Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 19 Desember 2018

Sekilas Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia dan Amerika Serikat (California & Virginia)


Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Meskipun rumusan itu agak rancu karena bercampur aduknya pengertian bentuk negara dengan bentuk pemerintahan, namun dapatlah dimaklumi bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan dan bentuk pemerintahannya adalah republik.[1] Dikemukakannya bentuk negara Indonesia yang menganut unitarisme (kesatuan) ini penting dikemukakan di awal karena bentuk negara daripada suatu negara akan menentukan format hubungan pusat dan daerah, apakah akan diikat dalam bingkai kesatuan atau federalisme (serikat).
Secara konstitusional, pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah di Indonesia telah dituangkan dalam konstitusi, tepatnya pada Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945. Khusus mengenai sistem pemilihan kepala daerah, Pasal 18 ayat (4) UUD hanya menetapkan aturan pokoknya saja, yaitu dengan menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis (tanda tebal oleh penulis).”
Berdasarkan rumusan diatas dapat dipahami bahwa UUD hanya menentukan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Sedangkan pemaknaan atau pengejawantahan dari kata-kata “dipilih secara demokratis” itu akan seperti apa, apakah dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui cara demokratis lainnya, UUD menyerahkan sepenuhnya pilihan-pilihan itu kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dalam undang-undang.[2]
Untuk menerjemahkan dan mengejawantahkan amanat konstitusional yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD sebagaimana dimaksud diatas, pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) baru baru ini telah menetapkan legal policy-nya dengan mengeluarkan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang-Undang No.1 Tahun 2015 itu sendiri saat ini telah dilengkapi dan disempurnakan dengan UU No. 8 Tahun 2015 (Perubahan Pertama) dan UU No. 10 Tahun 2016 (Perubahan Kedua).
Berdasarkan undang-undang tersebut, Pemilihan Kepala Daerah tetap dilakukan secara langsung. Format pemilihan kepala daerah yang akhirnya tetap dilaksanakan secara langsung ini merupakan hasil perdebatan dan diskursus yang panjang atas sejumlah opsi yang muncul sebagai akibat rumusan yang terbuka (open legal policy) dari Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Bahkan, Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 ini pun tidak lain merupakan buah dari polemik dan perdebatan antara dua pendapat yang saling berhadap-hadapan, yaitu antara opsi pemilihan langsung atau tidak langsung (melalui DPRD). Sebelumnya, melalui UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemilihan kepala daerah ditetapkan melalui cara pemilihan tidak langsung  (melalui DPRD). Akan tetapi, karena mendapat penolakan yang luas dan masif akhirnya UU No. 22 Tahun 2014 itu segera dicabut oleh Presiden melalui Perppu No. 1 Tahun 2014.
Menurut UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015, Pemilihan Kepala Daerah akan diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia.[3] Namun pemilihan serentak itu akan dilakukan secara bertahap dari mulai tahun 2015, mengingat adanya perbedaan habisnya masa bakti kepada daerah di Indonesia.[4]
Amerika Serikat
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Amerika adalah negara yang berbentuk federal (serikat). Hal itu dapat dengan mudah kita ketahui misalnya dengan membaca Preambule of the U.S Constitution yang berbunyi:
“We the People of the United States, in Order to form a more perfect Union, establish Justice, insure domestic Tranquility, provide for the common defence, promote the general Welfare, and secure the Blessings of Liberty to ourselves and our Posterity, do ordain and establish this Constitution for the United States of America.”
Dengan bentuk negaranya yang federal maka sudah barang tentu terdapat perbedaan mendasar antara AS dan Indonesia dalam soal rancang bangun atau format hubungan antara pusat dan daerah.
Sebelum lebih lanjut membahas tentang sistem pemilihan kepala daerah di AS, perlu kiranya dikemukakan di awal bahwa istilah atau nomenklatur yang terjemahannya sebanding dengan “daerah” sebagaimana istilah itu digunakan di Indonesia, tidak dikenal/digunakan di AS yang notabene berbentuk federal. Nomenklatur yang digunakan untuk menyebut “daerah” setingkat provinsi di AS adalah “State” yang berarti “Negara Bagian” sedangkan nomenklatur yang digunakan untuk menyebut “daerah” setingkat kota/kabupaten adalah “city atau municipal.”
Salah satu ciri yang kemudian membedakan antara negara-negara federal dengan negara kesatuan adalah, tidak diaturnya seluk beluk pemerintahan daerah di dalam konstitusi federal sebagaimana hal itu biasanya diatur dalam konstitusi negara-negara kesatuan. Jika pun diatur, maka pengaturan itu biasanya hanya menggambarkan hubungan antara negara bagian dengan negara federal atau antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah negara federal. Hal itu disebabkan karena kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangga masing-masing negara bagian sepenuhnya menjadi wewenang negara bagian dan biasanya akan diatur dalam konstitusi negara bagian, bukan dalam konstitusi federal.[5]
Apa yang telah disebutkan diatas nampaknya juga berlaku di AS. Dalam Konstitusi AS, pengaturan mengenai “States” atau “Negara-Negara Bagian” hanya dimaktubkan secara sekilas pada Article IV (The States) dan materinya pun tidak sampai mengatur perihal sistem pemilihan kepala/gubernur negara bagian.[6] Sebagaimana dikatakan oleh Erwin Chemerinsky “the federalist structure of the governmnet is much less apparent from the text of the Constitution than is the separation of powers.”[7] Maksudnya, pengaturan mengenai sistem pembagian kekuasaan secara vertikal (anatar pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian) di dalam Konstitusi AS sangat terbatas dan tidak segamblang pengaturan mengenai sistem pemisahan kekuasaan secara horizontal diantara tiga (3) cabang kekuasaan pemerintahan federal (legislatif, eksekutif, dan yudisial). Karenanya, perihal sistem pemilihan gubernur negara bagian, termasuk dengan cara apa ia dipilih, apakah secara langsung atau melalui lembaga perwakilan, sepenuhnya menjadi yurisdiksi/kedaulatan dari masing-masing negara bagian untuk mengaturnya (umumnya dalam Konstitusi Negara Bagian). Konsekuensinya, akan terdapat beragam pola atau sistem pemilihan gubernur di AS, karena pengaturan akan hal itu diserahkan kepada masing-masing negara bagian.
Berdasarkan kenyataan diatas maka diperoleh kesimpulan bahwa memperbandingkan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia dengan sistem pemilihan gubernur di AS tidak bisa dilakukan secara nasional, karena pengaturan mengenai hal itu secara nasional tidak dimungkinkan sebab AS menganut sistem federalisme. Yang dapat dilakukan ialah dengan megambil contoh/sampel dari beberapa negara bagian di AS. Oleh karenanya dibawah ini akan diajukan beberapa contoh singkat tentang pemilihan gubernur di dua (2) negara bagian AS.
Di Negara Bagian Texas, terdapat jabatan Gubernur (Governor) dan wakil gubernur yang disebut Lieutenant Governor. Keduanya dipilih dalam satu paket pemilihan oleh rakyat di negara bagian yang bersangkutan yang waktunya bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif. Jadi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Texas dilakukan secara langsung dan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif negara bagian.[8]
Di Negara Bagian California, Gubernur dan Lieutenant Governor dipilih pada waktu yang bersamaan (pada Pemilu Negara Bagian) akan tetapi keduanya merupakan jabatan yang terpisah dan tidak dipilih dalam satu paket. Masa jabatan Gubernur dan Lieutenant Governor adalah empat (4) tahun.[9]
            Sistem pemilihan gubernur yang serupa dengan Negara Bagian California itu juga berlaku di Negara Bagian Virginia. Hanya saja Konstitusi Virginia lebih lengkap mengatur pemilihan gubernur disana, yaitu dengan menyatakan bahwa jika terdapat dua atau lebih calon gubernur yang perolehan suaranya sama maka penentuan gubernur terpilih akan dilakukan oleh Parlemen Negara Bagian (General Assembly) dengan suara terbanyak.[10]
          

[1] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 209-211.
[2] Pasal 1 ayat (7) UUD 1945 memberikan kewenangan untuk mengatur perihal susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk mengenai tata cara pemilihan Kepala Daerah, kepada pembentuk undang-undang untuk diatur dalam undang-undang.
[3] Vide Pasal 3 Undang-Undang No. UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
[4] Vide Pasal 201 dan Pasal 202 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015.
[5] Lihat Soehino, llmu Negara, Edisi Ketiga, Cet. Kelima, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 226-227.
[6] Vide Article IV (The States) United States Constitution.
[7] Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Politics, 3rd Edition, Aspen Publishers, New York, 2006, hlm. 3.
[8] Vide Article 4 Section 2 Texas Constitution. Pendapat penulis yang didasarkan pada bunyi ketentuan Konstitusi Texas ini berbeda dengan apa yang dikatakan Prof. Jimly Asshiddiqie dimana ia mengatakan bahwa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Texas dipilih secara terpisah (tidak satu paket). Lihat pendapat tersebut dalam Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Edisi Kedia, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 248.
[9] Vide Article 5 Section 2 dan Section 11 California State Constitution. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit.
[10] Vide Article 5 Section 2 dan Section 13 Constitution of Virgina; Untuk diketahui bahwa Konstitusi Virginia ini baru saja mengalami amandemen pada Januari 2013.

Kamis, 13 Desember 2018

International Criminal Tribunal for Rwanda (Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda)


Latar Belakang Pembentukan
Seperti juga halnya ICTY, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) ini juga merupakan bentukan Dewan Keamanan PBB yang dibentuk melalui Resolusi No. 955 pada tanggal 8 November 1994.[1] Resolusi tersebut dikeluarkan DK PBB dibawah naungan Bab VII Piagam PBB yang memberikan wewenang  kepada DK PBB untuk mengambil langkah yang diperlukan guna menegakan perdamaian dan keamanan internasional.[2] Resolusi tersebut berisi Statuta ICTR yang menjadi landasan hukum bagi berdiri dan bekerjanya ICTR.
Sama juga halnya dengan latar belakang pembentukan ICTY, ICTR ini dibentuk sebagai respon masyarakat internasional yang direpresentasikan melalui DK PBB dalam menyikapi konflik yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994.
Konflik atau perang sipil di Rwanda itu sendiri bermula dari kekosongan kursi kepresidenan Rwanda yang ditinggalkan oleh mendiang Presiden Juvenal Habyarimana yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang yang ditumpanginya pada 6 April 1994. Menyusul kematian Presiden Rwanda itu, terjadi pembunuhan besar-besaran yang berdimensi politik dan etnik yang dimulai dari wilayah Kagali dan kemudian dengan cepat menyebar diseluruh wilayah Rwanda.[3]
Dalam konflik tersebut terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh etnis mayoritas di Rwanda, yaitu suku Hutu, terhadap etnis minoritas suku Tutsi. Bahkan ekstrimis suku Hutu juga turut menyasar kelompoknya sendiri sesama suku Hutu yang bersebrangan dengannya (Hutu Moderat). Pembantaian itu bermotif politik karena ekstrimis Hutu khawatir kehilangan kekuasaan dalam transisi demokrasi dan perang sipil di Rwanda.
 Dalam waktu singkat (1994), jutaan rakyat Rwanda hidup dibawah bayang-bayang perang sipil dan genosida. Dalam waktu yang singkat itu pula terjadi gelombang pembunuhan dan genosida yang sangat dahsyat, karena (sebagaimana dikemukakan oleh Dina L. Shelton)  hanya dalam tempo 100 hari lebih dari 800 ribu orang terbunuh dalam konflik tersebut.[4]
Konflik yang sangat mengerikan yang terjadi di belahan benua Afrika itu akhirnya memancing perhatian dunia. Merespon tragedi kemanusiaan itu DK PBB akhirnya mengeluarkan Resolusi No. 995 pada tanggal 8 November 1994, yakni dengan membentuk International Criminal Tribunal for Rwanda. Pembentukan ICTR itu sendiri merujuk pada preseden pembentukan pengadilan yang serupa untuk Yugoslavia setahun sebelumnya (1993).[5]
International Criminal Tribunal for Rwanda ini berkedudukan di Arusha, Tanzania.  Susunan kelembagaan ICTY terdiri atas trial chamber (tingkat pertama) dan appeal chamber (tingkat banding yang putusannya bersifat final dan terakhir).[6]
Secara organisatoris, layaknya pengadilan-pengadilan pada umumnya, ICTY terdiri dari hakim, penuntut umum, dan kepaniteraan.[7]
Komposisi Hakim ICTY terdiri dari 16 hakim dan berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1431 tanggal 14 Agustus 2002 ditetapkan adanya maksimum 18 hakim  hakim ad litem (hakim cadangan; pengganti). Pada kenyataannya di akhir bekerjanya pengadilan ini pada tahun 2015 hanya ada 9 hakim ad litem. Keenambelas hakim itu dipilih oleh Majelis Umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. ICTY dipimpin oleh satu orang Presiden/Ketua Mahkamah dan disampingi satu orang wakil yang berasal dari hakim tetap.[8]
Yurisdiksi International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY)
Yurisdiksi ICTR ini dapat dibedakan menjadi:
a.    Yurisdiksi dari segi waktu terjadinya kejahatan atau dikenal dengan istilah (ratione temporis);
b.       Yurisdiksi dari segi tempat/lokasi terjadinya kejahatan (ratione locus); dan
c.      Yurisdiksi materil (materiel jurisdiction atau ratione materiae), yakni cakupan jenis-jenis kejahatan yang dapat diadili oleh ICTR.
Pertama; ratione temporis, berdasarkan Statuta ICTR, kewenangan mengadili yang dimiliki oleh ICR ialah dibatasi hanya pada kejahatan-kejahatan yang terjadi antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994 (hanya 1 tahun).[9]
Kedua; ratione locus, berdasarkan Pasal 1 Statuta ICTR (competence of ICTR) ditegaskan bahwa yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan-kejahatan yang terjadi atau dilakukan di wilayah negara Rwanda dan negara-negara tetangganya.[10]
Ketiga; ratione materiae, berdasarkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 4 Statuta ICTR ditegaskan bahwa kejahatan yang dapat diadili dihadapan ICTR ialah meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.[11] 
Proses Persidangan dan Putusan
Dalam sejarah beridirnya ICTR hingga saat ini, tercatat sebanyak 93 orang telah didakwa dihadapan ICTR. Dari jumlah tersebut proses dari masing-masing terdakwa itu berbeda-beda tingkatan atau statusnya. Berikut adalah rekapitulasinya:
a.      Dikembalikan kasusnya untuk diselesaikan oleh pengadilan nasional (5 orang),
b.    Telah diputus; dijatuhi hukuman; atau kasusnya berhenti karena terdakwa meninggal dunia (66 orang), dan
c.       Diputus bebas (14 orang).
d.   Buron (8) yang pencariannya diserahkan pada MICT (Mechanism for International Criminal Tribunals.[12]
Dari sekian banyak terdakwa yang tercatat dalam register kasus di ICTY itu, kasus terpilih yang akan diangkat dan diulas secara singkat dalam tulisan ini ialah kasus Jean Kambanda. Kasus tersebut dipilih karena putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (final) dan Jean Kambanda adalah salah satu tokoh utama yang berada dibalik peristiwa kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di Rwanda, dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri ad interim yang berasal dari etnik/suku Hutu.[13]
          Kasus Jean Kambanda[14]
Jean Kambanda adalah Mantan Perdana Menteri ad interim Rwanda pasca kematian Presiden Juvenal Habyarimana. Kambanda merupakan salah satu aktor utama dibalik sejumlah kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di wilayah Rwanda.
Kasus Posisi dan Dakwaan Penuntut Umum
Secara garis besarnya, Kambanda dituduh  melakukan kejahatan-kejahatan serius terhadap HAM sebagai berikut:
1)      Kambanda adalah PM ad interim Rwanda sejak 8 April sampai dengan 17 Juli 1997. Ia bertanggung jawab atas segala kondisi keamanan di Rwanda pada saat menjabat jabatan tersebut. Dalam sidang-sidang kabinet seringkali disinggung persoalan perang sipil dan genosida yang terjadi di Rwanda namun Kambanda tidak melakukan upaya untuk menghentikannya;
2)   Kambanda yang didukung Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rwanda menyetujui perlawanan terhadap Front Patriotisme Rwanda yang diklaim sebagai organisasi suku Tutsi dan kelompok Hutu Moderat. Dalam pada itu pada tanggal 6 April 1994 Kambanda yang didukung oleh suku Hutu dan Angkatan Bersenjata Rwanda melakukan latihan militer sebagai persiapan dalam rangka pembunuhan besar-besaran di Rwanda.
3)    Pada tanggal 21 Juni 1994, Kambanda memberi dukungan secara terbuka untuk melakukan pengejaran dan pembunuhan suku Tutsi dan kelompok moderat Hutu;
4)     Kambanda terus mmeberikan dukungan terbuka bagi pembantaian suku Tutsi dan kelompok Moderat Hutu dalam banyak kesempatan sepanjang tahun 1994;
5)     Kambanda tidak melakukan upaya pencegahan dan tidak pula melakukan tindakan korektif dengan mengajukan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan berta terhadap HAM yang terjadi di Rwanda untuk diadili menurut hukum yang berlaku.[15]
Berdasarkan kasus-kasus tersebut, Penuntut Umum yang terdiri dari Carla Del Ponte, Solomon LOH, Norman Farrell, Morris Anyah, Mathias Marcussen mendakwa Kambanda dengan 6 dakwaan secara kumulatif, yaitu:
1)       Melanggar Pasal 2 ayat (3) huruf a juncto Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR;
2)       Melanggar Pasal 2 ayat (3) huruf b juncto Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR;
3)       Melanggar Pasal 2c ayat (3) huruf c  juncto Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR;
4)       Melanggar Pasal 2 ayat (3) huruf e  juncto Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR;
5)       Melanggar Pasal 3 huruf a juncto Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR; dan
6)       Melanggar Pasal 3 huruf b juncto Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR.[16]
Sanggahan Terdakwa
Yang menarik dari kasus ini dan membedakannya dengan kasus-kasu lainnya ialah terdakwa Jean Kambanda tidak memberikan sanggahan atas kejahatan-kejahatan serius terhadap HAM yang dituduhkan kepadanya. Sebaliknya, ia memberikan pengakuan atas semua perbuatan dan pasal-pasal yang didakwakan kepadanya.[17]
Pertimbangan Hakim dan Putusan
Pertimbangan hakim dalam kasus Jean Kambanda ini pada pokoknya adalah:
1)     Kambanda adalah Perdana Menteri yang memegang kekuasaan pemerintaha yang seharusnya menciptakan perdamaian dan mencegah terjadinya genosida yang memakan korban lebih dari 500 ribu jiwa;
2)  Kambanda mengakui bahwa pemerintahannya telah menyalurkan senjata dan amunisi untuk menyerang suku Tutsi;
3)   Kambanda mengakui telah melakukan hasutan secara terbuka untuk menggerakan pembantaian terhadap sukuTutsi;
4)    Penghasutan dan keterlibatan Kambanda dalam konflik yang terjadi di Rwanda tergolong sebagai kejahatan serius terhadap masyarakat internasional.[18]
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, Majelis Hakim pada trial chamber (tingkat pertama) menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap Kambanda. Putusan trial chamber ini  diajukan banding kepada appeal chamber oleh Kambanda. Appeal chamber kemudian menjatuhkan putusan yang menguatkan putusan trial chamber, yakni dengan pidana seumur hidup.[19]
Refleksi Kritis
Oleh karena ICTR ini memiliki banyak kemiripan dan keidentikan dengan ICTY, termasuk dalam segi hukum materiil dan hukum formilnya, maka refleksi kritis yang penulis berikan terhadap ICTY berlaku juga terhadap ICTR ini.
Hal yang berbeda dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya itu ialah ruang lingkup kejahatan-kejahatan serius terhadap HAM yang diatur dalam statuta ICTR dan yang senyatanya dipraktekan oleh ICTR tidak terbatas hanya dalam keadaan perang. Statuta ICTR tidak membatasi ruang lingkup kejahatan hanya dalam keadaan perang. Hal ini adalah sesuai dengan karakteristik kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di Rwanda yang memang lebih bersifat “konflik horizontal” atau perang sipil atau perang antar etnik. Hanya saja konflik tersebut melibatkan dukungan pemerintah terhadap etnik mayoritas (suku Hutu) yang melakukan pembantaian terhadap etnik minoritas (suku Tutsi). Akan tetapi jelas bahwa bukan pemerintah dan angkatan bersenjata yang secara langsung dan masif melakukan kejahatan tersebut.
Saat ini International Criminal Tribunal for Rwanda telah bubar karena dianggap telah selesai melakukan tugasnya yang sejak awal memang bersifat ad hoc. Secara resmi, pengadilan ini bubar atau berakhir masa tugasnya per 31 Desember 2015.[20] Selanjutnya, sebagaimana halnya ICTY yang juga telah dinyatakan bubar, segala tugas ICTR yang mungkin masih tersisa dan masih perlu penyelesaian akan dilanjutkan oleh International Residual Mechanism for Criminal Tribunals.[21]



[1] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 285.
[2] Vide Chapter VII Charter of United Nations 1945 (Piagam PBB).
[3] Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 175.
[4] Dina L. Shelton, Encyclopedia of Genocide and Crimes against Humanity, Vol. 3, Thomson Gale, Detroit, New York, San Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine, London, Munich, 2005,  hlm. 925.
[5] Arlina Permanasari et. all., Pengantar Hukum Humaniter, International Committe of the Red Cross, Jakarta, 1999, hlm. 190.
[6] Vide Article 10 a Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Stauta ICTR).
[7] Vide Article 11 Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[8] Vide Article 12bis Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[9] Vide Article 1 Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[10] Ibid.
[11] Untuk mengatuhi rumusan dari masing-masing kejahatan yang menjadi  yurisdiksi ICTR tersebut, lihat Article 1 – Article 4 Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[12] Lihat Website Resmi ICTR, http://unictr.irmct.org/en/cases/key-figures-cases, Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[13] Selain alasan diatas, alasan yang juga mendasari dipilihnya dua kasus itu ialah ketersediaan referensi atau literatur yang membahas kedua kasus tersebut.
[14] Data yang diangkat pada bagian ini sebagian besar bersumber dari Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S tertanggal 4 September 1998 dan Putusan Appeal Chamber ICTR No. ICTR 97-23-A Oktober 2000 atas nama Terdakwa Jean Kambanda; dan Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 190-193;
[15] Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 191;  Lihat juga bagian “Case on Merits” Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S tertanggal 4 September 1998 atas nama terdakwa Jean Kambanda.
[16] Eddy O. S., Hariej, Ibid., hlm. 192; lihat juga Bagian “Law and applicable principles” Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S tertanggal 4 September 1998 atas nama terdakwa Jean Kambanda.
[17] Loc Cit.
[18] Ibid.; lihat juga Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S tertanggal 4 September 1998 dan Putusan Appeal Chamber ICTR No. ICTR 97-23-A Oktober 2000 terhadap terdakwa Jean Kambanda.
[19]   Lihat Bagian “Verdict” (amar putusan) Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S tertanggal 4 September 1998 dan Putusan Appeal Chamber ICTR No. ICTR 97-23-A Oktober 2000 terhadap terdakwa Jean Kambanda.
[20] Lihat keterangan dan informasi mengenai berakhirnya ICTR ini dalam situs resmi International Residual Mechanism for Criminal Tribunals, http://www.irmct.org/en/about, Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[21] Untuk mengetahui secara singkat apa itu International Residual Mechanism for Criminal Tribunals, lihat situs resminya, http://www.irmct.org/en/about, Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.