peaceful settlement of the conflict will enable the rebuilding of Aceh after the tsunami disaster on 26 December 2004 to progress and succeed."
(Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan).
Pengakuan yang sama juga tercantum pada Konsiderans Menimbang huruf e UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang tidak lain merupakan sebuah undang-undang yang ditujukan untuk mengakomodasi dan menindaklanjuti kesepakatan Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM.
"bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia"
Tsunami Aceh mungkin saja bukan satu-satunya causa (penyebab) terjadinya perundingan damai dan pengakhiran konflik antara Pemerintah RI dan GAM, karena ada banyak juga kajian yang mengatakan bahwa merosotnya kekuatan GAM akibat operasi militer selama masa darurat militer 2003-2004 sebagai salah satu faktor pendorong bersedianya GAM maju ke meja perundingan.
Akan tetapi satu yang pasti adalah, Tsunami Aceh telah memungkinkan dan mempercepat upaya perdamaian dan pengakhiran konflik tersebut lantaran kedua belah pihak sama-sama melihat bahwa pembangunan Aceh pasca Tsunami jauh lebih penting daripada sekedar mempertahankan tuntutan masing-masing terhadap satu sama lainnya. Sebaliknya, tanpa adanya bencana Tsunami, sulit rasanya kita membayangkan bahwa perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM benar-benar dapat terwujud pada medio 2005 itu.
Jadi sangat jelas bahwa Tsunami Aceh yang terjadi 13 tahun silam tidak hanya menyisakan kerusakan dan kehilangan yang mendalam, tetapi juga membawa berkah tersulubung di dalamnya, yakni menghadirkan perdamaian yang telah terkoyak selama 29 tahun lamanya.
Saya belum tahu secara persis apakah pernah ada juga konflik atau peperangan lain yang berakhir dengan kesepakatan perdamaian akibat adanya bencana alam seperti kasus Tsunami Aceh ini. Tapi kalaupun ada, maka jelas Tsunami Aceh ini termasuk salah satu diantaranya, yakni konflik bersenjata atau peperangan yang berakhir damai akibat adanya bencana alam!

[1] Data Prakiraan Korban Jiwa Tsunami Aceh, Kementerian Sosial RI, 11 Januari 2005.
[2] BBC News, “Indian Ocean tsunami anniversary: Memorial events held,” http://www.bbc.com/news/world-asia-30602159, Diakses pada tanggal 26 Desember 2017.
[3] National Science Foundation, “Analysis of the Sumatra-Andaman Earthquake Reveals Longest Fault Rupture Ever,” https://www.nsf.gov/news/news_summ.jsp?cntn_id=104179, Diakses pada tanggal 26 Desember 2017.

Rabu, 20 Desember 2017

Palestina Perlu Membentuk Angkatan Bersenjata (Catatan Kecil)



Konflik Israel-Palestina sangat kompleks dan akut. Tidak terlalu sulit untuk melihat betapa suramnya harapan perdamaian di tanah para nabi itu. Lihat saja peta Israel-Palestina sekarang, daerah-daerah yang masih diduduki bangsa Palestina saat ini sudah semakin menyusut dan terpisah satu sama lainnya oleh wilayah Israel. Antara Gaza yang berada ditepi Laut Mediterania dan Yerussalem (termasuk Tepi Barat) sudah terpisah sama sekali oleh wilayah yang diduduki Israel.
Dua wilayah yang secara de jure (hukum) diakui sebagai teritori Palestina itu benar-benar terpisah dan terputus satu sama lainnya. Penduduk Gaza yang ingin masuk dan mengunjungi tanah airnya di Yerussalem harus melewati teritori Israel dan tentu saja harus tunduk pada hukum keimigrasian Israel. Hal tersebut berlaku juga bagi penduduk Yerussalem yang ingin berkunjung ke Gaza. Satu pemandangan yang sangat ganjil yang menggambarkan betapa akutnya masalah kemerdekaan, kedaulatan, dan teritori Palestina yang dihimpit oleh Agresor yang bernama Israel.
Upaya perdamaian yang selama ini dilakukan selalu temporer sifatnya dan tidak banyak mengubah peta pendudukan Israel yang semakin hari semakin banyak mengambil wilayah Palestina.
Kalau boleh berpendapat sedikit ekstrem tetapi jujur, nampaknya Palestina harus segera melengkapi perangkat negaranya dengan membentuk Angkatan Bersenjata yang resmi dan tetap.
Langkah Palestina dalam membentuk Angkatan Bersenjata mungkin sudah jauh terlambat dan tertinggal, karena Israel sudah jauh lebih dulu melakukannya sesaat setelah proklamasi kemerdekaannya pada tahun 1948 dan saat ini Militer Israel adalah salah satu angkatan bersenjata paling kuat dan paling siap berperang di kawasan Timur Tengah. Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?
Militer Israel hampir dapat dipastikan akan merespon pembentukan Angkatan Bersenjata Palestina dengan mengobarkan perang terhadap Palestina. Belum lagi ditambah dengan penolakan dan besar kemungkinan juga sanksi dari negara-negara barat pendukung Israel. Akan tetapi dengan membentuk dan memiliki Angkatan Bersenjata, setidaknya bangsa Palestina punya kesempatan untuk mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan mereka sendiri. Adalah hak Palestina sebagai sebuah negara yang merdeka untuk membentuk angkatan bersenjata guna melindungi dan mempertahankan kemerdekaannya.
Tugas negara-negara muslim dan negara mana pun yang mendukung kemerdekaan Palestina untuk mendukung dan membantu pembentukan angkatan bersenjata Palestina, dengan segala konsekuensinya, sebagaimana juga dulu negara-negara barat seperti Inggris dan Amerika gigih mendukung dan membantu pembentukan angkatan bersenjata Israel di awal-awal berdirinya Israel di tanah Palestina, meskipun negara-negara Arab menentang keras dan meresponnya dengan mengobarkan Perang (yang disebut Perang Kemerdekaan Israel).
Mungkin Palestina akan menerima konsekuensi yang berat atas pilihan tersebut, tapi setidaknya Palestina telah merintis jalan untuk membentuk sebuah negara yang merdeka, berdaulat, dan utuh layaknya negara-negara lain yang juga memiliki Angkatan Bersenjata untuk melindungi kemerdekaannya (kecuali beberapa negara yg memilih untuk tidak membentuk Angkatan Bersenjata seperti Kosta Rika dll).
Diplomasi saja tidak cukup dan terbukti selama berpuluh puluh tahun Palestina semakin tertinggal dan terdesak oleh Israel yang punya militer yang begitu perkasa. Diplomasi Palestina sejak sekarang harus dibarengi dan ditopang oleh kekuatan bersenjata, karena begitu lah cerita bangsa-bangsa yang dahulu pernah dijajah dan berjuang merebut kemerdekaannya, termasuk Indonesia. Suatu kemerdekaan yang tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh penjajah memang harus dilakukan dengan cara merebutnya melalui strategi diplomasi dan juga militer.
Kalau Israel saja yang datang ke tanah Palestina sebagai imigran tapi punya hak membentuk dan memiliki Angkatan Bersenjata, mengapa bangsa Palestina sebagai pemilik yang sah dari tanah tersebut tidak boleh membentuk dan memiliki Angkatan Bersenjatanya juga? Tentu saja Palestina harus melakukannya. Cepat atau lambat Palestina harus memiliki Angkatan Bersenjata.
Si vis pacem para bellum: jika menginginkan perdamaian maka bersiaplah untuk perang!
-          Arief Ainul Yaqin, Depok 20 Des 2017