Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 13 Desember 2018

International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia)


Latar Belakang Pembentukan
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia atau yang akrab disingkat menjadi ICTY ini dibentuk pada tahun 1994 sebagai respon dan jawaban internasional atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah bekas negara Yugoslavia sejak pecahnya negara tersebut pada awal dekade 90-an.[1]
Dalam pengamatan Dina L. Sheton, ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya perang di tanah Balkan. Pertama, lemahnya institusi Pemerintah Federal Yugoslavia. Kedua, munculnya semangat nasionalisme yang agresif dan ofensif dari Serbia. Ketiga, keruntuhan komunisme di awal 90-an yang melanda negara-negara komunis di Eropa Timur, termasuk Yugoslavia. Keempat, Tentara Rakyat Yugoslavia yang terdiri dari orang-orang Serbia.[2]
Pada tanggal 25 Juni 1991 Slovenia memproklamirkan kemerdekaannya dan dalam waktu 10 hari setelah pernyataan kemerdekaan tersebut, Pemerintah Federal Yugoslavia meresponnya dengan mengirimkan Tentara Rakyat Yugoslavia (Jugoslavenska Narodna Armija; NJA). Peperangan diantara kedua pasukan dari kedua negara itu akhirnya meletus hingga menewaskan banyak korban. Sementara itu wilayah-wilayah lain yang semula adalah bagian dari Yugoslavia satu persatu memisahkan diri dan menyatakan kemerdekaannya, seperti  Kroasia, Bosnia dan Herzegovina. Pemisahan diri atau kemerdekaan itu juga direspon dengan pengerahan kekuatan militer untuk menghancurkan negara-negara yang baru menyatakan kemerdekaannya itu. Akibatnya, perang tidak dapat dihindarkan dan menghasilkan tragedi kemanusiaan yang mengguncang dunia di awal dekade 90-an.[3]
Pengerahan kekuatan bersenjata JNA yang utamanya terdiri dari orang-orang Serbia dilakukan secara brutal sehingga menimbulkan banyak korban dari rakyat sipil. Salah satu peristiwa yang memilukan dari sekian banyak tragedi kemanusiaan di tanah Balkan itu ialah pembantaian dan pembunuhan Muslim Bosnia setelah Bosnia menyatakan kemerdekaannya pada Desember 1991.[4]
Dalam rangka merespon konflik bersenjata yang sudah semakin tidak terkendali dan meluas di tanah Balkan itu maka Dewan Keamanan (DK) PBB mengambil tindakan dengan membentuk komisi ahli pada tanggal 6 Oktober  1992. Komisi ahli itu bertugas untuk meneliti pelanggaran hukum internasional yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam laporan akhirnya, Komisi Ahli tersebut menyimpulkan dan melaporkan kepada DK PBB bahwa telah terjadi pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum humaniter internasional.[5]
Menindaklanjuti laporan tersebut DK PBB mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan Resolusi 827 pada 25 Mei 1993. Resolusi itu sendiri berisi Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia atau yang dalam bahasa Indonesia sering disebut “Statuta ICTY.”[6] Melalui Resolusi yang berisikan Statuta ICTY itulah terbentuk International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia).[7]
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ini berkedudukan di Den Haag Belanda.[8]  Susunan kelembagaan ICTY terdiri atas trial chamber (tingkat pertama) dan appeal chamber (tingkat banding yang putusannya bersifat final dan terakhir).
Secara organisatoris, layaknya pengadilan-pengadilan pada umumnya, ICTY terdiri dari hakim, penuntut umum, dan kepaniteraan.[9]
Komposisi Hakim ICTY terdiri dari 16 hakim tetap dan 12  hakim ad litem (hakim cadangan; pengganti). Keenambelas hakim itu dipilih oleh Majelis Umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. ICTY dipimpin oleh satu orang Presiden/Ketua Mahkamah dan disampingi satu orang wakil yang berasal dari hakim tetap.
Yurisdiksi International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY)
Untuk menjelaskan mengenai yurisdiksi dari ICTY ini perlu dikemukakan di awal bahwa yurisdiksi ICTY terdiri atas:
a.     Yurisdiksi dari segi waktu terjadinya kejahatan atau dikenal dengan istilah (ratione temporis);
b.      Yurisdiksi dari segi tempat/lokasi terjadinya kejahatan (ratione locus); dan
c.    Yurisdiksi materil (materiel jurisdiction atau ratione materiae), yakni cakupan jenis-jenis kejahatan yang dapat diadili oleh ICTY.
Pertama; ratione temporis, berdasarkan Statuta ICTY, kewenangan mengadili yang dimiliki oleh ICTY ialah dibatasi hanya pada kejahatan-kejahatan yang terjadi sejak 1 Januari 1991 sampai dengan tanggal yang akan ditetapkan setelah terlaksanakanya restorasi perdamaian.[10]
Kedua; ratione locus, berdasarkan Pasal 1 Statuta ICTY ditegaskan bahwa yurisdiksi ICTY meliputi kejahatan-kejahatan yang terjadi atau dilakukan di wilayah bekas negara Yugoslavia.[11]
Ketiga; ratione materiae, berdasarkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Statuta ICTY ditegaskan bahwa kejahatan yang dapat diadili dihadapan ICTY ialah meliputi kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.[12] 
Proses Persidangan dan Putusan
Dalam sejarah beridirnya ICTY hingga saat ini, tercatat sebanyak 161 orang telah didakwa dihadapan ICTY. Dari jumlah tersebut proses dari masing-masing terdakwa itu berbeda-beda tingkatan atau statusnya. Berikut adalah rekapitulasinya:
a.       Masih menjalani persidangan (4 orang),
b.       Dikembalikan kasusnya untuk diselesaikan oleh pengadilan nasional (13 orang),
c.     Tidak dilanjutkan prosesnya karena berbagai alasan seperti terdakwanya meninggal dunia atau dakwaannya telah dicabut/dibatalkan (37 orang),
d.       Telah diputus dan dijatuhi hukuman (89 orang), dan
e.        Diputus bebas (18 orang).[13]
Dari sekian banyak terdakwa yang tercatat dalam register kasus di ICTY itu, kasus terpilih yang akan diangkat dan diulas secara singkat dalam tulisan ini ialah kasus Tihomir Blaskic. Kasus tersebut dipilih karena putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (final) dan Tihomir Blaskic dapat dikatakan sebagai tokoh yang berada dalam jajaran utama dibalik peristiwa kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bekas negara Yugoslavia, khususnya di wilayah Bosnia Herzegovina yang menyangkut Muslim Bosnia.[14]
Kasus Tihomir Blaskic[15]
Tihomir Blaskic adalah seorang Jenderal yang menjadi Komandan pada Dewan Pertahanan Kroasia (Croatia Defense Council). Tihomir Blaskic merupakan salah satu aktor utama dibalik sejumlah kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di wilayah Bosnia dan Herzegovina terhadap Muslim Bosnia.
Kasus Posisi dan Dakwaan Penuntut Umum
Secara garis besarnya, Tihomir Blaskic dituduh (dan kemudian terbukti) melakukan kejahatan-kejahatan serius terhadap HAM sebagai berikut:
1)   Pada bulan Mei 1992 sampai dengan Januari 1994 Tihomir Blaskic melakukan tindakan penganiayaan berat terhadap penduduk Muslim Bosnia. Penganiayaan dilakukan secara besar-besaran dengan skala yang luas dan sistematis di berbagai wilayah (kota, desa, dan perkampungan) yang didiami oleh Muslim Bosnia;
2)     Selama bulan Agustus 1992 sampai dengan September 1993 Blaskic melakukan perampasan dan pengrusakan terhadap tempat-tempat pendidikan dan agama milik Muslim Bosnia yang tersebar di distrik Dhuri, Bosuvaca, Stari, Vitez, Sjinjarevo, Ahmici, Kiseljak, Gromiljak, Kazagici, Hercezi, Han Ploca, Tulica, dan Visnjica.[16]
3)     Selama konflik berlangsung, Blaskic melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil dan menghancurkan objek-objek sipil (non-militer);
4)    Pada bulan Januari 1993 sampai Januari 1994, Blaskic melakukan pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan mental dan fisik sehingga menyebabkan luka berat terhadap warga Vitz, Bosuvaca, Kiseljak, dan Zenica;
5)     Penculikan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap Muslim Bosnia dalam kurun waktu Januari 1993 – Januari 1994.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut, Penuntut Umum yang terdiri dari Mark Harmon, Andrew Cayley, dan Gregory Kehoe mendakwa Blaskic dengan 7 dakwaan secara kumulatif, yaitu:
1)       Melanggar Pasal 2a juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
2)       Melanggar Pasal 2b juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
3)       Melanggar Pasal 2c juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
4)       Melanggar Pasal 3b juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
5)       Melanggar Pasal 3d juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
6)       Melanggar Pasal 3e juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
7)       Melanggar Pasal 5h juncto Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
Sanggahan Terdakwa
Secara garis besar ada dua sanggahan utama yang dikemukakan oleh Blaskic, yaitu:
1)   Statuta ICTY bertentangan dengan asas legalitas karena memberlakukan surut hukum pidana dan dalam statuta itu sendiri tidak dicantumkan dengan tegas mengenai ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa;
2)    Penuntut umum telah melakukan perluasan makna dari apa yang secara tegas diatur dalam statuta untuk menjerat perbuatan terdakwa, termasuk dengan cara analogi.[17]
Pertimbangan Hakim dan Putusan
Pertimbangan hakim dalam kasus Tihomir Blaskic pada pokoknya menyatakan bahwa:
1)   Perbuatan yang telah dilakukan terdakwa adalah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa dan merupakan kejahatan terhadap hukum dan kebiasaan perang (kejahatan perang);
2)    Perbuatan yang dilakukan terdakwa mencakup juga pelanggaran berat terhadap kemanusiaan yaitu pmenyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, serta tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya;
3)    Terdakwa adalah Komandan Dewan Pertahanan Kroasia yang sudah seharusnya bertanggung jawab atas keamanan, namun justru terlibat secara aktif dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran berat terhadap HAM.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, maka Majelis Hakim pada trial chamber (tingkat pertama) menjatuhkan pidana penjara selama 9 tahun terhadap Tihomir Blaskic. Putusan trial chamber ini  diajukan banding kepada appeal chamber oleh Blaskic namun Appeal chamber menjatuhkan putusan yang menguatkan putusan trial chamber, yakni dengan pidana penjara 9 tahun.[18]
Refleksi Kritis
Refleksi kritis yang ingin Penulis kemukakan sehubungan dengan ICTY dan proses persidangan yang terjadi di dalamnya yang didasarkan pada Statuta ICC ini ialah:
Pertama, dilihat dari latar sejarah pembentukannya, ICTY merupakan respon internasional untuk menegakan HAM yang sempat porak poranda akibat konflik bersenjata di bekas negara Yugoslavia.  
Pembentukan pengadilan ini oleh DK PBB memperlihatkan komitmen masyarakat internasional (international concern) untuk menghormati, melindungi, dan menegakan HAM secara universal, tidak terbatas oleh sekat-sekat yurisdiksi negara. Itulah sebabnya ICTY yang merupakan pranata internasional ini dibentuk oleh DK PBB dengan prinsip direct enferocment system, yaitu suatu sistem penuntutan dan pengadilan terhadap kejahatan internasional (kejahatan serius terhadap HAM) secara langsung oleh Pengadilan Internasional, tanpa terlebih dahulu melalui Pengadilan Nasional di negara yang bersangkutan. Langkah ini “terpaksa” diambil sebab pranata hukum di negara yang bersangkutan sudah tidak memungkinkan lagi untuk menegakan aturan-aturan hukum yang berlaku, khsususnya dalam konteks kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM. Keadaan di wilayah-wilayah yang sedang bergejolak tersebut tidak mungkin diharapkan untuk menegakan nilai-nilai hak asasi manusia terhadap kejahatan-kejahatan yang oleh masyarakat internasional dianggap sebagai kejahatan serius teradap HAM.
Meskipun respon yang diambil oleh masyarakat internasional yang direpresentasikan melalui pembentukan ICTY ini dianggap terlambat karena gejolak yang terjadi di tanah Balkan sudah berlangsung sejak tahun 1990-1991, namun upaya ini tetap mendapat tribute.
Dalam suasana yang demikian itulah ICTY dibentuk dan hadir sebagai institusi yang bersifat subsidiary (mengganti; mengatasi) untuk menyeret dan mengadili para pelaku kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM. Pada perkembangan selanjutnya ICTY ini kemudian menjadi preseden dan rujukan bagi pembentukan institusi serupa untuk menegakan hukum internasional menyangkut kejahatan-kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM di wilayah negara Rwanda yang juga dilanda konflik dan tragedi kemanusiaan.
Kedua, oleh karena ICTY bukan merupakan victory tribunal atau pengadilan sang pemenang sebagaimana yang terjadi dalam Nuremberg Trial dan Tokyo Trial, maka nuansa politis dari ICTY ini tidak begitu signifikan dan dominan. Hal itu tercermin misalnya dari komposisi hakim-hakim dan penuntut umum yang “mengawaki” pengadilan ini. Hakim-hakim  dan penuntut umum yang duduk dalam pengadilan ini tidak merepresentasikan konstelasi politik internasional apa pun sebagaimana yang dulu terjadi pada Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dimana komposisi hakim diisi oleh negara-negara pemenang perang dan negara-negara yang berkepentingan.[19]
Ketiga, ICTY dalam banyak hal dan segi telah mengadopsi prinsip-prinsip yang dibangun oleh pengadilan-pengadilan internasional yang dibentuk sebelumnya (Nuremberg dan Tokyo). Hal-hal yang dimaksud itu antara lain, pengesampingan asas legalitas terhadap kejahatan-kejahatan internasional (kejahatan serius terhadap HAM), pertanggungjawaban individual dan tidak berlakunya alasan karena perintah jabatan, serta masih banyak hal-hal atau prinsip-prinsip lainnya yang diadopsi dari preseden yang telah diwariskan oleh Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo.
Keempat, selain mengikuti dan mengadopsi prinsip-prinsip yang telah diwariskan oleh dua pengadilan internasional lainnya, ICTY pun memiliki dimensi-dimensi tertentu yang bersifat aktual/baru yang tidak terdapat dalam dua pengadilan sebelumnya. Salah satu contoh paling menarik ialah tidak diterapkannya pidana/hukuman mati di dalam ICTY sesuai dengan Pasal 24 statuta yang berbunyi:
(1)     The Trial Chambers shall pronounce judgements and impose sentences and penalties on persons convicted of serious violations of international humanitarian law.[20]
Saat ini International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia telah bubar karena dianggap telah selesai melakukan tugasnya yang sejak awal memang bersifat ad hoc. Secara resmi, pengadilan ini bubar atau berakhir masa tugasnya per 31 Desember 2017.[21] Selanjutnya, segala tugas yang mungkin masih tersisa dan masih perlu penyelesaian akan dilanjutkan oleh International Residual Mechanism for Criminal Tribunals.[22]



[1] Pecahnya Yugoslavia itu kemudian diikuti dengan terbentuknya negara-negara baru di bekas wilayah negara tersebut, antara lain Slovenia dan Kroasia, Macedonia, Bosnia dan Herzegovina, dan Serbia. Lihat Wikipedia, Yugoslavia, http://id.wikipedia.org/wiki/Yugoslavia, Diakses pada tanggal 5 April 2015.
[2] Dina L. Sheton, Encyclopedia of Genocide and Crimes against Humanity, Vol. 3, Thomson Gale, Detroit, New York, San Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine, London, Munich, 2005, hlm. 170.
[3] Loc, Cit., hlm.  1172-1174.
[4] Lihat Eddy O. S Hariej, Pengadilan atas beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 146.
[5] Steven Ratner dan Jason S. Abrams dalam Eddy O. S. Hariej, Loc. Cit.
[6] Berdasarkan data yang dirilis ICTY, hingga saat ini (2015), Resolusi DK PBB yang memuat Statuta ICTY itu telah direvisi sebanyak 10 kali.
[7] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 282; perihal sejarah berdirinya ICTY ini dapat juga dilihat melalui website resmi ICTY:  http://www.icty.org/sections/AbouttheICTY.
[8] Kota Den Haag dikenal luas sebagai kotanya hukum atau kota pengadilan internasional karena banyak pengadilan berkedudukan di kota tersebut, diantaranya ialah ICTY dan ICC.
[9] Vide Article 11 Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta ICTY).
[10] Vide Article 1 Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta ICTY).
[11] Ibid.
[12] Untuk mengatuhi rumusan dari masing-masing kejahatan yang menjadi  yurisdiksi ICTY tersebut, lihat Article 1 – Article 5 Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta ICTY).
[13] Lihat Website Resmi ICTY, http://www.icty.org/en/cases/key-figures-cases, Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[14] Selain alasan diatas, alasan yang juga mendasari dipilihnya dua kasus itu ialah ketersediaan referensi atau literatur yang membahas kedua kasus tersebut.
[15] Data yang diangkat pada bagian ini sebagian besar bersumber dari Putusan Appeal Chamber International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia No. IT-95-14- tertanggal 29 Juli 2004 atas nama Terdakwa Tihomir Blaskic; dan Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 159-166;
[16] Lihat Putusan Appeal Chamber International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia No. IT-95-14- tertanggal 29 Juli 2004 atas nama Terdakwa Tihomir Blaskic, hlm. 146-234.
[17] Sanggahan ini merupakan sanggahan yang lazim dikemukakan oleh terdakwa yang diadili dihadapan Pengadilan HAM Internasional sehubungan dengan diberlakukannya hukum yang berlaku surut oleh Pengadilan yang bersangkutan yang menurut terdakwa sangat prinsip dalam hukum pidana sehingga tidak boleh disimpangi.
[18]   Lihat Pers Release tentang Summary atas Putusan yang dikeluarkan oleh Appeal Chamber dalam Kasus Tihomir Blaskic, bisa dilihat dalam Website Resmi ICTY, http://www.icty.org/x/cases/blaskic/acjug/en/040730_Blaki_summary_en.pdf.
[19] Yang dimaksud dengan negara yang berkepentingan disini ialah negara-negara yang terdampak oleh perang agresi yang dilakukan oleh Jepang. Seperti misalnya Cina, India, Philipina, Australia, Selandia Baru, dan Belanda (dalam posisinya yang ketika itu menjajah Indonesia dan kemudian diambil alih oleh Jepang). Negara-negara tersebut mengalami langsung dampak kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang
[20] Vide Pasal 24 Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (Statuta ICTY).
[21] Lihat keterangan dan informasi mengenai berakhirnya ICTY ini dalam situs resmi International Residual Mechanism for Criminal Tribunals, http://www.irmct.org/en/about, Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[22] Untuk mengetahui secara singkat apa itu International Residual Mechanism for Criminal Tribunals, lihat situs resminya, http://www.irmct.org/en/about, Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar