“Si Vis Pacem Para Bellum,” jika menginginkan perdamaian maka
bersiaplah untuk perang. Begitulah bunyi adagium klasik Romawi Kuno yang hingga
kini masih diyakini dan menjadi dasar bagi bangsa-bangsa di dunia ini dalam
merumuskan, mengatur dan mengorganisasikan pertahanan negaranya.
Adagium itu memberi pesan sekaligus peringatan bahwa betapa pun
perdamaian itu didambakan oleh setiap orang dan oleh setiap bangsa, namun
perdamaian itu harus tetap diisi dengan kesiapsiagaan untuk berperang atau
dalam bahasa yang lebih diplomatis “kesiapsiagaan untuk mempertahankan diri.”[1]
Sebab kita tidak pernah tahu kapan datangnya ancaman dan gangguan terhadap
kedaulatan negara kita. Mengenai hal ini, Leon Trotsky (salah satu pendiri dan
tokoh penting Komunis Rusia) pernah mengingatkan bahwa: “you may not
interested in war, but war is always intersted in you” (anda
mungkin tidak tertarik pada perang, tapi perang selalu tertarik pada Anda).[2]
Untuk menghadapai situasi yang tidak diinginkan sebagaimana
digambarkan diatas maka upaya untuk membangun pertahanan negara menjadi suatu
hal yang mutlak diperlukan. Tujuannya tentu saja untuk menangkal dan
mengeleminasi setiap ancaman yang dapat merongrong kedaulatan dan kedamaian
suatu negara. Itulah sebabnya sejak dulu hingga sekarang, bangsa-bangsa di
dunia telah mengadakan dan membangun sistem pertahanannya dalam rangka
melindungi kelangsungan hidup komunitas bangsanya masing-masing.
Jika ditelusuri secara seksama, pembicaraan mengenai pertahanan
negara (state defense) sesungguhnya sudah mengemuka sejak lama sekali, yakni
sejak manusia mulai mengenal dan membicarakan konsep-konsep tentang negara itu
sendiri. Mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa dimana ada pembicaraan tentang
negara maka disitulah terdapat pembicaraan mengenai pertahanan negara.
Itu artinya dalam kajian ilmu kenegaraan dan ilmu hukum tata
negara, perbincangan mengenai pertahanan negara merupakan bagian yang inheren
(tidak terpisahkan) dari perbincangan mengenai negara itu sendiri. Ia adalah
bagian dari disiplin ilmu kenegaraan karena menyangkut kelangsungan hidup dan
eksistensi suatu negara. Dan ia juga akan menjadi objek kajian dari ilmu hukum
tata negara manakala hal ihwal pertahanan itu dirumuskan dan diatur di dalam
konstitusi.[3]
Dalam sejarah perjalanan pemikiran tentang negara, pembicaraan
mengenai pertahanan itu bahkan bisa ditelusuri sejak era Yunani Kuno.
Aristoteles yang hidup pada tahun 384-322 SM di dalam bukunya yang berjudul “Politics”
bahkan telah mengulas mengenai konsep pertahanan dalam sebuah negara. Ia
antara lain mengemukakan bahwa:
“...... and
in addition, on the other hand, the same thing holds good of the territory that
we said about the size of the population—it must be well able to be taken in at
one view, and that means being a country easy for military defence.”[4]
(sama halnya dengan ukuran populasi manusia
di suatu negara [yang harus dibatasi agar tidak terlalu banyak], maka wilayah
suatu negara pun harus dibatasi untuk memudahkan negara tersebut dalam
mengadakan pertahanan militer untuk mempertahankan negaranya – terjemahan bebas).
Selain pendapat diatas, masih ada banyak pemikiran Aristoteles
yang berkenaan dengan konsep pertahanan negara di dalam bukunya itu (Politics).
Hal tersebut mengkonfirmasi pernyataan penulis sebelumnya bahwa memang
pembicaraan mengenai pertahanan negara itu sama tuanya dengan pembicaraan
tentang negara itu sendiri.
Pemikiran Aristoteles tentang Negara dan Pertahanan sebagaimana
diuraikan diatas pada masa-masa berikutnya mendapat perhatian yang lebih besar
dan dikembangkan lebih lanjut oleh para ahli negara dan hukum yang hidup
setelahnya. Sebagai salah satu contoh adalah Montesquieu, salah seorang filsuf
hukum terkenal abad 18 yang juga menulis tentang konsep negara dan pertahanan
di dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois (Spirit of Laws).
Dalam pandangan Montesquieu, sehubungan dengan teorinya yang
terkenal “trias politica,” ia mengkategorikan fungsi pertahanan negara
ke dalam cabang kekuasaan eksekutif. Artinya, tugas untuk menyelenggarakan
pertahanan negara menurut Montesquieu adalah tugas dari eksekutif.[5]
Lebih lanjut, masih dalam buku yang sama (L’esprit des Lois)
Montesquieu juga banyak mengulas mengenai hak suatu negara untuk
menyelenggarakan pertahanan. Ia melihat konsepsi tentang negara dan pertahanan
sebagai suatu konsep yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ia
berpandangan bahwa adanya hak untuk mendirikan dan menyelenggarakan negara
berarti memberikan juga hak bagi negara tersebut untuk mempertahankan negaranya
dari ancaman dan serangan pihak musuh. Dalam salah satu pendapatnya mengenai
hal ini Montesquieu mengatakan bahwa:
“The life of
governments (or state) is like that of man. The latter has a right to kill in
case of natural defence: the former have a right to wage war for their own
preservation.”[6]
(Kehidupan suatu pemerintahan atau negara sama halnya degan
kehidupan manusia. Yang disebut terakhir itu [manusia] mempunyai hak untuk
membunuh sebagai bentuk pertahanan alamiahnya, sedangkan yang disebut pertama
itu [negara] mempunyai hak untuk berperang guna melangsungkan kehidupan
bangsanya.
Uraian-uraian
diatas kiranya telah cukup menunjukan bahwa pembicaraan mengenai pertahanan
negara tidak bisa dipisahkan dari sejarah pemikiran tentang negara itu sendiri.
Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Montesquieu, hak untuk menyelenggarakan
pertahanan adalah hak setiap bangsa dalam rangka melindungi kedaulatan dan
kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas dapatlah kiranya
ditarik satu benang merah (kesimpulan) bahwa pertahanan adalah salah satu aspek
yang fundamental dan penting dari sebuah negara. Pertahanan dan negara adalah
dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Tanpa pertahanan yang
kuat dan handal tidak mungkin suatu negara dapat berdiri kokoh dan mendapat
kehormatan di aras internasional. Tidak ada seorang pun yang dapat menyangkal
kebenaran fakta ini. Sejarah peradaban manusia dari masa ke masa telah
membuktikan hal tersebut, bahwa kebesaran dan kedigdayaan suatu bangsa selalu
ditopang oleh kekuataan pertahanan yang juga besar dan digdaya. Kejayaan Yunani
Kuno, kejayaan Romawi, dan kejayaan Inggris di masa lalu, serta Kejayaan
Amerika di era sekarang selalu ditopang oleh kekuatan pertahanan yang mumpuni
(disamping kekuatan ekonomi).[7]
[1] Lihat
Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. v.
[2] Leon
Trotsky adalah salah seorang pendiri dan tokoh penting Komunis Rusia di
Era Lenin yang segenerasi dengan Joseph Stalin. Bahkan menjelang kematian
Lenin, Trotsky sempat digadang-gadang akan menggantikan Lenin memimpin Uni
Soviet. Namun kenyataan menunjukan bahwa kepemimpinan Uni Soviet justru jatuh
ke tangan Stalin. Ia hidup antara tahun 1879-1940. Lihat Wikiquote, Leon
Trotsky, https://en.wikiquote.org/wiki/Leon_Trotsky,
Diakses pada tanggal 12 Agustus 2017.
[3] Fakta
menunjukan bahwa semua konstitusi di dunia ini selalu memuat pengaturan
mengenai hal ihwal pertahanan negara. Tidak ada satu pun konstitusi di dunia
yang di dalamnya tidak mengatur mengenai pertahanan negara.
[4]
Aristoteles, Politics, Book 7, Section 1327a. Materi tersedia dan dapat
diunduh pada laman: http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.01.0058%3Abook%3D7%3Asection%3D1327a,
Diakses pada tanggal 12 Agustus 2017.
[5] Baron de
Montesquieu, The Spirit of Laws (L’esprit des lois), Terjemahan Thomas
Nugent (1752), Batoche Books, Ontario, 2001, hlm. 84.
[6] Ibid.,
hlm. 155.
[7] Lihat
Yusron Ihza Mahendra, Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional, Mizan,
Bandung, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar