Pemikiran
Emile Durkheim tentang Perkembangan Masyarakat dan Perkembangan Hukumnya
Emile Durkheim menjelaskan tentang
perkembangan suatu masyarakat dan tipologi (tipe) hukumnya dalam suatu konsep
yang disebutnya sebagai konsep solidaritas sosial (social solidarity). Durkheim terobsesi oleh keinginan untuk menjelaskan
mengapa manusia hidup bermasyarakat, sedang pada dasarnya setiap manusia
dilahirkan sebagai individu-individu. Dalam upayanya menjawab pertanyaan itulah
kemudian ia mengajukan konsep solidaritas sosial sebagai dasar pembentukan
suatu masyarakat.[1]
Pada pokoknya Durkheim membagi suatu
masyarakat (berdasarkan tingkatan/tahapan perkembangannya) menjadi dua kelompok
atau dua tipe solidaritas:
1.
Solidaritas Mekanik (masyarakat sederhana); dan
2.
Solidaritas Organik (masyarakat kompleks).
Tipe solidaritas mekanik, menurut Durkheim ada
pada masyarakat sederhana atau tradisional, dimana pembagian kerja diantara
warganya masih rendah dan homogen, norma-norma hukumnya cenderung represif, dan
pola hubungannya masih sangat erat dan kuat. Sementara tipe solidaritas
organik, umumnya terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat kompleks
dengan ciri umum pembagian kerja diantara warganya sudah begitu kompleks dan
heterogen, norma-norma hukumnya cenderung restitutif, dan pola hubungannya yang
bersifat kontraktual dan didasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu.[2]
Tipe
Masyarakat
|
Ciri
Umum
|
Solidaritas
Mekanik
(Masyarakat
Sederhana)
|
-
pembagian kerja diantara warganya masih rendah dan homogen;
-
norma-norma hukumnya cenderung represif
-
pola hubungannya masih sangat erat dan kuat
|
Solidaritas
Organik
(Masyarakat
Kompleks)
|
- pembagian kerja diantara warganya sudah
begitu kompleks dan heterogen
- norma-norma hukumnya cenderung restitutif
- pola hubungannya bersifat kontraktual dan berdasarkan
pada kepentingan-kepentingan tertentu.
|
Dalam menjelaskan perkembangan hukum pada
suatu masyarakat, Durkheim mengemukakan adanya dua (2) tipe hukum yang berlaku
pada suatu masyarakat:
1.
Hukum Represif; dan
2.
Hukum Restitutif.
Hukum represif diartikan sebagai hukum yang
bersanksi atau hukum yang mendatangkan penderitaan, bersifat penindakan atau
pidana. Sementara hukum restitutif adalah hukum yang sifat dan tujuannya hanya
untuk mengembalikan tatanan masyarakat kepada keadaan semula sebelum terjadinya
pelanggaran.
Menurut Durkheim, pada masyarakat dengan tipe
solidaritas mekanik, hukumnya bersifat represif sedangkan pada tipe solidaritas
organik hukumnya bersifat hukum restitutif. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa pada tipe solidaritas mekanik yang terpenting dan merupakan landasan bagi
kehidupan bersama adalah solidaritas sosial dan perasaan keterikatan yang
tinggi terhadap kelompok yang bersangkutan, sehingga apabila ada guncangan atau
pelanggaran terhadap nilai-nilai bersama itu maka ia dianggap sebagai ancaman
serius terhadap identitas dan kelangsungan hidup bersama, itulah sebabnya hukum
yang dijatuhkan bercorak represif. Sementara pada tipe solidaritas organik,
perasaan solidaritas terhadap identitas dan nilai-nilai bersama sudah memudar
dan tidak sekuat pada tipe solidaritas mekanik, sehingga guncangan atau
pelanggaran terhadap nilai-nilai bersama itu tidak dianggap sebagai ancaman
yang serius, itulah sebabnya karakter hukumnya bersifat resititutif semata.[3]
Tipe
Masyarakat
|
Tipe/Karakter
Hukum
|
Solidaritas Mekanik
|
Represif
|
Solidaritas Organik
|
Restitutif
|
Pemikiran Max Weber tentang
Perkembangan Masyarakat dan Perkembangan Hukumnya
Max Weber adalah seorang ahli ekonomi yang
mempunyai latar belakang hukum (sosiologi hukum) berkebangsaan Jerman.
Pemikiran dan teorinya mengenai perkembangan masyarakat dan perkembangan hukumnya
tidak bisa dilepaskan dari suasana kapitalisme yang ketika itu melanda eropa
dan telah pula menjadi episentrum (pusat) dari kajianya ini. Ia mencoba
menganalisis dan memahami kondisi masyarakat (khususnya Jerman) pada saat itu
dalam konteks masyarakat kapitalis eropa.[4]
Weber mengkaji perkembangan masyarakat dan
perkembangan hukumnya dengan asumsi dasar bahwa perkembangan hukum atau
perkembangan masyarakat selalu bergerak dari yang irasional kearah rasional,
dari material ke formal.[5]
Dalam menganalisis suatu perkembangan
masyarat, Weber mengemukakan adanya tiga (3) tipe masyarakat:
1.
Masyarakat tradisional;
2.
Masyarakat kharismatik; dan
3.
Masyarakat rasional (modern).
Pada masyarakat tradisional, corak umum yang
dapat ditemui adalah sebagai berikut:
1)
Legitimasi :
tradisional, otoritas pribadi raja/ratu atau penguasa
2)
Administrasi : patrimonial;
turun temurun
3)
Dasar ketaatan : tradisional;
beban kewajiban yang sifatnya individual
4)
Proses peradilan : empiris,
substantif, dan personal (khadi)
5)
Bentuk keadilan : empiris
6)
Tipe Hukum :
formal-irasional dan material-rasional
Pada masyarakat kharismatik, corak umum yang
dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
1)
Legitimasi : otoritas
yang kharismatik dengan kesetiaan personal
2)
Administrasi : rutinitas
3)
Dasar ketaatan : sebagai
respon dari karakter yang kharismatik
4)
Proses peradilan : pewahyuan
dan empirical justice formalism
5)
Bentuk keadilan : keadilan
kharismatik
6)
Tipe Hukum :
formal-irasional dan material-irasional
Pada masyarakat rasional (modern), ciri
umumnya adalah:
1)
Legitimasi :
berdasarkan hukum yang rasional
2)
Administrasi :
birokratis; profesional
3)
Dasar ketaatan : impersonal
(bukan pada individu; not to individual)
4)
Proses peradilan : rasional
5)
Bentuk keadilan : berdasarkan
hukum
6)
Tipe Hukum :
formal-rasional (logical formal
racionality)[6]
Sementara itu dalam menganalisis perkembangan
hukum pada suatu masyarakat, Weber mengemukakan adanya empat tipe hukum yang
dibedakan/tercakup dalam dua kategori besar:
a.
Hukum berdasarkan tipologinya:
1) Formal: adalah hukum yang didasarkan pada logika dan unsur-unsur hukum
semata tanpa memperhatikan unsur-unsur non hukum
2) Material: adalah hukum yang memperhatikan unsur-unsur non hukum dan
lebih bersifat empiris dengan menitikberatkan pada kegunaannya (utilitas)
b.
Hukum berdasarkan perkembangan/transformasinya:
1)
Rasional: aturan hukum diambil melalui metode/proses berfikir yang
masuk akal
2) Irasional: aturan hukum diambil
melalui metode/proses berfikir yang tidak masuk akal
Berdasarkan pembagian diatas, Weber
mengemukakan empat tipe atau empat perkembangan hukum yang senantiasa ditemukan
pada suatu masyarakat, yakni:
1. Material-irasional: pembuat hukum (law
maker) dan hakim (judge)
mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa merujuk
pada suatu kaidah manapun.
2. Formal-irasional: pembuat hukum (law maker) dan hakim (judge) berpedoman pada kaidah-kaidah
yang diluar akal/logika dan didasarkan pada wahyu.
3. Material-rasional: pembuat hukum (law
maker) dan hakim (judge) dalam
mengambil keputusan merujuk pada kitab suci, kebijaksanaan penguasa atau
ideologi.
4. Formal-rasional: hukum dibentuk berdasarkan konsep-konsep abstrak dari
ilmu hukum.[7]
Jika digambarkan dalam bentuk tabel maka
berikut ini adalah tipe perkembangan masyarkat dan hukumnya menurut Max Weber:
Perkembangan
Masyarakat
|
Tipe
Hukum
|
Masyarakat tradisional
|
formal-irasional
dan material-rasional
|
Masyarakat kharismatik
|
formal-irasional
dan material-irasional
|
Masyarakat rasional (modern).
|
formal-rasional
(logical formal racionality)
|
Analisis Relevansi
Teori Emile Durkheim & Max Weber dengan Kondisi Masyarakat Indonesia
Berdasarkan penjelasan mengenai pemikiran
Durkheim dan Weber tentang perkembangan masyarakat dengan hukumnya, maka
menurut penulis, meskipun kedua teori tersebut sangat penting di dalam
menganalisa hubungan perkembangan masyarakat dengan perkembangan hukumnya dan
tergolong penelitian yang paling awal dari sudut pandang sosiologi hukum atas
persoalan tersebut, namun tetap saja sebagaimana hakekatnya suatu ilmu
pengetahuan (teori), ia tidak bisa lepas dari kritik maupun keusangan
dikemudian hari.
Demikian juga yang terjadi pada kedua teori
diatas, keduanya tidak sepenuhnya benar dan cocok untuk diterapkan pada setiap
masyarakat.
Dari segi waktu, sangat mungkin kedua teori
tersebut menjadi kurang relevan apabila digunakan atau dijadikan alat untuk
mengukur hubungan antara perkembangan masyarakat dan perkembangan hukumnya pada
saat ini, mengingat teori tersebut lahir dari pengamatan sosiologi pada kondisi
masyarakat abad ke-19. Kondisi masyarakat dan karakter hukum yang berlaku di
dalam nya saat ini mungkin sudah tidak lagi sama dengan kondisi masyarakat pada
saat kedua teori itu dilahirkan, bahkan di dalam masyarakat eropa sendiri.
Perkembangan masyarakat dan karakter hukumnya pada saat ini tidak selalu linear
dan kaku sebagaimana digambarkan oleh Durkheim dan Weber dua abad silam.
Masyarakat menjadi semakin dinamis dan tidak selalu berjalan pada pola-pola
umum yang kaku yang digambarkan Durkheim dan Weber pada saat itu, dimana
diilustrasikan bahwa apabila masyarakatnya modern maka hukumnya selalu
restitutif atau formal rasional. Bisa saja pada masyarakat modern hukumnya justru
sangat represif dan menerapkan hukum yang bercorak material rasional.
Teori Durkheim mengenai hubungan antara
perkembangan masyarakat dengan karakter hukum yang berlaku di dalamnya juga
tidak selalu cocok apabila digunakan/dijadikan pisau analisa untuk memahami
masyarakat di tempat lain diluar masyarakat yang menjadi objek penelitian
Durkheim pada saat itu (masyarakat eropa). Salah satu contoh nyata adalah pada
masyarakat Indonesia. Masyarakat tradisional atau adat di Indonesia justru
lebih mengedepankan penggunaan hukum yang berkarakter restitutif ketimbang yang
bersifat represif. Hal ini dapat dibuktikan pada masyarakat-masyarakat adat di
Indonesia yang masih memegang teguh hukum adatnya, disana akan ditemui
kenyataan yang berlainan dengan teori yang dibangun oleh Durkheim yang
menyatakan bahwa tipe hukum yang berlaku pada masyarakat tradisional
(solidaritas mekanik) bersifat represif. Sebaliknya, masyarakat adat yang ada
dan tersebar di wilayah Indonesia pada umumnya lebih mengedepankan cara-cara
restitutif dalam merespon suatu pelanggaran terhadap norma adat. Cara-cara
(sanksi) represif dijatuhkan hanya terhadap kejahatan yang benar-benar serius (ultimum remedium).
Kenyataan diatas dipertegas dengan
tulisan-tulisan Seopomo, seorang ahli hukum adat terkemuka. Sebagai contoh ia
mengatakan bahwa “dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum
menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan
hukum (yang telah dilanggar). Tindakan atau upaya pertahanan adat yang
diperlukan mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai
pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian. Lebih lanjut, berdasarkan
buku “Pandecten van het Adatrecht”
Soepomo mengemukakan bahwa tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi
terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai lingkaran hukum adat antara lain:
1. Penggantian kerugian materiil dalam pelbagai rupa, misalnya paksaan
menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2.
Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena kerugian/dampak;
3.
Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4.
Penutup malu, permintaan maaf;
5.
Berbagai hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari
masyarakat serta meletakan orang diluar tata hukum.[8]
Dengan uraian yang
cukup jelas diatas terbukti bahwa masyarakat tradisional/adat di Indonesia
tidak selalu menggunakan hukum yang represif. Meskipun ada juga hukuman badan
hingga hukuman mati, namun hukuman represif seperti itu bukanlah satu-satunya
hukuman yang berlaku di dalam hukum adat.
Jadi jelaslah bahwa
kedua teori diatas tidak selalu cocok dalam menggambarkan pola perkembangan
masyarakat dan tipe hukumnya pada setiap masyarakat, terutama diluar eropa.
Bahkan di dalam masyarakat eropa pun, ditempat dimana kedua teori itu
dilahirkan, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, mungkin
saja teori itu juga sudah tidak relevan lagi.
[1]
Satjipto Rahardjo, Sosiologi
Hukum; Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Cet. Ke-2, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 109.
[2] Lihat Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo,
Jakarta, 2008, hlm. 33.
[3] Sebagai bahan pengayaan dalam
memahami hubungan antara tipe masyarakat dan karakter hukum yang berlaku di
dalamnya ddapat dilihat pada Achmad Ali, Menguak
Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 217-218.
[4] Lihat Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 111-113.
[5] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm.
215.
[6] Lihat Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 216; lihat juga Yesmil
Anwar dan Adang, Op. Cit., hlm. 140.
[7] Lihat Bahan Materi Perkuliahan
Sosiologi Hukum (Jufrina Rizal dan Ratih Lestarini) pada Program Pascasarjana
FH UI; lihat juga Yesmil Anwar dan Adang, Loc.
Cit.
[8] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet. Ke-17, Pradnya Paramita, Jakarta,
2007, hlm. 116-117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar