Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Jumat, 25 September 2020

MENYOAL SANKSI SOSIAL BAGI PELANGGAR PROTOKOL KESEHATAN COVID-19

Di masa Pandemi ini kita diresahkan dengan banyaknya produk hukum yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) yang sewenang-wenang dalam mencantumkan sanksi (dalam hal ini adalah Sanksi Sosial) bagi para pelanggar protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19, khususnya di daerah-daerah yang sedang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Alih-alih mendisiplinkan warga untuk taat pada protokol kesehatan guna menekan potensi penyebaran Covid-19, Pemerintah dan Pemda justru terjebak pada kesalahan dan pelanggaran yang fatal terhadap hukum dan hak-hak warga negara.

Dengan dalih mendisiplinkan warga agar taat pada protokol pencegahan penyebaran Covid 19, Pemerintah dan Pemda banyak mengeluarkan produk hukum dalam bentuk Peraturan atau bahkan Keputusan, seperti Peraturan/Keputusan Menteri[1] dan Peraturan/Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota yang di dalamnya mencantumkan Sanksi Sosial seperti membersihkan fasilitas umum dengan mengenakan rompi sebagai penanda bahwa yang bersangkutan adalah pelanggar dan lain sebagainya.

Ada sekurang-kurangnya dua (2) catatan sekaligus kritik terkait maraknya pencantuman dan pengenaan Sanksi Sosial ini:

Pertama, Sanksi Sosial seperti yang telah dijelaskan di atas sudah tidak dikenal lagi dalam sistem hukum di Indonesia saat ini, bahkan dalam rezim hukum pidana sekalipun.  Sanksi dalam hukum pidana (hukuman) seperti yang tertera pada Pasal 10 KUHP sudah tidak lagi mengenal jenis hukuman berupa “Sanksi Sosial” semacam ini, yakni yang bersifat memaksa fisik seseorang untuk bekerja sambil menyerang kehormatan dan martabatnya dengan mengenakan atribut penanda tertentu.

Adapun jenis-jenis sanksi/hukuman yang dikenal dalam hukum pidana kita saat ini menurut Pasal 10 KUHP adalah:

      Hukuman Pokok: hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda.

Hukuman Tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu (seperti hak politik untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu), perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, untuk sampai pada penjatuhan sanksi pidana seperti yang disebut di atas, seseorang harus terlabih dahulu menjalani proses hukum pidana yang disetiap tingkatannya (dari mulai penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan) selalu diberikan hak dan kesempatan untuk membela diri melalui proses pidana yang fair dan adil. Setelahnya, hukuman hanya dapat diberikan oleh hakim melalui vonis hakim setelah yang bersangkutan terlebih dahulu diberikan hak untuk membela diri secara adil dan layak. Setelah vonis itu dijatuhkan pun masih dimungkinkan untuk mengajukan perlawanan melalui banding, kasasi, bahkan hingga peninjauan kembali.

Demikian itulah proses panjang yang harus ditempuh oleh negara untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana (hukuman yang dikenakan terhadap fisik, kebebasan, dan martabat manusia) terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Tidak instan, serampangan, dan sepihak layaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan banyak instansi Pemerintah dan Pemda dalam menjatuhkan Sanksi Sosial kepada pelanggar protokol pencegahan Covid-19 yang saat ini marak terjadi.

Pencantuman dan pengenaan Sanksi Sosial ini menurut hemat saya amat sangat keliru dan tidak layak untuk dipertahankan oleh Pemerintah. Sebab selain mengandung kekacauan teoretis (tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia) juga akan berimplikasi pada kekacauan dan pelanggaran hak-hak warga negara pada tataran pelaksanaannya di lapangan. Hal tersebut terbukti dengan maraknya pemberitaan di media masa tentang adanya sekelompok pelanggar protokol pencegahan Covid-19 yang dikenakan berbagai macam sanksi dari mulai membersihkan fasilitas umum, memungut sampah sampai puntung rokok (yang mana justru sangat rentan penularan Covid-19 yang berasal dari benda-benda dan sampah yang dibersihkan tersebut), menziarahi pemakaman korban Covid-19, hingga sanksi yang bersifat fisik seperti push-up, squat jump dan lain sebagainya.

Kedua, tidak seharusnya Sanksi Sosial yang bersifat fisik dan menyerang martabat seseorang tersebut ditetapkan dalam sebuah produk hukum pada level Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, apalagi hanya dalam sebuah Keputusan. Sebab yang dapat mencantumkan sanksi hanyalah produk hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan, sedangkan keputusan bukan peraturan perundang-undangan.

Pada prinsipnya, secara hukum tidak boleh ada hukuman yang dikenakan terhadap fisik dan kebebasan manusia. Jika pun ada maka sanksi tersebut hanya dapat ditimpakan pada jenis pelanggaran yang bersifat pidana, bukan pada pelanggaran perdata atau administratif. Jadi yang dapat dikenakan sanksi yang bersifat fisik dengan merampas kebebasannya hanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan pidana, yakni jika perbuatan tersebut telah dikategorikan oleh undang-undang sebagai tindak pidana dan diancam dengan sanksi pidana.

Untuk itu, ancaman sanksi pidana hanya dapat dimuat pada level undang-undang (dan Perda dengan pembatasan pada jenis hukuman dan kadarnya). Selain undang-undang, tidak boleh ada peraturan lain yang memuat sanksi yang bersifat menimpakan beban penderitaan terhadap fisik, martabat, dan kebebasan manusia seperti yang terjadi pada jenis Sanksi Sosial yang marak diberlakukan oleh Pemerintah dan Pemda terhadap pelanggar protokol pencegahan Covid-19.

Sedangkan Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota bukan lah undang-undang dan menurut hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia[2] kedudukannya berada di bawah undang-undang. Sementara Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 sendiri telah memberikan rambu-rambu dan batasan mengenai jenis perundang-undangan yang dapat memuat ketentuan sanksi pidana, yakni terbatas hanya pada level Undang-Undang dan Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Untuk Perda sendiri dibatasi hanya boleh memuat sanksi pidana berupa pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000.

Jadi dilihat dari sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sendiri, pencantuman ketentuan Sanksi Sosial dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota  yang tidak lain bersifat fisik dan karenanya lebih dekat dengan karakteristik jenis sanksi pidana daripada jenis sanksi perdata dan sanksi administratif ini lagi-lagi mengandung kekeliruan dan kekacauan. Tidak seharusnya peraturan-peraturan setingkat Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota memuat Sanksi Sosial yang sebetulnya lebih berkarekter pidana. Sementara rezim hukum pidana sendiri saat ini sudah tidak mengenal dan memberlakukan Sanksi Sosial semacam itu.

Lantas jika Sanksi Sosial semacam itu tidak dapat lagi dipertahankan oleh Pemerintah dan Pemda lalu dengan instrument sanksi apa pemerintah akan mengendalikan perilaku masyarakat untuk mematuhi protokol pencegahan penyebaran Covid-19?

Jawabannya tentu sangat mudah, yakni cukup kita kembalikan dan berpedoman pada aturan dan sistem pembentukan peraturan-perundangan yang baik dan benar.

Pertama, jika pemerintah menganggap bahaya penyebaran Covid-19 sudah sedemikan berbahaya sehingga kepatuhan masyarakat akan protokol pencegahannya sangat urgens dan pelanggaran terhadapnya tidak dapat lagi ditolerir, maka Pemerintah baik di level pusat maupun di daerah dapat merumuskan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 sebagai tindak pidana dan karenanya pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi pidana (yang jenis-jenis hukumannya mengacu pada Pasal 10 KUHP). Hal tersebut harus dituangkan dalam produk hukum berupa Undang-Undang dan Perda.

Kedua, jika langkah di atas dianggap berlebihan dan belum diperlukan maka Pemerintah dan Pemda harus konsekuen dengan penilaiannya tersebut (artinya tidak memerlukan penedekatan pidana). Karenanya ancaman sanksi bagi para pelanggar protokol pencegahan Covid-19 cukup saja dikenakan sanksi yang bersifat administratif (non pidana). Ada beberapa jenis sanksi administratif yang dikenal dalam teori hukum maupun praktik administrasi negara kita saat ini yang bisa dipilih oleh Pemerintah dan Pemda untuk digunakan sebagai sanksi yang akan dikenakan terhadap pelanggar protokol pencegahan Covid-19, seperti teguran lisan dan/atau tertulis, denda administratif, pencabutan atau pembekuan sementara pelayanan publik tertentu, dan penghentian kegiatan tertentu.

Sanksi administratif semacam itu nampak lebih logis dan lebih tepat untuk digunakan oleh pemerintah sebagai instrument hukum untuk mendisiplinkan warga dalam upaya nasional mencegah dan menekan penyebaran Covid-19. Dengan begitu protokol kesehatan yang digalakan pemerintah dapat tetap berjalan tanpa pemerintah melakukan kesalahan dan pelanggaran terhadap hukum dan hak-hak warga negara.


[1] Contoh: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019(Covid-19).

[2] Jenis-jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia di atur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikut urutannya secara hierarkis: UUD 1945, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar