Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 28 Juli 2016

Menyoal Pengangkatan Staf Khusus Presiden



Isu pengangkatan dua Staf Khusus baru Presiden telah menjadi viral di media-media pemberitaan beberapa hari terakhir ini. Dua Staf Khusus Presiden yang baru itu adalah Gories Mere dan Diaz Hendropriyono.
Gories Mere dikenal sebagai Mantan Kepala Densus 88 dan Kepala Badan Narkotika Nasional yang pertama. Sementara Diaz Hendropriyono lebih dikenal sebagai anak ketiga dari A. M Hendropriyono dan merupakan pendiri “Kawan Jokowi,” sebuah kelompok pendukung Jokowi pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang lalu.
Masalah di Seputar Pengangkatan Staf Khusus Presiden
Sebagaimana kita ketahui, pegangkatan dua Staf Khusus Presiden yang baru ini menuai reaksi dan kontroversi dari masyarakat luas. Jika diringkas, setidaknya terdapat tiga masalah pokok yang dipersoalkan oleh publik terkait pengangkatan Staf Khusus Presiden ini.
Pertama, proses pengangkatannya yang terkesan tertutup dan tidak disertai penjelasan tentang latar belakang penunjukan dan kompetensi dua Staf Khusus Presiden yang dimaksud. Akibatnya masyarakat merasa kaget dan bertanya-tanya mengenai pengangkatan Staf Khusus Presiden yang sebetulnya akan menjadi hal biasa jika proses itu dilaksanakan secara terbuka. Apalagi jika misalnya orang yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden itu memiliki rekam jejak yang baik dan kompeten di bidang yang akan menjadi tanggung jawabnya.
Terhadap persoalan tersebut, seharusnya Presiden, atau setidak-tidaknya para pembantunya memberikan penjelasan yang cukup kepada publik terkait alasan penunjukan dua Staf Khusus baru itu berikut kompetensinya masing-masing. Dengan begitu publik dapat mengetahui secara jelas alasan penunjukan dan kompetensi dari dua orang Staf Khusus tersebut. Sebab Staf Khusus Presiden adalah jabatan publik yang sepenuhnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga sangat wajar dan bahkan sudah seharusnya apabila proses pengangkatannya dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
Kedua, pengangkatan dua Staf Khusus baru itu tidak disertai dengan penetapan job desk atau bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawab masing-masing. Alasan yang dikemukakan oleh Istana, sebagaimana dikatakan oleh Mensesneg Pratikno, ialah agar dua Staf Khusus Presiden itu dapat berkeja secara fleksibel sesuai tugas yang diberikan Presiden tanpa terbatas pada bidang-bidang tertentu (Kompas, 11 Juli 2016). Akibatnya publik bertanya-tanya apa sebenarnya bidang tugas dari dua Staf Khusus Presiden tersebut.
Terhadap persoalan diatas, penulis sendiri termasuk salah seorang yang bertanya-tanya dan keberatan dengan pola kerja Staf Khusus Presiden yang seperti itu, yakni tanpa job desk atau pembidangan yang jelas. Padahal job desk itu adalah hal yang sangat dasar dan prinsip yang akan menentukan batas-batas atau area tanggung jawab dari masing-masing Staf Khusus Presiden. Dengan kata lain, adanya job desk itu akan menentukan “siapa bertanggung jawab apa ?”
Kondisi semacam ini, yakni penyelengaaraan negara tanpa job desk yang jelas, sejak berabad-abad yang lalu sudah dikritisi habis-habisan oleh para ahli. Salah seorang diantaranya adalah Max Weber. Sejak akhir abad ke 19 Weber telah mengkritik postur dan pola pemerintahan tanpa pembidangan tugas atau spesialisasi fungsi yang jelas. Menurutnya, kondisi tersebut telah menghasilkan penyelenggaraan negara yang serba tidak menentu dan kurang memuaskan. Untuk mengatasi ketidakpastian itu Weber mengemukakan beberapa poin tentang ciri-ciri/syarat birokrasi ideal yang salah satunya adalah adanya pembidangan kerja yang jelas berdasarkan keahlian orang yang menduduki pekerjaan tersebut (Weber dalam Tony Waters dan Dagmar Waters, 2015: 76-77). Prinsip itulah yang kemudian melahirkan adagium “the right man in the right place.”
Berdasarkan uraian diatas penulis meyakini bahwa penentuan job desk atau bidang tugas dari dua Staf Khusus baru itu sangat lah penting. Sementara untuk menyiasati adanya kebutuhan penugasan di luar bidang yang telah ditentukan, bisa saja ditegaskan dalam Keputusan Presiden tentang pengangkatan Staf Khusus yang dimaksud bahwa tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan diberi tugas-tugas khusus oleh Presiden di luar bidang tugas yang telah ditentukan, dalam hal terdapat kebutuhan atau tuntutan untuk itu.
Dengan begitu kejelasan tugas dari Staf Khusus Presiden tetap dapat diperoleh tanpa mengurangi fleksibilitasnya untuk mengerjakan tugas-tugas di luar bidangnya itu manakala ada kebutuhan untuk itu.
Ketiga, pengangkatan Staf Khusus Presiden ini disinyalir oleh publik sebagai tindakan nepotisme atau politik balas budi, terutama yang menyangkut nama Diaz Hendropriyono. Sebab sebagaimana telah diketahui secara luas, Diaz adalah anak dari A. M. Hendropriyono. Sementara kita tahu, A. M. Hendropriyono adalah salah satu tokoh kunci pendukung Jokowi sejak masa Pilpres 2014 yang lalu.
Mengenai hal ini perlu diketahui bahwa memang sudah menjadi kelaziman dan kebiasaan yang berlaku di mana-mana bahwa jabatan penasehat presiden seperti Staf Khusus Presiden ini selalu diisi oleh orang-orang dekat dan kepercayaan Presiden.
Fenomena ini terjadi juga di Amerika. Jabatan yang serupa atau dapat disamakan dengan Staf Khusus Presiden disana adalah Senior Advisor to the  U.S President (Senior Advisor). Di Amerika, jabatan Senior Advisor ini pun selalu diisi oleh orang-orang dekat Presiden (president’s man). Seperti Senior Advisor Presiden Obama saat ini misalnya, ada 3 orang dan semuanya berasal dar Partai Demokrat.
Jadi tidak perlu heran kalau situasi ini terjadi juga di Indonesia, dimana Presiden Jokowi menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi Staf Khusus-nya dalam rangka membantu tugas-tugas kepresidenannya, sepanjang orang itu memang kompeten dengan jabatan dan tugasnya itu. Sebab hal itu merupakan kewenangan/hak prerogratif Presiden. Jadi sepanjang orang itu kompeten dan dipandang cakap untuk mengemban tugas sebagai Staf Khusus Presiden, maka faktor kedekatan dan ikatan-ikatan persolan dengan Presiden seyogianya dapat kita maklumi. Sebab memang begitu lah konvensi (kebiasaan tidak tertulis) yang berlaku di mana-mana dalam soal pengisian jabatan penasehat Presiden atau Staf Khusus Presiden ini.
Namun demikian, meski pengangkatan Staf Khusus Presiden ini sepenuhnya adalah hak prerogratif Presiden, bukan berarti bahwa Presiden dapat menggunakan haknya ini dengan sembarangan dan sesuka hatinya. Tetap diperlukan pertimbangan yang matang dan kecermatan dalam memilih siapa-siapa yang akan menjadi Staf Khusus Presiden. Sebab hasil daripada pilihan itu akan berpulang kepada Presiden sendiri selaku penerima manfaat atau user daripada Staf Khusus tersebut.
Tanggung Jawab Moral di Balik Pengangkatan Staf Khusus Presiden
Seperti yang telah dikatakan diatas, meskipun pengangkatan Staf Khusus Presiden ini adalah hak prerogratif Presiden, akan tetapi penulis meyakini bahwa Presiden tetap terikat, setidak-tidaknya secara moral, untuk mempertanggungjawabkan pilihannya itu kepada rakyat.
Sebagai bahan refleksi, perlu diketahui bahwa menurut Peraturan Presiden No. 144 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan Staf Khusus Presiden,  hak keuangan yang diterima Staf Khusus Presiden setiap bulannya adalah sebesar Rp. 51 juta.
Dengan jumlah nominal yang sebesar itu, disamping juga besarnya tanggung jawab yang diemban oleh seorang Staf Khusus Presiden, maka sudah seharusnya Presiden benar-benar mempertimbangkan dengan cermat siapa-siapa yang akan dipilihnya untuk menerima hak sekaligus tanggung jawab yang besar itu.

*Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Analisa Daily, edisi Jumat 22 Juli 2016.