Perihal
konsepsi mengenai apa yang disebut sebagai “grundnorm”
atau “basic norm” yang kemudian
diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “norma dasar”, Hans Kelsen sendiri
memang tidak jelas menyebut apa yang ia maksud dengan norma dasar itu. Kelsen
tidak memberi contoh konkret tentang wujud atau penjelmaan daripada norma dasar
itu.
Bangunan
konsep tentang norma dasar itu mula-mula dikembangkan oleh Kelsen dengan
mengemukakan teorinya tentang jenjang norma (stufenbau
des recht tehorie). Ia mengatakan bahwa norma hukum selalu dibentuk
berdasarkan norma hukum yang lain yang ada diatasnya. Begitu juga norma hukum
yang ada diatas itu akan berdasar dan bergantung pada norma hukum lain yang
lebih atas lagi dan seterusnya.[1] Hal itu tercermin dari
pernyataannya sebagai berikut:
“A legal
order is not a system of coordinated norm of equal level, but hierarchy of
different levels of legal norms, its unity brought about fact that the validity
of a norm, created according to another norm ....”[2]
Atas
konsepsinya mengenai teori jenjang norma yang menyatakan bahwa suatu norma
dikatakan valid apabila dibentuk berdasarkan norma yang ada diatasnya dan
begitu seterusnya, maka selanjutnya timbul pertanyaan “apakah ini berarti suatu
rangkaian/jenjang yang terus menerus dan tak berkesudahan”? atas pertanyaan
tersebut, Kelsen menjawab bahwa secara teoritis ya, artinya memang jenjang
norma itu selalu berangkai-rangkai dari bawah keatas sampai pada posisi yang
tak terhingga. Akan tetapi Kelsen menyatakan bahwa secara praktis/empiris,
rangkaian jenjang norma itu harus memiliki akhir atau puncak, sebagai tempat
bergantungnya semua norma yang ada dibawahnya. Inilah yang dimaksudkannya
sebagai norma dasar.[3]
Dari
uraian singkat tentang norma dasar yang dikemukakan oleh Kelsen diatas
terbuktilah bahwa memang konsep norma dasar itu sangat abstrak, tidak saja
dalam pandangan para jurist yang
mempelajari filsafat pemikiran Kelsen, melainkan dalam pandangan Kelsen sendiri.
Itulah sebabnya dikatakan bahwa konsepsi Hans Kelsen tentang norma dasar (Grundnorm)
itu hanya mempunyai fungsi epistemologis atau fungsi sebagai ilmu
pengetahuan saja.[4]
Berdasarkan
penelusuran terhadap literatur yang ada, baik yang datang dari Hans Kelsen
sendiri melalui dua bukunya yang paling
terkenal “Pure Theory of Law” dan
“General Thery of Law and State”, maupun
dari para penulis lain yang meneliti filsafat pemikiran Hans Kelsen, diperoleh
penjelasan bahwa maksud dari dilontarkannya konsep norma dasar yang begitu
abstrak itu ialah sebagai pengandaian (presupposed)
yang bersifat transendental (asbtrak/metafisis)-logis untuk memberi
legitimasi dan validitas bagi suatu tatanan hukum yang dalam pandangan Kelsen
harus berpuncak pada norma dasar yang asbtrak dan hanya berupa pengandaian (presupposed). Dalam pada itu Kelsen
mengatakan bahwa “the basic norm thereby
furnishes the reason for the validity of this constitution and ot the coercive
order created in accordance with it.”[5]
Artinya: dengan demikian norma dasar menyediakan alasan bagi keabsahan
konstitusi dan tatanan pemaksa lain yang diciptakan sesuai dengannya.”
Selanjutnya
Kelsen mengatakan bahwa dengan mengandaikan norma dasar yang menetapkan bahwa
kita harus berperilaku seperti yang diatur dalam undang-undang maka kita haru
mengikuti aturan tersebut oleh karena aturan tersebut pada puncaknya
bersumber/berdasarkan pada norma dasar. Fungsi norma dasar ini adalah membangun
keabsahan objektif dari suatu tatanan hukum positif.[6]
Jadi jelaslah bahwa fungsi epistemologis
dan maksud daripada dilontarkannya ide mengenai adanya norma dasar oleh Hans
Kelsen ialah untuk memberi dasar
legitimasi dan validitas bagi berlakunya suatu tatanan hukum positif dengan
mengandaikan (presupposed) adanya
norma dasar sebagai puncak dari seluruh norma yang ada dalam tata hukum positif
tersebut.
Penulis sependapat dengan argumen yang
menyatakan bahwa Pancasila bukanlah merupakan norma dasar sebagaimana dimaksud
oleh Hans Kelsen. Pendapat tersebut setidak-tidaknya didasarkan pada
pertimbangan dan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, Hans
Kelsen sendiri dalam karya-karyanya yang begitu banyak, tidak pernah
menjelaskan secara tegas tentang norma apa yang sesungguhnya ia maksud sebagai
norma dasar itu. Kelsen tidak pernah menunjuk sebuah norma sebagai perwujudan
atau penjelmaan dari norma dasar yang ia maksud. Karena sebagaimana telah
sempat disinggung diatas, konsep norma dasar yang dilontarkan Kelsen itu
sendiri sifatnya sangat abstrak dan hanya merupakan sebuah presupposed atau pengandaian.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Llyod dan Freeman dalam bukunya “Intruduction to Jurisprudence” dikatakan bahwa konsep tentang
norma dasar adalah sesuatu yang sangat problematik dari sistem
filsafat/pemikiran Kelsen. Selanjutnya dikatakan juga bahwa “we are not clear what sort of norm this
really is, nor what it does, nor, indeed, where we find it.”[7]
Jadi memang sejak semula kita tidak akan pernah bisa menemukan dimana norma
norma dasar itu karena apa yang dimaksud oleh Kelsen sebagai “norma dasar” itu
tidak lain merupakan produk pengandaiannya tentang hakikat dan idealnya sebuah
norma yang tertinggi yang menjadi puncak dari segala norma dalam suatu tatanan
hukum. Bagaimana mungkin kita bisa menemukan produk pengandaian yang sifatnya transendental
(metafisis)[8]
dalam dunia yang nyata ? itulah sebabnya seorang ahli bernama Profesor Stone
melontarkan kritik yang bernada sinis terhadap konsep norma dasar Hans Kelsen
dengan menyebutnya sebagai “mystery and
mistique in the basic norm” yang kemukakannya dalam suatu artikel yang
berjudul “Legal System and Lawyer’s
Reasonings.[9]
Oleh
sebab itu tidaklah dapat diperbandingkan atau dicocokan antara Pancasila dengan
Norma Dasar sebagaimana dimaksud oleh Hans Kelsen. Karena sejak awal konsep
norma dasar itu tidak pernah dimaksudkan untuk diaplikasikan atau dicocokan
dengan norma mana pun, melainkan hanya sebuah produk pengetahuan yang bersifat
abstrak, transendental, dan pengandaian. Sejarah telah mengkonfirmasi hal itu.
Tidak ada seorang jurist pun yang
berhasil membangun teori untuk menemukan dan mencocokan konsep norma dasar
sebagaimana dimaksud oleh Kelsen dengan suatu norma sebagai produk dari
alam/tindakan nyata.
Kedua, dalam
menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan norma dasar, Kelsen menjelaskan
bahwa salah satu ciri atau karakteristiknya adalah ia (norma dasar) bukanlah
hasil buatan atau kreasi manusia, dalam hal ini organ pembentuk hukum
berdasarkan prosedur hukum tertentu. Dalam pada itu Kelsen mengatakan bahwa:
“the basic norm is not created in a legal procedure by
law-creating organ. It is not as a positive legal norm is-valid because it is
created in a certain way by a legal act, but it is valid because it is presupposed
to be valid: and its presupposed to be valid because without this
pre-supposition, no human act could be interpreted as a legal, especially as a
norm-creating act.”[10]
Salah
satu ciri atau karakter dari norma dasar yang dikemukakan diatas jika dikaitkan
dengan Pancasila maka jelas Pancasila tidak masuk dalam kategori tersebut.
Pancasila yang termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUD merupakan hasil
karya para founding fathers kita yang
mulai diusahakan perumusannya sejak masa Sidang Pleno I BPUPKI tanggal 28 Mei
sampai 1 Juni 1945 dan pada akhirnya disahkan dalam sidang PPKI yang pertama
tanggal 18 Agustus 1945.[11]
Berdasarkan
kenyataan historis diatas jelas lah bahwa Pancasila yang sila-silanya termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945, adalah produk buatan manusia, yakni hasil karya para founding fathers kita yang dibuat
melalui serangkain proses pembentukan hukum, dalam konteks perumusan dasar
negara dan undang-undang dasar guna melengkapi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dengan
demiikian maka dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila tidak dapat disebut
sebagai norma dasar (Grundnorm) sebagaimana dimaksud
Hans Kelsen karena tidak memenuhi salah satu karakter atau syarat utamanya,
yakni Grundnorm bukanlah hasil ciptaan organ pembentuk hukum, sedangkan
Pancasila yang secara legal formal termaktub dalam Alenia Keempat Pembukaan UUD
1945 jelas merupakan produk ciptaan suatu organ yang memang bertugas untuk
membentuk hukum dasar (UUD), yakni BPUPKI dan kemudian pengesahannya dilakukan
oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel
and Russel, New York, 1961, hlm. 113.
[2] Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of
California Press, Barkeley, 1970, hlm. 222
[3] Llyod and
Freeman, Introduction to Jurisprudence,
hlm. 275. (Reading Material Mata Kuliah
Filsafat Hukum Pascasarjana FH Universitas Indonesia).
[4] Paul Gragl, The
Pure Theory of Law and Legal Monoism-Epsitemological Truth and Empirical
Plausibility, (2015) 70 Zeitschrift fur offentliches Recht, 665-736.
[5] Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Op. Cit., hlm. 201.
[6] Ibid., hlm. 202
[7] Lloyd and
Freeman, Op. Cit., hlm. 282.
[8] Mengenai
idenya tentang norma dasar yang bersifat presupposed/presupposition
ini, Kelsen berdalih bahwa meski sifatnya pengandaian dan tarnsendental tetapi
ia masih berada dalam area yang legal-logis.
[9] Jawaban atas
kritik yang dilontarkan Profesor Stone ini dikemukakan Kelsen dalam artikelnya
yang berjudul “Profesor Stone and the
Pure Theory of Law”. Selengkapnya dapat dibaca dalam Llyod and Freeman, Op. Cit., hlm. 307-309.
[10] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hlm.
116.
[11] Sejarah
perumusan dasar negara “Pancasila” ini dapat dibaca lebih lanjut dalam R.M. A.B
Koesuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar