Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 08 Agustus 2016

Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme



Keberhasilan TNI dalam Operasi Tinombala yang sukses menembak mati Santoso belum lama ini ternyata menyemarakan lagi ruang-ruang perdebatan tentang perlu tidaknya keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, khususnya dalam pembahasan RUU Terorisme yang saat ini sedang digiatkan oleh DPR dan Pemerintah.
Rancangan Undang-Undang itu sendiri adalah rancangan perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena berawal dari sebuah Perppu yang dibuat dalam keadaan mendesak pasca tragedi Bom Bali 1 pada tahun 2002 silam, maka sudah tentu UU No. 15 Tahun 2003 ini memiliki banyak kekurangan disana sini. Itulah sebabnya pembentuk UU saat ini sedang berusaha menyusun perubahannya.
Salah satu materi perubahan yang diusung oleh RUU ini adalah soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Materi inilah yang sekarang menjadi titik perdebatan. Sebagaimana lazimnya suatu perdebatan tentu saja ada yang pro dan ada juga yang kontra dengan ide pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme ini.
Materi muatan RUU yang berisi klausul keterlibatan TNI itu sendiri tercantum dalam Pasal 43B. Pasal tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa TNI termasuk sebagai salah satu institusi yang diperkenankan terlibat dalam kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme.
Keberatan atas Pelibatan TNI
Mereka yang menolak pelibatan TNI pada prinsipnya berdalih bahwa terorisme adalah tindak pidana dan oleh karenanya harus diselesaikan melalui pendekatan penegakan hukum dibawah rezim hukum pidana (criminal justice system). Pendekatan penegakan hukum inilah yang menurut kelompok ini membawa konsekuensi bahwa hanya Polri-lah yang dapat diberi tugas oleh negara atau undang-undang untuk memberantas tindak pidana terorisme. Sementara keterlibatan TNI yang fungsi pokoknya di bidang pertahanan, bukan penegakan hukum, lebih dianggap sebagai ancaman dan “intervensi” yang tidak diperlukan dari pihak militer dalam soal-soal yang semestinya cukup ditangani Polri.
Terhadap pendapat dan pandangan diatas, penulis mempunyai beberapa catatan dan koreksi.
Sanggahan terhadap Keberatan atas Pelibatan TNI
Pertama, harus dipahami terlebih dahulu bahwa keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme menurut RUU ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menganeksasi wilayah penegakan hukum yang menjadi porsi dan ranah Polri.
Wilayah penegakan hukum seperti penyelidikan dan penyidikan atas kegiatan/peristiwa terorisme akan tetap selamanya menjadi wewenang Polri. Sedangkan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme hanya dapat dilakukan di luar dua area penegakan hukum tersebut.
Dengan demikian, keterlibatan TNI harus dibatasi hanya pada ruang lingkup kegiatan pemberantasan terorisme yang sesuai dengan kapasitas dan fungsi TNI. Sebagai contoh misalnya pemberian bantuan informasi intelejen, operasi penangggulangan teror, baik dalam kerangka pembantuan terhadap Polri (back up) maupun dalam kerangka operasi yang mandiri dan langsung dilaksanakan oleh TNI dalam keadaan darurat yang berada di luar kemampuan Polri untuk menanggulanginya. Sementara tindakan penegakan hukum yang akan dilakukan setelah aksi teror tersebut ditanggulangi, tetap akan menjadi tugas Polri.
Kedua, ada ruang-ruang atau peristiwa-peristiwa teror tertentu yang memang membutuhkan kehadiran TNI, yakni peristiwa-peristiwa teror yang berada di luar jangkauan dan kemampuan Polri untuk menanggulanginya. Seperti misalnya aksi teror terhadap objek vital yang bernilai strategis, aksi teror terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau tamu negara yang setingkat dengannya, serta aksi teror terhadap WNI, aset, atau kepentingan nasional yang berada di luar negeri.
Terhadap peristiwa-peristiwa teror semacam itu tentu saja TNI yang harus menanggulanginya. Sebab memang TNI yang mempunyai sumber daya dan kemampuan untuk melakukannya.
Hal-hal semacam ini tentu saja perlu diatur dan diberi payung hukum, salah satunya melalui RUU Terorisme ini. Sebab selain mengatur proses penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme, umumnya UU Terorisme di berbagai negara lain juga mengatur soal-soal strategi penanggulangannya, termasuk di dalamnya mengenai pelibatan/penggunaan militer bilamana eskalasi teror sudah sedemikian gawatnya.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa keterlibatan TNI itu sendiri harus tetap tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil sebagaimana sudah umum berlaku di semua negara demokratis, yakni menempatkan Polri sebagai leading sector-nya, sementara TNI sebagai kekuatan pendukungnya. Artinya, secara umum Polri lah yang berperan sebagai leading sector atau trigger dalam pemberantasan terorisme, sedangkan posisi TNI berada di lapis kedua atau menjadi pilihan terakhir.
Lagipula jika kita melakukan studi perbandingan mengenai model-model pemberantasan terorisme di negara-negara lain, kita akan menjumpai banyak UU Terorisme dari negara-negara lain yang mengatur dan memungkinkan pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme pada situasi-situasi tertentu.
Sekilas Perbandingan dengan Amerika
Salah satu negara yang bisa dirujuk dalam hal ini adalah Amerika Serikat (AS). Undang-Undang Terorisme AS yang dibuat tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001 dapat disebut sebagai UU Terorisme modern yang pertama di dunia (William Michaels, 2005). Jika dicermati, UU Terorisme AS yang populer disebut “USA Patriot Act 2001” itu pun memuat klausul tentang bantuan dan pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme, khususnya terhadap peristiwa teror yang terjadi di luar teritorial AS. Sedangkan dalam arena domestik, berdasarkan UU yang mengatur batasan penggunaan militer oleh pemerintah federal (Posse Comitatus Act 1878), militer tidak diperkenankan terlibat dalam operasi penanganan terorisme di dalam negeri, kecuali ada permintaan bantuan dari Polisi dalam keadaan darurat.
Mengenai bantuan dan pelibatan militer dalam UU Terorisme AS ini dapat dilihat antara lain pada section 104 tentang permintaan bantuan dari Polisi kepada Militer; section 1010 tentang penggunaan/pengerahan militer untuk pemberantasan terorisme di luar negeri.
Undang-Undang Terorisme AS itu tentu saja bukan satu-satunya UU Terorisme yang memungkinkan dan mengatur pelibatan militer dalam memberantas terorisme. Masih banyak UU Terorisme dari negara-negara lain yang juga mengadopsi model yang sama, yaitu  menempatkan upaya pemberantasan terorisme dalam kerangka penegakan hukum dibawah rezim hukum pidana (criminal justice system) akan tetapi pada saat yang bersamaan tetap memungkinkan dan mengatur pelibatan militer dalam keadaan-keadaan tertentu.
Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme di bawah UU Terorisme bukan lah sesuatu yang diharamkan. Bahkan kenyataan menunjukan, negara-negara maju dan demokratis seperti AS sekali pun memungkinkan dan mengatur hal itu dalam UU Terorisme-nya.
Dengan demikian sekali lagi penulis tegaskan bahwa pelibatan TNI dalam RUU Terorisme tidak mesti ditanggapi secara sinis dan a priori. Perumusan keterlibatan TNI secara terukur dan proporsional seperti yang telah dijelaskan diatas itu justru adalah suatu suatu kebutuhan demi kemajuan pemberantasan terorisme di Indonesia.

*Tulisan ini pernah di muat di Harian Radar Banten edisi Selasa, 2 Agustus 2016.