Perbincangan dan diskusi mengenai
hukum air sudah sejak lama mengemuka di dalam khazanah pemikiran para ahli
hukum dari berbagai penjuru dunia dan telah pula melahirkan berbagai teori
tentang hukum air. “Like other things of general concern, water has been the
subject of much legal thought, and different theories have been worked out.”[1]
Demikian lah apa yang dikatakan oleh salah seorang ahli hukum air kenamaan asal
Amerika Serikat, Samuel Charles Wiel.[2]
Menyambung apa yang telah dikatakan
oleh Samuel Wiel diatas, oleh karena keberadaan dan manfaatnya yang sangat
vital bagi kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya, tidak lah mengherankan
jika air menjadi pusat perdebatan bahkan silang sengketa di sepanjang sejarah
peradaban manusia[3].
Tidak ada yang bisa mengingkari
kenyataan bahwa air adalah sumber daya yang tanpanya tidak akan ada kehidupan.
Segala kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini pada kenyataannya memang
membutuhkan air sebagai sumber kehidupannya. Itulah sebabnya air merupakan
salah satu sumber daya yang paling penting dan paling dibutuhkan oleh manusia
untuk melangsungkan kehidupannya.[4]
Secara filsafati, sesungguhnya air
merupakan benda publik (public good) yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia untuk dipakai dan dinikmati guna kelangsungan hidupnya. Dengan demikian
konsep kepemilikan atas sumber daya air adalah milik bersama umat manusia (res
communis) dan oleh karenanya tidak bisa dimiliki secara privat layaknya
sebuah benda privat (private good).[5]
Sebab sumber daya air adalah sumber daya yang menguasai hajat hidup orang
banyak dan berkaitan langsung dengan hak hidup manusia. Penguasaan secara
privat sumber daya air sehingga mengakibatkan terhalangnya hak/akses orang lain
terhadap sumber daya air tersebut jelas tidak dapat dibenarkan dengan alasan
apa pun.[6]
Demikian pentingnya air bagi kehidupan
manusia maka tidak mengherankan jika hak atas air dewasa ini, baik di aras
global maupun di level nasional, telah diakui sebagai salah satu hak asasi
manusia, yakni hak asasi manusia atas air (human right to water).[7]
Pengakuan dan komitmen itu, di level internasional bisa dilihat salah satunya
dalam “General Comments on the Right to Water” atau yang biasa disebut “General
Comments No. 15 (GC-15)”[8]
yang dikeluarkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR)[9]
pada bulan November tahun 2002 yang dengan tegas menyebut dan mengakui bahwa
hak atas air sebagai hak asasi manusia.[10]
Sementara pengakuan dan komitmen yang serupa dengan itu di level nasional bisa
dilihat salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013
mengenai Pengujian Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Manusia,
dimana dalam putusannya tersebut MK mengakui dan menegaskan bahwa hak atas air
merupakan salah satu hak asasi manusia, dan oleh karenanya wajib dihormati,
dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.[11]
Demikian itulah sekilas
konsep-konsep dasar menyangkut sumber daya air yang berdasarkan uraian singkat
diatas semestinya dapat diakses dan dinikmati oleh semua orang karena hak
tersebut merupakan salah satu hak asasi atau hak yang paling fundamental yang
dimiliki oleh manusia yang tanpanya ia tidak dapat melangsungkan kehidupannya.[12]
Namun pada kenyataannya,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ideal mengenai sumber daya air itu tidak
selamanya berjalan mulus pada tempatnya. Sebagaimana
dikatakan oleh M.A. Salman bahwa:
“However,
implementation of the right to water faces multiple challenges. One major
challenge relates to the absence of legislation in most countries to reflect
the country’s international obligations and to institutionalize and elaborate
the right. Another challenge relates to financing.”[13]
Pada
kenyataannya, air yang memegang peran vital dan dibutuhkan oleh setiap manusia
itu tidak lain adalah suatu benda/sumber daya yang terbatas ketersediaannya. Sebagai
gambaran misalnya, dari seluruh air yang ada di bumi, hanya 2,35% saja yang
merupakan air tawar (freshwater), sisanya (97,65%) adalah air laut (saltwater).
Dari 2,35% air tawar tadi, dua pertiganya (68,7%) terperangkap dalam glaciers
dan tertutup salju permanen. Sehingga air tawar yang benar-benar tersedia
bagi kehidupan manusia hanyalah sekitar 31,3% dari total air tawar yang ada di bumi, atau sekitar 0,74% dari seluruh air yang ada
di bumi.[14]
Jumlah/persentasi
yang amat kecil itu pun belum memperhitungkan air tawar yang tercemar oleh
polusi dan lain sebagainya yang jika turut diperhitungkan tentu saja akan
semakin mengurangi jumlah/persentasi air tawar yang benar-benar tersedia dan
dapat dikonsumsi oleh manusia.[15]
Akan tetapi setidaknya data-data diatas sudah cukup menggambarkan betapa air
yang menjadi sumber kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya itu sangat
terbatas jumlah dan ketersediannya, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Pertemuan/persilangan
antara dua kenyataan diatas, yakni vitalnya sumber daya air bagi kehidupan
manusia disatu sisi dan terbatasnya ketersediaan sumber daya air tersebut
disisi yang lain, persis telah menimbulkan persoalan besar bagi umat manusia.
Di satu sisi kebutuhan akan air adalah kebutuhan mutlak bagi manusia yang tidak
tergantikan dengan sumber daya apa pun yang semakin hari kebutuhan terhadapnya
semakin meningkat, sedangkan disisi yang lain ketersediaan air semakin hari
justru semakin menurun.[16] Persinggungan
diantara dua fakta diatas tak pelak lagi melahirkan masalah kelangkaan air
sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan dan konsumsi terhadap air yang
dihadapkan pada kenyataan semakin menurunnya ketersediaan air.[17]
Isu
dan fakta kelangkaan air itulah yang kemudian dimanfaatkan badan-badan keuangan
internasional dan negara-negara kaya untuk membawa masuk air ke dalam kerangka
pikir ekonomi kapitalisme, yakni bahwa semakin langka suatu benda, semakin
tinggi nilai ekonominya.[18]
Kerangka pikir yang demikian itu telah membawa konsekuensi bahwa air-menurut
mereka adalah benda ekonomi (economic good) dan oleh karenanya harus
diperlakukan dan dikelola selayaknya benda ekonomi yang tunduk pada hukum-hukum
kepemilikan privat (private property law).[19]
Konsep
dan agenda liberaliasi dan privatisasi air yang dikampanyekan oleh
lembaga-lembaga keuangan internasional itu (salah satunya World Bank) pada
akhirnya sampai juga di Indonesia. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air (UU SDA) adalah salah satu bukti konkret keberhasilan atau
setidak-tidaknya masuknya pengaruh liberalisasi dan privatisasi air di
Indonesia.[20]
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa undang-undang tersebut sejak awal
perancangannya memang sudah sarat dengan tekanan dan pengaruh World Bank yang
membawa misi untuk melakukan liberalisasi dan privatisasi air di Indonesia.[21]
Hasilnya,
UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA itu memang benar-benar menjadi alat yang
efektif untuk melegalisasikan praktek liberalisasi dan privatisasi air di
Indonesia.[22]
Dari sekian banyak persoalan yang terdapat dalam UU tersebut, munculnya hak
guna usaha air, yakni suatu hak untuk memakai dan mengusahakan air untuk tujuan
komersil yang dapat diberikan kepada swasta (termasuk swasta asing) dengan
syarat-syarat yang sangat longgar merupakan salah satu persoalan yang paling
mendasar dari UU tersebut yang secara gamblang menggambarkan keberpihakan UU
ini pada agenda liberalisasi dan privatisasi air di Indonesia.
Akibatnya,
dibawah rezim UU SDA yang baru itu (UU No. 7 Tahun 2004), pengelolaan sumber
daya air yang oleh Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 diamanatkan untuk
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat justru lebih memihak
dan menguntungkan swasta (termasuk swasta asing) daripada rakyatnya sendiri.
Dimana-mana terjadi persoalan dan konflik antara perusahaan pemegang hak guna
usaha air dengan masyarakat disekitarnya akibat derasnya gelombang
liberalisasi, kapitalisasi, dan privatisasi air.[23]
Ada banyak motif mengenai munculnya persoalan dan konflik sebagaimana dimaksud
diatas, salah satu yang paling sering dijumpai dalam banyak kasus dan paling
memprihatinkan memprihatinkan adalah penguasaan sepihak sumber-sumber air atau
instalasi air oleh perusahaan sehingga mengakibatkan terganggunya atau bahkan
hilangnya sama sekali akses masyarakat terhadap sumber air yang dimaksud.[24]
Kekacauan
sebagaimana tergambar diatas tidak lain merupakan akibat langsung dari
dibukanya keran liberalisasi dan privatisasi air secara tidak terkendali oleh
UU No. 7 Tahun 2004 sehingga menciptakan permasalahan, bahkan konflik di arus
bawah, yakni konflik yang biasanya menggambarkan perjuangan rakyat kecil yang
memperjuangkan haknya untuk sekedar mendapat air menghadapi superioritas
perusahaan swasta, termasuk perusahaan raksasa mulitnasional (multi national
corporations – MNCs) yang menguasai sumber-sumber air.[25]
Puncak
dari segala kegelisahan, ketidakpuasan, dan kekecewaan publik terhadap UU No. 7
Tahun 2004 tentang SDA itu pada akhirnya dijawab oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusannya pada tanggal 18 Februari 2015 yang menyatakan batal dan
tidak mengikatnya UU SDA itu secara keseluruhan sekaligus memberlakukan kembali
UU Pengairan yang lama (UU No. 11 Tahun 1974) sampai dibentuknya UU tentang Air
yang baru.[26]
Adanya
Putusan MK tersebut pada satu sisi memang menghentikan masalah yang ditimbulkan
oleh UU No. 7 Tahun 2004 yang telah melahirkan begitu banyak ketidakadilan yang
menimpa rakyat kecil sehubungan dengan haknya untuk mendapatkan air. Namun
demikian, pada sisi lain Putusan itu juga menimbulkan masalah baru sehubungan dengan
kenyataan tidak memadainya UU Pengairan yang lama (UU No. 11 Tahun 1974) dalam
mengatur lalu lintas pengelolaan sumber daya air dewasa ini. Sementara masih
ada banyak persoalan dan carut marut persengketaan di bidang sumber daya air
sebagai warisan akibat berlakunya UU No. 7 tahun 2004 di waktu-waktu yang lalu
(sebelum dibatalkan oleh MK).
Sebagai
contoh kasus yang sangat jelas dan nyata mengenai hal itu adalah konflik dan
silang sengketa antara Perusahaan Air Minum Kemasan PT Trita Fresindo Jaya (PT
TFJ)[27]
yang berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 telah mengantongi izin untuk mendirikan
perusahaannya di Desa Cadasari Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandegelang –Banten
dengan masyarakat disekitarnya yang menolak keberadaan perusahaan tersebut.[28]
Penolakan
masyarakat setempat atas keberadaan perusahaan PT TFJ itu bukan lah tanpa
sebab. Jika dicermati secara seksama, ada setidaknya dua alasan mendasar yang
mendorong masyarakat melakukan aksi penolakan tersebut.[29]
Pertama,
secara yuridis-normatif, pendirian perusahaan air minum kemasan itu
dinilai melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan dan perizinan.
Pelanggaran/penyimpangan yang paling nyata diantaranya adalah perusahaan
tersebut didirikan diatas wilayah yang menurut Perda Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Pandegalang (Perda No. 3 Tahun 2011) terlarang/tidak seharusnya
diperuntukan bagi perusahaan/industri yang kegiatan utamanya adalah memproduksi
air minum kemasan, yang di dalam kegiatan produksinya tersebut pastilah
menguasai dan menggunakan sumber-sumber sair sebagai bahan baku utama dari
kegiatan produksinya.[30]
Sebab wilayah tempat berdirinya perusahaan tersebut menurut Perda Rencana Tata
Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kabupaten Pandegalang adalah wilayah yang
diperuntukan untuk:
a)
Kawasan
hutan lindung;
b)
Kawasan
resapan air;
c)
Kawasan
rawan tanah longsor;
d)
Kawasan
sekitar mata air;
e)
Kawasan
lahan pertanian pengan berkelanjutan; dan
f)
Daerah
pengembangan sistem perdesaan/pusat permukiman.[31]
Dengan merujuk pada Perda RTRW Kab.
Pandegelang yang semestinya menjadi dasar diberikannya izin lokasi dan
perizinan lainnya kepada setiap perusahaan/industri yang akan mendirikan pabrik
di lingkungan Kab. Pandegelang sebagaimana disebut diatas, maka tidak ada satu
pun alasan yang dapat membenarkan diberikannya izin kepada Perusahaan PT TFJ
untuk mendirikan pabrik diwilayah tersebut karena jelas-jelas menyalahi
peruntukan wilayah yang sudah diatur dan ditentukan dalam Perda RTRW Kab
Pandegalang.
Kedua, secara empiris, pendirian perusahaan PT TFJ di wilayah tersebut
telah nyata-nyata menimbulkan berbagai persoalan yang menyangkut HAM atas air
dari warga yang berada disekitar perusahaan tersebut. Fenomena yang muncul dan
dirasakan oleh warga sekitar akibat berdirinya Perusahaan TFJ itu antara lain:
a) Tertutupnya
sekitar delapan (8) sumber air yang biasa mengairi sumur dan tanah warga akibat
penimbunan tanah yang dilakukan oleh PT TFJ dalam rangka membangun pabrik
mereka dilokasi yang semula terdapat 8 sumber air tersebut; dan
b) Kekeringan
yang melanda sawah dan sumur-sumur warga akibat tertimbunnya sumber air
sebagaimana disebutkan diatas, yang masih diperparah dengan kegiatan penyedotan
air tanah oleh PT TFJ sehingga langsung atau tidak langsung semakin memperparah
kelangkaan dan menyusutnya ketersediaan air di sumur-sumur tradisional warga.[32]
Demikian
itulah kenyataan-kenyataan pahit yang dialami oleh warga akibat pendirian
perusahaan air minum kemasan PT TFJ di wilayah mereka. Persoalan tersebut sudah
mulai terjadi sejak pabrik air minum kemasan itu mulai didirikan pada tahun
2014 dan masih berlangsung sampai saat ini.[33]
Hingga kini, warga yang berada disekitar pabrik tersebut masih terus berjuang
menyuarakan aspirasi mereka agar pemerintah daerah mencabut izin PT TFJ dan
menghentikan segala aktifitas perusahaan tersebut.
*Artikel ini merupakan bagian dari Laporan Penelitian yang dibuat oleh Dr. Hamid Chalid, S.H., M.H dan Arief Ainul Yaqin, S.H., M.H dalam sebuah Penelitian yang berjudul "Aktualisasi Hukum Air dan Hak atas Air di Indonesia" yang dibiayai oleh Dana Riset Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Anggaran 2017.
[1] Samuel
C. Wiel, “Theories of Water Law,” Harvard Law Review, Vol. 27, No. 6 (April,
1914), hlm. 530.
[2] Samuel
C. Wiel adalah pakar hukum air asal Amerika Serikat, spesialisasinya adalah western
water law (hukum air barat).
[3] Lihat J.
W. Milliman, “Water Law and Private Decision-Making: A Critique,” The Journal of Law & Economics, Vol. 2
(October, 1959), hlm. 41-48.
[4] Hamid
Chalid, Hak-Hak Asasi Manusia atas Air: Studi tentang Hukum Air di Belanda,
India dan Indonesia, Disertasi, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 61.
[5] Ibid.,
hlm. 41.
[6] Lihat juga
pendapat yang senada mengenai hal ini dalam Rose Mary, “Right to Water:
Theoretical Concerns and Practical Issues,” The Indian Journal of Political
Science, Vol. 67, No. 4 (October - December, 2006), hlm 759-765.
[7] Salman
M. A. Salman, “The Human Right to Water—Challenges of Implementation,” Proceedings
of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 106,
Confronting Complexity (2012), hlm. 44-46.
[8] Untuk
diketahui, GC-15 ini bukanlah sebuah treaty, tapi merupakan hasil
interpretasi Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR)
atas Kovenan Internasionaltenatng Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights –
ICESCR). Meski demikian, pada prakteknya CESCR dapat saja menerapkan
langkah-langkah yang dapat ‘memaksa’ negara-negara untuk melaksanakan
Kovenan itu berdasarkan interpretasi CESCR.
[9] Committee
on Economic, Social and Cultural Rights adalah badan PBB dibawah ECOSOC yang
bertugas memantau pelaksanaan International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights.
[10] UN
ECOSOC, Committee on Economic, Social & Cultural Rights, General Comments
No. 15: The Rights to Water, Geneva,
11-29 November 2002. (U.N. Doc. E/C.12/2002/11, Nov. 2002).
[11] Lihat
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013, khususnya pada bagian “Pendapat Mahkamah.”
[12] Hamid
Chalid, Op. Cit., hlm. 61.
[13] Salman
M.A Salman, Op. Cit., hlm. 46.
[14]
Rosemary Lyster, “The Current Status of Water Law in New South Wales.” Makalah
dalam seminar tentang Water Law Reform in New South Wales, the Faculty of Law,
the University of Sydney, 22 September 2004; Lihat juga peta kelangkaan air ini
dalam Duke University, “Map Room: Water Scarcity,” World Policy Journal,
Vol. 26, No. 4 (Winter, 2009/2010), hlm. 12-13.
[15] Ibid.
[16] Hamid
Chalid, Op. Cit., hlm. 1-6.
[17] Lyla
Mehta, “Contexts and Constructions of Water Scarcity,” Economic and
Political Weekly, Vol. 38, No. 48 (Nov. 29 - Dec. 5, 2003), hlm. 5066.
[18] Itzchak
E. Kornfeld, “Water: A Public Good or a Commodity?,” Proceedings of the
Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 106, Confronting
Complexity (2012), hlm. 49-52.
[19] Hamid
Chalid, Op. Cit., hlm. 6-7.
[20] Munawar
Khalil, “Privatisasi Sumber Daya Air dalam Tinjauan Hukum Islam,” Jurnal
Pemikiran Islam Afkaruna, Vol. 1. No. 1 (Januari-Juni 2006), hlm. 12.
[21] Lihat
Nila Ardhianie, “Controversy over Bill on Water Resources”, Jakarta Post, 27
November, 2003.
[22] Henry
Heyneardhi dan Savio Wermasubun, Dagang Air: Perihal Peran Bank Dunia dalam
Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas Air di Indonesia, Widya Sari
Press, Salatiga, 2004, hlm. ii.
[23] Dr. Dea
Erwin Ramedhan dalam keterangannya sebagai Ahli dari pihak Pemohon dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air di Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara No. 85/PUU-XI/2013. Bisa dilihat dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. No. 85/PUU-XI/2013, hlm. 44-46.
[24] Ibid.
[25] Lihat
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013, hlm. 31 dan 42.
[26] Kompas,
“MK Batalkan Seluruh Isi di UU Sumber Daya Air,” Edisi 18 Februari 2015.
[27] Untuk
diketahui, PT Tirta Fresindo Jaya adalah anak perusahaan dari Mayora Group. PT
Tirta Fresindo Jaya ini sendiri adalah perusahaan air mineral kemasan bermerk
“Le Minerale.”
[28] Fahri
Salam dan Zen R.S (editor), “Melawan Penyedotan Mata Air oleh Mayora
Group,” https://tirto.id/melawan-penyedotan-mata-air-oleh-mayora-group-cl4f,
Diakses pada tanggal 4 April 2017.
[29] Data
dan informasi ini diperoleh berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran
lapangan yang dilakukan tim peneliti dalam kurun waktu 19 Mei – 20 Juli 2017 di
lokasi tempat berdirinya PT Tirta Fresindo Jaya di Kecamatan Cadasari Kabupaten
Pandegelang Provinsi Banten.
[30] Fahri
Salam dan Zen R.S (editor), Ibid.
[31] Lihat
Peraturan Daerah Kabupaten Pandegelang No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Pandegalang Tahun 2011-2031.
[32]
Fakta-fakta ini dihimpun oleh Tim Peneliti berdasarkan hasil penelitian
lapangan (wawancara dengan masyarakat sekitar yang terdampak oleh pendirian PT
Tirta Fresindo Jaya) dan berbagai sumber pemberitaan, salah satunya adalah
kbr.id., “Merenggut Mata Air Gunung Karang dari Mayora Group,” http://kbr.id/berita/04-2017/merenggut_mata_air_gunung_karang_dari_mayora_group/89562.html,
Diakses pada tanggal 12 April 2017.
[33]
Tirto.id, Tipu-Tipu Penutupan Pabrik Mayora Group di Pandegelang, https://tirto.id/tipu-tipu-penutupan-pabrik-mayora-group-di-pandeglang-cl4b,
Diakses pada tangal 4 April 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar