Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Sabtu, 11 November 2017

Problematika Seputar Status dan Kedudukan Tap MPR dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia


Selayang Pandang Masalah
 
Politik hukum dan perundang-undangan Indonesia telah mengalami dinamika dan perubahan sejak NKRI berdiri. Dinamika dan perubahan itu terjadi sebagai sebuah hasil proses belajar bangsa ini untuk terus berkembang mengikuti dinamika kehidupan berbangsa yang juga berubah sesuai tuntutan zamannya. Dinamika politik yang terjadi sepanjang lintasan sejarah itu, menuntut juga perubahan dalam jenis, sistematika dan hirarki peraturan perundangan-undangan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah mencatat, lintasan sejarah yang merekam dinamika itu telah terbentang dari tahun 1966, ketika untuk pertama kalinya dilakukan perumusan dan sistematisasi terhadap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan melalui TAP MPR No. XX/MPRS/1966.[2] Dari sejak tahun 1966 hingga saat ini, tercatat telah ada empat (4) peraturan yang mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dari waktu ke waktu. Dari keempat peraturan tersebut, masing-masing merumuskan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sehingga nampak belum adanya keajegan dalam soal itu.[3]
Salah satu contoh dari dinamika itu ialah soal pasang surutnya status dan kedudukan Ketetapan MPR (selanjutnya akan disebut TAP MPR). Dinamika yang menyangkut status dan kedudukan TAP MPR itu dapat digambarkan dalam fase-fase berikut ini:
1)        Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
TAP MPR diakui sebagai salah salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki, yakni dibawah Undang-Undang Dasar 1945.[4]
2)        Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000
TAP MPR pada periode ini diakui sebagai salah salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki, yaitu dibawah Undang-Undang Dasar 1945.[5]
3)        Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004
TAP MPR tidak lagi dimasukan ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.[6]
4)        Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011
Melalui UU No. 12 Tahun 2011 ini TAP MPR kembali “dihidupkan” dan diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki (di bawah UUD 1945).[7]
Timbul dan tenggelamnya TAP MPR dalam sistem perundang-undangan kita menjadikan TAP MPR ini menjadi salah satu topik perdebatan yang tidak habisnya untuk diperbincangkan. Lebih-lebih setelah diakuinya kembali TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan oleh UU No. 12 Tahun 2011, setelah sebelumnya sempat “menghilang” dibawah rezim UU No. 10 Tahun 2004.[8]
Dalam UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukan dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Alasannya pada saat itu, berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 (tepatnya Pasal 1 dan Pasal 3) MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak lagi berwenang menetapkan GBHN. Karenanya, TAP MPR yang sifatnya mengatur umum (regelend) dan menjadi tempat penuangan GBHN, tidak diperlukan lagi. Alasan lain yang sebenarnya sudah disuarakan sejak lama ialah karena TAP MPR, sesuai dengan nomeklaturnya yakni “ketetapan”, seharusnya berisi norma yang sifatnya hanya penetapan (beschikking) bukan pengaturan (regeling).
Harun Alrasid adalah salah satu pakar hukum yang sejak lama mengkritik penggunaan TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan. Menurutnya, TAP MPR tidak bisa memuat hal-hal yang sifatnya mengatur (regeling). Masih menurutnya, seharusnya peraturan perundang-undangan yang langsung berada dibawah UUD adalah undang-undang, bukan TAP MPR. Ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi bukan untuk diperankan sebagai peraturan perundang-undangan, melainkan sebatas penetapan yang bersifat individual dan konkret saja. Misal, TAP MPR tentang pengangkatan Presiden, pemberhentian Presiden, dan lain sebagainya yang sifatnya hanya beschikking.[9]
Sependapat dengan Harun Alrasid, Mahfud MD. menyatakan bahwa pemosisian TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, yang menganggapnya sebagai konsekuensi dari adanya kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN. Sebab, UUD sendiri tidak pernah menyebutkan soal adanya TAP MPR dan bagaimana materi muatannya.[10]
Dari pendapat diatas dan dikaitkan dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini, maka TAP MPR yang bersifat mengatur apalagi yang isinya menugasi Presiden untuk menjalankan GBHN, jelas sudah tidak relevan lagi dengan paradigma UUD 1945 hasil amandemen. Karenanya setelah amandemen UUD 1945 tidak boleh lagi ada TAP MPR yang bersifat mengatur (regelend). Sebab berdasarkan UUD hasil amandemen, MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN, begitu juga Presiden bukan lagi mandataris MPR. Jika masih juga diproduksi TAP MPR yang sifatnya mengatur umum, maka demi hukum, TAP MPR itu tidak mempunyai dasar konstitusional.[11]
Jadi setelah terjadi perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR sebagai hasil dari amandemen UUD 1945, maka saat ini MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur dan mengikat umum seperti dulu.[12] Itulah sebabnya mengapa UU No. 10 Tahun 2004 tidak lagi memasukan TAP MPR ke dalam genus peraturan perundang-undangan.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah UU No. 10 Tahun 2004 disahkan, timbul pertanyaan sehubungan dengan adanya TAP MPR yang masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003. Sementara menurut UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Pada titik inilah muncul kembali tanda tanya dan perdebatan perihal status hukum TAP MPR yang masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Di satu sisi, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi disisi lain, masih ada sejumlah TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian bermuara pada satu pertanyaan besar, “bagaimana status hukum dan kedudukan TAP MPR yang masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003?” Kondisi ini tak pelak lagi menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum perihal status dan kedudukan TAP MPR yang masih berlaku hingga pada saat itu.
Kerancuan itulah yang kemudian menjadi alasan “diakuinya” kembali TAP MPR oleh UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 7 ayat (1) huruf b undang-undang tersebut memasukan kembali TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada dibawah UUD 1945. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Meskipun status dan kedudukan TAP MPR telah diperjelas oleh UU No. 12 Tahun 2011, tetapi “pengakuan” justru memicu perdebatan dan diskursus yang lebih sengit lagi. Perdebatan dan diskursus itu setidak-tidaknya berkisar pada soal, TAP MPR apa saja yang masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003, apakah semua TAP itu secara aktual dan faktual memang masih berlaku hingga saat ini? bagaimana cara menguji TAP MPR tersebut jika dianggap bertentangan dengan UUD 1945? bagaimana masa depan TAP MPR yang sekarang masih berlaku, akankah tetap dibiarkan dalam keadaa status quo seperti sekarang ini ataukah perlu diakhiri eksistensinya sehingga ke depan sistem dan hierarki perundang-undangan kita tidak perlu lagi dikacaukan dengan adanya TAP MPR?
Analisa dan jawaban terhadap persoalan-persoalan diatas akan dirangkum secara ringkas dan padat melalui penjelasan dibawah ini.
Realitas dan Politik Hukum seputar Ketetapan MPR Pasca Perubahan UUD 1945
Salah satu implikasi dari amandemen UUD 1945 ialah berubahnya kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara lain :
a.    MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagai akibat perubahan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD hasil amandemen, kedaulatan diserahkan dan berada langsung di tangan rakyat yang pelaksanaannya disalurkan melalui cara-cara yang konstitusional berdasarkan UUD. Dengan demikian MPR tidak lagi menjadi lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang mengatasi (superior terhadap) lembaga-lembaga negara lain.
b.    MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Begitu juga MPR tidak dapat serta merta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang terjadi di masa lalu. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR hanya dapat dilakukan setelah melalui proses politik di DPR yang kemudian dilanjutkan dengan proses hukum di Mahkamah Konstitusi.[13]
c.    MPR tidak lagi berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelend). Hal ini merupakan konsekuensi dari dihapusnya kewenangan MPR menetapkan GBHN.[14] Karena di masa lalu TAP MPR itu lah yang menjadi tempat penuangan GBHN. Itulah sebabnya di masa lalu TAP MPR yang seharusnya hanya bersifat beschikking itu disalahartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada dibawah UUD.

Perubahan kedudukan dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 telah memunculkan kesadaran umum bahwa kedepan MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan TAP MPR yang isi dan sifatnya mengatur umum.
Kesadaran itu kemudian diangkat dan ditetapkan secara formal/konstitusional melalui Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 hasil perubahan keempat (2002). Menurut ketentuan Pasal I Aturan Tambahan, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS/MPR untuk diambil putusan pada Sidang MPR Tahun 2003.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, original intent daripada Pasal I Aturan Tambahan ini sebetulnya untuk menentukan dan memberikan status hukum bagi TAP MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada dari sejak tahun 1960. Pilihannya pada waktu itu hanya ada dua; (i) dicabut, bagi TAP MPRS/MPR yang sudah tidak relevan untuk dipertahankan (ii) dituangkan dalam bentuk undang-undang, bagi TAP MPRS/MPR yang dianggap masih relevan untuk dipertahankan. Harapan para perumus perubahan UUD ketika itu, TAP MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada itu akan berakhir eksistensinya, baik dengan cara dicabut maupun dengan cara dituangkan dalam bentuk UU.[15]
Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945, maka pada Tahun 2003 MPR melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS/MPR yang telah dikeluarkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
Hasil daripada peninjauan yang dilakukan oleh MPR itu kemudian dituangkan dalam bentuk TAP MPR No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
Pada pokoknya, TAP MPR No. I Tahun 2003 berisi pasal-pasal yang mengklasifikasikan 139 Tap MPRS/MPR yang sudah ada kedalam 6 kelompok. Berikut perinciannya:
1.    Kelompok pertama, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tidak berlaku dan dicabut, ada sebanyak 8 Tap.
2.    Kelompok kedua, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan syarat/ketentuan tertentu, ada sebanyak 3 Tap.
3.    Kelompok ketiga, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu Tahun 2004, ada sebanyak 8 Tap.
4.    Kelompok keempat, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang, ada 11 Tap.
5.    Kelompok kelima, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR RI hasil Pemilu Tahun 2004, ada sebanyak 5 Tap.
6.    Kelompok keenam, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena sifatnya einmalig (final; sekali selesai), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Jumlahnya ada sebanyak 104 Tap.
Dengan diterbitkannya TAP MPR No. I Tahun 2003 maka secara formal MPR telah melaksanakan perintah Pasal I Aturan Tambahan. Akan tetapi jika kita mencermati isi TAP MPR tersebut, maka sebetulnya masih terdapat sejumlah persoalan yang terkandung di dalamnya. Jika mengacu pada original intent dari Pasal I Aturan Tambahan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sesungguhnya para perumus perubahan UUD ketika itu menghendaki adanya penyelesaian final atas TAP MPR yang sudah terlanjur ada. Maksud yang dikehendaki pada waktu itu agar ke depan, TAP MPR yang sudah diterbitkan sejak tahun 1960 sampai tahun 2002 itu dapat diakhiri eksistensinya, sehingga tidak akan ada lagi TAP MPR dalam etalase perundang-undangan di Indonesia. Inilah yang sebetulnya dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945 ketika mereka merancang Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 (perubahan keempat).[16]
Maksud dan harapan yang ada dibalik Pasal I Aturan Tambahan itu nampaknya tidak terelabrorasi dengan baik oleh TAP MPR No. I Tahun 2003. Ketetapan tersebut justru meninggalkan persoalan pelik yang bahkan oleh sebagian orang dianggap sebagai persoalan abadi. Hingga saat ini, TAP MPR No. I Tahun 2003 itu masih menyisakan sejumlah TAP MPRS/MPR yang masih terus berlaku. Sementara itu, kondisi ketatanegaraan dan sistem perundang-undangan kita dewasa ini sudah tidak relevan lagi untuk menampung adanya Ketetapan MPR sebagai sebuah peraturan perundang-undangan.
Pembahasan selanjutnya akan diarahkan pada pengamatan terhadap TAP MPRS/MPR yang masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Karena pada kenyatannya, jika diteliti secara seksama, tidak semua TAP MPRS/MPR yang disebut oleh Pasal 2 dan Pasal 4 itu masih berlaku hingga saat ini. Ada beberapa ketetapan yang sudah tidak berlaku lagi, baik karena telah terbentuk undang-undangnya atau telah terlaksananya ketentuan yang diamanatkan oleh ketetapan yang dimaksud.
Harus diakui bahwa informasi mengenai hal ini sangat jarang kita temukan. Umumnya orang hanya melihat sepintas lalu saja mengenai keketatapan-ketetapan MPR apa saja yang masih berlaku, yaitu dengan cara membaca Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Jika cara itu yang dilakukan maka sudah jelas jumlah TAP MPRS/MPR yang masih berlaku adalah 14 ketetapan. Padahal secara aktual dan faktual tidak semua dari 14 ketetapan itu masih berlaku. Maka untuk mengetahui TAP MPRS/MPR apa saja yang secara aktual dan faktual masih berlaku, simak hasil pengamatan penulis terhadap ketetatapan-ketetapan tersebut dibawah ini.
Analisis terhadap Ketetapan MPR yang Masih Berlaku
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, TAP MPR kembali diakui sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Jika Pasal 7 ayat (1) ini dibaca secara sekilas tanpa membaca penjelasannya, maka kita akan terjebak/terkecoh pada pemahaman bahwa yang dimaksud dengan TAP MPR disitu adalah semua TAP MPR yang pernah dikeluarkan oleh MPR. Pandangan/kesimpulan yang seperti itu perlu diluruskan, karena memang tidak demikian adanya. Untuk memahami makna dan maksud dari ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf b diatas, perlu dilihat penjelasan pasalnya.
Dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b ditegaskan bahwa:
 “Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
Jadi, TAP MPR yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (1) huruf b diatas hanya meliputi TAP MPRS/MPR yang sudah ada dan masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Singkatnya, pasal itu hanya dimaksudkan untuk mengakui TAP MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku. Bukan ditujukan untuk memberi jalan bagi MPR untuk kembali memproduksi ketetapan-ketapan yang sifatnya mengatur dan mengikat umum (regeling).[17]
Berdasarkan kenyataan tersebut maka timbul pertanyaan, TAP MPRS/MPR apa saja yang menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003 masih berlaku? apakah dari kesemua TAP MPRS/MPR yang disebut oleh Pasal 2 dan Pasal 4 itu hingga kini semuanya masih berlaku atau sudah ada beberapa yang tidak berlaku?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, berikut ini akan diuraikan pembahasannya.
Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003 menyatakan bahwa:
 “Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI sebagaimana dimaksud di bawah ini dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing sebagai berikut:
1.    Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 ini ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Analisis:
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 masih berlaku hingga saat ini. Karena sepanjang ia diberlakukan dengan memenuhi syarat-syarat diatas maka ketetapan ini dapat terus berlaku. Jadi, TAP MPRS ini adalah salah satu TAP MPRS sebagaimana dimaksud oleh pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011.
2.   Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil, menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:
TAP MPR No. XVI/MPR/1998 masih berlaku hingga saat ini dengan penjelasan yang sama dengan poin 1 diatas. Jadi, TAP MPR ini adalah salah satu TAP MPR sebagaimana dimaksud oleh pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011.
3.    Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur tetap berlaku sampai dengan terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 TAP MPR ini.
Analisis:
TAP MPR No. V/MPR/1999 sudah tidak berlaku lagi sehubungan dengan sudah terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ketetapan ini. Pasal 5 dan Pasal 6 itu sendiri pada intinya mengamanatkan penyelesaian sejumlah persoalan pasca referendum/jajak pendapat di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999. Persoalan-persoalan dan ikatan masa lalu antara Indonesia dengan bekas provinsinya yang ke 27 itu dalam pengamatan penulis telah diselesaikan. Saat ini Timor Timur sendiri telah berdiri sebagai negara berdaulat yang bernama Timor Leste.
Dengan demikian, TAP MPR No.V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur, tidak termasuk ke dalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud oleh pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011. Karena syarat masa berlakunya, yaitu terlaksananya ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 sudah terpenuhi, sehingga secara ab initio ketetapan ini menjadi tidak berlaku lagi.[18]
Bunyi Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 berikut analisis dari penulis terhadap keberlakukan masing-masing TAP MPRS/MPR yang disebut di dalamnya adalah sebagai berikut:
Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.”
1.    Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera tetap berlaku dengan menghargai Pahlawan Ampera yang telah ditetapkan dan sampai terbentuknya undang-undang tentang pemberian gelar, tanda jasa, lain-lain tanda kehormatan.
       Analisis:                               
TAP MPRS No.XXIX/MPRS/1966 sudah tidak berlaku dengan diberlakunya UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
2.    Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Analisis:
TAP MPR No. XI/MPR/1998 sudah tidak berlaku dengan terbentuknya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3.   Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:
TAP MPR No. XV/MPR/1998 Sudah tidak berlaku dengan terbentuknya undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Saat ini, UU No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya, telah dicabut dan diganti lagi dengan UU No. 23 Tahun 2013 tentang Pemerintahan Daerah.
Dibidang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah dibentuk UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah. Kemudian UU tersebut dicabut dan diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Jadi, TAP MPR ini sudah tidak berlaku dengan telah diaturnya materi yang terdapat dalam ketetapan ini oleh undang-undang sebagaimana yang disebutkan diatas.
4.       Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Analisis:
TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sudah tidak berlaku lagi dengan dibentuknya UU No. 10 Tahun 2004, yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
5.   Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Analisis:
TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional masih berlaku mengingat sampai saat ini belum ada UU yang mengatur materi yang sama sebagaimana yang diatur oleh ketetapan ini.
6.    Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai terbentuknya undang-undang yang terkait.
Analisis:
TAP MPR No. VI/MPR/2000 sudah tidak berlaku dengan terbentuknya UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang pada intinya berisi pemisahan tugas dan fungsi antara TNI dan Kepolisian. Menurut UU No. 3 Tahun 2002, TNI mempunyai fungsi pokok sebagai alat pertahanan negara dibawah naungan Departemen Pertahanan (sekerang Kementerian Pertahanan), sedangkan Polisi ditarik dari ranah pertahanan/militer untuk konsens di bidang keamanan.[19]
7.      Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai terbentuknya undang-undang yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2) dari Ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:
TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri sudah tidak berlaku dengan terbentuknya undang-undang yang masing-masing mengatur tentang TNI dan Kepolisian RI, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
8.         Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Analisis:
TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa masih berlaku hingga kini, karena belum ada undang-undang yang mengatur soal yang sama sebagaimana yang diatur oleh ketetapan ini.
9.         Ketetapan Majelis MPR RI No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Analisis:
TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan sudah tidak berlaku dengan terbentuknya UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-Undang tersebut kemudian mengamanatkan pembentukan undang-undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang akan mengatur mengenai rencana jangka panjang (20 tahunan). Undang-Undang yang dimaksud oleh UU No. 24 Tahun 2004 itu adalah UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025.
10.     Ketetapan MPR RI  No. VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Analisis:
TAP MPR No. VIII/MPR/2001 dapat dikatakan sudah tidak berlaku lagi, mengingat seluruh ketentuan yang ada di dalamnya sudah dilaksanakan dengan dibentuknya UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), UU KPK (UU No. 30 Tahun 2002), UU LPSK (UU No. 13 Tahun 2006), UU Keterbukaan Informasi (UU No. 14 Tahun 2008), dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010), serta UU Ombudsman RI (UU No. 37 Tahun 2008).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya seluruh amanat dari TAP MPR No.VIII/MPR/2001 untuk merivisi dan/atau membentuk UU yang berkenaan dengan Tipikor sudah dilaksanakan. Oleh karena itu, TAP MPR ini sudah tidak berlaku dengan dibentuknya pelbagai undang-undang yang telah disebutkan diatas. Begitu juga secara praktis, dalam lapangan penegakan korupsi ketetapan ini sudah tidak lagi disinggung-singgung apalagi dijadikan dasar hukum.
11.     Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Analisis:
TAP MPR No. IX/MPR/2001 masih berlaku, karena ketentuan dalam TAP MPR ini belum terlaksana seluruhnya dan sampai sekarang belum ada undang-undang yang merevisi/mengganti undang-undang agraria yang selama ini berlaku.[20]
Berdasarkan analisis terhadap 14 TAP MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003, maka dapat dikatakan bahwa hanya ada lima (5) yang benar-benar masih berlaku hingga saat ini. Selebihnya (9 TAP) sudah tidak berlaku lagi, baik karena ketentuan yang diamanatkan oleh TAP MPR yang dimaksud sudah terlaksana ataupun karena sudah terbentuk undang-undangnya.
Berdasarkan fakta dan kesimpulan diatas maka sesungguhnya TAP MPR yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011, pada saat ini hanya meliptui lima (5) ketetapan saja saja.[21] Ketetapan-Ketetapan MPR yang dimaskud adalah:
1.  Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme.
2.  Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
4.    Ketetapan MPR RI No VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
5.    Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Masa Depan Ketetapan MPR, Quo Vadis?
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat terlihat adanya persoalan-persoalan yang melingkupi Ketetapan MPR yang oleh UU No. 12 Tahun 2011 kembali diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR yang dimaksud dalam undang-undang itu adalah TAP MPR yang masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003.
Hingga saat tulisan ini dibuat, permasalahan terkait status dan kedudukan TAP MPR ini masih terus bergulir seolah tidak berujung. Ketetapan MPR No. I Tahun 2003 yang semula dimaksudkan untuk mengakhiri eksistensi ketetapan-ketetapan MPR yang sudah ada sejak tahun 1960, justru meninggalkan persoalan baru, yaitu dengan menyisakan beberapa TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini. Padahal sistem ketatengaraan dan politik perundang-undangan saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengakomodir adanya Ketetapan MPR sebagai peraturan perundang-undangan.
Keberadaan TAP MPR yang masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003 itu menjadi problematika yang pelik dan bahkan oleh sebagian orang dianggap sebagai persoalan yang abadi. Mengapa dikatakan demikian? karena menurut pendapat ini, TAP MPR yang masih berlaku itu tidak dapat dicabut, bahkan oleh MPR sendiri. Alasannya, karena MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan yang bersifat regeling yang dapat digunakan untuk mencabut TAP MPR yang sekarang masih berlaku. Satu-satunya jalan untuk mengakiri eksistensi TAP MPR yang masih berlaku menurut pendapat ini ialah melalui perubahan UUD, dimana MPR kembali diberi tugas untuk mencabut TAP MPR yang dimaksud. Tanpa skenario yang demikian maka tidak ada jalan untuk mengatasi benang kusut seputar eksistensi TAP MPR ini. Demikian menurut pendapat dari kelompok ini.
Terhadap jalan pemikiran diatas penulis kurang sependapat sepemikiran. Akan kah kita berdiam diri terhadap persoalan ini dan hanya menunggu datangnya momen perubahan UUD baru kita akan menyelesaikannya? Masalah ini merupakan salah satu residu (sisa) persoalan sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan kita di masa lalu. Bagaimana mungkin kita terus menerus mempertahankan eksistensi TAP MPR yang sudah tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan dan politik perundang-undangan kita saat ini. Lebih-lebih politik hukum perundang-undangan kita saat ini menghendaki adanya purifikasi antara produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling) dengan produk hukum yang berbentuk keputusan/ketetapan (beschikking). Hal itu telah dimulai sejak era UU No. 10 Tahun 2004, dimana Keputusan Presiden tidak lagi dimasukan dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dan diganti menjadi Peraturan Presiden.[22]
Persoalan lain sehubungan dengan diakuinya kembali TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan ialah ketiadaan mekanisme judicial review bagi TAP MPR. Padahal menurut konsep supremasi konstitusi sebagaimana yang kita anut sekarang ini, dituntut adanya mekanisme judicial review bagi setiap peraturan perundang-undangan untuk memastikan konsistensinya terhadap peraturan yang ada diatasnya. Hal mana sangat penting untuk menegakan supremasi konstitusi disatu sisi dan menjaga tertib hierarki peraturan perundang-undangan disisi yang lain.[23]
Sehubungan dengan itu, tentu saja keberadaan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan akan mengacaukan doktrin supremasi konstitusi dan lembaga judicial review. Karena sebagaimana kita tahu, UUD 1945 tidak menyediakan ruang judicial review bagi TAP MPR, sehingga persis tidak ada mekanisme pengujian yudisial yang bisa dilakukan untuk mengontrol konstitusionalitas TAP MPR terhadap UUD. Ini merupakan petunjuk sekaligus bukti bahwa UUD hasil amandemen memang tidak lagi menghendaki adanya TAP MPR dalam sistem perundang-undangan kita. Seandainya UUD masih menghendaki adanya TAP MPR dalam sistem peraturan perundang-undangan kita maka tentu saja telah disediakan ruang judicial review baginya, sebagaimana UUD menyediakannya mekanisme tersebut bagi undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.[24]
Dalam praktek, ketiadaan mekanisme judicial review bagi TAP MPR ini telah terbukti dengan ditolaknya permohonan pengujian Ketetapan MPR oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus ini MK memutuskan untuk tidak menerima (niet ontvankelijke verklaard) permohonan pengujian Pasal 6 TAP MPR No. I Tahun 2003, khususnya butir ke 30 mengenai Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Pertimbangan utamanya, berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji selain undang-undang terhadap UUD, sehingga pengujian Ketetapan MPR bukanlah wewenang MK.[25]
Persoalan-persoalan yang digambarkan diatas sepatutnya menjadi bahan renungan dan pemikiran untuk kita, bagaimana merancang penyelesaian atas masalah ini. Keberadaan TAP MPR yang telah terbukti mengandung banyak masalah dan sudah tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan kita saat ini sudah seyogianya dicarikan alternatif pemecahannya. Untuk itu penulis akan mengetengahkan proposisi atau alternatif solusi sebagai berikut.
Pertama, terhadap kelompok TAP MPRS/MPR yang disebut dalam Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003, kedepan DPR dan Presiden harus membentuk undang-undang yang akan “mengambil alih” materi ketetapan MPR yang dimaksud. Apalagi dalam sistem Prolegnas yang berlaku saat ini, RUU yang dibentuk dalam rangka melaksanakan perintah TAP MPR akan menempati urutan (prioritas) yang tertinggi setelah RUU yang pembentukannya diamanatkan oleh UUD.[26] Artinya, ada priotitas yang tinggi bagi RUU yang dibentuk dalam rangka memenuhi perintah TAP MPR. Hal mana merupakan suatu keuntungan tersendiri bagi pembentukan undang-undang yang ditujukan untuk melaksanakan perintah Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003.
Dengan demikian, TAP MPR yang materinya telah diambil alih oleh undang-undang maka ia otomatis tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat (tidak berlaku). Artinya, manakala undang-undangnya sudah terbentuk maka berakhirlah eksistensi yuridis bagi TAP MPR yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003.
Kedua, terhadap kelompok TAP MPRS/MPR yang masih berlaku menurut Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003, maka jalan yang dapat ditempuh untuk mengakhiri eksistensinya ialah dengan cara mencabut TAP MPRS/MPR tersebut oleh MPR. Pencabutannya itu sendiri bisa dilakukan dengan menggunakan TAP MPR yang sifatnya  beschikking, yakni yang isinya hanya berupa pencabutan terhadap ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang dimaksud.
Dengan begitu maka TAP MPRS/MPR yang saat ini masih berlaku menurut Pasal 2 TAP MPR No. I Tahun 2003 dapat diakhiri eksistensinya. Sedangkan apabila materi muatan TAP MPR yang dicabut itu dirasa urgen dan masih relevan untuk dipertahankan, maka materi tersebut dapat dituangkan dan diberi baju hukum berupa undang-undang.
Salah satu contoh materi TAP MPR yang masih perlu untuk dipertahankan dan bahkan diatur lebih lanjut ialah materi yang terkandung dalam TAP MPR No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme. Materi muatan TAP MPRS tersebut menurut hemat penulis sangat penting untuk dipertahankan guna menghindari terulangnya musibah komunal yang pernah dialami bangsa ini di masa yang lalu. 
Cara yang dapat ditempuh untuk mengamankan hal ini ialah dengan terlebih dahulu membentuk undang-undang yang akan mengadopsi dan mengambil alih materi TAP MPRS yang dimaksud. Setelah undang-undangnya terbentuk barulah TAP MPRS tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tujuannya agar dalam pembentukan UU yang dimaksud, Presiden dan DPR tetap berpedoman pada TAP MPRS tersebut karena ia masih berlaku, bahkan menjadi landasan hukum bagi pembentukan UU tersebut. Dengan demikian maka pembentuk UU tidak bisa membuat norma yang menyimpangi semangat dan materi yang dikandung oleh TAP MPRS No. XXV Tahun 1966.
Dengan cara itu maka tidak akan ada kekosongan hukum manakala TAP MPRS ini dicabut, karena norma/materinya telah diambil alih dan diformilkan dalam bentuk undang-undang, sehingga tidak ada celah bagi PKI atau komunisme untuk muncul kembali, walau satu detik saja.
Kendati demikian penulis menyadari bahwa alternatif yang kedua ini merupakan pilihan yang amat sulit untuk direalisasikan. Karena sudah pasti akan menyulut kontroversi dan perdebatan yang tajam mengenai absah tidak absahnya (legally or not) mekanisme ini. Akan tetapi terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang mungkin muncul, penulis dapat meyakinkan bahwa cara ini merupakan cara yang legal berdasarkan pada sekurang-kuranya dua alasan; (i) teoritis dan (ii) praktis/empiris.
Alasan pertama (alasan teoritis), dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya kaidah mengenai pencabutan suatu peraturan. Suatu peraturan dapat dicabut dengan memperhatikan dua syarat dibawah ini:
  1. Lembaga yang berwenang; suatu peraturan hanya dapat dicabut oleh lembaga yang membuatnya atau oleh lembaga yang lebih tinggi
  2. Bentuk atau baju hukumnya; suatu peraturan hanya dapat dicabut oleh peraturan yang setingkat atau peraturan yang lebih tinggi.[27]
Dengan berlandaskan pada alasan diatas maka sebetulnya dalam lapangan teori (ilmu perundang-undangan), tidak ada salahnya apabila Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku itu akan dicabut oleh MPR dengan menggunakan instrumen yang juga berupa TAP MPR (yang sifatnya hanya berupa beschikking). Artinya, pencabutan itu dilakukan oleh lembaga yang sama yang telah membuatnya dan dengan menggunakan instrumen hukum yang sama pula. Hanya saja yang harus digarisbawahi disini ialah, TAP MPR yang digunakan untuk mencabut ketatapan-ketatapan MPR yang masih berlaku itu adalah TAP MPR yang sifatnya beschikking  (hanya berisi diktum pencabutan), bukan regeling.
Alasan kedua, yaitu alasan empiris. Mengenai kebolehan pencabutan TAP MPRS/MPR yang sekarang masih berlaku, pada praktiknya pernah juga dilakukan oleh MPR pasca amandemen UUD, yaitu melalui TAP MPR No. I Tahun 2003.
Terkait alasan diatas akan muncul sanggahan bahwa TAP MPR No. I Tahun 2003 itu dikeluarkan oleh MPR dalam rangka melaksanakan amanat Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945. Sehingga kegiatan peninjauan (review) yang dilakukan oleh MPR dan menghasilkan TAP MPR No. I Tahun 2003 itu dapat diterima, karena hal tersebut telah diamanatkan langsung oleh UUD 1945 (Pasal I Aturan Tambahan).
Terhadap sanggahan ini penulis ingin menjelaskan bahwa benar kegiatan peninjauan TAP MPR itu memang diamanatkan oleh Pasal 1 Aturan Tambahan. Akan tetapi jangan lupa bahwa Pasal 1 Aturan Tambahan itu sebetulnya hanya memerintahkan kepada MPR untuk melakukan review, tanpa menyebutkan hasil review itu harus dituangkan dalam bentuk apa. Tetapi sebagaimana kita tahu, kenyataan menunjukan bahwa MPR memilih untuk menuangkannya dalam bentuk Ketetapan juga, yakni TAP MPR No. I Tahun 2003. Ketetapan MPR No. I Tahun 2003 itu sendiri dilihat dari isinya maka ia hanyalah beschikking, karena hanya berisi norma yang bersifat konkrit dan individual, yaitu berupa pemberian status hukum baru terhadap 139 TAP MPR yang sudah ada sejak 1960-2002.
Dalam kasus itu (adanya TAP MPR No. I Tahun 2003), fakta menunjukan bahwa kita bisa menerimanya. Padahal Pasal I Aturan Tambahan sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa hasil daripada kegiatan yang ditugaskan kepada MPR itu harus dituangkan dalam bentuk Ketetapan MPR. Lantas jika MPR akan mencabut dan mengakhiri eksistensi TAP MPR yang sekarang masih berlaku, mengapa kita tidak bisa menerimanya. Bukan kah cara itu memiliki landasan teoritis dan empiris yang absah?
Dengan dua cara yang telah dipaparkan diatas maka diharapkan Ketetapan MPR yang yang bersifat mengatur dan masih tersisa sekarang ini akan “habis” atau diakhiri keberlakuannya. Dengan demikian maka ke depan, TAP MPR tidak perlu lagi dimasukan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena sudah tidak ada lagi TAP MPR yang tersisa. Sebab sudah terbukti baik secara teoritis maupun praktis, apabila TAP MPR itu dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan ternyata menimbulkan persoalan hukum yang tidak sederhana.
Sebagai penutup, penulis ingin mengajak agar kita semua dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kehati-hatian dan tidak membuat kekeliruan yang tidak perlu sehingga menyebabkan makin rumitnya persoalan ini. Ada sebuah adagium latin yang sepatutnya menjadi renungan kita dalam memandang persoalan ini, yaitu “errare humanum est, turpe in errore perseverrare”. Artinya, (membuat) kekeliruan adalah manusiawi, tapi tidaklah manusia untuk terus menerus mempertahankan kekeliruan itu.




[1] Paper ini pernah dimuat dalam bunga rampai tulisan dalam rangka mengenang Alm. Prof. Dr. Harun Alrasyid, S.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2015. Ditulis oleh Dr. Hamid Chalid, S.H., LL.M dan Arief Ainul Yaqin S.H., M.H.
[2] Ketetapan MPR yang dimaksud adalah TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR  mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[3] Dalam soal merumuskan jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan, Maria Farida Indrati menyebut dinamika ini sebagai permasalahan yang belum berakhir dari sejak diterbitkannya TAP MPR No. XX/MPRS/1966 hingga saat ini. Lihat dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarata, 2007, hlm. 108.
[4] Vide Lampiran Bagian II huruf A angka 1 TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[5] Vide Pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang Undangan
[6] Vide Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[7] Vide Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[8] Penting untuk diketahui bahwa dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan TAP MPR menurut pasal tersebut hanyalah TAP MPR yang masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
[9] Lihat Harun  Alrasyid dalam Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 32-35.
[10] Loc. Cit.
[11] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 170.
[12] Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Kedua, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 58-60; Lihat juga Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 50.
[13] Perpaduan antara proses politik dan proses hukum dalam upaya pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dalam teori disebut juga sebagai forum prive legiatum. Proses atau forum impeachment yang demikian dikembangkan oleh Amerika Serikat, meskipun dengan cara yang berbeda dengan yang dipakai di Indonesia. Berdasakan Article I Section 3 Konstitusi AS, sidang dakwaan pemberhentian Presiden dilaksanakan oleh Senat yang persidangannya itu sendiri dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung AS (US Supreme Court). Mengenai hal ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Charles L. Black, Impeachment, a Handbook, Yale University Press, New Haven and London, 1998.
[14] Pendapat yang sama akan hal ini, yaitu yang menyatakan bahwa ke depan (setelah perubahan UUD 1945) MPR tidak dapat lagi mengelurakan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur dan mengikat umum, salah satunya dikemukakan oleh Maria Farida Indrati. Lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarata, 2007, hlm. 50.
[15] Mengenai perdebatan dan proses pembahasan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 ini dapat ditelusuri dalam Naskah Komprhensif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku X Perubahan UUD; Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan, Edisi Revisi,  Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 395, 400, 410, 420, 425, dan 454.
[16] Loc. Cit.
[17] Lihat Bagir Manan dan Dwi Susi Harijanti, Memahami Konstitusi; Makna dan Aktualisasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 82.
[18] Dari segi ilmu perundang-undangan, ketidakberlakuan yang semacam ini adalah sesuatu yang kurang tepat, dimana masa berlakunya suatu peraturan digantungkan pada keadaan-keadaan tertentu. Dalam ilmu perundang-undangan, pencabutan atau pembatalan suatu peraturan, demi kepastian hukum, harus dilakukan secara tegas dan tertulis, bukan digantungkan pada keadaan-keadaan atau syarat-syarat tertentu, apalagi jika syarat itu sifatnya kualitatif dan tidak terukur. Mengenai teori pencabutan peraturan ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarata, 2007, hlm. 174-179.
[19] Vide Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
[20] Undang-Undang yang mengatur tentang agraria hingga saat ini masih UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang tersebut belum pernah diubah apalagi diganti dengan undang-undang yang baru.
[21] Pengamatan untuk mencari tahu TAP MPRS/MPR apa saja yang masih berlaku pernah juga dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie pada tahun 2006 dalam bukunya “Perihal Undang-Undang.” Bedanya dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Penulis, Jimly menyimpulkan bahwa masih ada delapan (8) TAP MPRS/MPR yang masih berlaku hingga pada saat itu (2006). Lihat selengkapnya dalam Jimly Asshiddiqie, Perhal Undang-Undang, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 41-48.
[22] Vide Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[23] Lihat Hans Kelsen, Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1961, hlm. 160-161
[24] Pengujian undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
[25] Permohonan Pengujian atas Ketetapan MPR ini tertuang dan bisa dibaca dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 24/PUU-XI/2013.
[26] Vide Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[27] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Proses dan Teknik Pembentukannya, Op. Cit., hlm. 177; Lihat juga Lampiran II (Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan) Bab II Bagian C tentang Pencabutan, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar