Latar Belakang Pembentukan
International Criminal Tribunal for
Former Yugoslavia atau yang akrab disingkat menjadi ICTY ini dibentuk pada
tahun 1994 sebagai respon dan jawaban internasional atas tragedi kemanusiaan
yang terjadi di wilayah bekas negara Yugoslavia sejak pecahnya negara tersebut
pada awal dekade 90-an.[1]
Dalam pengamatan Dina L. Sheton, ada
empat faktor yang menyebabkan terjadinya perang di tanah Balkan. Pertama, lemahnya institusi Pemerintah
Federal Yugoslavia. Kedua, munculnya
semangat nasionalisme yang agresif dan ofensif dari Serbia. Ketiga, keruntuhan komunisme di awal
90-an yang melanda negara-negara komunis di Eropa Timur, termasuk Yugoslavia. Keempat, Tentara Rakyat Yugoslavia yang
terdiri dari orang-orang Serbia.[2]
Pada tanggal 25 Juni 1991 Slovenia
memproklamirkan kemerdekaannya dan dalam waktu 10 hari setelah pernyataan
kemerdekaan tersebut, Pemerintah Federal Yugoslavia meresponnya dengan
mengirimkan Tentara Rakyat Yugoslavia (Jugoslavenska
Narodna Armija; NJA). Peperangan diantara kedua pasukan dari kedua negara
itu akhirnya meletus hingga menewaskan banyak korban. Sementara itu
wilayah-wilayah lain yang semula adalah bagian dari Yugoslavia satu persatu memisahkan
diri dan menyatakan kemerdekaannya, seperti
Kroasia, Bosnia dan Herzegovina. Pemisahan diri atau kemerdekaan itu
juga direspon dengan pengerahan kekuatan militer untuk menghancurkan
negara-negara yang baru menyatakan kemerdekaannya itu. Akibatnya, perang tidak
dapat dihindarkan dan menghasilkan tragedi kemanusiaan yang mengguncang dunia
di awal dekade 90-an.[3]
Pengerahan kekuatan bersenjata JNA yang
utamanya terdiri dari orang-orang Serbia dilakukan secara brutal sehingga
menimbulkan banyak korban dari rakyat sipil. Salah satu peristiwa yang
memilukan dari sekian banyak tragedi kemanusiaan di tanah Balkan itu ialah
pembantaian dan pembunuhan Muslim Bosnia setelah Bosnia menyatakan
kemerdekaannya pada Desember 1991.[4]
Dalam rangka merespon konflik bersenjata
yang sudah semakin tidak terkendali dan meluas di tanah Balkan itu maka Dewan
Keamanan (DK) PBB mengambil tindakan dengan membentuk komisi ahli pada tanggal
6 Oktober 1992. Komisi ahli itu bertugas
untuk meneliti pelanggaran hukum internasional yang terjadi di wilayah
tersebut. Dalam laporan akhirnya, Komisi Ahli tersebut menyimpulkan dan
melaporkan kepada DK PBB bahwa telah terjadi pelanggaran berat terhadap HAM dan
hukum humaniter internasional.[5]
Menindaklanjuti
laporan tersebut DK PBB mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan Resolusi
827 pada 25 Mei 1993. Resolusi itu sendiri berisi Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia atau
yang dalam bahasa Indonesia sering disebut “Statuta ICTY.”[6] Melalui
Resolusi yang berisikan Statuta ICTY itulah terbentuk International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Pengadilan
Kejahatan Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia).[7]
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ini berkedudukan di Den Haag Belanda.[8] Susunan kelembagaan ICTY terdiri atas trial chamber (tingkat pertama) dan appeal chamber (tingkat banding yang
putusannya bersifat final dan terakhir).
Secara
organisatoris, layaknya pengadilan-pengadilan pada umumnya, ICTY terdiri dari
hakim, penuntut umum, dan kepaniteraan.[9]
Komposisi Hakim
ICTY terdiri dari 16 hakim tetap dan 12
hakim ad litem (hakim
cadangan; pengganti). Keenambelas hakim itu dipilih oleh Majelis Umum PBB untuk
masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. ICTY dipimpin oleh
satu orang Presiden/Ketua Mahkamah dan disampingi satu orang wakil yang berasal
dari hakim tetap.
Yurisdiksi
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY)
Untuk menjelaskan
mengenai yurisdiksi dari ICTY ini perlu dikemukakan di awal bahwa yurisdiksi
ICTY terdiri atas:
a. Yurisdiksi dari segi waktu terjadinya
kejahatan atau dikenal dengan istilah (ratione
temporis);
b. Yurisdiksi dari segi tempat/lokasi
terjadinya kejahatan (ratione locus); dan
c. Yurisdiksi materil (materiel jurisdiction atau ratione
materiae), yakni cakupan jenis-jenis kejahatan yang dapat diadili oleh
ICTY.
Pertama; ratione temporis, berdasarkan
Statuta ICTY, kewenangan mengadili yang dimiliki oleh ICTY ialah dibatasi hanya
pada kejahatan-kejahatan yang terjadi sejak 1 Januari 1991 sampai dengan
tanggal yang akan ditetapkan setelah terlaksanakanya restorasi perdamaian.[10]
Kedua; ratione locus, berdasarkan Pasal
1 Statuta ICTY ditegaskan bahwa yurisdiksi ICTY meliputi kejahatan-kejahatan
yang terjadi atau dilakukan di wilayah bekas negara Yugoslavia.[11]
Ketiga; ratione materiae, berdasarkan Pasal
2 sampai dengan Pasal 5 Statuta ICTY ditegaskan bahwa kejahatan yang dapat
diadili dihadapan ICTY ialah meliputi kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan genosida.[12]
Proses Persidangan dan Putusan
Dalam sejarah beridirnya ICTY hingga
saat ini, tercatat sebanyak 161 orang telah didakwa dihadapan ICTY. Dari jumlah
tersebut proses dari masing-masing terdakwa itu berbeda-beda tingkatan atau
statusnya. Berikut adalah rekapitulasinya:
a. Masih menjalani persidangan (4 orang),
b. Dikembalikan kasusnya untuk
diselesaikan oleh pengadilan nasional (13 orang),
c. Tidak dilanjutkan prosesnya karena
berbagai alasan seperti terdakwanya meninggal dunia atau dakwaannya telah
dicabut/dibatalkan (37 orang),
d. Telah diputus dan dijatuhi hukuman (89
orang), dan
e. Diputus bebas (18 orang).[13]
Dari sekian banyak
terdakwa yang tercatat dalam register kasus di ICTY itu, kasus terpilih yang
akan diangkat dan diulas secara singkat dalam tulisan ini ialah kasus Tihomir
Blaskic. Kasus tersebut dipilih karena putusannya sudah berkekuatan hukum tetap
(final) dan Tihomir Blaskic dapat dikatakan sebagai tokoh yang berada dalam
jajaran utama dibalik peristiwa kejahatan serius atau pelanggaran berat
terhadap HAM yang terjadi di bekas negara Yugoslavia, khususnya di wilayah
Bosnia Herzegovina yang menyangkut Muslim Bosnia.[14]
Kasus Tihomir Blaskic[15]
Tihomir Blaskic adalah seorang Jenderal
yang menjadi Komandan pada Dewan Pertahanan Kroasia (Croatia Defense Council). Tihomir Blaskic merupakan salah satu
aktor utama dibalik sejumlah kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap
HAM yang terjadi di wilayah Bosnia dan Herzegovina terhadap Muslim Bosnia.
Kasus Posisi dan Dakwaan Penuntut Umum
Secara garis besarnya, Tihomir Blaskic
dituduh (dan kemudian terbukti) melakukan kejahatan-kejahatan serius terhadap
HAM sebagai berikut:
1) Pada bulan Mei 1992 sampai
dengan Januari 1994 Tihomir Blaskic melakukan tindakan penganiayaan berat
terhadap penduduk Muslim Bosnia. Penganiayaan dilakukan secara besar-besaran
dengan skala yang luas dan sistematis di berbagai wilayah (kota, desa, dan
perkampungan) yang didiami oleh Muslim Bosnia;
2) Selama bulan Agustus 1992 sampai dengan September 1993 Blaskic melakukan
perampasan dan pengrusakan terhadap tempat-tempat pendidikan dan agama milik
Muslim Bosnia yang tersebar di distrik Dhuri, Bosuvaca, Stari, Vitez,
Sjinjarevo, Ahmici, Kiseljak, Gromiljak, Kazagici, Hercezi, Han Ploca, Tulica,
dan Visnjica.[16]
3) Selama konflik berlangsung, Blaskic melakukan penyerangan terhadap
penduduk sipil dan menghancurkan objek-objek sipil (non-militer);
4) Pada bulan Januari 1993 sampai Januari 1994, Blaskic melakukan
pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan mental dan fisik sehingga menyebabkan
luka berat terhadap warga Vitz, Bosuvaca, Kiseljak, dan Zenica;
5) Penculikan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap Muslim Bosnia dalam
kurun waktu Januari 1993 – Januari 1994.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut,
Penuntut Umum yang terdiri dari Mark Harmon, Andrew Cayley, dan Gregory Kehoe
mendakwa Blaskic dengan 7 dakwaan secara kumulatif, yaitu:
1) Melanggar Pasal 2a juncto Pasal
7 ayat (1) Statuta ICTY
2) Melanggar Pasal 2b juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
3) Melanggar Pasal 2c juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
4) Melanggar Pasal 3b juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
5) Melanggar Pasal 3d juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
6) Melanggar Pasal 3e juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
7) Melanggar Pasal 5h juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
Sanggahan Terdakwa
Secara garis besar ada dua sanggahan utama yang dikemukakan oleh
Blaskic, yaitu:
1) Statuta ICTY bertentangan dengan asas
legalitas karena memberlakukan surut hukum pidana dan dalam statuta itu sendiri
tidak dicantumkan dengan tegas mengenai ancaman pidana yang dapat dijatuhkan
kepada terdakwa;
2) Penuntut umum telah melakukan perluasan
makna dari apa yang secara tegas diatur dalam statuta untuk menjerat perbuatan
terdakwa, termasuk dengan cara analogi.[17]
Pertimbangan Hakim dan Putusan
Pertimbangan hakim dalam kasus Tihomir Blaskic pada pokoknya menyatakan
bahwa:
1) Perbuatan yang telah dilakukan terdakwa
adalah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa dan merupakan kejahatan
terhadap hukum dan kebiasaan perang (kejahatan perang);
2) Perbuatan yang dilakukan terdakwa
mencakup juga pelanggaran berat terhadap kemanusiaan yaitu pmenyiksaan,
penganiayaan, pembunuhan, serta tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya;
3) Terdakwa adalah Komandan Dewan
Pertahanan Kroasia yang sudah seharusnya bertanggung jawab atas keamanan, namun
justru terlibat secara aktif dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran berat
terhadap HAM.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, maka Majelis Hakim
pada trial chamber (tingkat pertama)
menjatuhkan pidana penjara selama 9 tahun terhadap Tihomir Blaskic. Putusan trial chamber ini diajukan banding kepada appeal chamber oleh Blaskic namun Appeal chamber menjatuhkan putusan yang menguatkan putusan trial chamber, yakni dengan pidana
penjara 9 tahun.[18]
Refleksi Kritis
Refleksi kritis yang ingin Penulis
kemukakan sehubungan dengan ICTY dan proses persidangan yang terjadi di
dalamnya yang didasarkan pada Statuta ICC ini ialah:
Pertama, dilihat dari latar sejarah pembentukannya, ICTY merupakan respon
internasional untuk menegakan HAM yang sempat porak poranda akibat konflik
bersenjata di bekas negara Yugoslavia.
Pembentukan pengadilan ini oleh DK PBB memperlihatkan
komitmen masyarakat internasional (international
concern) untuk menghormati, melindungi, dan menegakan HAM secara universal,
tidak terbatas oleh sekat-sekat yurisdiksi negara. Itulah sebabnya ICTY yang
merupakan pranata internasional ini dibentuk oleh DK PBB dengan prinsip direct enferocment system, yaitu suatu
sistem penuntutan dan pengadilan terhadap kejahatan internasional (kejahatan
serius terhadap HAM) secara langsung oleh Pengadilan Internasional, tanpa
terlebih dahulu melalui Pengadilan Nasional di negara yang bersangkutan.
Langkah ini “terpaksa” diambil sebab pranata hukum di negara yang bersangkutan
sudah tidak memungkinkan lagi untuk menegakan aturan-aturan hukum yang berlaku,
khsususnya dalam konteks kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM.
Keadaan di wilayah-wilayah yang sedang bergejolak tersebut tidak mungkin
diharapkan untuk menegakan nilai-nilai hak asasi manusia terhadap
kejahatan-kejahatan yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai
kejahatan serius teradap HAM.
Meskipun respon yang diambil oleh
masyarakat internasional yang direpresentasikan melalui pembentukan ICTY ini
dianggap terlambat karena gejolak yang terjadi di tanah Balkan sudah
berlangsung sejak tahun 1990-1991, namun upaya ini tetap mendapat tribute.
Dalam suasana yang demikian itulah ICTY
dibentuk dan hadir sebagai institusi yang bersifat subsidiary (mengganti; mengatasi) untuk menyeret dan mengadili para
pelaku kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM. Pada perkembangan
selanjutnya ICTY ini kemudian menjadi preseden dan rujukan bagi pembentukan
institusi serupa untuk menegakan hukum internasional menyangkut kejahatan-kejahatan
serius atau pelanggaran berat terhadap HAM di wilayah negara Rwanda yang juga
dilanda konflik dan tragedi kemanusiaan.
Kedua, oleh karena ICTY bukan merupakan victory tribunal atau pengadilan sang
pemenang sebagaimana yang terjadi dalam Nuremberg Trial dan Tokyo Trial, maka
nuansa politis dari ICTY ini tidak begitu signifikan dan dominan. Hal itu
tercermin misalnya dari komposisi hakim-hakim dan penuntut umum yang
“mengawaki” pengadilan ini. Hakim-hakim
dan penuntut umum yang duduk dalam pengadilan ini tidak
merepresentasikan konstelasi politik internasional apa pun sebagaimana yang
dulu terjadi pada Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dimana komposisi hakim diisi
oleh negara-negara pemenang perang dan negara-negara yang berkepentingan.[19]
Ketiga, ICTY dalam banyak hal dan segi telah
mengadopsi prinsip-prinsip yang dibangun oleh pengadilan-pengadilan
internasional yang dibentuk sebelumnya (Nuremberg dan Tokyo). Hal-hal yang
dimaksud itu antara lain, pengesampingan asas legalitas terhadap kejahatan-kejahatan
internasional (kejahatan serius terhadap HAM), pertanggungjawaban individual
dan tidak berlakunya alasan karena perintah jabatan, serta masih banyak hal-hal
atau prinsip-prinsip lainnya yang diadopsi dari preseden yang telah diwariskan
oleh Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo.
Keempat, selain mengikuti dan mengadopsi
prinsip-prinsip yang telah diwariskan oleh dua pengadilan internasional
lainnya, ICTY pun memiliki dimensi-dimensi tertentu yang bersifat aktual/baru
yang tidak terdapat dalam dua pengadilan sebelumnya. Salah satu contoh paling
menarik ialah tidak diterapkannya pidana/hukuman mati di dalam ICTY sesuai
dengan Pasal 24 statuta yang berbunyi:
(1)
The Trial Chambers shall pronounce judgements and impose sentences and penalties
on persons convicted of serious violations of international humanitarian law.[20]
Saat ini International
Criminal Tribunal for Former Yugoslavia telah
bubar karena dianggap telah selesai melakukan tugasnya yang sejak awal memang
bersifat ad hoc. Secara resmi,
pengadilan ini bubar atau berakhir masa tugasnya per 31 Desember 2017.[21] Selanjutnya, segala tugas yang mungkin masih tersisa dan
masih perlu penyelesaian akan dilanjutkan oleh International Residual Mechanism for Criminal Tribunals.[22]
[1] Pecahnya
Yugoslavia itu kemudian diikuti dengan terbentuknya negara-negara baru di bekas
wilayah negara tersebut, antara lain Slovenia dan Kroasia, Macedonia, Bosnia
dan Herzegovina, dan Serbia. Lihat Wikipedia, Yugoslavia, http://id.wikipedia.org/wiki/Yugoslavia, Diakses pada tanggal 5 April 2015.
[2] Dina L.
Sheton, Encyclopedia of Genocide and
Crimes against Humanity, Vol. 3, Thomson Gale, Detroit, New York, San
Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine, London, Munich, 2005,
hlm. 170.
[3] Loc, Cit.,
hlm. 1172-1174.
[4] Lihat Eddy O.
S Hariej, Pengadilan atas beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 146.
[5] Steven Ratner
dan Jason S. Abrams dalam Eddy O. S. Hariej, Loc. Cit.
[6] Berdasarkan
data yang dirilis ICTY, hingga saat ini (2015), Resolusi DK PBB yang memuat
Statuta ICTY itu telah direvisi sebanyak 10 kali.
[7] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan,
dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 2005,
hlm. 282; perihal sejarah berdirinya ICTY ini dapat juga dilihat melalui
website resmi ICTY:
http://www.icty.org/sections/AbouttheICTY.
[8] Kota Den Haag
dikenal luas sebagai kotanya hukum atau kota pengadilan internasional karena
banyak pengadilan berkedudukan di kota tersebut, diantaranya ialah ICTY dan
ICC.
[9] Vide Article
11 Statute of the International Criminal
Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta ICTY).
[10] Vide Article 1
Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta
ICTY).
[11] Ibid.
[12] Untuk
mengatuhi rumusan dari masing-masing kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICTY tersebut, lihat Article 1 –
Article 5 Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia
(Statuta ICTY).
[13] Lihat Website
Resmi ICTY, http://www.icty.org/en/cases/key-figures-cases,
Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[14] Selain alasan
diatas, alasan yang juga mendasari dipilihnya dua kasus itu ialah ketersediaan
referensi atau literatur yang membahas kedua kasus tersebut.
[15] Data yang
diangkat pada bagian ini sebagian besar bersumber dari Putusan Appeal Chamber
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia No. IT-95-14- tertanggal
29 Juli 2004 atas nama Terdakwa Tihomir Blaskic; dan Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 159-166;
[16] Lihat Putusan
Appeal Chamber International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia No.
IT-95-14- tertanggal 29 Juli 2004 atas nama Terdakwa Tihomir Blaskic, hlm.
146-234.
[17] Sanggahan ini
merupakan sanggahan yang lazim dikemukakan oleh terdakwa yang diadili dihadapan
Pengadilan HAM Internasional sehubungan dengan diberlakukannya hukum yang
berlaku surut oleh Pengadilan yang bersangkutan yang menurut terdakwa sangat
prinsip dalam hukum pidana sehingga tidak boleh disimpangi.
[18] Lihat Pers Release tentang Summary atas
Putusan yang dikeluarkan oleh Appeal Chamber dalam Kasus Tihomir Blaskic, bisa
dilihat dalam Website Resmi ICTY, http://www.icty.org/x/cases/blaskic/acjug/en/040730_Blaki_summary_en.pdf.
[19] Yang dimaksud
dengan negara yang berkepentingan disini ialah negara-negara yang terdampak
oleh perang agresi yang dilakukan oleh Jepang. Seperti misalnya Cina, India,
Philipina, Australia, Selandia Baru, dan Belanda (dalam posisinya yang ketika
itu menjajah Indonesia dan kemudian diambil alih oleh Jepang). Negara-negara
tersebut mengalami langsung dampak kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang
[20] Vide Pasal 24 Statute of the International Criminal
Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta ICTY).
[21] Lihat keterangan dan informasi
mengenai berakhirnya ICTY ini dalam situs resmi International Residual Mechanism for Criminal Tribunals, http://www.irmct.org/en/about,
Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[22] Untuk mengetahui secara singkat
apa itu International Residual Mechanism
for Criminal Tribunals, lihat situs resminya, http://www.irmct.org/en/about,
Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar