Pembentukan undang-undang merupakan bagian integral dari pembangunan
hukum nasional, terutama pembangunan materi hukum (legal substance).[1] Dalam konteks negara hukum Indonesia sebagai Negara Hukum Pancasila[2]
yang secara historis banyak dipengaruhi oleh sistem hukum eropa kontinental,
kendati pun secara tegas kita menyatakan bukan penganut murni sistem hukum
eropa kontinental, namun sepertinya adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa
negara ini memang masih banyak menumpahkan perhatian pada peraturan
perundang-undangan sebagai tumpuan dalam membangun hukum nasional.[3]
Misalnya sebagaimana ditulis oleh Marjane Termorshuizen:
“The Indonesian concept Negara Hukum has been
derived from he western conception of rechstaat during the first period after
their independence (1945), … which influenced by European than by American
type. The reason therefore is hat conceqeunce of long lasting former
colonialization law in the middle of twentieth century was still much more
affected by European (Ducht) than American (common law doctrine).”[4]
Kenyataannya, di negara ini memang banyak sekali undang-undang yang
telah, tengah, dan akan dibentuk. Kehadiran dan peranan undang-undang yang
demikian signifikan tersebut tentu tidak terlepas dari tradisi hukum yang kita
anut, yaitu tradisi (sistem) hukum pancasila yang berakar dari budaya bangsa
yang dilandasi nilai-nilai pancasila yang juga banyak dipengaruhi oleh alam
pemikiran eropa kontinental dimana peraturan perundang-undangan mempunyai
peranan penting di dalamnya.
Mengenai peranan peraturan perundang-undangan dalam sebuah negara, Bagir
Manan dan Kuntana Magnar mengatakan bahwa peranan pertama perundang-undangan
dalam suatu negara, akan ditentukan oleh tradisi hukum yang dianut oleh negara
yang bersangkutan.[5]
Secara garis besar ada dua tradisi hukum dunia yang secara ektrem
berbeda dan bertolak
belakang dalam menilai peranan peraturan
perundang-undangan. Pertama, sistem
eropa kontinental, negara-negara yang menganut tradisi hukum ini menempatkan
peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama (dasar) bagi sistem hukumnya. Kedua, sistem anglo saxon, negara-negara penganutnya menempatkan jurisprudensi sebagai sendi
utama (dasar) bagi sistem hukumnya.[6]
Dari uraian diatas nampaklah bahwa sekalipun saat ini kita memang telah
berdiri di atas Sistem Hukum Pancasila dan negara hukumnya pun disebut Negara
Hukum Pancasila, namun tidak dapat dinafikan bahwa sistem yang kita anut memang
lebih cenderung kepada tradisi hukum yang membutuhkan peraturan
perundang-undangan (eropa kontinental), meskipun juga kita tetap mengakui dan
memberi tempat kepada hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat (living law).
Dalam Sistem Hukum dan Negara Hukum Pancasila, kita menghendaki adanya
kepastian hukum yang berkadilan dan keadilan yang berkepastian hukum.
Untuk mengagregasi kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang
sangat dibutuhkan sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional maka
diperlukan juga tata cara pembentukan undang-undang yang baik berdasarkan
prosedur yang mantap. Karena undang-undang yang baik dan berkualitas hanya mungkin
terlahir dari proses yang juga baik dan cermat dari awal hingga akhir
pembentukannya.
Perencanaan pembentukan undang-undang sebagai proses pertama
(pendahuluan) dalam kegiatan pembentukan undang-undang menjadi salah satu
prasyarat lahirnya undang-undang yang
berkualitas dan harmonis, baik secara vertikal maupun
horizontal. Sedangkan menurut Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011, perencanaan
penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas. Program Legislasi Nasional
adalah proses/tahapan yang wajib ditempuh dalam setiap pembentukan
undang-undang. Tidak boleh ada satu pun RUU yang dibahas oleh DPR dan
Pemerintah tanpa terlebih dahulu di proses dan terdaftar dalam Prolegnas atau
tambahannya melalui mekanisme pengajuan RUU di luar Prolegnas menurut pasal 23
ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011.
Dengan demikian perencanaan pembentukan undang-undang dalam Prolegnas
menjadi salah satu tahapan dan prosedur yag telah ditetapkan oleh UU No. 12
Tahun 2011, sehingga tidak boleh dilanggar dengan konsekuensi apabila mekanisme
itu diabaikan/dilanggar maka dapat
dibatalkan oleh MK melalui uji formil (formil
review). Uji formal tersebut tertuju pada (dapat) membatalkan seluruh isi
undang-undang yang dimohonkan pengujian.[7] Dalam hal
ini Prolegnas dianalogikan sebagai rahim tempat dikandungnya RUU, melalui Rahim
itulah kemudian RUU itu akan dilahirkan menjadi undang-undang, tentunya setelah
melalui serangkaian proses pembentukan oleh DPR bersama Presiden.[8]
Pada tahap inilah Prolegnas memainkan peran penting untuk turut
membangun hukum nasional karena pada tahap itulah program pembentukan
undang-undang direncanakan dan diperhitungkan secara cermat, terencana, dan
terpadu.[9]
Andi Matalata ketika menjabat Menkum dan HAM (2008) juga mengemukakan
mengenai peran penting Prolegnas dalam pembangunan hukum nasional.
Disebutkannya bahwa Prolegnas memiliki kedudukan penting dalam pembangunan
hukum nasional karena program ini secara sistematis menetapkan prioritas RUU
yang akan dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. Oleh sebab itu Prolegnas
diharapkan menjadi pedoman dan pengendali penyusunan undang-undang yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membentuknya. Dengan demikian nampaklah
bahwa penyusunan Prolegnas berperan penting dalam pembangunan sistem hukum
nasional, sekaligus mencerminkan politik hukum dan arah kebijakan pembangunan
di bidang substansi (materi) hukum.[10]
Program Legislasi Nasional mempunyai peran dan fungsi sebagai intrumen
atau mekanisme dimana pembangunan hukum nasional, terutama pembangunan materi
hukum, direncanakan dan diprogram secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Prolegnas sebagaimana dimaksud diatas berisi daftar RUU yang akan dibahas dan
dibentuk oleh pembentuk undang-undang dalam periode tertentu. Program Legislasi
Nasional secara operasional merupakan pedoman bagi pembentuk undang-undang
dalam menentukan arah kebijakan legislasi (legislative
policy), khususnya mengenai jumlah dan materi (judul) undang-undang apa
saja yang akan dibentuk.
Menurut Mahfud M.D., keharusan adanya Prolegnas dimaksudkan agar semua undang-undang
yang akan dibuat dapat dinilai terlebih dahulu kesesuaiannya dengan Pancasila dan UUD 1945 melalui perencanaan dan pembahasan yang matang.
Dalam pada itu Prolegnas menjadi penyaring isi Pancasila dan UUD di dalam suatu
undang-undang dengan dua fungsi:
Pertama, sebagai potret
rencana isi hukum untuk mencapai tujuan negara yang sesuai dengan pancasila,
UUD 1945, dan sistem hukum nasional selama lima tahun. Kedua, sebagai mekanisme atau prosedur pembuatan agar apa yang
telah ditetapkan sebagai rencana dapat dilaksanakan dengan prosedur dan
mekanisme yang benar.[11]
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa Prolegnas mempunyai andil
yang penting dalam pembangunan hukum nasional, khususnya pembangunan materi
hukum (legal substance).
Dalam perpektif pembangunan hukum nasional inilah, Prolegnas diharapkan
dapat mengarahkan pembangunan hukum sehingga terwujud konsistensi dan
harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan dalam satu naungan sistem
hukum nasional.[12]
Hal mana dapat terwujud melalui perencanaan pembentukan undang-undang yang
terencana, terpadu dan sistematis melalui Prolegnas. Oleh karena pada
gilirannya, perencanaan penyusunan undang-undang yang tertuang dalam Prolegnas
itu akan turut menentukan bagaimana potret pembangunan dan pembinaan hukum
nasional.
[1] Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang,
2013, hlm. 124.
[2] Dalam pandangan Mahfud
M.D., Negara Hukum Pancasila merupakan negara hukum yang berdiri diatas Sistem
Hukum Pancasila, yaitu suatu sistem hukum khas bangsa Indonesia yang berbeda
dari sistem hukum lainnya. Lihat Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 6-8.
Hal
yang senada juga dikemukakan secara tegas oleh Philipus M. Hadjon yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila dengan ciri-ciri yang
terdiri dari dua prinsip pokok yaitu
penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat dan asas kerukunan nasional.
Lihat Philipus M. Hadjon dalam I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Cet. Kedua, Setara Press, Malang,
2012, hlm. 162.
[3] Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Papas Sinar Sinanti, Depok, 2013, hlm. 28-30.
[4] Marjane Termorshuizen, The Concept Rule of Law, dalam Jurnal
Hukum Jantera, Edisi Ketiga, Tahun III, April-Juni 2006, hlm. 103.
[5] Bagir Manan dan Kuntana
Magnar, Peranan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembinan Hukum Nasional, CV Armico, Bandung, 1987,
hlm. 13.
[6] Bagir Manan dalam Solly
Lubis, Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 7.
[7] Mahfud M.D., Permasalahan Aktual Koordinasi Prolegnas,
Makalah
Disampikan pada Loka Karya 30 Tahun Prolegnas yang Diselenggarakan oleh BPHN, Jakarta,
19-21 November 2007,
hlm. 7.
[8] Yang dimaksud dengan
RUU tertenu adalah RUU yang menyangkut kepentingan daerah yang menjadi wewenang
DPD untuk mengajukan dan ikut membahasnya berdasarkan Pasal 22D ayat (1) dan
(2) UUD NRI Tahun 1945.
[9] Lihat
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju
Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 37-75.
[10] Andi Matalata dalam
Tiga Dekade Prolegnas dan Peran BPHN, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2008,
hlm.
5-8.
[11] Mahfud M.D., Permasalahan Aktual Kordinasi Prolegnas,
Op.Cit., hlm. 6.
[12] Badan Legislasi DPR RI,
Evaluasi Prolegnas 2005-2009,
Diterbitkan oleh Badan Legislasi DPR RI, Jakarta, 2009, hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar