Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 30 Oktober 2013

Pengujian Perpu oleh MK



“PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS PERPU OLEH MK, BOLEHKAH ?”


Problematika mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengemuka sehubungan dengan diterbitkannya Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan dan problematika tersebut ibarat dua sisi mata uang, membelah pendapat khalayak (khususnya para ahli) menjadi dua, ada yang mengatakan MK berwenang dan ada juga yang lantang mengatakan bukan kewenangan MK untuk menguji Perpu, tentu dengan segala argumentasi dan perspektif hukumnya masing-masing.
Secara garis besar, dikotomi pendapat tersebut betolak dari perbedaan dalam menafsirkan kewenangan MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap UndangUndang Dasar .....”
Bagi yang setuju bahwa MK dapat menguji Perpu, alasan utamanya adalah materi dan kedudukan (hierarki) Perpu sama dengan UU,[1] sehingga dengan demikian Perpu masuk dalam cakupan kewenangan judicial review MK sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD 1945. Sementara disisi yang berhadapan dengan pendapat tersebut mengatakan MK tidak berwenang menguji Perpu dengan alasan bahwa Pasal 24C UUD 1945 sudah jelas dan tegas menyebutkan objectum litis (objek perkara) dalam perkara pengujian undang-undang di MK adalah undang-undang, bukan Perpu. Mekanisme pengujian (review) terhadap Perpu sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3), yaitu menjadi kewenangan DPR untuk membahas dan menentukan nasibnya pada persidangan berikutnya.
Berkenaan dengan persoalan kewenangan pengujian Perpu oleh MK, ada baiknya penulis mengingatkan kita kepada persoalan yang serupa yang terjadi tahun 2009-2010 silam. Pada tanggal 18 September 2009, Presiden menerbitkan Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, sehubungan dengan “kegentingan memaksa” yang terjadi dalam dunia pemberantasa korupsi, khususnya KPK. Ketika itu, tiga (3) dari lima (5) pimpinan KPK dinonaktifkan karena berstatus tersangka. Peristiwa tersebut dinilai oleh Presiden sebagai kegentingan memaksa sehingga membuka ruang bagi Presiden untuk menerbitkan Perpu tentang pengangkatan pimpinan sementara (plt) KPK. Alasan utamanya karena mekanisme pengisian kekosongan pimpinan KPK sebagaimana yang diatur dalam UU KPK memakan waktu yang sangat lama sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kinerja KPK dengan hanya dua orang pimpinan yang tersisa.
Disahkannya Perpu No. 4 Tahun 2009 tersebut tak pelak menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang tajam dikalangan masyarakat. Seperti biasa, ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Pada waktu itu, perbedaan pendapat terfokus pada substansi Perpu. Atas dasar itulah kemudian beberapa advokat, yaitu Saor Siagian dkk melakukan uji materi di MK untuk menguji konstitusionalitas Perpu tersebut. Pada momen inilah sejarah baru pengujian undang-undang di MK terukir. Untuk pertama kalinya sebuah Perpu dibawa ke MK untuk diperiksa dan diuji konstitusionalitasnya. Tidak dapat dipungkiri lagi, permohonan pengujian Perpu tersebut segera menjadi perhatian publik dan publik menantikan sikap MK, apakah akan menguji Perpu tersebut atau tidak.
Dalam pengujian tersebut ternyata MK menyatakan berwenang untuk menguji Perpu dengan pertimbangan hukum bahwa kedudukan (hierarki) maupun materi muatan Perpu sama dengan undang-undang.[2] Namun dalam amar putusannya MK menyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvantkelijke Veerklaard) karena pemohon tidak memenuhi legal standing. Namun demikian, walaupun amar putusan MK menyatakan Tidak Dapat Menerima permohonan tersebut (karena alasan legal standing) tetapi satu perkembangan dan sejarah baru telah lahir dengan adanya permohonan pengujian Perpu tersebut, karena ternyata MK memutuskan bahwa dirinya berwenang dalam menguji Perpu melalui pengujian perkara 138/PUU-VII/2009 tersebut.
Penting untuk diketahui bahwa dalam putusan tersebut, suara sembilan hakim konstitusi tidak bulat. Terdapat satu concurring opinion dari Mahfd M.D dan satu dissenting opinion dari Muhammad Alim. Concuring opinion berarti terdapat alasan/argumentasi yang berbeda dalam membangun pertimbangan hukum namun tetap pada kesimpulan atau amar yang sama. Sedangkan dissenting opinion berarti menunjukan pendapat berbeda, baik dari alasan/argumentasi dalam pertimbangan hukumnya maupun pada kesimpulan atau amarnya. Pada prinsipnya Mahfud M.D mempunyai konstruksi pemikiran tersendiri dalam menafsirkan kewenangan MK menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 namun tetap dengan kesimpulan yang sama, yaitu MK berwenang menguji Perpu. Sedangkan M. Alim memiliki pandangan dan kesimpulan yang berbeda, dimana menurutnya kewenangan MK hanya sebatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD, tidak termasuk Perpu, karena rumusan norma yang memuat kewenangan tersebut (Pasal 24C UUD 1945) sudah jelas menyebutkan kata “undang-undang” dan tidak lain daripada itu. Oleh karenanya ia berkesimpulan bahwa MK sesungguhnya tidak berwenang menguji Perpu dan merupakan suatu pelanggaran terhadap UUD itu sendiri apabila MK mengujinya.[3]
Melalui penelusuran sejarah pengujian Perpu di MK sebagaimana dipaparkan diatas didapati kesimpulan bahwa MK pernah menerima dan menguji permohonan judicial review terhadap Perpu. Namun apa yang pernah dilakukan oleh MK tersebut tidak berarti menutup ruang-ruang bagi kajian akademis terhadap persoalan pengujian Perpu oleh MK. Sebab seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa konstitusi itu dinamis dan berkembang (living constitution).[4] Oleh karena itulah penulis mencoba mengemukakan gagasan dan perspektif yang berbeda dalam menjawab pertanyaan “dapatkah MK menguji Perpu ?” jawaban dan pilihan perspektif hukum ini mungkin seperti “jalan tengah” diantara dua perbedaan pandangan yang saling berhadapan dalam menilai pengujian Perpu oleh MK.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, salah satu diantara empat kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD. Rumusan Pasal 24C ayat (1) khususnya yang mengatur kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sudah jelas dan tegas, bahwa objek dalam pengujian undang-undang terhadap UUD adalah undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) merupakan salah satu hak konstitusional yang dimiliki Presiden. Kendati pun hak membuat Perpu merupakan salah satu hak konstitusional dan prerogratif Presiden untuk menanggulangi suatu keadaan “kegentingan memaksa”, namun UUD melalui Pasal 22 ayat (2) dan (3) mengatur pula pembatasan dan kontrol terhadap hak tersebut. Singkat kata, dalam satu pasal ini (Pasal 22) di dalamnya telah tercakup prinsip check and balance antara Presiden dan DPR. Mekanisme saling mengecek dan mengimbangi tersebut sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3). Dimana setiap Perpu yang dikeluarkan Presiden harus dibawa ke DPR untuk ditentukan nasibnya, apakah akan disetujui menjadi undang-undang atau menolaknya (dicabut). Jadi dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut sudah diterangkan secara spesifik dan sistematis mengenai penetapan Perpu dan mekanisme pengujiannya. Jadi meskipun Perpu itu notabene merupakan noodverordeningsrecht (hukum darurat) yang sudah lazim diterima oleh negara-negara di dunia ini sebagai prerogratif kepala negara untuk menanggulangi kegentingan yang memaksa, namun UUD 1945 tetap memberikan pengawasan dan pembatasan terhadap hak istimewa tersebut, yaitu melalui keharusan persetujuan DPR terhadap Perpu tersebut pada masa persidangan berikutnya. Artinya, masa berlaku Perpu itu bersifat terbatas, sampai pada persidangan (DPR) berikutnya. Dengan demikian, pengujian terhadap Perpu yang diterbitkan oleh Presiden adalah kewenangan sekaligus kewajiban konstitusional DPR. Jadi mekanisme pengujiannya ialah melalui legislative review oleh DPR, bukan melalui judicial review oleh MK.
Ditinjau dari penafsiran historis pun jelas bahwa perumus amandemen UUD 1945 berkehendak untuk tidak memasukan Perpu kedalam jangkauan kewenangan judicial review MK, karena seandainya perumus amandemen berkehendak memasukan Perpu kedalam jangkauan kewenangan judicial review MK, maka melalui perubahan ketiga, perumus amandemen dapat saja memasukan “Perpu” kedalam rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur kewenangan MK. Namun pada kenyataannya perumus amandemen UUD tidak menghendaki hal tersebut dan tetap mempertahankan Pasal 22 apa adanya. Dari segi penafsiran historis dan penelusuran terhadap original intent (kehendak asli) perumus amandemen UUD 1945, jelas bahwa kewenangan judicial review MK sebagaiama tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) tidak dapat menjangkau Pasal 22 UUD 1945. Karena Pasal 22 sudah mengatur mekanisme review tersendiri, yaitu melalui legislative review (pengujian oleh legislatif).
Demikian juga apabila ditinjau dari penafsiran atau pendekatan sistematis, pengujian Perpu oleh MK akan berpotensi merusak sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) yang telah terkandung dan dibangun oleh UUD 1945. Betapa tidak, MK dapat menguji dan membatalkan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, padahal Perpu tersebut merupakan prerogratif yang diberikan konstitusi kepada Presiden untuk selalu bertindak konstitusional melalui perangkat yang telah disediakan oleh UUD, sekalipun negara dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Jika bisa diuji dan dibatalkan sembarang waktu oleh MK tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 22, lalu apalagi yang tersisa dari seorang Presiden sebagai kepala negara ? demikian juga apa arti dari Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) jika kewenangan DPR tersebut dapat “dianeksasi” oleh MK ? pada tahap inilah penulis merasa berkepentingan untuk turut merekonstruksi kewenangan MK menguji Perpu agar MK sebagai the guardian of the constitution and the sole interpreter of the constitution tidak menerobos rambu-rambu konstitusional yang seharusnya ia tegakan.
Pertanyaan yang mendasar kemudian ialah apakah MK tidak boleh menguji Perpu ? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengujian Perpu dilakukan oleh DPR (legislative review) dan menjadi hak sekaligus kewajiban konstitusional DPR untuk menguji Perpu dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu pada masa persidangan berikutnya. Jadi MK tidak boleh menganeksasi atau melangkahi ketentuan konstitusional tersebut sepanjang Perpu itu belum memasuki masa persidangan berikutnya dan belum disidangkan oleh DPR. Jika MK menguji Perpu sementara Perpu itu belum melewati masa berlakunya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (2), maka dapat dikatakan MK telah melakukan tindakan ultra vires, yaitu suatu tindakan yang melampaui kewenangannya. Hal mana tentu tidak boleh dilakukan oleh MK yang seharusnya merawat dan menjaga UUD 1945.
Lalu dengan demikian apakah MK sema sekali tidak dapat menguji Perpu ? pertanyaan tersebut juga tidak sepenuhnya benar.
Penulis berpendapat bahwa MK dapat menguji Perpu manakala Perpu tersebut sudah melewati masa persidangan berikutnya namun belum juga dibawa ke DPR dan belum ditentukan apakah disetujui menjadi UU atau dicabut. Dalam keadaan yang seperti ini maka legislative review sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) dengan sendirinya telah hapus dan bahkan terlanggar, karena sudah melewati masa persidangan berikutnya sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 22 ayat (2) namun belum juga disidangkan oleh DPR untuk ditentukan nasibnya. Maka pada titik inilah kewenangan MK untuk menguji sebuah Perpu sudah terbuka, karena ketentuan konstitusional untuk mereview Perpu tersebut oleh DPR telah diabaikan. Bahkan pada tahap yang seperti ini, menjadi kewenangan sekaligus tanggung jawab MK (apabila ada permohonan pengujian Perpu) untuk menguji Perpu agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzakerheid) dalam sistem ketatanegaraan kita.
Dalam contoh konkret banyak sekali Perpu yang sudah melewati masa persidangan dimana Perpu itu seharusnya disidangkan oleh DPR namun belum juga disidangkan, sehingga sudah bertahun-tahun diterbitkan tetapi bentuknya masih berupa Perpu. Padahal jika merujuk kepada Pasal 22 UUD 1945, Perpu itu bersifat sementara, sampai ditentukan nasibnya pada persidangan DPR berikutnya, setelah itu harus ditetapkan apakah disetujui menjadi undang-undang atau ditolak dan dicabut.[5] Contoh, dari tahun 2004-2012 Presiden telah mengeluarkan sebanyak 18 Perpu. Dari jumlah tersebut, hanya 11 Perpu yang sudah diajukan kepada DPR dan ditentukan nasibnya; ada yang disahkan menjadi UU dan ada juga yang dicabut. Sehingga dengan demikian masih ada 7 Perpu yang belum sempat disidangkan dan ditentukan nasibnya oleh DPR sebagaimana diharuskan oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.[6] Dikaitkan dengan kewenangan Pengujian Perpu oleh MK, maka menurut penulis, ketujuh Perpu itulah yang secara konstitusional dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK, karena syarat dan ketentuan (term and conditions) yang membatasi kewenangan MK untuk mengujinya sebagaimana dipagari oleh ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 telah hapus karena hukum. Oleh karenanya, pada waktu itulah MK baru dapat menguji sebuah Perpu.
Dengan rekonstruksi kewenangan MK seperti yang dikemukakan diatas maka diharapkan MK tidak lagi melakukan tindakan ultra vires. Dengan pembatasan mengenai kapan MK dapat dan tidak dapat menguji Perpu, maka diharapkan MK (dalam menjalankan kewenangannya) tetap patuh pada rambu-rambu pembatas yang digariskan UUD 1945, namun disisi yang lain MK tetap dapat memastikan konstitusionalitas suatu Perpu manakala keharusan legislative review menurut Pasal 22 itu sendiri diabaikan.


[1] Berdasarkan Pasal 7 jo Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa kedudukan (hierarki) Perpu sama/setara dengan undang-undang. Begitu pun dengan materi muatannya, sama dengan materi muatan undang-undang.
[2] Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi terkait “Kewenangan Mahkamah” dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009.
[3] Lihat concurring opinion dan dissenting opinion dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
[4] Bagir Manan, Beberapa Persoalan Paradigma Setelah atau Akibat Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 10.
[5] Menurut Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perpu harus diajukan kepada DPR pada masa persidangan berikutnya dalam bentuk RUU (RUU tentang Penetapan Perpu). Apabila disetujui maka disahkan menjadi UU. Namun apabila tidak disetujui maka Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku untuk kemudian diajukan RUU tentang Pencabutannya.
[6] Lihat www.setneg.go.id. Diakses tanggal 28 Oktober 2013.