“PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS PERPU
OLEH MK, BOLEHKAH ?”
Problematika mengenai kewenangan
Mahkamah Konstitusi (MK) menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) mengemuka sehubungan dengan diterbitkannya Perpu No. 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pertanyaan dan problematika tersebut ibarat dua sisi mata uang, membelah
pendapat khalayak (khususnya para ahli) menjadi dua, ada yang mengatakan MK
berwenang dan ada juga yang lantang mengatakan bukan kewenangan MK untuk
menguji Perpu, tentu dengan segala argumentasi dan perspektif hukumnya
masing-masing.
Secara garis besar, dikotomi pendapat
tersebut betolak dari perbedaan dalam menafsirkan kewenangan MK sebagaimana
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap UndangUndang
Dasar .....”
Bagi
yang setuju bahwa MK dapat menguji Perpu, alasan utamanya adalah materi dan
kedudukan (hierarki) Perpu sama dengan UU,[1]
sehingga dengan demikian Perpu masuk dalam cakupan kewenangan judicial review MK sebagaimana dimaksud
Pasal 24C UUD 1945. Sementara disisi yang berhadapan dengan pendapat tersebut
mengatakan MK tidak berwenang menguji Perpu dengan alasan bahwa Pasal 24C UUD
1945 sudah jelas dan tegas menyebutkan objectum
litis (objek perkara) dalam perkara pengujian undang-undang di MK adalah
undang-undang, bukan Perpu. Mekanisme pengujian (review) terhadap Perpu sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan
(3), yaitu menjadi kewenangan DPR untuk membahas dan menentukan nasibnya pada
persidangan berikutnya.
Berkenaan dengan persoalan kewenangan
pengujian Perpu oleh MK, ada baiknya penulis mengingatkan kita kepada persoalan
yang serupa yang terjadi tahun 2009-2010 silam. Pada tanggal 18 September 2009,
Presiden menerbitkan Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30
Tahun 2002 tentang KPK, sehubungan dengan “kegentingan memaksa” yang terjadi dalam
dunia pemberantasa korupsi, khususnya KPK. Ketika itu, tiga (3) dari lima (5)
pimpinan KPK dinonaktifkan karena berstatus tersangka. Peristiwa tersebut
dinilai oleh Presiden sebagai kegentingan memaksa sehingga membuka ruang bagi
Presiden untuk menerbitkan Perpu tentang pengangkatan pimpinan sementara (plt)
KPK. Alasan utamanya karena mekanisme pengisian kekosongan pimpinan KPK
sebagaimana yang diatur dalam UU KPK memakan waktu yang sangat lama sehingga
dikhawatirkan akan mengganggu kinerja KPK dengan hanya dua orang pimpinan yang
tersisa.
Disahkannya Perpu No. 4 Tahun 2009
tersebut tak pelak menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang tajam dikalangan
masyarakat. Seperti biasa, ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Pada
waktu itu, perbedaan pendapat terfokus pada substansi Perpu. Atas dasar itulah
kemudian beberapa advokat, yaitu Saor Siagian dkk melakukan uji materi di MK
untuk menguji konstitusionalitas Perpu tersebut. Pada momen inilah sejarah baru
pengujian undang-undang di MK terukir. Untuk pertama kalinya sebuah Perpu
dibawa ke MK untuk diperiksa dan diuji konstitusionalitasnya. Tidak dapat
dipungkiri lagi, permohonan pengujian Perpu tersebut segera menjadi perhatian
publik dan publik menantikan sikap MK, apakah akan menguji Perpu tersebut atau
tidak.
Dalam pengujian tersebut ternyata MK menyatakan berwenang untuk menguji
Perpu dengan pertimbangan hukum bahwa kedudukan (hierarki) maupun
materi muatan Perpu sama dengan undang-undang.[2]
Namun dalam amar putusannya MK menyatakan Permohonan
Tidak Dapat Diterima (Niet
Onvantkelijke Veerklaard) karena pemohon tidak memenuhi legal standing. Namun
demikian, walaupun amar putusan MK menyatakan Tidak Dapat Menerima permohonan
tersebut (karena alasan legal standing) tetapi satu perkembangan dan sejarah
baru telah lahir dengan adanya permohonan pengujian Perpu tersebut, karena
ternyata MK memutuskan bahwa dirinya berwenang dalam menguji Perpu melalui pengujian
perkara 138/PUU-VII/2009 tersebut.
Penting untuk diketahui bahwa dalam
putusan tersebut, suara sembilan hakim konstitusi tidak bulat. Terdapat satu concurring opinion dari Mahfd M.D dan
satu dissenting opinion dari Muhammad
Alim. Concuring opinion berarti
terdapat alasan/argumentasi yang berbeda dalam membangun pertimbangan hukum
namun tetap pada kesimpulan atau amar yang sama. Sedangkan dissenting opinion berarti menunjukan pendapat berbeda, baik dari
alasan/argumentasi dalam pertimbangan hukumnya maupun pada kesimpulan atau
amarnya. Pada prinsipnya Mahfud M.D mempunyai konstruksi pemikiran tersendiri
dalam menafsirkan kewenangan MK menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 namun tetap
dengan kesimpulan yang sama, yaitu MK berwenang menguji Perpu. Sedangkan M.
Alim memiliki pandangan dan kesimpulan yang berbeda, dimana menurutnya
kewenangan MK hanya sebatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD, tidak
termasuk Perpu, karena rumusan norma yang memuat kewenangan tersebut (Pasal 24C
UUD 1945) sudah jelas menyebutkan kata “undang-undang” dan tidak lain daripada
itu. Oleh karenanya ia berkesimpulan bahwa MK sesungguhnya tidak berwenang
menguji Perpu dan merupakan suatu pelanggaran terhadap UUD itu sendiri apabila
MK mengujinya.[3]
Melalui penelusuran sejarah pengujian
Perpu di MK sebagaimana dipaparkan diatas didapati kesimpulan bahwa MK pernah
menerima dan menguji permohonan judicial
review terhadap Perpu. Namun apa yang pernah dilakukan oleh MK tersebut
tidak berarti menutup ruang-ruang bagi kajian akademis terhadap persoalan
pengujian Perpu oleh MK. Sebab seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa
konstitusi itu dinamis dan berkembang (living
constitution).[4]
Oleh karena itulah penulis mencoba mengemukakan gagasan dan perspektif yang
berbeda dalam menjawab pertanyaan “dapatkah MK menguji Perpu ?” jawaban dan
pilihan perspektif hukum ini mungkin seperti “jalan tengah” diantara dua perbedaan
pandangan yang saling berhadapan dalam menilai pengujian Perpu oleh MK.
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, salah
satu diantara empat kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD.
Rumusan Pasal 24C ayat (1) khususnya yang mengatur kewenangan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 sudah jelas dan tegas, bahwa objek dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD adalah undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) merupakan salah satu hak konstitusional yang dimiliki Presiden.
Kendati pun hak membuat Perpu merupakan salah satu hak konstitusional dan
prerogratif Presiden untuk menanggulangi suatu keadaan “kegentingan memaksa”,
namun UUD melalui Pasal 22 ayat (2) dan (3) mengatur pula pembatasan dan
kontrol terhadap hak tersebut. Singkat kata, dalam satu pasal ini (Pasal 22) di
dalamnya telah tercakup prinsip check and
balance antara Presiden dan DPR. Mekanisme saling mengecek dan mengimbangi
tersebut sudah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3). Dimana setiap Perpu yang
dikeluarkan Presiden harus dibawa ke DPR untuk ditentukan nasibnya, apakah akan
disetujui menjadi undang-undang atau menolaknya (dicabut). Jadi dalam Pasal 22
UUD 1945 tersebut sudah diterangkan secara spesifik dan sistematis mengenai
penetapan Perpu dan mekanisme pengujiannya. Jadi meskipun Perpu itu notabene merupakan
noodverordeningsrecht (hukum darurat)
yang sudah lazim diterima oleh negara-negara di dunia ini sebagai prerogratif
kepala negara untuk menanggulangi kegentingan yang memaksa, namun UUD 1945 tetap
memberikan pengawasan dan pembatasan terhadap hak istimewa tersebut, yaitu
melalui keharusan persetujuan DPR terhadap Perpu tersebut pada masa persidangan
berikutnya. Artinya, masa berlaku Perpu itu bersifat terbatas, sampai pada
persidangan (DPR) berikutnya. Dengan demikian, pengujian terhadap Perpu yang
diterbitkan oleh Presiden adalah kewenangan sekaligus kewajiban konstitusional
DPR. Jadi mekanisme pengujiannya ialah melalui legislative review oleh DPR, bukan melalui judicial review oleh MK.
Ditinjau dari penafsiran historis pun
jelas bahwa perumus amandemen UUD 1945 berkehendak untuk tidak memasukan Perpu
kedalam jangkauan kewenangan judicial
review MK, karena seandainya perumus amandemen berkehendak memasukan Perpu
kedalam jangkauan kewenangan judicial
review MK, maka melalui perubahan ketiga, perumus amandemen dapat saja
memasukan “Perpu” kedalam rumusan Pasal 24C ayat (1) yang mengatur kewenangan
MK. Namun pada kenyataannya perumus amandemen UUD tidak menghendaki hal
tersebut dan tetap mempertahankan Pasal 22 apa adanya. Dari segi penafsiran
historis dan penelusuran terhadap original
intent (kehendak asli) perumus amandemen UUD 1945, jelas bahwa kewenangan judicial review MK sebagaiama tercantum
dalam Pasal 24C ayat (1) tidak dapat menjangkau Pasal 22 UUD 1945. Karena Pasal
22 sudah mengatur mekanisme review tersendiri,
yaitu melalui legislative review
(pengujian oleh legislatif).
Demikian juga apabila ditinjau dari
penafsiran atau pendekatan sistematis, pengujian Perpu oleh MK akan berpotensi
merusak sistem pembagian kekuasaan (distribution
of power) yang telah terkandung dan dibangun oleh UUD 1945. Betapa tidak,
MK dapat menguji dan membatalkan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, padahal
Perpu tersebut merupakan prerogratif yang diberikan konstitusi kepada Presiden
untuk selalu bertindak konstitusional melalui perangkat yang telah disediakan
oleh UUD, sekalipun negara dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Jika bisa
diuji dan dibatalkan sembarang waktu oleh MK tanpa memperhatikan ketentuan
Pasal 22, lalu apalagi yang tersisa dari seorang Presiden sebagai kepala negara
? demikian juga apa arti dari Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) jika kewenangan
DPR tersebut dapat “dianeksasi” oleh MK ? pada tahap inilah penulis merasa
berkepentingan untuk turut merekonstruksi kewenangan MK menguji Perpu agar MK
sebagai the guardian of the constitution
and the sole interpreter of the constitution tidak menerobos rambu-rambu
konstitusional yang seharusnya ia tegakan.
Pertanyaan yang mendasar kemudian ialah
apakah MK tidak boleh menguji Perpu ? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
pengujian Perpu dilakukan oleh DPR (legislative
review) dan menjadi hak sekaligus kewajiban konstitusional DPR untuk
menguji Perpu dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu pada masa persidangan
berikutnya. Jadi MK tidak boleh menganeksasi atau melangkahi ketentuan
konstitusional tersebut sepanjang Perpu itu belum memasuki masa persidangan
berikutnya dan belum disidangkan oleh DPR. Jika MK menguji Perpu sementara
Perpu itu belum melewati masa berlakunya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22
ayat (2), maka dapat dikatakan MK telah melakukan tindakan ultra vires, yaitu suatu tindakan yang melampaui kewenangannya. Hal
mana tentu tidak boleh dilakukan oleh MK yang seharusnya merawat dan menjaga
UUD 1945.
Lalu dengan demikian apakah MK sema
sekali tidak dapat menguji Perpu ? pertanyaan tersebut juga tidak sepenuhnya
benar.
Penulis berpendapat bahwa MK dapat
menguji Perpu manakala Perpu tersebut sudah melewati masa persidangan
berikutnya namun belum juga dibawa ke DPR dan belum ditentukan apakah disetujui
menjadi UU atau dicabut. Dalam keadaan yang seperti ini maka legislative review sebagaimana yang
dipersyaratkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) dengan sendirinya telah hapus dan
bahkan terlanggar, karena sudah melewati masa persidangan berikutnya
sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 22 ayat (2) namun belum juga disidangkan
oleh DPR untuk ditentukan nasibnya. Maka pada titik inilah kewenangan MK untuk
menguji sebuah Perpu sudah terbuka, karena ketentuan konstitusional untuk
mereview Perpu tersebut oleh DPR telah diabaikan. Bahkan pada tahap yang
seperti ini, menjadi kewenangan sekaligus tanggung jawab MK (apabila ada
permohonan pengujian Perpu) untuk menguji Perpu agar tidak menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzakerheid)
dalam sistem ketatanegaraan kita.
Dalam contoh konkret banyak sekali Perpu
yang sudah melewati masa persidangan dimana Perpu itu seharusnya disidangkan
oleh DPR namun belum juga disidangkan, sehingga sudah bertahun-tahun
diterbitkan tetapi bentuknya masih berupa Perpu. Padahal jika merujuk kepada
Pasal 22 UUD 1945, Perpu itu bersifat sementara, sampai ditentukan nasibnya
pada persidangan DPR berikutnya, setelah itu harus ditetapkan apakah disetujui
menjadi undang-undang atau ditolak dan dicabut.[5] Contoh,
dari tahun 2004-2012 Presiden telah mengeluarkan sebanyak 18 Perpu. Dari jumlah
tersebut, hanya 11 Perpu yang sudah diajukan kepada DPR dan ditentukan
nasibnya; ada yang disahkan menjadi UU dan ada juga yang dicabut. Sehingga
dengan demikian masih ada 7 Perpu yang belum sempat disidangkan dan ditentukan
nasibnya oleh DPR sebagaimana diharuskan oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.[6]
Dikaitkan dengan kewenangan Pengujian Perpu oleh MK, maka menurut penulis,
ketujuh Perpu itulah yang secara konstitusional dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh MK, karena syarat dan ketentuan (term and conditions) yang membatasi kewenangan MK untuk mengujinya
sebagaimana dipagari oleh ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 telah hapus
karena hukum. Oleh karenanya, pada waktu itulah MK baru dapat menguji sebuah
Perpu.
Dengan rekonstruksi kewenangan MK
seperti yang dikemukakan diatas maka diharapkan MK tidak lagi melakukan tindakan
ultra vires. Dengan pembatasan
mengenai kapan MK dapat dan tidak dapat menguji Perpu, maka diharapkan MK (dalam
menjalankan kewenangannya) tetap patuh pada rambu-rambu pembatas yang digariskan
UUD 1945, namun disisi yang lain MK tetap dapat memastikan konstitusionalitas
suatu Perpu manakala keharusan legislative
review menurut Pasal 22 itu sendiri diabaikan.
[1]
Berdasarkan Pasal 7 jo Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa kedudukan (hierarki) Perpu
sama/setara dengan undang-undang. Begitu pun dengan materi muatannya, sama
dengan materi muatan undang-undang.
[2]
Lihat Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi terkait “Kewenangan Mahkamah”
dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009.
[3]
Lihat concurring opinion dan dissenting opinion dalam Putusan MK No.
138/PUU-VII/2009.
[4]
Bagir Manan, Beberapa Persoalan Paradigma
Setelah atau Akibat Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Jakarta, 2010,
hlm. 10.
[5]
Menurut Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Perpu harus diajukan kepada DPR pada masa persidangan
berikutnya dalam bentuk RUU (RUU tentang Penetapan Perpu). Apabila disetujui
maka disahkan menjadi UU. Namun apabila tidak disetujui maka Perpu tersebut
harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku untuk kemudian diajukan RUU tentang
Pencabutannya.
[6]
Lihat www.setneg.go.id.
Diakses tanggal 28 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar