Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 08 Maret 2022

Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden?: Sebuh Catatan Kritis dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara

 Selayang Pandang

Beberapa waktu belakang ini, rakyat Indonesia yang umumnya sedang berjuang melawan dan bangkit dari Pandemi Covid-19 baik secara ekonomi maupun kesehatan, khususnya di tengah mewabahnya varian barunya yang disebut “Omicron”, kita justru disuguhi oleh wacana-wacana politik dari para elit politik yang sangat tidak relevan dan sama sekali tidak dibutuhkan oleh rakyat di masa-masa yang sulit seperti sekarang ini.

Wacana politik yang dimaksud adalah gagasan untuk menunda Pemilu, baik DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta gagasan untuk memperpanjang atau menambah batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan. Wacana tersebut diinisiasi dan dilontarkan oleh beberapa Ketua Umum Partai Politik (Elit Politik) pendukung pemerintah seperti Muhaimin Iskandar dari PKB, Airlangga Hartato dari Golkar, dan Zulkifli Hasan dari PAN.[1]

Wacana yang pertama (penundaan Pemilu) umumnya didasarkan pada alasan ekonomi. Dikatakan bahwa demi menjaga kelangsungan dan momentum perbaikan ekonomi negara yang sedang bangkit dari Pandemi Covid-19 maka dianggap perlu untuk melakukan Penundaan Pemilu selama 1-2 tahun dari yang seharusnya digelar pada tahun 2024. Oleh kelompok pengusul wacana ini, Pemilu 2024 dianggap dapat menganggu frekuensi dan momentum perbaikan ekonomi negara yang sedang tumbuh setelah diterpa badai Pandemi Covid-19 selama 2 tahun terakhir ini.[2]

Sementara wacana yang kedua (perpanjangan dan penambahan masa jabatan Presiden) tidak lain dan tidak bukan didasarkan pada alasan yang lebih subjektif dan bahkan irasional, yakni alasan kultus individu Presiden Jokowi. Digambarkan oleh kelompok pengusul wacana ini bahwa Presiden Jokowi sangat dicintai dan dibutuhkan rakyat sehingga dengan demikian perlu membuka pembatasan masa jabatan Presiden yang saat ini dibatasi hanya 2 periode, atau dengan kata lain ingin menghapus pembatasan masa jabatan Presiden 2 periode dan menggantinya dengan masa jabatan Presiden selama 3 periode atau lebih.[3]

Argumen dan alasan-asalan yang dibangun oleh Partai Politik dan Eliti Politik yang melontarkan wacana ini sungguh sangat rapuh, irasional dan bahkan nampak kontraproduktif dengan perkembangan kehidupan berdemokrasi kita yang semakin hari semakin mapan dan semakin berorientasi pada prinsip-prinsip konstitusionalisme (prinsip yang menjunjung tinggi pembatasan kekuasaan negara dan organ-organnya berdasarkan konstitusi). Sedangkan wacana ini sepenuhnya berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusionalime.

Realitas Konfigurasi Politik Saat Ini

Hingga tulisan ini dibuat, terdapat 3 (tiga) partai politik di DPR yang mendukung wacana ini, yakni Golkar, PKB, dan PAN. Kesemuanya merupakan partai koalisi pemerintah yang memang berkepentingan terhadap status quo pemerintahan saat ini, atau dengan kata lain yang berkepentingan atas keberlangsungan dan kelanggengan rezim pemerintahan yang berkuasa saat ini.

Fakta tersebut sedikitnya sudah memberikan gambaran kepada kita bahwa ternyata tidak semua partai politik koalisi pemerintah yang berjumlah 7 (tujuh) Parpol mendukung wacana ini. Dari 7 Parpol koalisi pemerintah, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP, hanya 3 (tiga) yang mendukung wacana ini. Sedangkan 2 (dua) Parpol di luar pemerintah atau non-koalisi, yakni Demokrat dan PKS, seluruhnya menolak wacana ini.[4]

Untuk lebih lengkapnya berikut gambaran realitas konfigurasi politik terkait wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden saat ini.

Partai Politik/Fraksi DPR dan Sikapnya

No.

Parpol Koalisi

Sikap

Jumlah Anggota di DPR

Persentase Suara DPR

1.

PDIP

Menolak

128

22.26%

2.

Golkar

Mendukung

85

14.78%

3.

Gerindra

Belum Bersikap

78

13.57%

4.

Nasdem

Menolak

59

10.26%

5.

PKB

Mendukung

58

10.09%

6.

PAN

Mendukung

44

7.65%

7.

PPP

Belum Bersikap

19

3.30%

 

Parpol Non Koalisi

 

 

 

8.

Demokrat

Menolak

54

9.39%

9.

PKS

Menolak

50

8.70%

 

Dari data di atas, maka kita mendapati adanya 3 gugus sikap/kelompok Parpol di DPR dalam menyikapi wacana ini, yakni:

1.     Parpol yang mendukung wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden;

No.

Parpol yang Mendukung

Jumlah Anggota di DPR

Persentase Suara DPR

1.

Golkar

85

14.78%

2.

PKB

58

10.09%

3.

PAN

44

7.65%

Jumlah Anggota & Suara di DPR

187 Anggota

32.52% Suara

 

2.     Parpol yang menolak wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden;

No.

Parpol yang Menolak

Jumlah Anggota di DPR

Persentase Suara DPR

1.

PDIP

128

22.26%

2.

Nasdem

59

10.26%

3.

Demokrat

54

9.39%

4.

PKS

50

8.70%

Jumlah Anggota & Suara di DPR

291 Anggota

32.52% Suara

 

3.     Parpol yang belum mengambil sikap apakah mendukung atau menolak wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden;

No.

Parpol yang Belum Bersikap

Jumlah Anggota di DPR

Persentase Suara DPR

1.

Gerindra

78

13.57%

2.

PPP

19

3.30%

Jumlah Anggota & Suara di DPR

97 Anggota

16.87% Suara

 

Dari data dan fakta di atas dapat kita simpulkan bahwa jumlah suara Parpol penggagas dan pendukung wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden di DPR yang berjumlah 3 (tiga) Parpol hanya berjumlah 32.52% saja. Sedangkan yang menolak (4 Parpol) berjumlah 50.61% suara dan belum menyatakan sikapnya (2 Parpol) berjumlah 16.87%.

Dengan realitas konfigurasi politik seperti tergambar di atas dan jika tidak ada perubahan sikap yang signifikan dari Parpol-Parpol tersebut di atas maka ditinjau dari aspek kalkulasi politik saja pun sepertinya wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden akan sangat sulit diwujudkan, itu pun jika dihitung dari aspek realitas konfigurasi politik di tubuh DPR saja, belum lagi jika memperhitungkan realitas pilihan politik masing-masing anggota DPD yang berjumlah 136 orang.

Ditambah lagi jika dihitung/ditinjau dari sudut pandang aturan hukum (legal procedure) yang harus dipenuhi guna meloloskan dan mewujudkan wacana ini yang juga tak kalah sulit dan rumitnya karena harus mengubah konstitusi dengan segala persyaratan perubahan konstitusi yang termaktub dalam Pasal 37 UUD 1945 yang menuntut prosedur dan persyaratan yang cukup berat.

Di luar semua angan-angan untuk mempertahankan dan melanggengkan status quo rezim pemerintahan yang berkuasa saat ini melalui wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini, muncul satu fenomena paradoksal yang datang dari Presiden sendiri dan Parpol pengusung utamanya yakni PDIP, yang jelas-jelas menolak wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan atau penambahan periode jabatan Presiden. Ia secara pribadi mengatakan tidak akan bersedia untuk mengikuti kontestasi Pemilihan Presiden untuk periode yang ketiga karena hal tersebut tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden paling banyak selama 2 (dua) periode. Dan jika pun UUD 1945 berhasil diubah dan mengizinkan periode yang ketiga, Presiden Jokow Widodo mengatakan tetap tidak akan bersedia.[5]

Demikian juga halnya dengan sikap PDIP sebagai partai utama pengusung Pemerintah, PDIP melalui Ketua Umumnya Megawati Seokarno Putri dan Sekretaris Jenderalnya Hasto Kristiyanto tegas menolak wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Bagi PDIP, jadwal Pemilu dan masa jabatan presiden sudah final diatur di dalam UUD 1945 sehingga tidak bisa lagi dilanggar. Sikap PDIP yang ternyata menolak wacana itu sebetulnya sudah bisa diprediksi karena sikap tersebut sejalan dengan agenda partai yang akan mengusung Puan Maharani sebagai kandidat Presiden pada Pemilihan Presiden tahun 2024 mendatag. Karena itulah PDIP secara politik tidak berkepentingan dan tidak akan mendukung wacana perpanjangan masa jabatan Presiden.[6]

Cara dan Peluang

Satu-satunya jalan untuk mewujudkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ialah melalui Perubahan UUD 1945. Sebab, baik jadwal pelaksanaan Pemilu setiap 5 (lima) tahun sekali maupun pembatasan masa jabatan presiden paling banyak 2 (dua) periode, semuanya adalah norma konstitusi (constitutional norm), yang artinya pengaturannya berada di level konstitusi dan karenanya perubahannya pun harus dilakukan melalui amandemen konstitusi.

Perihal jadwal pelaksanaan Pemilu yang bersifat rutin setiap 5 (lima) tahun sekali, diatur secara jelas dan tegas pada Pasal 22E UUD 1945.[7] Sementara perihal pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur secara jelas dan tegas pada Pasal 7 UUD 1945.[8]

Karenanya tidak ada cara lain untuk mengubah dua ketentuan tersebut, yakni menunda jadwal Pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2024 dan menambah masa jabatan presiden dari yang seharusnya paling banyak hanya dua periode, kecuali dengan terlebih dahulu mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur 2 hal tersebut.

Setiap bentuk dan cara penundaan Pemilu dan perpanjangan atau penambahan masa jabatan presiden yang dilakukan tanpa terlebih dahulu mengubah UUD 1945 (pada pasal-pasal yang mengatur mengenai dua hal tersebut) dapat dipastikan adalah tindakan yang tidak sah dan batal demi hukum karena tidak memiliki landasan konstitusional dan nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi.

Lantas bagaimana dengan pendapat seorang pakar hukum tata negara yang mengatakan bahwa wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden bisa diwujudkan melalui Dekrit yang dikeluarkan Presiden?[9]

Menurut pendapat penulis, opini yang demikian adalah keliru dan tidak berdasar sehingga tidak dapat dan tidak boleh diikuti.

Sebab, pertama, Presiden tidak dapat dan tidak berwenang mengubah isi/ketentuan/pasal-pasal UUD 1945 dengan produk hukum yang dikeluarkannya dengan nama apapun, termasuk Dekrit. Karena kewenangan untuk mengubah UUD 1945 adalah kewenangan MPR yang jelas-jelas telah diatur dalam konstitusi (khususnya Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945).[10]

Kedua, produk hukum yang bernama Dekrit Presiden sudah tidak dikenal dan tidak diakui lagi dalam sistem peraturan perundang-undangan kita saat ini. Baik UUD 1945 maupun UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (beserta Perubahannya), keduanya tidak mengenal dan tidak memungkinkan lagi untuk dikeluarkannya Dekrit Presiden seperti pada masa-masa yang lalu, khususnya di Era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno yang banyak mengeluarkan keputusan-keputusan yang bersifat otoriter dan bertentangan dengan Konstitusi,[11] yang salah satunya berbentuk Dekrit Presiden.[12]

Sebagai bukti bahwa produk hukum semacam Dekrit Presiden ini tidak lagi dikenal dan diakui dalam sistem ketatanegaraan kita dapat dilihat dari pengalaman Presiden Gus Dur pada tanggal 23 Juli 2001 ketika mengeluarkan “Maklumat Presiden RI” yang dapat disamakan dengan Dekrit Presiden, yang isinya: membekukan MPR dan DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan membekukan Partai Golkar.

Dekrit Presiden Gus Dur tersebut dikeluarkan saat Presiden terlibat perdebatan dan konflik dengan DPR/MPR dalam sejumlah kasus seperti pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, Bulloggate,[13] dan Bruneigate.[14] Dekrit Gus Dur tersebut terbukti tidak diakui dan bahkan ditentang oleh sejumlah Lembaga negara, seperti DPR, MPR, dan Mahkamah Agung. Dekrit tersebut justru mempercepat proses lengsernya Gus Dur karena dengan adanya Dekrit tersebut MPR mempercepat proses Sidang Istimewa yang berujung pada pencabutan mandat atau pemberhentian Presiden Gus Dur oleh MPR.

Dengan demikian jelas lah bahwa untuk mewujudkan wacana ini diperlukan Perubahan UUD 1945. Lantas bagiaman prosedur Perubahan UUD 1945? Hal ini telah diatur secara cukup lengkap pada Pasal 37 UUD 1945 yang sederhananya adalah sebagai berikut:

-       Usul Perubahan Pasal-Pasal UUD harus diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR;

-       Sidang-sidang pembahasan Perubahan Pasal-Pasal UUD harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR;

-     Putusan untuk menetapkan Perubahan Pasal-Pasal UUD harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu suara dari seluruh anggota MPR.

Dengan melihat syarat, tata cara, dan prosedur Perubahan UUD 1945 di atas, dan membandingkannya dengan realitas konfigurasi politik yang ada saat ini maka nampaknya sangat sulit bagi kelompok pengusung ini untuk meloloskan dan mewujudkan agendanya. Sebab Konstitusi mengatur syarat yang cukup berat untuk itu, sedangkan realitas konfigurasi politik saat ini di MPR pun menunjukan suara kelompok yang setuju dengan wacana ini masih belum memenuhi syarat suara yang diatur oleh Pasal 37 UUD 1945.

Problem Etika Konstitusi dan Kemunduran Demokrasi

Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan betapa realitas konfigurasi politik di tubuh DPR saat ini masih belum cukup untuk meloloskan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden melalui prosedur Perubahan UUD. Sedangkan satu-satunya jalan untuk mewujudkan wacana itu ialah hanya melalui Perubahan UUD 1945.

Jika secara legal formal atau legal procedural saja wacana ini sangat sulit diwujudkan karena beratnya syarat yang ditetapkan untuk mengubah UUD, maka secara constitutional ethic atau etika konstitusi pun wacana ini juga akan menghadapi masalah filosofis yang jauh lebih besar dan menantang. Untuk diketahui, bahwa dalam doktrin hukum, dikenal 2 (dua) tolok ukur dari sebuah tindakan/keputusan/kebijakan:

1.    tolok ukur dari segi hukum atau formil procedural, yakni apakah tindakan/keputusan yang diambil tersebut telah sesuai dengan aturan hukum atau prosedur hukum yang berlaku? Ini adalah tolok ukur yang semata-mata mempertimbangkan aspek sah/tidaknya atau legal/ilegalnya sebuah tindakan/keputusan, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek non formil lain seperti patut/tidak patut, bijak/tidak bijak, beretika/tidak beretika;

2.  tolok ukur dari segi etika, dalam hal ini adalah etika konstitusi (constitutional ethic), yakni apakah tindakan/keputusan yang diambil tersebut telah sesuai dengan maksud dan tujuan tertinggi dibalik sebuah norma konstitusi. Dalam perspektif tolok ukur etika konstitusi ini, sebuah tindakan/keputusan dalam berbegara mungkin saja sah atau legal secara hukum, tapi tidak layak atau tidak patut secara etika konstitusi karena menyimpang dari maksud dan tujuan yang ada dibalik norma konstitusi.[1

Dalam kaitannya dengan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini, mungkin saja wacana ini terwujud jika konfigurasi politik di tubuh MPR suatu saat nanti menghendakinya, misalnya MPR sepakat dan berhasil mengubah pasal-pasal UUD yang mengatur soal jadwal Pemilu dan batas masa jabatan presiden sehingga Pemilu bisa ditunda dan masa jabatan presiden bisa ditambah menjadi 3 periode atau lebih. Namun yang menjadi pertanyaan dari perspektif etika konstitusi adalah, apakah Perubahan UUD tersebut dapat dibenarkan secara konstitusi? Apakah layak/etis mengubah suatu ketentuan UUD yang memuat prinsip-prinsip konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) yang paling fundamental dalam suatu negara demokrasi, dalam hal ini adalah jadwal Pemilu secara berkala setiap 5 tahun sekali dan pembatasan masa jabatan Presiden paling banyak 2 periode, hanya demi ambisi politik segelintir elit politik dan atas dasar alasan kultus individu figur seorang Presiden? Alasan mana sudah sangat using dan tidak relevan untuk dipertahankan di era demokrasi modern saat ini. Seolah kita tidak lagi percaya bahwa proses demorkasi di negeri berpopulasi lebih dari 270 juta jiwa ini tidak dapat melahirkan pemimpin pemimpin bangsa yang baik selain dari Presiden yang saat ini menjabat sehingga kita harus membongkar UUD 1945 demi kutus 1 individu tersebut.

Menunda Pemilu dengan alasan menjaga momentum perbaikan ekonomi di masa Pandemi Covid-19 dan menambah batas masa jabatan Presiden menjadi 3 periode atau lebih menurut hemat penulis adalah kemunduran yang luar biasa dalam cara berpikir kita, dan kemunduran juga bagi demokrasi yang telah kita bangun dengan jerih payah bercampur darah reformasi ini.

Jika anda tahu, pembatasan masa jabatan presiden selama (paling banyak) 2 periode itulah yang sesungguhnya menjadi ruh dari Gerakan Reformasi 98 yang berhasil menumbangkan Orde Baru dan sekaligus menjadi semangat pertama dalam Amandemen UUD 1945. Itulah sebabnya pembatasan masa jabatan presiden ini dibahas dan ditetapkan pada Amandemen tahap pertama pada tahun 1999. Sebab memang pembatasan masa jabatan presiden itulah yang menjadi topik dan aspirasi terpenting rakyat pada saat itu. Kita ingin UUD memberi batasan masa jabatan presiden secara tegas dan limitatif, agar pengalaman buruk di masa lalu tidak lagi terjadi di hari hari mendatang.

Dalam teori hukum tata negara yang diadopsi oleh konstitusi-konstitusi modern saat ini, umumnya ada 2 konsep pembatasan masa jabatan kepala negara atau presiden:

      1.     Satu kali masa jabatan (no re-election); dan

      2.     Maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election).[16]

Konsep yang pertama (no re-election) dapat kita temui pada Konstitusi Filipina, di mana Presiden Filipina hanya dapat menjabat satu kali selama 6 (enam) tahun. Sedangkan konsep yang kedua (only one re-election) adalah konsep yang banyak diadopsi oleh konstitusi-konstitusi modern di hampir seluruh negara demokrasi di dunia, termasuk Indonesia.

Konsep pembatasan jabatan Presiden selama (paling banyak) 2 periode ini jika dirunut ke belakang dipelepori oleh Amerika Serikat, dan Presiden Pertama AS George Washington lah yang mewariskan tradisi yang luar biasa ini. George Washington menjabat Presiden AS selama dua periode berturut-turut (1789-1793 dan 1793-1797). Meskipun popularitasnya sebagai Presiden AS sangat tinggi dan hampir tidak dapat disaingi oleh siapa pun pada saat itu, namun dengan kebijaksanaannya George Washington menolak periode ketiga.

Kebijaksanaan George Washington yang membatasi jabatan presiden paling banyak 2 periode itulah yang kemudian menjadi konvensi (tradisi: kebiasaan) ketatanegaraan[17] di Amerika Serikat selama 143 tahun dan banyak ditiru oleh konstitusi negara-negara lain sehingga pada akhirnya menjadi semacam standar moral dan standar konstitusionlisme global, di mana banyak negara membatasi jabatan kepala negara maupun kepala pemerintahannya sebanyak 2 periode saja.

Di tahun 1940, konvensi ketatangeraan perihal pembatasan masa jabatan Presiden di Amerika Serikat tersebut akhirnya dipatahkan oleh incumbent Presiden Franklin D. Roosevelt manakala Roosevelt kembali mencalonkan dan memenangi Pemilu Presiden AS untuk periode yang ketiga dan kemudian berlanjut untuk periode keempat pada tahun 1944.

Namun atas peristiwa tersebut, bangsa Amerika kemudian mempatenkan konvensi pembatasan masa jabatan presiden selama 2 periode itu secara tertulis ke dalam konstitusi melalui Amandemen Konstitusi ke-22 tahun 1951. Setelah Amandemen tersebut tidak dimungkinkan lagi adanya masa jabatan ketiga di Amerika Serikat. Aturan pembatasan jabatan inilah yang kemudian ditiru dan diadopsi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

Karenanya, jika kita membiarkan wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode atau lebih ini menjadi kenyataan maka sesungguhnya kita telah berjalan mundur membelakangi perdaban negara-negara demokrasi modern.

 

 



[1] Detiknews, 3 Ketum Koalisi Bicara Perpanjangan Jabatan Jokowi, Apa Sikap Gerindra?, https://news.detik.com/berita/d-5958978/3-ketum-koalisi-bicara-perpanjangan-jabatan-jokowi-apa-sikap-gerindra, Diakses pada tanggal 26 Februari 2022.

[2] Detiknews, Hujan Kritik untuk Ketum Parpol Koalisi Pengusul Pemilu Ditunda, https://news.detik.com/berita/d-5959690/hujan-kritik-untuk-ketum-parpol-koalisi-pengusul-pemilu-ditunda, Diakses pada tanggal 26 Februari 2022.

[3] Ibid.

[4] Detiknews, Ini Sikap 7 Partai Koalisi soal Perpanjangan Jabatan Jokowi, https://news.detik.com/berita/d-5959070/ini-sikap-7-partai-koalisi-soal-perpanjangan-jabatan-jokowi, Diakses pada tanggal 26 Februari 2022.

[5] CNN Indoensia, Jokowi Tolak Tiga Periode Atau Tambah Masa Jabatan Presiden, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210911173934-32-692971/jokowi-tolak-tiga-periode-atau-tambah-masa-jabatan-presiden, Diakses pada tanggal 26 Februari 2022.

[6] Kompas.Com, Ditolak PDI-P, Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Diprediksi Sulit Terwujud, https://nasional.kompas.com/read/2022/02/25/11351021/ditolak-pdi-p-wacana-perpanjangan-masa-jabatan-diprediksi-sulit-terwujud?page=all, Diakses pada tanggal 26 Februari 2022.

 

[7] Bunyi Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

[8] Bunyi Pasal 7 UUD 1945: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

[9] Investor.id, Penundaan Pemilu Dapat Dilakukan Lewat Amendemen atau Dekret, https://investor.id/national/284331/penundaan-pemilu-dapat-dilakukan-lewat-amendemen-atau-dekret, Diakses pada tanggal 22 Februari 2022.

[10] Pasal 3 UUD 1945 berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Sedangkan Pasal 37 UUD 1945 adalah pasal yang mengatur tentang Perubahan UUD, yang mana isinya menunjukan bahwa MPR lah yang berwenang mengubah pasal-pasal UUD.

[11] Salah satu Dekrit Presiden yang paling terkenal yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di masa demokrasi terpimpin (1959-1965) adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya:

1.     Membubarkan Konstituante (Badan yang dibentuk untuk menyusun UUD);

2.     Tidak berlakunya UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945;

3.     Pembentukan Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, dan DPAS.

[12] Produk Hukum yang dikeluarkan secara sepihak oleh kepala negara (presiden) dalam keadaan memaksa atau dalam keadaan negara sedang darurat seperti contohnya Dekrit Presiden ini dalam literatur/teori hukum tata negara dikenal dengan istilah “Staatsnoodrecht” yang artinya, hukum dalam keadaan negara sedang darurat/bahaya. Namun demikian “Staatsnoodrecht” ini tidak dapat dikeluarkan secara sembarangan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh negara/pemerintah yang mengeluarkannya. Harus ada kondisi dan parameter tertentu yang jelas, tegas, dan terukur serta sebaiknya tercantum dalam konstitusi tentang kapan atau dalam kondisi seperti apa “Saatsnoodrecht” ini dapat dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan Konstitusi kita rupa-rupanya belum cukup terang dan jelas dalam mengatur soal “Staatsnoodrecht” atau hukum darurat (martial law) ini. Pasal 12 UUD 1945 justru memberikan delegasi kewenangan untuk mengatur perihal keadaan darurat kepada pembentuk undang-undang agar diatur dalam undang-undang, bukannya mengatur dan membatasinya sendiri dalam UUD. Lihat lebih lengkap mengenai pembahasan hukum dalam keadaan negara sedang darurat ini dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

[13] Buloggate adalah skandal yang berlangsung pada penghujung masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Indonesia pada tahun 2000. Gus Dur dituduh telah menyelewengkan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog).

[14] Bruneigate adalah skandal yang berlangsung pada penghujung masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Indonesia pada tahun 2000. Gus Dur dituduh telah menyelewengkan US$2 juta yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh. Penerimaan sumbangan ini dilakukan di luar jalur resmi dan tidak ada rekam catatan mengenai pembagian sumbangan tersebut di Aceh. Akibat tuduhan ini, pada September 2000, Dewan Perwakilan Rakyat membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus ini bersama dengan kasus Buloggate yang juga menimpa Gus Dur. Walaupun keterlibatan Gus Dur tidak pernah terbukti, kasus ini menjadi salah satu alasan yang digunakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memakzulkan Gus Dur. Nadirsyah Hosen, Shari'a & Constitutional Reform in Indonesia, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2007. hlm. 83

[15] Lihat selengengkapnya mengenai Etika Konstitusi ini dalam Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru Tentang Rule of Law and Rule of Ethics dan Contitutional Law and Constitutional Ethics, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

[16] Lihat Deni Indrayana, Kolom Opini Sindonews.com, Pembatasan masa jabatan Presiden https://nasional.sindonews.com/berita/828497/18/pembatasan-masa-jabatan-presiden?showpage=all, Diakses pada tanggal 26 Februari 2022.

[17] Konvensi ketatanegaraan secara singkat dapat diartikan sebagai tradisi atau kebiasaan tidak tertulis dalam ketatanegaraan. Meskipun tidak tertulis namun kebiasaan tersebut terus menerus dipertahankan dan dilaksanakan.