Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 01 Juni 2015

Polemik Sabda Raja dan Dawuh Raja Yogyakarta dalam Perspektif Hukum



Sebagaimana telah diketahui secara luas, di penghujung April 2015, tepatnya pada tanggal 30, Sultan Hamengku Buwono X “secara mengejutkan” mengeluarkan Sabda Raja yang pada intinya berisi perubahan gelar Sultan. Berdasarkan Sabda Raja itu, Sultan Hamengku Buwono X yang sebelumnya bergelar “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat” dirubah menjadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng ka Sepuluh Suryaning Mataram lan senopati ing ngalogo lanngengin bawono langgeng langgengin toto panotogomo.”
Dikeluarkannya Sabda Raja yang berisi perubahan gelar Sultan itu sontak menimbulkan pertanyaan dan reaksi dari masyarakat luas, khususnya masyarakat Yogyakarta. Hal itu dikarenakan antara lain telah digunakannya gelar “Hamengku Buwono” dan “Khalifatullah” dalam silsilah Raja-Raja Yogyakarta sejak ratusan tahun (sejak Hamengku Buwono I).
Belum surut reaksi masyarakat menanggapi Sabda Raja itu, Sultan Hamngku Bawono X (sesuai perubahan gelar) kembali mengeluarkan penetapannya yang diberi nama “Dawuh Raja” pada tanggal 5 Mei 2015. Dawuh Raja itu pada intinya berisi perubahan sekaligus penobatan gelar baru bagi Puteri Sulung Sultan Hamenku Bawono X dari yang sebelumnya bergelar “Gusti Kanjeng Ratu Pembayun” menjadi “Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.”
Perubahan dan penobatan gelar bagi puteri sulung Sultan itu ternyata menimbulkan reaksi dan kontroversi yang lebih dahsyat lagi. Sebagian dari reaksi tersebut bahkan sudah bermetamorfosa menjadi praduga atau spekulasi tentang arah kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta. Sejumlah kalangan berspekluasi bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan oleh Sultan ditujukan untuk menyiapkan puteri sulungnya sebagai penerus takhta Kesultanan Yogyakarta setelahnya.
Spekulasi dan praduga itu tentu saja bukan tanpa alasan. Gelar Mangkubumi dalam paugeran keraton Yogyakarta memang biasanya dinisbatkan pada mereka yang ditetapkan menjadi putera mahkota, calon pewaris takhta Kerajaan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat). Hal inilah yang kemudian menjadi polemik, karena jika benar Sabda Raja dan Dawuh Raja itu dalam rangka melapangkan jalan bagi puteri sulung Sultan untuk menjadi pewaris takhta kerajaan, maka oleh banyak kalangan hal itu dinilai telah keluar dari tradisi dan paugeran keraton yang selama ini hanya memungkinkan keturunan laki-laki yang bisa menjadi Raja atau Sultan.
Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan oleh Sultan, masing-masing pada tanggal 30 April dan 5 Mei 2015 itu tidak saja berdampak  bagi internal Keraton Yogya saja. Dalam catatan Penulis, Sabda Raja dan Dawuh Raja itu juga memiliki implikasi terhadap tatanan hukum positif yang berlaku di negara kita. Dimensi hukum yang ditimbulkan dari adanya Sabda Raja dan Dawuh Raja itu sekurang-kurangnya nampak dari tiga hal berikut ini: status dan kedudukan Sabda Raja dan Dawuh Raja dalam sistem perundang-undangan di Indonesia serta kemungkinan pembatalannya, serta ruang dan peluang dalam undang-undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bagi Puteri Mahkota Kasultanan Yogyakarta untuk menjadi Gubernur.
Status dan Kedudukan Sabda Raja dan Dawuh Raja dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia seta Kemungkinan Pembatalannya
Mengenai jenis-jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diakui dalam sistem hukum di Indonesia telah diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pasal-pasal tersebut jelas sekali bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Bawono X tidak termasuk di dalamnya, artinya tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Jadi jelaslah bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja bukan merupakan produk peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum positif di negara kita.
Sabda Raja dan Dawuh Raja dapat dikatakan sebagai produk (hukum) yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono semata-mata dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai Raja atau Sultan dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bukan dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai Gubernur dari suatu daerah provinsi.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai Raja dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadingrat yang sekaligus juga merupakan Gubernur dari Provinsi DI Yogyakarta, maka terdapat dua kapasitas dalam diri Sultan. Pertama, ia berkedudukan sebagai Sultan atau Raja dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam kedudukanya yang pertama ini, Sultan menjalankan kekuasaan tradisionalnya dalam lingkungan kasultanan yang ia pimpin berdasarkan hukum atau paugeran yang berlaku di dalam kasultanan itu sendiri. Kedua, ia berkedudukan sebagai gubernur dari suatu daerah provinsi yang tentu saja dalam menjalankan kekuasaannya terikat dan tunduk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Dua kapasitas dan kedudukannya itu dapat diwujudkan secara sendiri-sendiri (terpisah satu sama lain) atau secara bersamaan. Salah satu contoh nyata dari yang disebut pertama itu ialah Sultan Hamengku Bawono X sebagai Raja mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja yang semata-mata bersumber dari hukum atau paugeran kasultanan yang sama sekali tidak berumber pada hukum positif.
Oleh karena Sabda Raja dan Dawuh Raja dikeluarkan dalam kapasitas yang pertama, yakni semata-mata dalam kedudukannya sebagai Sultan atau Raja dari Kasultanan Yogyakarta, maka sudah tentu kedua produk itu pun tidak dapat dikategorikan sebagai produk hukum positif atau produk perundang-undangan. Dan oleh karena kedua produk itu bukan merupakan peraturan perundang-undangan serta bukan pula sebuah keputusan (keputusan tata usaha negara), maka Sabda Raja dan Dawuh Raja tidak dapat diajukan pengujian dan pembatalan, baik melalui Pemerintah Pusat (executive review) maupun melalui lembaga yudisial atau pengadilan (judicial review).
Ruang dan Peluang bagi Puteri Mahkota Kasultanan Yogyakarta Menjadi Gubernur
Sebagaimana diketahui bahwa Dawuh Raja tanggal 5 Mei 2015 telah mengubah gelar Puteri Sulung Sultan Hamengku Bawono X dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Atas dasar Dawuh Raja itu pula GKR Mangkubumi kemudian diperintahkan duduk di atas watu gilang, sebuah tradisi simbolis bahwa yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai Puteri Mahkota yang akan menjadi pewaris takhta (Sri Margana, Tempo 11 Mei 2015).
Dawuh Raja itu yang kemudian dengan segera menuai polemik, bahkan penolakan dari adik-adik Sultan Hamengku Bawono. Alasan utamanya, tidak dikenal dalam sejarah dan silsilah Kasultanan Yogyakarta adanya “Ratu” atau perempuan yang memimpin kerajaan tersebut. Dengan begitu maka tidak dikenal juga adanya Puteri Mahkota yang notabene akan menjadi pewaris takhta kerajaan.
Polemik itu kemudian ditarik dalam ranah yuridis dimana sebagian besar pendapat mengatakan bahwa UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak memungkinkan adanya Gubernur/Sultan dari Kerajaan Yogyakarta yang berasal dari kaum perempuan. Pendapat itu didasarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m yang menyatakan bahwa salah satu syarat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur ialah menyerahkan daftar riwayat hidup yang isinya memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Kata “isteri” dalam daftar riwayat hidup Calon Gubernur itulah yang kemudian ditafsirkan dan dimaknai bahwa Calon Gubernur haruslah seorang laki-laki. Terhadap pendapat yang demikian Penulis mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut penulis, kata “isteri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No. 13 Tahun 2012 itu tidaklah berarti bahwa yang dapat menjadi Calon Gubernur Yogyakarta hanyalah laki-laki. Sebab kata “isteri” dalam pasal tersebut harus dimaknai hanya sebagai keterangan atau sebagian isi dari daftar riwayat hidup, dan itu pun sifatnya alternatif sebagaimana kata-kata “saudara kandung” dan “anak.”
 Jika kata “isteri” ditafsirkan sebagai suatu syarat/keharusan yang mutlak maka seharusnya syarat itu juga berlaku dalam hal harus adanya “saudara kandung” dan “anak,” artinya seorang Calon Gubernur Yogyakarta harus laki-laki, harus memiliki saudara kandung, dan harus memiliki anak. Jika konstruksi hukum seperti itu yang dipakai maka tentu saja itu sudah diluar daripada yang dimaksud oleh Pasal 18 ayat (1) tentang syarat-syarat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Seandainya UU No. 13 Tahun 2012 membatasi Calon Gubernur Yogyakarta hanya kepada laki-laki saja, maka tentu hal itu sudah dicantumkan dengan tegas dalam Pasal 18 ayat (1). Akan tetapi pada kenyataan tidak seperti itu. Adanya kata “isteri” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m hanya merupakan salah satu isi dari suatu daftar riwayat hidup yang sifatnya alternatif (boleh ada boleh tidak ada).
Jadi penulis berkesimpulan, tidak ada hambatan yuridis bagi seorang Puteri Mahkota (perempuan) untuk menjadi Gubernur Yogyakarta, selama ia memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2012. Hambatan justru datang dari segi historis-kultural yang berlaku di internal keraton Yogyakarta itu sendiri. Apakah tradisi atau paugeran di lingkungan keraton memungkinkan seorang perempuan bertakhta di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat? pertanyaan itulah yang akan menentukan bisa tidaknya seorang perempuan menjadi Gubernur Yogyakarta. Karena siapa yang bertakhta di Kasultanan Yogyakarta maka dialah yang berhak dicalonkan sebagai Gubernur Yogyakarta menurut mekanisme yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2012.