Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 13 Desember 2018

Apa itu Gurndnorm Menurut Hans Kelsen & Apakah Pancasila Bisa Disebut Sebagai Grundnorm


Perihal konsepsi mengenai apa yang disebut sebagai “grundnorm” atau “basic norm” yang kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “norma dasar”, Hans Kelsen sendiri memang tidak jelas menyebut apa yang ia maksud dengan norma dasar itu. Kelsen tidak memberi contoh konkret tentang wujud atau penjelmaan daripada norma dasar itu.
Bangunan konsep tentang norma dasar itu mula-mula dikembangkan oleh Kelsen dengan mengemukakan teorinya tentang jenjang norma (stufenbau des recht tehorie). Ia mengatakan bahwa norma hukum selalu dibentuk berdasarkan norma hukum yang lain yang ada diatasnya. Begitu juga norma hukum yang ada diatas itu akan berdasar dan bergantung pada norma hukum lain yang lebih atas lagi dan seterusnya.[1] Hal itu tercermin dari pernyataannya sebagai berikut:
 “A legal order is not a system of coordinated norm of equal level, but hierarchy of different levels of legal norms, its unity brought about fact that the validity of a norm, created according to another norm ....”[2]
Atas konsepsinya mengenai teori jenjang norma yang menyatakan bahwa suatu norma dikatakan valid apabila dibentuk berdasarkan norma yang ada diatasnya dan begitu seterusnya, maka selanjutnya timbul pertanyaan “apakah ini berarti suatu rangkaian/jenjang yang terus menerus dan tak berkesudahan”? atas pertanyaan tersebut, Kelsen menjawab bahwa secara teoritis ya, artinya memang jenjang norma itu selalu berangkai-rangkai dari bawah keatas sampai pada posisi yang tak terhingga. Akan tetapi Kelsen menyatakan bahwa secara praktis/empiris, rangkaian jenjang norma itu harus memiliki akhir atau puncak, sebagai tempat bergantungnya semua norma yang ada dibawahnya. Inilah yang dimaksudkannya sebagai norma dasar.[3]
Dari uraian singkat tentang norma dasar yang dikemukakan oleh Kelsen diatas terbuktilah bahwa memang konsep norma dasar itu sangat abstrak, tidak saja dalam pandangan para jurist yang mempelajari filsafat pemikiran Kelsen, melainkan dalam pandangan Kelsen sendiri. Itulah sebabnya dikatakan bahwa konsepsi Hans Kelsen tentang norma dasar (Grundnorm) itu hanya mempunyai fungsi epistemologis atau fungsi sebagai ilmu pengetahuan saja.[4]
Berdasarkan penelusuran terhadap literatur yang ada, baik yang datang dari Hans Kelsen sendiri melalui dua bukunya yang paling  terkenal “Pure Theory of Law” dan  “General Thery of Law and State”, maupun dari para penulis lain yang meneliti filsafat pemikiran Hans Kelsen, diperoleh penjelasan bahwa maksud dari dilontarkannya konsep norma dasar yang begitu abstrak itu ialah sebagai pengandaian (presupposed) yang bersifat transendental (asbtrak/metafisis)-logis untuk memberi legitimasi dan validitas bagi suatu tatanan hukum yang dalam pandangan Kelsen harus berpuncak pada norma dasar yang asbtrak dan hanya berupa pengandaian (presupposed). Dalam pada itu Kelsen mengatakan bahwa “the basic norm thereby furnishes the reason for the validity of this constitution and ot the coercive order created in accordance with it.”[5] Artinya: dengan demikian norma dasar menyediakan alasan bagi keabsahan konstitusi dan tatanan pemaksa lain yang diciptakan sesuai dengannya.”
Selanjutnya Kelsen mengatakan bahwa dengan mengandaikan norma dasar yang menetapkan bahwa kita harus berperilaku seperti yang diatur dalam undang-undang maka kita haru mengikuti aturan tersebut oleh karena aturan tersebut pada puncaknya bersumber/berdasarkan pada norma dasar. Fungsi norma dasar ini adalah membangun keabsahan objektif dari suatu tatanan hukum positif.[6]
Jadi jelaslah bahwa fungsi epistemologis dan maksud daripada dilontarkannya ide mengenai adanya norma dasar oleh Hans Kelsen ialah  untuk memberi dasar legitimasi dan validitas bagi berlakunya suatu tatanan hukum positif dengan mengandaikan (presupposed) adanya norma dasar sebagai puncak dari seluruh norma yang ada dalam tata hukum positif tersebut.
Penulis sependapat dengan argumen yang menyatakan bahwa Pancasila bukanlah merupakan norma dasar sebagaimana dimaksud oleh Hans Kelsen. Pendapat tersebut setidak-tidaknya didasarkan pada pertimbangan dan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, Hans Kelsen sendiri dalam karya-karyanya yang begitu banyak, tidak pernah menjelaskan secara tegas tentang norma apa yang sesungguhnya ia maksud sebagai norma dasar itu. Kelsen tidak pernah menunjuk sebuah norma sebagai perwujudan atau penjelmaan dari norma dasar yang ia maksud. Karena sebagaimana telah sempat disinggung diatas, konsep norma dasar yang dilontarkan Kelsen itu sendiri sifatnya sangat abstrak dan hanya merupakan sebuah presupposed atau pengandaian.
Sebagaimana dikemukakan oleh Llyod dan Freeman dalam bukunya “Intruduction to Jurisprudence” dikatakan bahwa konsep tentang norma dasar adalah sesuatu yang sangat problematik dari sistem filsafat/pemikiran Kelsen. Selanjutnya dikatakan juga bahwa “we are not clear what sort of norm this really is, nor what it does, nor, indeed, where we find it.”[7] Jadi memang sejak semula kita tidak akan pernah bisa menemukan dimana norma norma dasar itu karena apa yang dimaksud oleh Kelsen sebagai “norma dasar” itu tidak lain merupakan produk pengandaiannya tentang hakikat dan idealnya sebuah norma yang tertinggi yang menjadi puncak dari segala norma dalam suatu tatanan hukum. Bagaimana mungkin kita bisa menemukan produk pengandaian yang sifatnya transendental (metafisis)[8] dalam dunia yang nyata ? itulah sebabnya seorang ahli bernama Profesor Stone melontarkan kritik yang bernada sinis terhadap konsep norma dasar Hans Kelsen dengan menyebutnya sebagai “mystery and mistique in the basic norm” yang kemukakannya dalam suatu artikel yang berjudul “Legal System and Lawyer’s Reasonings.[9]
Oleh sebab itu tidaklah dapat diperbandingkan atau dicocokan antara Pancasila dengan Norma Dasar sebagaimana dimaksud oleh Hans Kelsen. Karena sejak awal konsep norma dasar itu tidak pernah dimaksudkan untuk diaplikasikan atau dicocokan dengan norma mana pun, melainkan hanya sebuah produk pengetahuan yang bersifat abstrak, transendental, dan pengandaian. Sejarah telah mengkonfirmasi hal itu. Tidak ada seorang jurist pun yang berhasil membangun teori untuk menemukan dan mencocokan konsep norma dasar sebagaimana dimaksud oleh Kelsen dengan suatu norma sebagai produk dari alam/tindakan nyata.
Kedua, dalam menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan norma dasar, Kelsen menjelaskan bahwa salah satu ciri atau karakteristiknya adalah ia (norma dasar) bukanlah hasil buatan atau kreasi manusia, dalam hal ini organ pembentuk hukum berdasarkan prosedur hukum tertentu. Dalam pada itu Kelsen mengatakan bahwa:
“the basic norm is not created in a legal procedure by law-creating organ. It is not as a positive legal norm is-valid because it is created in a certain way by a legal act, but it is valid because it is presupposed to be valid: and its presupposed to be valid because without this pre-supposition, no human act could be interpreted as a legal, especially as a norm-creating act.”[10]
Salah satu ciri atau karakter dari norma dasar yang dikemukakan diatas jika dikaitkan dengan Pancasila maka jelas Pancasila tidak masuk dalam kategori tersebut. Pancasila yang termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUD merupakan hasil karya para founding fathers kita yang mulai diusahakan perumusannya sejak masa Sidang Pleno I BPUPKI tanggal 28 Mei sampai 1 Juni 1945 dan pada akhirnya disahkan dalam sidang PPKI yang pertama tanggal 18 Agustus 1945.[11]
Berdasarkan kenyataan historis diatas jelas lah bahwa Pancasila yang sila-silanya termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, adalah produk buatan manusia, yakni hasil karya para founding fathers kita yang dibuat melalui serangkain proses pembentukan hukum, dalam konteks perumusan dasar negara dan undang-undang dasar guna melengkapi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dengan demiikian maka dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila tidak dapat disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) sebagaimana dimaksud Hans Kelsen karena tidak memenuhi salah satu karakter atau syarat utamanya, yakni Grundnorm bukanlah hasil ciptaan organ pembentuk hukum, sedangkan Pancasila yang secara legal formal termaktub dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD 1945 jelas merupakan produk ciptaan suatu organ yang memang bertugas untuk membentuk hukum dasar (UUD), yakni BPUPKI dan kemudian pengesahannya dilakukan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.



[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1961, hlm. 113.
[2] Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California Press, Barkeley, 1970, hlm. 222
[3] Llyod and Freeman, Introduction to Jurisprudence, hlm.  275. (Reading Material Mata Kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana FH Universitas Indonesia).
[4] Paul Gragl, The Pure Theory of Law and Legal Monoism-Epsitemological Truth and Empirical Plausibility, (2015) 70 Zeitschrift fur offentliches Recht, 665-736.
[5] Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Op. Cit., hlm. 201.
[6] Ibid., hlm. 202
[7] Lloyd and Freeman, Op. Cit., hlm. 282.
[8] Mengenai idenya tentang norma dasar yang bersifat presupposed/presupposition ini, Kelsen berdalih bahwa meski sifatnya pengandaian dan tarnsendental tetapi ia masih berada dalam area yang legal-logis.
[9] Jawaban atas kritik yang dilontarkan Profesor Stone ini dikemukakan Kelsen dalam artikelnya yang berjudul “Profesor Stone and the Pure Theory of Law”. Selengkapnya dapat dibaca dalam Llyod and Freeman, Op. Cit., hlm. 307-309.
[10] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hlm. 116.
[11] Sejarah perumusan dasar negara “Pancasila” ini dapat dibaca lebih lanjut dalam R.M. A.B Koesuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar