Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 13 Desember 2018

Teori Emile Durkheim & Max Weber tentang Perkembangan Masyarakat dan Perkembangan Hukumnya


Pemikiran Emile Durkheim tentang Perkembangan Masyarakat dan Perkembangan Hukumnya
     Emile Durkheim menjelaskan tentang perkembangan suatu masyarakat dan tipologi (tipe) hukumnya dalam suatu konsep yang disebutnya sebagai konsep solidaritas sosial (social solidarity). Durkheim terobsesi oleh keinginan untuk menjelaskan mengapa manusia hidup bermasyarakat, sedang pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sebagai individu-individu. Dalam upayanya menjawab pertanyaan itulah kemudian ia mengajukan konsep solidaritas sosial sebagai dasar pembentukan suatu masyarakat.[1]

   Pada pokoknya Durkheim membagi suatu masyarakat (berdasarkan tingkatan/tahapan perkembangannya) menjadi dua kelompok atau dua tipe solidaritas:
1.      Solidaritas Mekanik (masyarakat sederhana); dan
2.      Solidaritas Organik (masyarakat kompleks).
     Tipe solidaritas mekanik, menurut Durkheim ada pada masyarakat sederhana atau tradisional, dimana pembagian kerja diantara warganya masih rendah dan homogen, norma-norma hukumnya cenderung represif, dan pola hubungannya masih sangat erat dan kuat. Sementara tipe solidaritas organik, umumnya terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat kompleks dengan ciri umum pembagian kerja diantara warganya sudah begitu kompleks dan heterogen, norma-norma hukumnya cenderung restitutif, dan pola hubungannya yang bersifat kontraktual dan didasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu.[2]
Tipe Masyarakat
Ciri Umum
Solidaritas Mekanik
(Masyarakat Sederhana)
-        pembagian kerja diantara warganya masih rendah dan homogen;
-        norma-norma hukumnya cenderung represif
-        pola hubungannya masih sangat erat dan kuat
Solidaritas Organik
(Masyarakat Kompleks)
-  pembagian kerja diantara warganya sudah begitu kompleks dan heterogen
-    norma-norma hukumnya cenderung restitutif
-  pola hubungannya bersifat kontraktual dan berdasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu.

      Dalam menjelaskan perkembangan hukum pada suatu masyarakat, Durkheim mengemukakan adanya dua (2) tipe hukum yang berlaku pada suatu masyarakat:
1.      Hukum Represif; dan
2.      Hukum Restitutif.
    Hukum represif diartikan sebagai hukum yang bersanksi atau hukum yang mendatangkan penderitaan, bersifat penindakan atau pidana. Sementara hukum restitutif adalah hukum yang sifat dan tujuannya hanya untuk mengembalikan tatanan masyarakat kepada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran.
    Menurut Durkheim, pada masyarakat dengan tipe solidaritas mekanik, hukumnya bersifat represif sedangkan pada tipe solidaritas organik hukumnya bersifat hukum restitutif. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada tipe solidaritas mekanik yang terpenting dan merupakan landasan bagi kehidupan bersama adalah solidaritas sosial dan perasaan keterikatan yang tinggi terhadap kelompok yang bersangkutan, sehingga apabila ada guncangan atau pelanggaran terhadap nilai-nilai bersama itu maka ia dianggap sebagai ancaman serius terhadap identitas dan kelangsungan hidup bersama, itulah sebabnya hukum yang dijatuhkan bercorak represif. Sementara pada tipe solidaritas organik, perasaan solidaritas terhadap identitas dan nilai-nilai bersama sudah memudar dan tidak sekuat pada tipe solidaritas mekanik, sehingga guncangan atau pelanggaran terhadap nilai-nilai bersama itu tidak dianggap sebagai ancaman yang serius, itulah sebabnya karakter hukumnya bersifat resititutif semata.[3]
Tipe Masyarakat
Tipe/Karakter Hukum
Solidaritas Mekanik
Represif
Solidaritas Organik
Restitutif

Pemikiran Max Weber tentang Perkembangan Masyarakat dan Perkembangan Hukumnya
     Max Weber adalah seorang ahli ekonomi yang mempunyai latar belakang hukum (sosiologi hukum) berkebangsaan Jerman. Pemikiran dan teorinya mengenai perkembangan masyarakat dan perkembangan hukumnya tidak bisa dilepaskan dari suasana kapitalisme yang ketika itu melanda eropa dan telah pula menjadi episentrum (pusat) dari kajianya ini. Ia mencoba menganalisis dan memahami kondisi masyarakat (khususnya Jerman) pada saat itu dalam konteks masyarakat kapitalis eropa.[4]
     Weber mengkaji perkembangan masyarakat dan perkembangan hukumnya dengan asumsi dasar bahwa perkembangan hukum atau perkembangan masyarakat selalu bergerak dari yang irasional kearah rasional, dari material ke formal.[5]
     Dalam menganalisis suatu perkembangan masyarat, Weber mengemukakan adanya tiga (3) tipe masyarakat:
1.      Masyarakat tradisional;
2.      Masyarakat kharismatik; dan
3.      Masyarakat rasional (modern).
 Pada masyarakat tradisional, corak umum yang dapat ditemui adalah sebagai berikut:
1)      Legitimasi            : tradisional, otoritas pribadi raja/ratu atau penguasa
2)      Administrasi         : patrimonial; turun temurun
3)      Dasar ketaatan     : tradisional; beban kewajiban yang sifatnya individual
4)      Proses peradilan   : empiris, substantif, dan personal (khadi)
5)      Bentuk keadilan   : empiris
6)      Tipe Hukum         : formal-irasional dan material-rasional
 Pada masyarakat kharismatik, corak umum yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
1)      Legitimasi            : otoritas yang kharismatik dengan kesetiaan personal
2)      Administrasi         : rutinitas
3)      Dasar ketaatan     : sebagai respon dari karakter yang kharismatik
4)      Proses peradilan   : pewahyuan dan empirical justice formalism
5)      Bentuk keadilan   : keadilan kharismatik
6)      Tipe Hukum         : formal-irasional dan material-irasional
 Pada masyarakat rasional (modern), ciri umumnya adalah:
1)      Legitimasi            : berdasarkan hukum yang rasional
2)      Administrasi         : birokratis; profesional
3)      Dasar ketaatan     : impersonal (bukan pada individu; not to individual)
4)      Proses peradilan   : rasional
5)      Bentuk keadilan   : berdasarkan hukum
6)      Tipe Hukum         : formal-rasional (logical formal racionality)[6]
    Sementara itu dalam menganalisis perkembangan hukum pada suatu masyarakat, Weber mengemukakan adanya empat tipe hukum yang dibedakan/tercakup dalam dua kategori besar:
a.       Hukum berdasarkan tipologinya:
1)  Formal: adalah hukum yang didasarkan pada logika dan unsur-unsur hukum semata tanpa memperhatikan unsur-unsur non hukum
2)   Material: adalah hukum yang memperhatikan unsur-unsur non hukum dan lebih bersifat empiris dengan menitikberatkan pada kegunaannya (utilitas)
b.      Hukum berdasarkan perkembangan/transformasinya:
1)      Rasional: aturan hukum diambil melalui metode/proses berfikir yang masuk akal
2)     Irasional:  aturan hukum diambil melalui metode/proses berfikir yang tidak masuk akal
     Berdasarkan pembagian diatas, Weber mengemukakan empat tipe atau empat perkembangan hukum yang senantiasa ditemukan pada suatu masyarakat, yakni:
1.  Material-irasional: pembuat hukum (law maker) dan hakim (judge) mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa merujuk pada suatu kaidah manapun.
2.   Formal-irasional:  pembuat hukum (law maker) dan hakim (judge) berpedoman pada kaidah-kaidah yang diluar akal/logika dan didasarkan pada wahyu.
3.   Material-rasional: pembuat hukum (law maker) dan hakim (judge) dalam mengambil keputusan merujuk pada kitab suci, kebijaksanaan penguasa atau ideologi.
4.   Formal-rasional: hukum dibentuk berdasarkan konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum.[7]
     Jika digambarkan dalam bentuk tabel maka berikut ini adalah tipe perkembangan masyarkat dan hukumnya menurut Max Weber:
Perkembangan Masyarakat
Tipe Hukum
Masyarakat tradisional
formal-irasional dan material-rasional
Masyarakat kharismatik
formal-irasional dan material-irasional
Masyarakat rasional (modern).
formal-rasional (logical formal racionality)

Analisis Relevansi Teori Emile Durkheim & Max Weber dengan Kondisi Masyarakat Indonesia
     Berdasarkan penjelasan mengenai pemikiran Durkheim dan Weber tentang perkembangan masyarakat dengan hukumnya, maka menurut penulis, meskipun kedua teori tersebut sangat penting di dalam menganalisa hubungan perkembangan masyarakat dengan perkembangan hukumnya dan tergolong penelitian yang paling awal dari sudut pandang sosiologi hukum atas persoalan tersebut, namun tetap saja sebagaimana hakekatnya suatu ilmu pengetahuan (teori), ia tidak bisa lepas dari kritik maupun keusangan dikemudian hari.
     Demikian juga yang terjadi pada kedua teori diatas, keduanya tidak sepenuhnya benar dan cocok untuk diterapkan pada setiap masyarakat.
    Dari segi waktu, sangat mungkin kedua teori tersebut menjadi kurang relevan apabila digunakan atau dijadikan alat untuk mengukur hubungan antara perkembangan masyarakat dan perkembangan hukumnya pada saat ini, mengingat teori tersebut lahir dari pengamatan sosiologi pada kondisi masyarakat abad ke-19. Kondisi masyarakat dan karakter hukum yang berlaku di dalam nya saat ini mungkin sudah tidak lagi sama dengan kondisi masyarakat pada saat kedua teori itu dilahirkan, bahkan di dalam masyarakat eropa sendiri. Perkembangan masyarakat dan karakter hukumnya pada saat ini tidak selalu linear dan kaku sebagaimana digambarkan oleh Durkheim dan Weber dua abad silam. Masyarakat menjadi semakin dinamis dan tidak selalu berjalan pada pola-pola umum yang kaku yang digambarkan Durkheim dan Weber pada saat itu, dimana diilustrasikan bahwa apabila masyarakatnya modern maka hukumnya selalu restitutif atau formal rasional. Bisa saja pada masyarakat modern hukumnya justru sangat represif dan menerapkan hukum yang bercorak material rasional.
    Teori Durkheim mengenai hubungan antara perkembangan masyarakat dengan karakter hukum yang berlaku di dalamnya juga tidak selalu cocok apabila digunakan/dijadikan pisau analisa untuk memahami masyarakat di tempat lain diluar masyarakat yang menjadi objek penelitian Durkheim pada saat itu (masyarakat eropa). Salah satu contoh nyata adalah pada masyarakat Indonesia. Masyarakat tradisional atau adat di Indonesia justru lebih mengedepankan penggunaan hukum yang berkarakter restitutif ketimbang yang bersifat represif. Hal ini dapat dibuktikan pada masyarakat-masyarakat adat di Indonesia yang masih memegang teguh hukum adatnya, disana akan ditemui kenyataan yang berlainan dengan teori yang dibangun oleh Durkheim yang menyatakan bahwa tipe hukum yang berlaku pada masyarakat tradisional (solidaritas mekanik) bersifat represif. Sebaliknya, masyarakat adat yang ada dan tersebar di wilayah Indonesia pada umumnya lebih mengedepankan cara-cara restitutif dalam merespon suatu pelanggaran terhadap norma adat. Cara-cara (sanksi) represif dijatuhkan hanya terhadap kejahatan yang benar-benar serius (ultimum remedium).
    Kenyataan diatas dipertegas dengan tulisan-tulisan Seopomo, seorang ahli hukum adat terkemuka. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa “dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan hukum (yang telah dilanggar). Tindakan atau upaya pertahanan adat yang diperlukan mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian. Lebih lanjut, berdasarkan buku “Pandecten van het Adatrecht” Soepomo mengemukakan bahwa tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai lingkaran hukum adat antara lain:
1.   Penggantian kerugian materiil dalam pelbagai rupa, misalnya paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2.      Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena kerugian/dampak;
3.      Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4.      Penutup malu, permintaan maaf;
5.      Berbagai hukuman badan, hingga hukuman mati;
6.      Pengasingan dari masyarakat serta meletakan orang diluar tata hukum.[8]
     Dengan uraian yang cukup jelas diatas terbukti bahwa masyarakat tradisional/adat di Indonesia tidak selalu menggunakan hukum yang represif. Meskipun ada juga hukuman badan hingga hukuman mati, namun hukuman represif seperti itu bukanlah satu-satunya hukuman yang berlaku di dalam hukum adat.
     Jadi jelaslah bahwa kedua teori diatas tidak selalu cocok dalam menggambarkan pola perkembangan masyarakat dan tipe hukumnya pada setiap masyarakat, terutama diluar eropa. Bahkan di dalam masyarakat eropa pun, ditempat dimana kedua teori itu dilahirkan, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, mungkin saja teori itu juga sudah tidak relevan lagi.



[1]  Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum; Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Cet. Ke-2, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 109.
[2] Lihat Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 33.
[3] Sebagai bahan pengayaan dalam memahami hubungan antara tipe masyarakat dan karakter hukum yang berlaku di dalamnya ddapat dilihat pada Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 217-218.
[4] Lihat Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 111-113.
[5] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008,  hlm. 215.
[6] Lihat Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 216; lihat juga Yesmil Anwar dan Adang, Op. Cit., hlm. 140.
[7] Lihat Bahan Materi Perkuliahan Sosiologi Hukum (Jufrina Rizal dan Ratih Lestarini) pada Program Pascasarjana FH UI; lihat juga Yesmil Anwar dan Adang, Loc. Cit.
[8] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet. Ke-17, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 116-117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar