Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 12 Oktober 2020

Tentang Undang-Undang Omnibus (Omnibus Law)

 

Di negeri asalnya, Amerika, Undang-Undang Omnibus (Umnibus Bill) ini sering diejek dengan sebutan "The Big Ugly" = Si Jelek yang Besar atau Si Besar yang Jelek.

Kenapa?
 
Karena UU model ini menyatukan banyak materi pengaturan dari subjek (bidang) yang berbeda-beda dalam satu wadah undang-undang. Isinya sendiri mulai dari pengaturan (pasal-pasal) baru, perubahan, serta penghapusan pasal-pasal lama dari berbagai undang-undang yang berbeda-beda. Jadi secara substansi UU model Omnibus ini akan berukuran sangat besar dan gendut. Jumlahnya bahkan bisa mencapai ribuan pasal dalam satu UU. Karenanya UU ini akan terlihat jelek sebab isinya terdiri dari materi-materi lintas sektor yang berbeda satu sama lain sehingga tidak terlihat seragam.
 
Lebih jelek lagi karena UU Omnibus ini sering dijadikan alat oleh pembuat undang-undang di Amerika untuk meloloskan sebuah undang-undang yang besar dan gendut tanpa perdebatan dan partisipasi publik yang memadai. Undang-undang model ini akan menghambat atau menyulitkan siapa pun yang akan mencermati dan mengoreksinya lantaran begitu banyaknya pasal-pasal yang terkandung di dalamnya.
 
Dengan begitu banyaknya materi atau pasal-pasal yang terkandung di dalamnya, UU Omnibus ini umumnya masuk ke dalam sidang-sidang pembahasan di Parlemen hanya sekedar gimik (formalitas) belaka. Minim pendalaman dan perdebatan, apalagi parisipasi publik.
 
Rancangan UU Omnibus ini biasanya adalah sesuatu yang "taken for granted" dari pengusul/inisiatornya kepada Parlemen. Artinya, RUU Omnibus akan diterima begitu saja oleh Parlemen untuk diloloskan menjadi undang-undang. Hanya sedikit yang akan dan bisa diubah dalam sidang-sidang pembahasan di Parlemen. Selebihnya Parlemen akan menyetujui saja apa yang sudah tertera dalam rancangan yang sudah dibuat pengusulnya. Sebab Parlemen sendiri akan kelelahan, tidak berdaya, dan tidak mempunyai cukup waktu untuk mengkaji satu persatu pasal dari UU yang besar dan gendut ini.
 
Itulah kenapa Omnibus Bill atau Omnibus Law ini disebut sebagai "The Big Ugly" di negara asalnya sendiri.
 
UU model ini banyak dikritik oleh publik di Amerika maupun Kanada (negara yang paling pertama dan masih sering menerapkan Omnibus Bill) sebagai "anti democratic bill" (undang-undang anti demokrasi). Sebab sering digunakan untuk meloloskan materi-materi yang kontroversial dan ditolak oleh warga dengan cara meramunya dalam sebuah undang-undang yang besar dan gemuk yang dibahas dengan waktu yang sangat singkat sehingga bisa menekan perdebatan dan partisipasi publik.
 
Anehnya, UU model seperti ini ternyata bisa masuk dan diadopsi di Indonesia. 
 
Belum lagi jika dilihat dari tradisi dan sistem perundang-undangan di Indonesia yang sama sekali tidak mengenal undang-undang model Omnibus yang bersumber dari sistem Anglo Saxon ini, sedangkan kita bukan penganut Anglo Saxon sehingga watak perundang-undangan kita pun sangat berbeda dengan Amerika dan Kanada, tempat di mana Omnibus Bill ini dilahirkan dan dikembangkan.
 
Saking anehnya UU model Omnibus ini, Profesor (Guru Besar) Ilmu Perundang-undangan nomor wahid di Indonesia pun, yakni Prof. Maria Farida sempat kebingungan dan tidak tahu tentang Omnibus Law ini. Sebab Omnibus Law ini memang tumbuh dan berkembang di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika dan Kanada. Sementara sistem perundang-undangan kita kebanyakan berkiblat pada tradisi Eropa Kontinental seperti Belanda dan Jerman yang memang tidak mengenal UU model ini.

Jumat, 25 September 2020

MENYOAL SANKSI SOSIAL BAGI PELANGGAR PROTOKOL KESEHATAN COVID-19

Di masa Pandemi ini kita diresahkan dengan banyaknya produk hukum yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) yang sewenang-wenang dalam mencantumkan sanksi (dalam hal ini adalah Sanksi Sosial) bagi para pelanggar protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19, khususnya di daerah-daerah yang sedang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Alih-alih mendisiplinkan warga untuk taat pada protokol kesehatan guna menekan potensi penyebaran Covid-19, Pemerintah dan Pemda justru terjebak pada kesalahan dan pelanggaran yang fatal terhadap hukum dan hak-hak warga negara.

Dengan dalih mendisiplinkan warga agar taat pada protokol pencegahan penyebaran Covid 19, Pemerintah dan Pemda banyak mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Peraturan atau bahkan Keputusan, seperti Peraturan/Keputusan Menteri[1] dan Peraturan/Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang di dalamnya mencantumkan Sanksi Sosial seperti membersihkan fasilitas umum dengan mengenakan rompi sebagai penanda bahwa yang bersangkutan adalah pelanggar dan lain sebagainya.

Ada sekurang-kurangnya dua (2) catatan sekaligus kritik terkait maraknya pencantuman dan pengenaan Sanksi Sosial ini:

Pertama, Sanksi Sosial seperti yang telah dijelaskan di atas sudah tidak dikenal lagi dalam sistem hukum di Indonesia saat ini, bahkan dalam rezim hukum pidana sekalipun.  Sanksi dalam hukum pidana (hukuman) seperti yang tertera pada Pasal 10 KUHP sudah tidak lagi mengenal jenis hukuman berupa “Sanksi Sosial” semacam ini, yakni yang bersifat memaksa fisik seseorang untuk bekerja sambil menyerang kehormatan dan martabatnya dengan mengenakan atribut penanda tertentu.

Adapun jenis-jenis sanksi/hukuman yang dikenal dalam hukum pidana kita saat ini menurut Pasal 10 KUHP adalah:

      Hukuman Pokok: hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda.

Hukuman Tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu (seperti hak politik untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu), perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, untuk sampai pada penjatuhan sanksi pidana seperti yang disebut di atas, seseorang harus terlabih dahulu menjalani proses hukum pidana yang disetiap tingkatannya (dari mulai penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan) selalu diberikan hak dan kesempatan untuk membela diri melalui proses pidana yang fair dan adil. Setelahnya, hukuman hanya dapat diberikan oleh hakim melalui vonis hakim setelah yang bersangkutan terlebih dahulu diberikan hak untuk membela diri secara adil dan layak. Setelah vonis itu dijatuhkan pun masih dimungkinkan untuk mengajukan perlawanan melalui banding, kasasi, bahkan hingga peninjauan kembali.

Demikian itulah proses panjang yang harus ditempuh oleh negara untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana (hukuman yang dikenakan terhadap fisik, kebebasan, dan martabat manusia) terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Tidak instan, serampangan, dan sepihak layaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan banyak instansi Pemerintah dan Pemda dalam menjatuhkan Sanksi Sosial kepada pelanggar protokol pencegahan Covid-19 yang saat ini marak terjadi.

Pencantuman dan pengenaan Sanksi Sosial ini menurut hemat saya amat sangat keliru dan tidak layak untuk dipertahankan oleh Pemerintah. Sebab selain mengandung kekacauan teoretis (tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia) juga akan berimplikasi pada kekacauan dan pelanggaran hak-hak warga negara pada tataran pelaksanaannya di lapangan. Hal tersebut terbukti dengan maraknya pemberitaan di media masa tentang adanya sekelompok pelanggar protokol pencegahan Covid-19 yang dikenakan berbagai macam sanksi dari mulai membersihkan fasilitas umum, memungut sampah sampai puntung rokok (yang mana justru sangat rentan penularan Covid-19 yang berasal dari benda-benda dan sampah yang dibersihkan tersebut), menziarahi pemakaman korban Covid-19, hingga sanksi yang bersifat fisik seperti push-up, squat jump dan lain sebagainya.

Kedua, tidak seharusnya Sanksi Sosial yang bersifat fisik dan menyerang martabat seseorang tersebut ditetapkan dalam sebuah produk hukum pada level Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, apalagi hanya dalam sebuah Keputusan. Sebab yang dapat mencantumkan sanksi hanyalah produk hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan, sedangkan keputusan bukan peraturan perundang-undangan.

Pada prinsipnya, secara hukum tidak boleh ada hukuman yang dikenakan terhadap fisik dan kebebasan manusia. Jika pun ada maka sanksi tersebut hanya dapat ditimpakan pada jenis pelanggaran yang bersifat pidana, bukan pada pelanggaran perdata atau administratif. Jadi yang dapat dikenakan sanksi yang bersifat fisik dengan merampas kebebasannya hanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan pidana, yakni jika perbuatan tersebut telah dikategorikan oleh undang-undang sebagai tindak pidana dan diancam dengan sanksi pidana.

Untuk itu, ancaman sanksi pidana hanya dapat dimuat pada level undang-undang (dan Perda dengan pembatasan pada jenis hukuman dan kadarnya). Selain undang-undang, tidak boleh ada peraturan lain yang memuat sanksi yang bersifat menimpakan beban penderitaan terhadap fisik, martabat, dan kebebasan manusia seperti yang terjadi pada jenis Sanksi Sosial yang marak diberlakukan oleh Pemerintah dan Pemda terhadap pelanggar protokol pencegahan Covid-19.

Sedangkan Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota bukan lah undang-undang dan menurut hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia[2] kedudukannya berada di bawah undang-undang. Sementara Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 sendiri telah memberikan rambu-rambu dan batasan mengenai jenis perundang-undangan yang dapat memuat ketentuan sanksi pidana, yakni terbatas hanya pada level Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Untuk Perda sendiri dibatasi hanya boleh memuat sanksi pidana berupa pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000.

Jadi dilihat dari sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sendiri, pencantuman ketentuan Sanksi Sosial dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota  yang tidak lain bersifat fisik dan karenanya lebih dekat dengan karakteristik jenis sanksi pidana daripada jenis sanksi perdata dan sanksi administratif ini lagi-lagi mengandung kekeliruan dan kekacauan. Tidak seharusnya peraturan-peraturan setingkat Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota memuat Sanksi Sosial yang sebetulnya lebih berkarekter pidana. Sementara rezim hukum pidana sendiri saat ini sudah tidak mengenal dan memberlakukan Sanksi Sosial semacam itu.

Lantas jika Sanksi Sosial semacam itu tidak dapat lagi dipertahankan oleh Pemerintah dan Pemda lalu dengan instrument sanksi apa pemerintah akan mengendalikan perilaku masyarakat untuk mematuhi protokol pencegahan penyebaran Covid-19?

Jawabannya tentu sangat mudah, yakni cukup kita kembalikan dan berpedoman pada aturan dan sistem pembentukan peraturan-perundangan yang baik dan benar.

Pertama, jika pemerintah menganggap bahaya penyebaran Covid-19 sudah sedemikan berbahaya sehingga kepatuhan masyarakat akan protokol pencegahannya sangat urgens dan pelanggaran terhadapnya tidak dapat lagi ditolerir, maka Pemerintah baik di level pusat maupun di daerah dapat merumuskan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 sebagai tindak pidana dan karenanya pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi pidana (yang jenis-jenis hukumannya mengacu pada Pasal 10 KUHP). Hal tersebut harus dituangkan dalam produk hukum berupa Undang-Undang dan Perda.

Kedua, jika langkah di atas dianggap berlebihan dan belum diperlukan maka Pemerintah dan Pemda harus konsekuen dengan penilaiannya tersebut (artinya tidak memerlukan penedekatan pidana). Karenanya ancaman sanksi bagi para pelanggar protokol pencegahan Covid-19 cukup saja dikenakan sanksi yang bersifat administratif (non pidana). Ada beberapa jenis sanksi administratif yang dikenal dalam teori hukum maupun praktik administrasi negara kita saat ini yang bisa dipilih oleh Pemerintah dan Pemda untuk digunakan sebagai sanksi yang akan dikenakan terhadap pelanggar protokol pencegahan Covid-19, seperti teguran lisan dan/atau tertulis, denda administratif, pencabutan atau pembekuan sementara pelayanan publik tertentu, dan penghentian kegiatan tertentu.

Sanksi administratif semacam itu nampak lebih logis dan lebih tepat untuk digunakan oleh pemerintah sebagai instrument hukum untuk mendisiplinkan warga dalam upaya nasional mencegah dan menekan penyebaran Covid-19. Dengan begitu protokol kesehatan yang digalakan pemerintah dapat tetap berjalan tanpa pemerintah melakukan kesalahan dan pelanggaran terhadap hukum dan hak-hak warga negara.


[1] Contoh: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019(Covid-19).

[2] Jenis-jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia di atur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikut urutannya secara hierarkis: UUD 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.

 

Jumat, 11 September 2020

PATENT COOPERATION TREATY (PCT): PENGERTIAN DAN KETENTUAN SERTA PROSES PENDAFTARANNYA

 I.     Apa itu PCT?

Pada prinsipnya, PCT adalah suatu sistem global yang dirancang WIPO untuk memfasilitasi proses perolehan perlindungan paten di banyak negara hanya dengan mengajukan satu aplikasi permohonan di negara asal. Sistem ini sama halnya dengan Protokol Madrid untuk rezim pendaftaran merek. Jika Protokol Madrid berlaku untuk pendaftaran secara internasional bagi Merek, maka PCT berlaku untuk pendaftaran secara internasional bagi Paten.

Kkeuntungan dari sistem PCT ini ialah hanya dengan mengajukan satu permohonan perlindungan internasional paten melalui PCT, maka inventor (pemohon) bisa mendapatkan perlindungan hukum atas patennya di banyak negara sesuai dengan keinginan pemohon dengan syarat negara itu adalah anggota PCT.[1] Misal, inventor (penemu) ingin mendapatkan perlindungan paten di Jerman, Inggris, Amerika, Korea Selatan atau Jepang dsb, maka dia hanya perlu mengajukan satu permohonan melalui PCT di negara asalnya (missal Indonesia), tidak perlu lagi mengajukan permohonan perlindungan paten ke masing-masing negara tersebut satu persatu.

Namun demikian yang harus digarisbawahi adalah, keputusan akhir untuk mengabulkan (granting) atau menolak (rejection) permohonan paten ini tetap diputuskan oleh masing-masing kantor paten dari negara yang dituju (designating party).

Dengan fasilitas PCT, biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan perlindungan internasional atas paten di banyak negara relatif murah serta hemat dari segi waktu bila dibandingkan individu atau pengusaha swasta mengajukan permohonan perlindungan paten ke masing-masing negara secara satu persatu.

PCT disahkan pada tanggal 19 Juni 1970 di Washington Amerika dan berlaku secara efektif pada tanggal 24 Januari 1978 di lingkungan negara pesertanya. Indonesia sendiri baru mengaksesi dan memberlakukan PCT ini pada 7 Mei 1997 melalui Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (Pct) and Regulations Under The Pact.[2]

Sejak saat itu berlaku lah sistem pendaftaran paten secara internasional berdasarkan Traktat ini, di mana paten dalam negeri dapat didaftarkan secara internasional di banyak negara sekaligus, dan pada saat yang bersamaan Indonesia juga menerima pendaftaran paten internasional dari luar negeri dengan menggunakan Traktat ini. Prosedur permohonan paten secara internasional berdasarkan PCT ini saat ini telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten.[3]

 

II.   Apakah Pendaftaran Paten di Indonesia Menjadi Wajib untuk Paten PCT yang Berasal dari    Indonesia?

Permohonan Paten secara internasional (di banyak negara) dengan menggunakan sistem PCT bersifat opsional, tergantung daripada pilihan dan keinginan pemohon paten: (i) apakah pemohon paten akan mendaftarkan patennya di banyak negara; (ii) dan apakah pendaftaran paten di banyak negara itu akan dilakukan oleh pemohon dengan memanfaatkan sistem PCT.

Jadi pendaftaran paten di Indonesia tidak serta merta diwajibkan untuk menggunakan sistem PCT. Pendaftaran paten melalui sistem  PCT hanya bisa dimanfaatkan bagi paten-paten yang hendak didaftarkan secara internasional di banyak negara, dan itu pun sifatnya opsional (tidak wajib), tergantung pilihan dan keinginan pemohon paten itu sendiri apakah akan menempuh pendaftaran paten secara internasional dengan menggunakan sistem PCT, ataukah akan menempuh pendaftaran paten secara regular/konvensional di masing-masing negara yang dituju (tanpa PCT).[4]

Sifat opsional dari sistem PCT ini sendiri dapat dengan mudah dibaca dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten juncto Pasal 37 ayat (1) Permenkumham No. 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten yang berbunyi:  Permohonan dapat diajukan berdasarkan Traktat Kerja Sama Paten.”

Kata dapat diajukan” dari ketentuan di atas jelas menunjukan bahwa pemanfaatan/penggunaan sistem PCT untuk pendaftaran paten di banyak negara itu bersifat opsional, bukan keharusan.

 

III.         Tata Cara dan Syarat Pendaftaran Paten melalui PCT

Permohonan pendaftaran paten melalui PCT dilakukan dengan tata cara dan syarat sebagaimana pendaftaran biasa (non PCT), kecuali yang jelas-jelas disebutkan secara berbeda/khusus di bawah ini:

A.          Media Permohonan

          Permohonan dapat diajukan secara elektronik atau non elektronik.[5]

B.           Permohonan melalui PCT dapat diajukan melalui mekanisme:

1.      Indonesia sebagai Kantor Penerima (negara asal); atau

2.      Indonesia sebagai Kantor Tujuan (negara tujuan).[6]

C.           Membayar biaya permohonan:[7]

1.      Biaya pengiriman atau transmittal fee;[8]

2.      Biaya pemrohonan berdasarkan PCT;[9]

3.     Tambahan biaya kelebihan halaman permohonan yang diajukan melebihi 30 halaman;[10]

4.      Biaya penelusuran internasional;[11]

 

Ø   Mekanisme Permohonan melalui PCT dengan Indonesia sebagai Kantor Penerima[12]

1)            Mengajukan permohonan secara:

 A. Elektronik, dengan formulir permohonan yang dapat diunduh melalui situs WIPO, yang dilampiri dengan:[13]

a)      Deskripsi dalam bahasa Inggris;

b)      Klaim dalam bahasa Inggris;

c)      Abstrak dalam bahasa Inggris;

d)      Gambar (jika ada);

e)      Bukti pembayaran transmittal fee;

f)       Surat kuasa (jika memakai kuasa); dan

g)      Bukti hak prioritas (jika menggunakan prioritas). atau

 B.  Non elektronik, dengan mengisi formulir dan melengkapi lampiran formulir sebagaimana dimaksud di atas di Kantor Penerima (Ditjen KI).

2)            Subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan:

a)      Badan hukum atau warga negara Indonesia; dan

b)      Badan hukum atau warga negara asing yang berdomisili di wilayah Indonesia.

3)           Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1) di atas yang telah memenuhi persyaratan wajib membayar biaya sebagaimana dimaksud pada huruf C di atas.

4)        Pengajuan pemohonan melalui PCT dengan Indonesia sebagai Kantor Penerima, Pemohon menentukan Lembaga Penelusuran Internasional yang ditunjuk untuk melakukan penelusuran pada International Searching Authority dan/atau Lembaga Pemeriksaan Pendahuluan Internasional yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan pada International Preliminary Examination Authority sesuai dengan ketentuan dari WIPO.

5)      Lembaga penelusuran internasional dan lembaga pemeriksaan pendahuluan sebagaimana dimaksud di atas meliputi: a.Kantor Paten Australia; b.Kantor Paten Eropa; c.Kantor Paten Jepang; d.Kantor Paten Korea Selatan; e.Kantor Paten Singapura; dan f.Kantor Paten Rusia.

6)         Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1) di atas dilakukan pemeriksaan administrasi paling lama 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pengajuan permohonan.

7)           Dalam hal berdasarkan pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud di atas permohonan dinyatakan belum lengkap, Kantor Penerima memberitahukan kepada Pemohon secara tertulis agar melengkapi persyaratan administrasi paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan.

8)         Kantor Penerima bertindak untuk menetapkan Tanggal Penerimaan Permohonan yang telah melengkapi persyaratan administrasi.

9)         Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud di atas dikirimkan (oleh Kantor Penerima) ke Biro Internasional WIPO secara elektronik dengan mengunggah seluruh dokumen Permohonan.

 

Ø   Mekanisme Permohonan melalui PCT dengan Indonesia sebagai Kantor Penerima[14]

1)           Permohonan diajukan oleh Pemohon melalui Biro Internasional WIPO pada Kantor Penerima yang dipilih Pemohon pada negara anggota PCT untuk diteruskan kepada Menteri (c.q Ditjen KI) sebagai Kantor Tujuan Permohonan.

2)           Subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan:

a)   warga negara Indonesia dan/atau warga negara asing yang tergabung dalam negara anggota PCT; dan/atau

b)    badan hukum di Indonesia dan/atau badan hukum asing yang tergabung dalam negara anggota PCT.

3)         Permohonan berdasarkan PCT yang diajukan kepada Ditjen KI sebagai tujuan Permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lambat 31 (tiga puluh satu) bulan terhitung sejak:

a)      tanggal penerimaan internasional; atau

b)      tanggal Hak Prioritas yang paling awal.

4)          Permohonan sebagaimana dimaksud di atas yang telah melebihi jangka waktu 31 (tiga puluh satu) bulan tetap dapat mengajukan Permohonan disertai alasan ketidaksengajaan dan dikenai biaya.

5)        Permohonan berdasarkan PCT sebagaimana  dimaksud  pada  angka  1),  Pemohon harus mengisi   formulir   dan   membayar   biaya Permohonan sesuai     dengan     ketentuan     peraturan     perundang-undangan.

6)               Formulir Permohonan sebagaimana  dimaksud  di atas memuat data:

a)      tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;

b)      nama,    alamat    lengkap,    dan    kewarganegaraan Inventor;

c)      nama,    alamat    lengkap,    dan    kewarganegaraan Pemohon  dalam  hal  Pemohon  adalah  bukan  badan hukum;

d)      nama   dan   alamat   lengkap   Pemohon   dalam   hal Pemohon adalah badan hukum;

e)    nama,   dan   alamat   lengkap   Kuasa   dalam   hal Permohonan diajukan melalui Kuasa; dan

f)       nama  negara  dan  Tanggal  Penerimaan Permohonan yang  pertama  kali  dalam  hal  Permohonan  diajukan dengan Hak Prioritas.

7)            Selain mengisi Permohonan sebagaimana dimaksud di atas Permohonan wajib   melampirkan dokumen sebagai berikut:

a)      judul Invensi;

b)      Deskripsi tentang Invensi;

c)      Klaim atau beberapa Klaim Invensi;

d)      Abstrak Invensi;

e)  Gambar   yang   disebutkan   dalam   deskripsi   yang diperlukan     untuk     memperjelas     Invensi,     jika Permohonan dilampiri dengan Gambar;

f)       surat   kuasa   dalam   hal   Permohonan   diajukan melalui Kuasa;

g)      surat pernyataan kepemilikan Invensi oleh Inventor;

h)  surat pengalihan hak kepemilikan Invensi dalam hal Permohonan  diajukanoleh  pemohon  yang  bukan Inventor; dan

i)     surat  bukti  penyimpanan  Jasad  Renik  dalam  hal Permohonan terkait dengan Jasad Renik

8)            Lampiran  formulir sebagaimana  dimaksud  pada  angka 7) yang dalam  bahasa  asing  harus  diterjemahkan  dalam bahasa Indonesia.

9)      Dalam  hal  judul,  deskripsi,  klaim,  dan  abstrak,  serta apabila  terdapat  Gambar  sebagaimana  dimaksud  pada angka 7) ditulis  dalam  bahasa  asing,  terjemahan  dalam Bahasa  Indonesia  harus  disampaikan  paling  lama  30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal pengajuan.

10)         Apabila   judul,   deskripsi,   klaim,  dan   abstrak,  serta apabila terdapat Gambar yang ditulis dalam bahasa asing tidak dilengkapi dengan  terjemahan dalam Bahasa Indonesia   sampai   dengan   batas   waktu   sebagaimana dimaksud di atas, Permohonan dimaksud dianggap ditarik kembali.

11)       Pengumuman Permohonan berdasarkan PCT dengan Indonesia sebagai Kantor Tujuan yang telah diajukan kepada Menteri dimulai paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pengajuan.

 

 



[1] Per tanggal 31 Agustus 2020, negara anggota PCT berjumlah 153 negara. Lihat daftarnya dalam https://www.wipo.int/pct/en/pct_contracting_states.html, Diakses tanggal 31 Agustus 2020.

[2] Terlampir.

[3] Khususnya Bab IV tentang Permohonan Berdasarkan Traktat Kerja Sama Paten (Pasal 37 – Pasal 49), Peraturan Terlampir.

[4] Lihat juga dalam situs resmi WIPO, https://www.wipo.int/pct/en/faqs/faqs.html, Diakses pada tanggal 31 Agustus 2020.

[5] Pasal 37 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten.

[6] Ibid., Pasal 37 ayat (4).

[7] Ibid., Pasal 37 ayat (5) – ayat (8).

[8] Dibayar kepada Ditjen KI.

[9] Dibayar kepada International Bureau WIPO.

[10] Ibid.

[11] Dibayar kepada Lembaga Penelusuran Internasional yang dipilih oleh Pemohon.

[12] Lihat Pasal 38 – Pasal 42 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten.

[13] Contoh dokumen terlampir.

[14] Lihat Pasal 43 – Pasal 48 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 38 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten.