Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 09 Agustus 2017

Liberalisasi dan Privatisasi Air di Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA (Perspektif Hak Asasi Manusia atas Air)



Perbincangan dan diskusi mengenai hukum air sudah sejak lama mengemuka di dalam khazanah pemikiran para ahli hukum dari berbagai penjuru dunia dan telah pula melahirkan berbagai teori tentang hukum air. “Like other things of general concern, water has been the subject of much legal thought, and different theories have been worked out.”[1] Demikian lah apa yang dikatakan oleh salah seorang ahli hukum air kenamaan asal Amerika Serikat, Samuel Charles Wiel.[2]
Menyambung apa yang telah dikatakan oleh Samuel Wiel diatas, oleh karena keberadaan dan manfaatnya yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya, tidak lah mengherankan jika air menjadi pusat perdebatan bahkan silang sengketa di sepanjang sejarah peradaban manusia[3].
Tidak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa air adalah sumber daya yang tanpanya tidak akan ada kehidupan. Segala kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini pada kenyataannya memang membutuhkan air sebagai sumber kehidupannya. Itulah sebabnya air merupakan salah satu sumber daya yang paling penting dan paling dibutuhkan oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya.[4]
Secara filsafati, sesungguhnya air merupakan benda publik (public good) yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk dipakai dan dinikmati guna kelangsungan hidupnya. Dengan demikian konsep kepemilikan atas sumber daya air adalah milik bersama umat manusia (res communis) dan oleh karenanya tidak bisa dimiliki secara privat layaknya sebuah benda privat (private good).[5] Sebab sumber daya air adalah sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dan berkaitan langsung dengan hak hidup manusia. Penguasaan secara privat sumber daya air sehingga mengakibatkan terhalangnya hak/akses orang lain terhadap sumber daya air tersebut jelas tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.[6]
Demikian pentingnya air bagi kehidupan manusia maka tidak mengherankan jika hak atas air dewasa ini, baik di aras global maupun di level nasional, telah diakui sebagai salah satu hak asasi manusia, yakni hak asasi manusia atas air (human right to water).[7] Pengakuan dan komitmen itu, di level internasional bisa dilihat salah satunya dalam “General Comments on the Right to Water” atau yang biasa disebut “General Comments No. 15 (GC-15)”[8] yang dikeluarkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR)[9] pada bulan November tahun 2002 yang dengan tegas menyebut dan mengakui bahwa hak atas air sebagai hak asasi manusia.[10] Sementara pengakuan dan komitmen yang serupa dengan itu di level nasional bisa dilihat salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 mengenai Pengujian Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Manusia, dimana dalam putusannya tersebut MK mengakui dan menegaskan bahwa hak atas air merupakan salah satu hak asasi manusia, dan oleh karenanya wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.[11]
Demikian itulah sekilas konsep-konsep dasar menyangkut sumber daya air yang berdasarkan uraian singkat diatas semestinya dapat diakses dan dinikmati oleh semua orang karena hak tersebut merupakan salah satu hak asasi atau hak yang paling fundamental yang dimiliki oleh manusia yang tanpanya ia tidak dapat melangsungkan kehidupannya.[12]
Namun pada kenyataannya, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ideal mengenai sumber daya air itu tidak selamanya berjalan mulus pada tempatnya. Sebagaimana dikatakan oleh M.A. Salman bahwa:
However, implementation of the right to water faces multiple challenges. One major challenge relates to the absence of legislation in most countries to reflect the country’s international obligations and to institutionalize and elaborate the right. Another challenge relates to financing.”[13]
Pada kenyataannya, air yang memegang peran vital dan dibutuhkan oleh setiap manusia itu tidak lain adalah suatu benda/sumber daya yang terbatas ketersediaannya. Sebagai gambaran misalnya, dari seluruh air yang ada di bumi, hanya 2,35% saja yang merupakan air tawar (freshwater), sisanya (97,65%) adalah air laut (saltwater). Dari 2,35% air tawar tadi, dua pertiganya (68,7%) terperangkap dalam glaciers dan tertutup salju permanen. Sehingga air tawar yang benar-benar tersedia bagi kehidupan manusia hanyalah sekitar 31,3% dari total  air tawar yang ada di bumi,  atau sekitar 0,74% dari seluruh air yang ada di bumi.[14]
Jumlah/persentasi yang amat kecil itu pun belum memperhitungkan air tawar yang tercemar oleh polusi dan lain sebagainya yang jika turut diperhitungkan tentu saja akan semakin mengurangi jumlah/persentasi air tawar yang benar-benar tersedia dan dapat dikonsumsi oleh manusia.[15] Akan tetapi setidaknya data-data diatas sudah cukup menggambarkan betapa air yang menjadi sumber kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya itu sangat terbatas jumlah dan ketersediannya, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Pertemuan/persilangan antara dua kenyataan diatas, yakni vitalnya sumber daya air bagi kehidupan manusia disatu sisi dan terbatasnya ketersediaan sumber daya air tersebut disisi yang lain, persis telah menimbulkan persoalan besar bagi umat manusia. Di satu sisi kebutuhan akan air adalah kebutuhan mutlak bagi manusia yang tidak tergantikan dengan sumber daya apa pun yang semakin hari kebutuhan terhadapnya semakin meningkat, sedangkan disisi yang lain ketersediaan air semakin hari justru semakin menurun.[16] Persinggungan diantara dua fakta diatas tak pelak lagi melahirkan masalah kelangkaan air sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan dan konsumsi terhadap air yang dihadapkan pada kenyataan semakin menurunnya ketersediaan air.[17]
Isu dan fakta kelangkaan air itulah yang kemudian dimanfaatkan badan-badan keuangan internasional dan negara-negara kaya untuk membawa masuk air ke dalam kerangka pikir ekonomi kapitalisme, yakni bahwa semakin langka suatu benda, semakin tinggi nilai ekonominya.[18] Kerangka pikir yang demikian itu telah membawa konsekuensi bahwa air-menurut mereka adalah benda ekonomi (economic good) dan oleh karenanya harus diperlakukan dan dikelola selayaknya benda ekonomi yang tunduk pada hukum-hukum kepemilikan privat (private property law).[19]
Konsep dan agenda liberaliasi dan privatisasi air yang dikampanyekan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional itu (salah satunya World Bank) pada akhirnya sampai juga di Indonesia. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) adalah salah satu bukti konkret keberhasilan atau setidak-tidaknya masuknya pengaruh liberalisasi dan privatisasi air di Indonesia.[20] Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa undang-undang tersebut sejak awal perancangannya memang sudah sarat dengan tekanan dan pengaruh World Bank yang membawa misi untuk melakukan liberalisasi dan privatisasi air di Indonesia.[21]
Hasilnya, UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA itu memang benar-benar menjadi alat yang efektif untuk melegalisasikan praktek liberalisasi dan privatisasi air di Indonesia.[22] Dari sekian banyak persoalan yang terdapat dalam UU tersebut, munculnya hak guna usaha air, yakni suatu hak untuk memakai dan mengusahakan air untuk tujuan komersil yang dapat diberikan kepada swasta (termasuk swasta asing) dengan syarat-syarat yang sangat longgar merupakan salah satu persoalan yang paling mendasar dari UU tersebut yang secara gamblang menggambarkan keberpihakan UU ini pada agenda liberalisasi dan privatisasi air di Indonesia.
Akibatnya, dibawah rezim UU SDA yang baru itu (UU No. 7 Tahun 2004), pengelolaan sumber daya air yang oleh Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 diamanatkan untuk dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat justru lebih memihak dan menguntungkan swasta (termasuk swasta asing) daripada rakyatnya sendiri. Dimana-mana terjadi persoalan dan konflik antara perusahaan pemegang hak guna usaha air dengan masyarakat disekitarnya akibat derasnya gelombang liberalisasi, kapitalisasi, dan privatisasi air.[23] Ada banyak motif mengenai munculnya persoalan dan konflik sebagaimana dimaksud diatas, salah satu yang paling sering dijumpai dalam banyak kasus dan paling memprihatinkan memprihatinkan adalah penguasaan sepihak sumber-sumber air atau instalasi air oleh perusahaan sehingga mengakibatkan terganggunya atau bahkan hilangnya sama sekali akses masyarakat terhadap sumber air yang dimaksud.[24]
Kekacauan sebagaimana tergambar diatas tidak lain merupakan akibat langsung dari dibukanya keran liberalisasi dan privatisasi air secara tidak terkendali oleh UU No. 7 Tahun 2004 sehingga menciptakan permasalahan, bahkan konflik di arus bawah, yakni konflik yang biasanya menggambarkan perjuangan rakyat kecil yang memperjuangkan haknya untuk sekedar mendapat air menghadapi superioritas perusahaan swasta, termasuk perusahaan raksasa mulitnasional (multi national corporations – MNCs) yang menguasai sumber-sumber air.[25]
Puncak dari segala kegelisahan, ketidakpuasan, dan kekecewaan publik terhadap UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA itu pada akhirnya dijawab oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya pada tanggal 18 Februari 2015 yang menyatakan batal dan tidak mengikatnya UU SDA itu secara keseluruhan sekaligus memberlakukan kembali UU Pengairan yang lama (UU No. 11 Tahun 1974) sampai dibentuknya UU tentang Air yang baru.[26]
Adanya Putusan MK tersebut pada satu sisi memang menghentikan masalah yang ditimbulkan oleh UU No. 7 Tahun 2004 yang telah melahirkan begitu banyak ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil sehubungan dengan haknya untuk mendapatkan air. Namun demikian, pada sisi lain Putusan itu juga menimbulkan masalah baru sehubungan dengan kenyataan tidak memadainya UU Pengairan yang lama (UU No. 11 Tahun 1974) dalam mengatur lalu lintas pengelolaan sumber daya air dewasa ini. Sementara masih ada banyak persoalan dan carut marut persengketaan di bidang sumber daya air sebagai warisan akibat berlakunya UU No. 7 tahun 2004 di waktu-waktu yang lalu (sebelum dibatalkan oleh MK).
Sebagai contoh kasus yang sangat jelas dan nyata mengenai hal itu adalah konflik dan silang sengketa antara Perusahaan Air Minum Kemasan PT Trita Fresindo Jaya (PT TFJ)[27] yang berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 telah mengantongi izin untuk mendirikan perusahaannya di Desa Cadasari Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandegelang –Banten dengan masyarakat disekitarnya yang menolak keberadaan perusahaan tersebut.[28]
Penolakan masyarakat setempat atas keberadaan perusahaan PT TFJ itu bukan lah tanpa sebab. Jika dicermati secara seksama, ada setidaknya dua alasan mendasar yang mendorong masyarakat melakukan aksi penolakan tersebut.[29]
Pertama, secara yuridis-normatif, pendirian perusahaan air minum kemasan itu dinilai melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan dan perizinan. Pelanggaran/penyimpangan yang paling nyata diantaranya adalah perusahaan tersebut didirikan diatas wilayah yang menurut Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandegalang (Perda No. 3 Tahun 2011) terlarang/tidak seharusnya diperuntukan bagi perusahaan/industri yang kegiatan utamanya adalah memproduksi air minum kemasan, yang di dalam kegiatan produksinya tersebut pastilah menguasai dan menggunakan sumber-sumber sair sebagai bahan baku utama dari kegiatan produksinya.[30] Sebab wilayah tempat berdirinya perusahaan tersebut menurut Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kabupaten Pandegalang adalah wilayah yang diperuntukan untuk:
a)         Kawasan hutan lindung;
b)        Kawasan resapan air;
c)         Kawasan rawan tanah longsor;
d)        Kawasan sekitar mata air;
e)         Kawasan lahan pertanian pengan berkelanjutan; dan
f)         Daerah pengembangan sistem perdesaan/pusat permukiman.[31]
Dengan merujuk pada Perda RTRW Kab. Pandegelang yang semestinya menjadi dasar diberikannya izin lokasi dan perizinan lainnya kepada setiap perusahaan/industri yang akan mendirikan pabrik di lingkungan Kab. Pandegelang sebagaimana disebut diatas, maka tidak ada satu pun alasan yang dapat membenarkan diberikannya izin kepada Perusahaan PT TFJ untuk mendirikan pabrik diwilayah tersebut karena jelas-jelas menyalahi peruntukan wilayah yang sudah diatur dan ditentukan dalam Perda RTRW Kab Pandegalang.
Kedua, secara empiris, pendirian perusahaan PT TFJ di wilayah tersebut telah nyata-nyata menimbulkan berbagai persoalan yang menyangkut HAM atas air dari warga yang berada disekitar perusahaan tersebut. Fenomena yang muncul dan dirasakan oleh warga sekitar akibat berdirinya Perusahaan TFJ itu antara lain:
a)     Tertutupnya sekitar delapan (8) sumber air yang biasa mengairi sumur dan tanah warga akibat penimbunan tanah yang dilakukan oleh PT TFJ dalam rangka membangun pabrik mereka dilokasi yang semula terdapat 8 sumber air tersebut; dan
b)     Kekeringan yang melanda sawah dan sumur-sumur warga akibat tertimbunnya sumber air sebagaimana disebutkan diatas, yang masih diperparah dengan kegiatan penyedotan air tanah oleh PT TFJ sehingga langsung atau tidak langsung semakin memperparah kelangkaan dan menyusutnya ketersediaan air di sumur-sumur tradisional warga.[32]
Demikian itulah kenyataan-kenyataan pahit yang dialami oleh warga akibat pendirian perusahaan air minum kemasan PT TFJ di wilayah mereka. Persoalan tersebut sudah mulai terjadi sejak pabrik air minum kemasan itu mulai didirikan pada tahun 2014 dan masih berlangsung sampai saat ini.[33] Hingga kini, warga yang berada disekitar pabrik tersebut masih terus berjuang menyuarakan aspirasi mereka agar pemerintah daerah mencabut izin PT TFJ dan menghentikan segala aktifitas perusahaan tersebut.
*Artikel ini merupakan bagian dari Laporan Penelitian yang dibuat oleh Dr. Hamid Chalid, S.H., M.H dan Arief Ainul Yaqin, S.H., M.H dalam sebuah Penelitian yang berjudul "Aktualisasi Hukum Air dan Hak atas Air di Indonesia" yang dibiayai oleh Dana Riset Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Anggaran 2017.



[1] Samuel C. Wiel, “Theories of Water Law,” Harvard Law Review, Vol. 27, No. 6 (April, 1914), hlm. 530.
[2] Samuel C. Wiel adalah pakar hukum air asal Amerika Serikat, spesialisasinya adalah western water law (hukum air barat).
[3] Lihat J. W. Milliman, “Water Law and Private Decision-Making: A Critique,”  The Journal of Law & Economics, Vol. 2 (October, 1959), hlm. 41-48.
[4] Hamid Chalid, Hak-Hak Asasi Manusia atas Air: Studi tentang Hukum Air di Belanda, India dan Indonesia, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 61.
[5] Ibid., hlm. 41.
[6] Lihat juga pendapat yang senada mengenai hal ini dalam Rose Mary, “Right to Water: Theoretical Concerns and Practical Issues,” The Indian Journal of Political Science, Vol. 67, No. 4 (October - December, 2006), hlm 759-765.
[7] Salman M. A. Salman, “The Human Right to Water—Challenges of Implementation,” Proceedings of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 106, Confronting Complexity (2012), hlm. 44-46.
[8] Untuk diketahui, GC-15 ini bukanlah sebuah treaty, tapi merupakan hasil interpretasi Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) atas Kovenan Internasionaltenatng Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR). Meski demikian, pada prakteknya CESCR dapat saja menerapkan langkah-langkah yang dapat ‘memaksa’ negara-negara untuk melaksanakan Kovenan itu berdasarkan interpretasi CESCR.
[9] Committee on Economic, Social and Cultural Rights adalah badan PBB dibawah ECOSOC yang bertugas memantau pelaksanaan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
[10] UN ECOSOC, Committee on Economic, Social & Cultural Rights, General Comments No. 15: The Rights to Water,  Geneva, 11-29 November 2002. (U.N. Doc. E/C.12/2002/11, Nov. 2002).
[11] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  85/PUU-XI/2013, khususnya pada bagian “Pendapat Mahkamah.”
[12] Hamid Chalid, Op. Cit., hlm. 61.
[13] Salman M.A Salman, Op. Cit., hlm. 46.
[14] Rosemary Lyster, “The Current Status of Water Law in New South Wales.” Makalah dalam seminar tentang Water Law Reform in New South Wales, the Faculty of Law, the University of Sydney, 22 September 2004; Lihat juga peta kelangkaan air ini dalam Duke University, “Map Room: Water Scarcity,” World Policy Journal, Vol. 26, No. 4 (Winter, 2009/2010), hlm. 12-13.
[15] Ibid.
[16] Hamid Chalid, Op. Cit., hlm. 1-6.
[17] Lyla Mehta, “Contexts and Constructions of Water Scarcity,” Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 48 (Nov. 29 - Dec. 5, 2003), hlm. 5066.
[18] Itzchak E. Kornfeld, “Water: A Public Good or a Commodity?,” Proceedings of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 106, Confronting Complexity (2012), hlm. 49-52.
[19] Hamid Chalid, Op. Cit., hlm. 6-7.
[20] Munawar Khalil, “Privatisasi Sumber Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Afkaruna, Vol. 1. No. 1 (Januari-Juni 2006), hlm. 12.
[21] Lihat Nila Ardhianie, “Controversy over Bill on Water Resources”, Jakarta Post, 27 November, 2003.
[22] Henry Heyneardhi dan Savio Wermasubun, Dagang Air: Perihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia, Widya Sari Press, Salatiga, 2004, hlm. ii.
[23] Dr. Dea Erwin Ramedhan dalam keterangannya sebagai Ahli dari pihak Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 85/PUU-XI/2013. Bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 85/PUU-XI/2013, hlm. 44-46.
[24] Ibid.
[25] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013, hlm. 31 dan 42.
[26] Kompas, “MK Batalkan Seluruh Isi di UU Sumber Daya Air,” Edisi 18 Februari 2015.
[27] Untuk diketahui, PT Tirta Fresindo Jaya adalah anak perusahaan dari Mayora Group. PT Tirta Fresindo Jaya ini sendiri adalah perusahaan air mineral kemasan bermerk “Le Minerale.”
[28] Fahri Salam dan Zen R.S (editor), “Melawan Penyedotan Mata Air oleh Mayora Group,” https://tirto.id/melawan-penyedotan-mata-air-oleh-mayora-group-cl4f, Diakses pada tanggal 4 April 2017.
[29] Data dan informasi ini diperoleh berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran lapangan yang dilakukan tim peneliti dalam kurun waktu 19 Mei – 20 Juli 2017 di lokasi tempat berdirinya PT Tirta Fresindo Jaya di Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandegelang Provinsi Banten.
[30] Fahri Salam dan Zen R.S (editor), Ibid.
[31] Lihat Peraturan Daerah Kabupaten Pandegelang No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandegalang Tahun 2011-2031.
[32] Fakta-fakta ini dihimpun oleh Tim Peneliti berdasarkan hasil penelitian lapangan (wawancara dengan masyarakat sekitar yang terdampak oleh pendirian PT Tirta Fresindo Jaya) dan berbagai sumber pemberitaan, salah satunya adalah kbr.id., “Merenggut Mata Air Gunung Karang dari Mayora Group,” http://kbr.id/berita/04-2017/merenggut_mata_air_gunung_karang_dari_mayora_group/89562.html, Diakses pada tanggal 12 April 2017.
[33] Tirto.id, Tipu-Tipu Penutupan Pabrik Mayora Group di Pandegelang, https://tirto.id/tipu-tipu-penutupan-pabrik-mayora-group-di-pandeglang-cl4b, Diakses pada tangal 4 April 2017.

Senin, 07 Agustus 2017

Melawan Perppu Ormas, Menggugat Asas Contrarius Actus



Pangkal Persoalan
Pada tanggal 10 Juli 2017 yang lalu, Presiden Jokowi resmi menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (selanjutnya disebut Perppu Ormas). Jika ditarik kebelakang, penerbitan Perppu ini tidak bisa dilepaskan dari rencana Pemerintahan Jokowi untuk mengambil langkah pembubaran atas Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
 Rencana dan inisiatif pembubaran HTI itu mulai diumumkan secara luas oleh Pemerintah sekitar awal bulan Mei 2017. Akan tetapi rencana tersebut urung dilakukan karena terganjal aturan tentang pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 yang memang mensyaratkan langkah yang panjang dan berjenjang untuk membubarkan suatu Ormas.
Jika diringkas, langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah untuk membubarkan suatu Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 itu secara berturut-turut adalah sebagai berikut: upaya persuasif Pemerintah kepada Ormas yang dianggap melanggar hukum, pemberian peringatan tertulis 1, 2, dan 3, penghentian sementara kegiatan Ormas oleh Pemerintah, pengajuan permintaan pembubaran Ormas dari Menteri Hukum dan HAM kepada Kejaksaan, pengajuan permohonan pembubaran Ormas oleh Kejaksaan kepada Pengadilan Negeri, persidangan di Pengadilan Negeri, dan terakhir Kasasi (jika salah satu pihak tidak menerima putusan pembubaran Ormas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri).
Demikian itulah aturan tentang pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2013, panjang, berjenjang, dan rumit memang. Akan tetapi aturan yang demikian itu sesungguhnya diciptakan untuk memberikan keadilan dan perlindungan yang layak terhadap hak berserikat setiap orang yang telah dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Aturan tentang Pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 itu sebetulnya sudah baik dan tepat, karena tidak memberikan kewenangan pembubaran Ormas secara sepihak hanya kepada Pemerintah, melainkan melibatkan juga kontrol dari lembaga yusidial (pengadilan) di dalamnya. Dengan konstruksi yang demikian itu diharapkan pembubaran Ormas tidak semata-mata ditentukan oleh pertimbangan yang bersifat subjektif dan politis dari pemerintah, melainkan didasarkan juga pada due process of law (proses hukum yang adil dan layak) melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan. Di Pengadilan itulah nantinya Pemerintah selaku pihak yang menginisiasi pembubaran Ormas dan Ormas yang bersangkutan akan dipertemukan untuk saling membela kepentingan hukumnya di dalam forum persidangan yang fair.
Perppu Ormas sebagai Jalan Pintas
Sadar akan rumit dan panjangnya proses pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2013 itu maka akhirnya Pemerintah mengambil jalan pintas untuk “mengakali” aturan pembubaran Ormas yang ketat dan panjang itu dengan mengeluarkan Perppu, yakni Perppu No. 2 Tahun 2017 yang populer disebut sebagai Perppu Ormas.
Demi memuluskan jalan untuk membubarkan HTI, aturan/mekanisme pembubaran Ormas yang sebelumnya dikonstruksikan secara ketat dan hati-hati oleh UU No. 17 Tahun 2013 diubah secara total melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 sehingga menghasilkan mekanisme yang sama sekali baru yang tentunya kontraproduktif dengan makenisme pembubaran Ormas yang telah diatur oleh undang-undang sebelumnya (UU 17/2013).
Substansi Perppu yang Bermasalah
Jika boleh dipersingkat dan diperjelas, esensi dibuatnya Perppu Ormas ini tidak lain dan tidak bukan ialah untuk “mengakali” mekanisme pembubaran Ormas dari yang sebelumnya mempersyaratkan langkah yang panjang dan berjenjang dengan melibatkan juga kontrol pengadilan menjadi mekanisme yang singkat dan terpusat di tangan pemerintah.
Akibatnya, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam hal aturan pembubaran Ormas dari yang sebelumnya berwatak demokratis dan menjunjung tinggi prinsip due process of law menjadi aturan pembubaran Ormas yang berwatak otoritarian dan sarat akan kesewenang-wenangan karena kewenangan pembubaran Ormas sepenuhnya diserahkan dan dipusatkan di tangan pemerintah tanpa melibatkan pengadilan.
Jika sebelumnya (berdasarkan UU No. 17/2013) Ormas hanya bisa dibubarkan oleh Pemerintah setelah adanya putusan pengadilan maka sekarang (berdasarkan Perppu Ormas) Ormas bisa dibubarkan oleh Pemerintah tanpa harus melibatkan pengadilan.
Salah Kaprah Memahami dan Mengadopsi Asas Contrarius Actus
Adalah asas contrarius actus yang menjadi jantung dan ruh daripada Perppu Ormas ini. Asas ini lah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk mengambil alih dan memusatkan kewenangan pembubaran Ormas ditangannya (tanpa melalui pengadilan). Asas contrarius actus ini dipahami dan diterjemahkan oleh pemerintah secara kaku dan sempit agar dapat dijadikan alat justifikasi/pembenaran tindakannya yang memusatkan kewenangan pembubaran Parpol ditangannya. Akibatnya terjadi kekeliruan alias salah kaprah dalam memahami dan menerapkan asas ini di dalam Perppu Ormas.
Oleh Pemerintah, sebagaimana dapat dibaca dalam Penjelasan Pasal 61 ayat (3) Perppu Ormas, asas ini ditafsirkan/diterjemahkan dengan definisi bahwa pejabat yang berwenang menerbitkan suatu keputusan maka secara mutatis mutandis (otomatis) ia juga berwenang mencabut keputusan yang telah dikeluarkannya itu.
Pengertian diatas secara definisi memang nampak tidak bermasalah karena memang demikian itulah definisi sederhana dari asas contrarius actus. Akan tetapi jika dicermati dan dikontekstualisasikan dengan isu pembubaran Ormas, definisi yang demikian menjadi tidak relevan dan keliru, sebab:
Pertama, asas contrarius actus yang merupakan asas hukum yang lahir dari rahim hukum administrasi negara ini terbatas penerapannya hanya pada keputusan-keputusan yang bersifat pemberian ijin (vergunning) dan tidak boleh digunakan untuk membatalkan keputusan yang bersifat pengesahan atas hak asasi yang dimiliki seseorang/sekelompok orang, misalnya menikah, berserikat/berkumpul dalam suatu Ormas (Suteki, 2017).
Kedua, berdasarkan sejarah asal muasal kemunculannya dalam tradisi hukum Romawi dan perkembangannya sampai sekarang, asas contrarius actus ini tidak bisa diterapkan secara serta merta, dalam arti siapa yang berwenang mengeluarkan suatu keputusan maka sudah pasti ia juga berwenang membatalkannya. Asas ini hanya dapat diberlakukan/diterapkan manakala peraturan perundang-undangan tidak mengatur tata cara pembatalan suatu keputusan. Sementara apabila suatu peraturan perundang-undangan telah mengatur dan menyediakan tata cara pembatalan suatu keputusan maka aturan hukum itulah yang harus digunakan.
Jadi menurut sejarah dan tujuannya, asas ini adalah asas yang bersifat umum dan hanya berlaku ketika tidak ada mekanisme pembatalan keputusan yang bersifat spesifik. Tujuan dibuatnya asas hukum ini pada dasarnya hanya untuk menghindari kekosongan tentang siapa yang berwenang mencabut/membatalkan suatu keputusan bilamana ketentuan untuk itu tidak diatur secara spesifik di dalam peraturan perundang-undangan (Rudolph Sohm, 1892:341-343).
Sebaliknya, jika telah ditetapkan suatu mekanisme pencabutan keputusan, dalam hal ini adalah mekanisme pencabutan status badan hukum Ormas di dalam suatu undang-undang (in case UU No. 17 Tahun 2013) maka mekanisme itulah yang harus diberlakukan, sedangkan asas contrarius actus sesuai dengan hakekat dan tujuannya harus dikesampingkan karena telah tersedia aturan hukum yang secara spesifik telah mengatur tentang siapa yang berwenang dan bagaimana mekanisme pencabutan atas suatu keputusan. Apalagi aturan pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 itu ternyata lebih baik dari sudut pandang hukum dan perlindungan hak-hak fundamental yang telah dijamin konstitusi karena mensyaratkan langkah-langkah pembubaran yang ketat dan hati-hati, selain juga melibatkan proses chechk and balances antara Pemerintah dan Pengadilan.
Pada titik inilah kekeliruan Pemerintah dalam memahami, menerjemahkan, dan mengadopsi asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini terlihat dengan sangat jelas. Entah siapa yang memunculkan ide dan mengkonstruksinya di dalam Perppu Ormas ini, yang jelas pencatutan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini adalah satu kekeliruan yang besar yang berdampak pada munculnya anggapan yang salah bahwa dengan menggunakan asas ini Pemerintah (c.q Menteri Hukum dan HAM) selaku pihak yang berwenang memberikan status badan hukum bagi Ormas maka secara otomatis berwenang juga mencabut status badan hukum yang telah ditetapkannya itu.
Perppu Ormas harus Dilawan
Berdasarkan seluruh uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka terang lah bahwa Perppu Ormas ini mengandung substansi yang cacat secara yuridis dan cacat pula secara teoretis.
Selain itu, Perppu ini juga merupakan ancaman yang serius terhadap hak dan kebebasan berserikat yang telah dijamin oleh konstitusi karena meniadakan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang demokratis dan fair yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013.
Untuk itu tidak ada opsi lain kecuali menolak dan melawan kehadiran Perppu ini, dengan jalan dan melalui cara-cara yang legal dan konstitusional tentunya, misalnya dengan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Perppu ini kepada MK dan/atau mendorong DPR agar pada saatnya nanti ketika Perppu ini dimintakan persetujuan untuk ditetapkan menjadi undang-undang, DPR dapat menolaknya sehingga Perppu ini harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.