Selayang Pandang Masalah
Politik
hukum dan perundang-undangan Indonesia telah mengalami dinamika dan perubahan
sejak NKRI berdiri. Dinamika dan perubahan itu terjadi sebagai sebuah hasil
proses belajar bangsa ini untuk terus berkembang mengikuti dinamika kehidupan
berbangsa yang juga berubah sesuai tuntutan zamannya. Dinamika politik yang
terjadi sepanjang lintasan sejarah itu, menuntut juga perubahan dalam jenis,
sistematika dan hirarki peraturan perundangan-undangan yang mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sejarah
mencatat, lintasan sejarah yang merekam dinamika itu telah terbentang dari
tahun 1966, ketika untuk pertama kalinya dilakukan perumusan dan sistematisasi
terhadap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan melalui TAP MPR No.
XX/MPRS/1966.[2] Dari sejak
tahun 1966 hingga saat ini, tercatat telah ada empat (4) peraturan yang
mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia dari waktu ke waktu. Dari keempat peraturan tersebut,
masing-masing merumuskan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sehingga nampak belum adanya
keajegan dalam soal itu.[3]
Salah
satu contoh dari dinamika itu ialah soal pasang surutnya status dan kedudukan
Ketetapan MPR (selanjutnya akan disebut TAP MPR). Dinamika yang menyangkut
status dan kedudukan TAP MPR itu dapat digambarkan dalam fase-fase berikut ini:
1)
Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
TAP MPR diakui sebagai salah salah satu jenis
peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki, yakni
dibawah Undang-Undang Dasar 1945.[4]
2)
Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000
TAP MPR pada periode ini diakui sebagai
salah salah satu jenis peraturan
perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki, yaitu dibawah
Undang-Undang Dasar 1945.[5]
3)
Berdasarkan UU No. 10 Tahun
2004
TAP MPR tidak lagi dimasukan ke dalam jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan.[6]
4)
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011
Melalui UU No. 12 Tahun 2011 ini TAP MPR
kembali “dihidupkan” dan diakui sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam hierarki (di bawah UUD
1945).[7]
Timbul
dan tenggelamnya TAP MPR dalam sistem perundang-undangan kita menjadikan TAP
MPR ini menjadi salah satu topik perdebatan yang tidak habisnya untuk
diperbincangkan. Lebih-lebih setelah diakuinya kembali TAP MPR sebagai salah
satu jenis peraturan perundang-undangan oleh UU No. 12 Tahun 2011, setelah
sebelumnya sempat “menghilang” dibawah rezim UU No. 10 Tahun 2004.[8]
Dalam UU
No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dimasukan dalam jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan. Alasannya pada saat itu, berdasarkan hasil
amandemen UUD 1945 (tepatnya Pasal 1 dan Pasal 3) MPR tidak lagi diposisikan
sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak lagi berwenang menetapkan GBHN.
Karenanya, TAP MPR yang sifatnya mengatur umum (regelend) dan menjadi tempat penuangan GBHN, tidak diperlukan
lagi. Alasan lain yang sebenarnya sudah disuarakan sejak lama ialah karena TAP
MPR, sesuai dengan nomeklaturnya yakni “ketetapan”, seharusnya berisi norma
yang sifatnya hanya penetapan (beschikking)
bukan pengaturan (regeling).
Harun
Alrasid adalah salah satu pakar hukum yang sejak lama mengkritik penggunaan TAP
MPR sebagai peraturan perundang-undangan. Menurutnya, TAP MPR tidak bisa memuat
hal-hal yang sifatnya mengatur (regeling).
Masih menurutnya, seharusnya peraturan perundang-undangan yang langsung berada
dibawah UUD adalah undang-undang, bukan TAP MPR. Ketetapan MPR boleh saja ada,
tetapi bukan untuk diperankan sebagai peraturan perundang-undangan, melainkan
sebatas penetapan yang bersifat individual dan konkret saja. Misal, TAP MPR
tentang pengangkatan Presiden, pemberhentian Presiden, dan lain sebagainya yang
sifatnya hanya beschikking.[9]
Sependapat
dengan Harun Alrasid, Mahfud MD. menyatakan bahwa pemosisian TAP MPR sebagai
peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD sebenarnya hanyalah
tafsiran MPRS saja, yang menganggapnya sebagai konsekuensi dari adanya
kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN. Sebab, UUD sendiri tidak pernah
menyebutkan soal adanya TAP MPR dan bagaimana materi muatannya.[10]
Dari
pendapat diatas dan dikaitkan dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia dewasa
ini, maka TAP MPR yang bersifat mengatur apalagi yang isinya menugasi Presiden
untuk menjalankan GBHN, jelas sudah tidak relevan lagi dengan paradigma UUD
1945 hasil amandemen. Karenanya setelah amandemen UUD 1945 tidak boleh lagi ada
TAP MPR yang bersifat mengatur (regelend). Sebab berdasarkan UUD hasil
amandemen, MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN, begitu juga Presiden bukan
lagi mandataris MPR. Jika
masih juga diproduksi TAP MPR yang sifatnya mengatur umum, maka demi hukum, TAP
MPR itu tidak mempunyai dasar konstitusional.[11]
Jadi
setelah terjadi perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR sebagai hasil dari
amandemen UUD 1945, maka saat ini MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan
ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur dan mengikat umum seperti dulu.[12] Itulah
sebabnya mengapa UU No. 10 Tahun 2004 tidak lagi memasukan TAP MPR ke dalam
genus peraturan perundang-undangan.
Pada
perkembangan selanjutnya, setelah UU No. 10 Tahun 2004 disahkan, timbul
pertanyaan sehubungan dengan adanya TAP MPR yang masih berlaku berdasarkan
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003. Sementara menurut UU No.
10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi diakui sebagai peraturan perundang-undangan.
Pada titik inilah muncul
kembali tanda tanya dan perdebatan perihal status hukum TAP MPR yang masih
berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Di satu sisi, berdasarkan UU No. 10 Tahun
2004, TAP MPR tidak lagi diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Akan
tetapi disisi lain, masih ada
sejumlah TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun
2003.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut kemudian bermuara pada satu pertanyaan besar, “bagaimana status hukum
dan kedudukan TAP MPR yang masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR
No. I Tahun 2003?” Kondisi ini tak pelak lagi menimbulkan kebingungan dan
ketidakpastian hukum perihal status dan kedudukan TAP MPR yang masih berlaku
hingga pada saat itu.
Kerancuan
itulah yang kemudian menjadi alasan “diakuinya” kembali TAP MPR oleh UU No. 12
Tahun 2011. Pasal 7 ayat (1) huruf b undang-undang tersebut memasukan kembali
TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya
berada dibawah UUD 1945. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun
2011:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Meskipun
status dan kedudukan TAP MPR telah diperjelas oleh UU No. 12 Tahun 2011, tetapi
“pengakuan” justru memicu perdebatan dan diskursus yang lebih sengit lagi.
Perdebatan dan diskursus itu setidak-tidaknya berkisar pada soal, TAP MPR apa
saja yang masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I
Tahun 2003, apakah semua TAP itu secara aktual dan faktual memang masih berlaku
hingga saat ini? bagaimana cara menguji TAP MPR tersebut jika dianggap
bertentangan dengan UUD 1945? bagaimana masa depan TAP MPR yang sekarang masih
berlaku, akankah tetap dibiarkan dalam keadaa status quo seperti
sekarang ini ataukah perlu diakhiri eksistensinya sehingga ke depan sistem dan
hierarki perundang-undangan kita tidak perlu lagi dikacaukan dengan adanya TAP
MPR?
Analisa
dan jawaban terhadap persoalan-persoalan diatas akan dirangkum secara ringkas
dan padat melalui penjelasan dibawah ini.
Realitas dan
Politik Hukum seputar Ketetapan MPR Pasca Perubahan UUD 1945
Salah satu implikasi dari amandemen UUD 1945 ialah
berubahnya kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi
mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR,
antara lain :
a. MPR
tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagai akibat perubahan Pasal 1
ayat 2 UUD 1945. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD hasil amandemen, kedaulatan
diserahkan dan berada langsung di tangan rakyat yang pelaksanaannya disalurkan
melalui cara-cara yang konstitusional berdasarkan UUD. Dengan demikian MPR
tidak lagi menjadi lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang mengatasi (superior
terhadap) lembaga-lembaga negara lain.
b. MPR
tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Begitu juga MPR tidak
dapat serta merta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang
terjadi di masa lalu. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR
hanya dapat dilakukan setelah melalui proses politik di DPR yang kemudian
dilanjutkan dengan proses hukum di Mahkamah Konstitusi.[13]
c.
MPR tidak lagi
berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelend). Hal ini merupakan konsekuensi dari
dihapusnya kewenangan MPR menetapkan GBHN.[14]
Karena di masa lalu TAP MPR itu lah yang menjadi tempat penuangan GBHN. Itulah
sebabnya di masa lalu TAP MPR yang seharusnya hanya bersifat beschikking itu disalahartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya berada dibawah UUD.
Perubahan kedudukan dan wewenang MPR pasca amandemen
UUD 1945 telah memunculkan kesadaran umum bahwa kedepan MPR tidak lagi
berwenang mengeluarkan TAP MPR yang isi dan sifatnya mengatur umum.
Kesadaran itu kemudian diangkat dan ditetapkan secara
formal/konstitusional melalui Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 hasil perubahan
keempat (2002). Menurut ketentuan Pasal I Aturan Tambahan, MPR ditugasi untuk
melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum TAP MPRS/MPR untuk
diambil putusan pada Sidang MPR Tahun 2003.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, original
intent daripada Pasal I Aturan Tambahan ini sebetulnya untuk menentukan dan
memberikan status hukum bagi TAP MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada dari sejak
tahun 1960. Pilihannya pada waktu itu hanya ada dua; (i) dicabut, bagi TAP
MPRS/MPR yang sudah tidak relevan untuk dipertahankan (ii) dituangkan dalam
bentuk undang-undang, bagi TAP MPRS/MPR yang dianggap masih relevan untuk
dipertahankan. Harapan para perumus perubahan UUD ketika itu, TAP MPRS/MPR yang
sudah terlanjur ada itu akan berakhir eksistensinya, baik dengan cara dicabut
maupun dengan cara dituangkan dalam bentuk UU.[15]
Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD
1945, maka pada Tahun 2003 MPR melakukan peninjauan terhadap materi dan status
hukum TAP MPRS/MPR yang telah dikeluarkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun
2002.
Hasil daripada peninjauan yang dilakukan oleh MPR itu
kemudian dituangkan dalam bentuk TAP MPR No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun
1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
Pada pokoknya, TAP MPR No. I Tahun 2003 berisi
pasal-pasal yang mengklasifikasikan 139 Tap MPRS/MPR yang sudah ada kedalam 6
kelompok. Berikut perinciannya:
1. Kelompok pertama,
adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tidak berlaku dan dicabut, ada
sebanyak 8 Tap.
2. Kelompok
kedua, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan
syarat/ketentuan tertentu, ada sebanyak 3 Tap.
3. Kelompok
ketiga, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai
terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu Tahun 2004, ada sebanyak 8 Tap.
4. Kelompok
keempat, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai
terbentuknya undang-undang, ada 11 Tap.
5. Kelompok
kelima, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai
dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR RI hasil Pemilu
Tahun 2004, ada sebanyak 5 Tap.
6. Kelompok
keenam, adalah kelompok Tap MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut, baik karena sifatnya einmalig (final; sekali selesai),
telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Jumlahnya ada sebanyak 104
Tap.
Dengan diterbitkannya TAP MPR No. I Tahun 2003 maka
secara formal MPR telah melaksanakan perintah Pasal I Aturan Tambahan. Akan
tetapi jika kita mencermati isi TAP MPR tersebut, maka sebetulnya masih
terdapat sejumlah persoalan yang terkandung di dalamnya. Jika mengacu pada original
intent dari Pasal I Aturan Tambahan sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, sesungguhnya para perumus perubahan UUD ketika itu menghendaki
adanya penyelesaian final atas TAP MPR yang sudah terlanjur ada. Maksud yang
dikehendaki pada waktu itu agar ke depan, TAP MPR yang sudah diterbitkan sejak
tahun 1960 sampai tahun 2002 itu dapat diakhiri eksistensinya, sehingga tidak
akan ada lagi TAP MPR dalam etalase perundang-undangan di Indonesia. Inilah
yang sebetulnya dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945 ketika mereka
merancang Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 (perubahan keempat).[16]
Maksud dan harapan yang ada dibalik Pasal I Aturan
Tambahan itu nampaknya tidak terelabrorasi dengan baik oleh TAP MPR No. I Tahun
2003. Ketetapan tersebut justru meninggalkan persoalan pelik yang bahkan oleh
sebagian orang dianggap sebagai persoalan abadi. Hingga saat ini, TAP MPR No. I
Tahun 2003 itu masih menyisakan sejumlah TAP MPRS/MPR yang masih terus berlaku.
Sementara itu, kondisi ketatanegaraan dan sistem perundang-undangan kita dewasa
ini sudah tidak relevan lagi untuk menampung adanya Ketetapan MPR sebagai
sebuah peraturan perundang-undangan.
Pembahasan selanjutnya akan diarahkan pada pengamatan
terhadap TAP MPRS/MPR yang masih berlaku menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4
TAP MPR No. I Tahun 2003. Karena pada kenyatannya, jika diteliti secara
seksama, tidak semua TAP MPRS/MPR yang disebut oleh Pasal 2 dan Pasal 4 itu
masih berlaku hingga saat ini. Ada beberapa ketetapan yang sudah tidak berlaku
lagi, baik karena telah terbentuk undang-undangnya atau telah terlaksananya
ketentuan yang diamanatkan oleh ketetapan yang dimaksud.
Harus diakui bahwa informasi mengenai hal ini sangat
jarang kita temukan. Umumnya orang hanya melihat sepintas lalu saja mengenai
keketatapan-ketetapan MPR apa saja yang masih berlaku, yaitu dengan cara
membaca Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Jika cara itu yang
dilakukan maka sudah jelas jumlah TAP MPRS/MPR yang masih berlaku adalah 14
ketetapan. Padahal secara aktual dan faktual tidak semua dari 14 ketetapan itu
masih berlaku. Maka untuk mengetahui TAP MPRS/MPR apa saja yang secara aktual
dan faktual masih berlaku, simak hasil pengamatan penulis terhadap
ketetatapan-ketetapan tersebut dibawah ini.
Analisis terhadap Ketetapan MPR yang
Masih Berlaku
Berdasarkan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, TAP MPR kembali diakui sebagai
salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan menempati urutan kedua dalam
hierarki peraturan perundang-undangan.
Jika
Pasal 7 ayat (1) ini dibaca secara sekilas tanpa membaca penjelasannya, maka kita
akan terjebak/terkecoh pada pemahaman bahwa yang dimaksud dengan TAP MPR disitu
adalah semua TAP MPR yang pernah dikeluarkan oleh MPR. Pandangan/kesimpulan
yang seperti itu perlu diluruskan, karena memang tidak demikian adanya. Untuk
memahami makna dan maksud dari ketentuan pasal 7 ayat (1) huruf b diatas, perlu
dilihat penjelasan pasalnya.
Dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b
ditegaskan bahwa:
“Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi
dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.”
Jadi, TAP MPR yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat
(1) huruf b diatas hanya meliputi TAP MPRS/MPR yang sudah ada dan masih berlaku
menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003. Singkatnya,
pasal itu hanya dimaksudkan untuk mengakui TAP MPRS/MPR yang dinyatakan masih
berlaku. Bukan ditujukan untuk memberi jalan bagi MPR untuk kembali memproduksi
ketetapan-ketapan yang sifatnya mengatur dan mengikat umum (regeling).[17]
Berdasarkan kenyataan tersebut maka timbul
pertanyaan, TAP MPRS/MPR apa saja yang menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No.
I Tahun 2003 masih berlaku? apakah dari kesemua TAP MPRS/MPR yang disebut oleh
Pasal 2 dan Pasal 4 itu hingga kini semuanya masih berlaku atau sudah ada
beberapa yang tidak berlaku?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, berikut ini
akan diuraikan pembahasannya.
Pasal 2 TAP MPR No. I/MPR/2003 menyatakan
bahwa:
“Ketetapan MPRS dan Ketetapan
MPR RI sebagaimana dimaksud di bawah ini dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan masing-masing sebagai berikut:
1. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/I966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di
Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme/Leninisme, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh
ketentuan dalam TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 ini ke depan diberlakukan
dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia.
Analisis:
TAP MPRS
No. XXV/MPRS/1966 masih berlaku
hingga saat ini. Karena sepanjang ia diberlakukan dengan memenuhi syarat-syarat
diatas maka ketetapan ini dapat terus berlaku. Jadi, TAP MPRS ini adalah salah
satu TAP MPRS sebagaimana dimaksud oleh pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12
Tahun 2011.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang
Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang
lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil,
menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya
pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:
TAP MPR
No. XVI/MPR/1998 masih berlaku
hingga saat ini dengan penjelasan yang sama dengan poin 1 diatas. Jadi, TAP MPR
ini adalah salah satu TAP MPR sebagaimana dimaksud oleh pasal 7 ayat (1) huruf
b UU No. 12 Tahun 2011.
3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 tentang
Penentuan Pendapat di Timor Timur tetap berlaku sampai dengan terlaksananya
ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 TAP MPR ini.
Analisis:
TAP MPR
No. V/MPR/1999 sudah tidak berlaku
lagi sehubungan dengan sudah terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6
ketetapan ini. Pasal 5 dan Pasal 6 itu sendiri pada intinya mengamanatkan
penyelesaian sejumlah persoalan pasca referendum/jajak pendapat di Timor Timur
tanggal 30 Agustus 1999. Persoalan-persoalan dan ikatan masa lalu antara
Indonesia dengan bekas provinsinya yang ke 27 itu dalam pengamatan penulis
telah diselesaikan. Saat ini Timor Timur sendiri telah berdiri sebagai negara
berdaulat yang bernama Timor Leste.
Dengan
demikian, TAP MPR No.V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur,
tidak termasuk ke dalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
oleh pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011. Karena syarat masa
berlakunya, yaitu terlaksananya ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 sudah terpenuhi,
sehingga secara ab initio ketetapan
ini menjadi tidak berlaku lagi.[18]
Bunyi Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 berikut analisis dari penulis
terhadap keberlakukan masing-masing TAP MPRS/MPR yang disebut di dalamnya
adalah sebagai berikut:
“Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR RI sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya undang-undang.”
1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan
Ampera tetap berlaku dengan menghargai Pahlawan Ampera yang telah ditetapkan dan
sampai terbentuknya undang-undang tentang pemberian gelar, tanda jasa,
lain-lain tanda kehormatan.
Analisis:
TAP MPRS
No.XXIX/MPRS/1966 sudah tidak berlaku
dengan diberlakunya UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh
ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Analisis:
TAP MPR
No. XI/MPR/1998 sudah tidak berlaku
dengan terbentuknya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, 18A, dan 18B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:
TAP MPR
No. XV/MPR/1998 Sudah tidak berlaku
dengan terbentuknya undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Saat ini, UU No.
32 Tahun 2004 dan perubahannya, telah dicabut dan diganti lagi dengan UU No. 23
Tahun 2013 tentang Pemerintahan Daerah.
Dibidang
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah dibentuk UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah. Kemudian UU
tersebut dicabut dan diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Jadi,
TAP MPR ini sudah tidak berlaku dengan telah diaturnya materi yang terdapat
dalam ketetapan ini oleh undang-undang sebagaimana yang disebutkan diatas.
4. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Analisis:
TAP MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan sudah tidak berlaku
lagi dengan dibentuknya UU No. 10 Tahun 2004, yang kemudian dicabut dan diganti
dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
5. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional.
Analisis:
TAP MPR
No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional masih berlaku mengingat sampai saat ini
belum ada UU yang mengatur materi yang sama sebagaimana yang diatur oleh
ketetapan ini.
6. Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai terbentuknya
undang-undang yang terkait.
Analisis:
TAP MPR
No. VI/MPR/2000 sudah tidak berlaku
dengan terbentuknya UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang pada
intinya berisi pemisahan tugas dan fungsi antara TNI dan Kepolisian. Menurut UU
No. 3 Tahun 2002, TNI mempunyai fungsi pokok sebagai alat pertahanan negara
dibawah naungan Departemen Pertahanan (sekerang Kementerian Pertahanan),
sedangkan Polisi ditarik dari ranah pertahanan/militer untuk konsens di bidang
keamanan.[19]
7. Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai terbentuknya
undang-undang yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10
ayat (2) dari Ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Analisis:
TAP MPR No.
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri sudah tidak berlaku dengan
terbentuknya undang-undang yang masing-masing mengatur tentang TNI dan
Kepolisian RI, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 34
Tahun 2004 tentang TNI.
8.
Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Analisis:
TAP MPR
No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa masih berlaku hingga kini, karena belum ada undang-undang yang
mengatur soal yang sama sebagaimana yang diatur oleh ketetapan ini.
9.
Ketetapan Majelis MPR RI No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan.
Analisis:
TAP MPR
No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan sudah tidak berlaku dengan terbentuknya UU No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-Undang tersebut
kemudian mengamanatkan pembentukan undang-undang tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang akan mengatur mengenai rencana jangka
panjang (20 tahunan). Undang-Undang yang dimaksud oleh UU No. 24 Tahun 2004 itu
adalah UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025.
10. Ketetapan MPR RI No. VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sampai
terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Analisis:
TAP MPR
No. VIII/MPR/2001 dapat dikatakan sudah
tidak berlaku lagi, mengingat seluruh ketentuan yang ada di dalamnya sudah
dilaksanakan dengan dibentuknya UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001), UU KPK (UU No. 30 Tahun 2002), UU LPSK (UU No. 13
Tahun 2006), UU Keterbukaan Informasi (UU No. 14 Tahun 2008), dan UU Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010), serta UU
Ombudsman RI (UU No. 37 Tahun 2008).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya seluruh amanat dari TAP MPR
No.VIII/MPR/2001 untuk merivisi dan/atau membentuk UU yang berkenaan dengan
Tipikor sudah dilaksanakan. Oleh karena itu, TAP MPR ini sudah tidak berlaku
dengan dibentuknya pelbagai undang-undang yang telah disebutkan diatas. Begitu
juga secara praktis, dalam lapangan penegakan korupsi ketetapan ini sudah tidak
lagi disinggung-singgung apalagi dijadikan dasar hukum.
11. Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh
ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Analisis:
TAP MPR
No. IX/MPR/2001 masih berlaku,
karena ketentuan dalam TAP MPR ini belum terlaksana seluruhnya dan sampai
sekarang belum ada undang-undang yang merevisi/mengganti undang-undang agraria
yang selama ini berlaku.[20]
Berdasarkan analisis terhadap 14 TAP MPRS/MPR
yang dinyatakan masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun
2003, maka dapat dikatakan bahwa hanya
ada lima (5) yang benar-benar masih berlaku hingga saat ini. Selebihnya (9
TAP) sudah tidak berlaku lagi, baik karena ketentuan yang diamanatkan oleh TAP
MPR yang dimaksud sudah terlaksana ataupun karena sudah terbentuk
undang-undangnya.
Berdasarkan fakta dan kesimpulan diatas maka
sesungguhnya TAP MPR yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12
Tahun 2011, pada saat ini hanya meliptui lima (5) ketetapan saja saja.[21]
Ketetapan-Ketetapan MPR yang dimaskud adalah:
1. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/I966 tentang
Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di
Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme.
2. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik
Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
3. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/2000 tentang
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
4. Ketetapan MPR RI No VI/MPR/200I tentang Etika
Kehidupan Berbangsa.
5. Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh
ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
Masa Depan Ketetapan MPR, Quo Vadis?
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat terlihat
adanya persoalan-persoalan yang melingkupi Ketetapan MPR yang oleh UU No. 12
Tahun 2011 kembali diakui sebagai peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR
yang dimaksud dalam undang-undang itu adalah TAP MPR yang masih berlaku menurut
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003.
Hingga saat tulisan ini dibuat, permasalahan terkait
status dan kedudukan TAP MPR ini masih terus bergulir seolah tidak berujung.
Ketetapan MPR No. I Tahun 2003 yang semula dimaksudkan untuk mengakhiri
eksistensi ketetapan-ketetapan MPR yang sudah ada sejak tahun 1960, justru
meninggalkan persoalan baru, yaitu dengan menyisakan beberapa TAP MPR yang
masih berlaku hingga saat ini. Padahal sistem ketatengaraan dan politik perundang-undangan
saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengakomodir adanya Ketetapan MPR
sebagai peraturan perundang-undangan.
Keberadaan TAP MPR yang masih berlaku menurut Pasal
2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun 2003 itu menjadi problematika yang pelik dan
bahkan oleh sebagian orang dianggap sebagai persoalan yang abadi. Mengapa
dikatakan demikian? karena menurut pendapat ini, TAP MPR yang masih berlaku itu
tidak dapat dicabut, bahkan oleh MPR sendiri. Alasannya, karena MPR tidak lagi
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan yang bersifat regeling
yang dapat digunakan untuk mencabut TAP MPR yang sekarang masih berlaku.
Satu-satunya jalan untuk mengakiri eksistensi TAP MPR yang masih berlaku
menurut pendapat ini ialah melalui perubahan UUD, dimana MPR kembali diberi
tugas untuk mencabut TAP MPR yang dimaksud. Tanpa skenario yang demikian maka
tidak ada jalan untuk mengatasi benang kusut seputar eksistensi TAP MPR ini.
Demikian menurut pendapat dari kelompok ini.
Terhadap jalan pemikiran diatas penulis kurang
sependapat sepemikiran. Akan kah kita berdiam diri terhadap persoalan ini dan
hanya menunggu datangnya momen perubahan UUD baru kita akan menyelesaikannya?
Masalah ini merupakan salah satu residu (sisa) persoalan sistem ketatanegaraan
dan perundang-undangan kita di masa lalu. Bagaimana mungkin kita terus menerus
mempertahankan eksistensi TAP MPR yang sudah tidak relevan lagi dengan sistem
ketatanegaraan dan politik perundang-undangan kita saat ini. Lebih-lebih
politik hukum perundang-undangan kita saat ini menghendaki adanya purifikasi
antara produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling) dengan produk
hukum yang berbentuk keputusan/ketetapan (beschikking). Hal itu telah
dimulai sejak era UU No. 10 Tahun 2004, dimana Keputusan Presiden tidak lagi
dimasukan dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dan diganti
menjadi Peraturan Presiden.[22]
Persoalan lain sehubungan dengan diakuinya kembali
TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan ialah ketiadaan mekanisme judicial
review bagi TAP MPR. Padahal menurut konsep supremasi konstitusi
sebagaimana yang kita anut sekarang ini, dituntut adanya mekanisme judicial
review bagi setiap peraturan perundang-undangan untuk memastikan
konsistensinya terhadap peraturan yang ada diatasnya. Hal mana sangat penting
untuk menegakan supremasi konstitusi disatu sisi dan menjaga tertib hierarki
peraturan perundang-undangan disisi yang lain.[23]
Sehubungan dengan itu, tentu saja keberadaan TAP MPR
dalam hierarki peraturan perundang-undangan akan mengacaukan doktrin supremasi
konstitusi dan lembaga judicial review. Karena sebagaimana kita tahu,
UUD 1945 tidak menyediakan ruang judicial review bagi TAP MPR, sehingga
persis tidak ada mekanisme pengujian yudisial yang bisa dilakukan untuk
mengontrol konstitusionalitas TAP MPR terhadap UUD. Ini merupakan petunjuk
sekaligus bukti bahwa UUD hasil amandemen memang tidak lagi menghendaki adanya
TAP MPR dalam sistem perundang-undangan kita. Seandainya UUD masih menghendaki
adanya TAP MPR dalam sistem peraturan perundang-undangan kita maka tentu saja
telah disediakan ruang judicial review baginya, sebagaimana UUD
menyediakannya mekanisme tersebut bagi undang-undang dan peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang.[24]
Dalam praktek, ketiadaan mekanisme judicial
review bagi TAP MPR ini telah terbukti dengan ditolaknya permohonan
pengujian Ketetapan MPR oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus ini MK memutuskan
untuk tidak menerima (niet ontvankelijke verklaard) permohonan pengujian
Pasal 6 TAP MPR No. I Tahun 2003, khususnya butir ke 30 mengenai Ketetapan MPRS
No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno. Pertimbangan utamanya, berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK
tidak memiliki kewenangan untuk menguji selain undang-undang terhadap UUD,
sehingga pengujian Ketetapan MPR bukanlah wewenang MK.[25]
Persoalan-persoalan yang digambarkan diatas
sepatutnya menjadi bahan renungan dan pemikiran untuk kita, bagaimana merancang
penyelesaian atas masalah ini. Keberadaan TAP MPR yang telah terbukti
mengandung banyak masalah dan sudah tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan
kita saat ini sudah seyogianya dicarikan alternatif pemecahannya. Untuk itu
penulis akan mengetengahkan proposisi atau alternatif solusi sebagai berikut.
Pertama,
terhadap kelompok TAP MPRS/MPR yang disebut dalam Pasal 4 TAP MPR No. I Tahun
2003, kedepan DPR dan Presiden harus membentuk undang-undang yang akan
“mengambil alih” materi ketetapan MPR yang dimaksud. Apalagi dalam sistem
Prolegnas yang berlaku saat ini, RUU yang dibentuk dalam rangka melaksanakan
perintah TAP MPR akan menempati urutan (prioritas) yang tertinggi setelah RUU
yang pembentukannya diamanatkan oleh UUD.[26]
Artinya, ada priotitas yang tinggi bagi RUU yang dibentuk dalam rangka memenuhi
perintah TAP MPR. Hal mana merupakan suatu keuntungan tersendiri bagi
pembentukan undang-undang yang ditujukan untuk melaksanakan perintah Pasal 4
TAP MPR No. I Tahun 2003.
Dengan
demikian, TAP MPR yang materinya telah diambil alih oleh undang-undang maka ia
otomatis tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat (tidak berlaku). Artinya,
manakala undang-undangnya sudah terbentuk maka berakhirlah eksistensi yuridis
bagi TAP MPR yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 TAP MPR No. I
Tahun 2003.
Kedua,
terhadap kelompok TAP MPRS/MPR yang masih berlaku menurut Pasal 2 TAP MPR No.
I/MPR/2003, maka jalan yang dapat ditempuh untuk mengakhiri eksistensinya ialah
dengan cara mencabut TAP MPRS/MPR tersebut oleh MPR. Pencabutannya itu sendiri
bisa dilakukan dengan menggunakan TAP MPR yang sifatnya beschikking, yakni yang isinya hanya
berupa pencabutan terhadap ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang dimaksud.
Dengan
begitu maka TAP MPRS/MPR yang saat ini masih berlaku menurut Pasal 2 TAP MPR
No. I Tahun 2003 dapat diakhiri eksistensinya. Sedangkan apabila materi muatan
TAP MPR yang dicabut itu dirasa urgen dan masih relevan untuk dipertahankan,
maka materi tersebut dapat dituangkan dan diberi baju hukum berupa
undang-undang.
Salah
satu contoh materi TAP MPR yang masih perlu untuk dipertahankan dan bahkan
diatur lebih lanjut ialah materi yang terkandung dalam TAP MPR No. XXV Tahun
1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme. Materi
muatan TAP MPRS tersebut menurut hemat penulis sangat penting untuk
dipertahankan guna menghindari terulangnya musibah komunal yang pernah dialami
bangsa ini di masa yang lalu.
Cara
yang dapat ditempuh untuk mengamankan hal ini ialah dengan terlebih dahulu
membentuk undang-undang yang akan mengadopsi dan mengambil alih materi TAP MPRS
yang dimaksud. Setelah undang-undangnya terbentuk barulah TAP MPRS tersebut
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tujuannya agar dalam pembentukan UU yang
dimaksud, Presiden dan DPR tetap berpedoman pada TAP MPRS tersebut karena ia
masih berlaku, bahkan menjadi landasan hukum bagi pembentukan UU tersebut.
Dengan demikian maka pembentuk UU tidak bisa membuat norma yang menyimpangi
semangat dan materi yang dikandung oleh TAP MPRS No. XXV Tahun 1966.
Dengan
cara itu maka tidak akan ada kekosongan hukum manakala TAP MPRS ini dicabut,
karena norma/materinya telah diambil alih dan diformilkan dalam bentuk
undang-undang, sehingga tidak ada celah bagi PKI atau komunisme untuk muncul
kembali, walau satu detik saja.
Kendati
demikian penulis menyadari bahwa alternatif yang kedua ini merupakan pilihan
yang amat sulit untuk direalisasikan. Karena sudah pasti akan menyulut
kontroversi dan perdebatan yang tajam mengenai absah tidak absahnya (legally
or not) mekanisme ini. Akan tetapi terlepas dari perdebatan dan kontroversi
yang mungkin muncul, penulis dapat meyakinkan bahwa cara ini merupakan cara
yang legal berdasarkan pada sekurang-kuranya dua alasan; (i) teoritis dan (ii)
praktis/empiris.
Alasan
pertama (alasan teoritis), dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya kaidah
mengenai pencabutan suatu peraturan. Suatu peraturan dapat dicabut dengan
memperhatikan dua syarat dibawah ini:
- Lembaga yang berwenang; suatu peraturan hanya dapat dicabut oleh lembaga yang membuatnya atau oleh lembaga yang lebih tinggi
- Bentuk atau baju hukumnya; suatu peraturan hanya dapat dicabut oleh peraturan yang setingkat atau peraturan yang lebih tinggi.[27]
Dengan
berlandaskan pada alasan diatas maka sebetulnya dalam lapangan teori (ilmu
perundang-undangan), tidak ada salahnya apabila Ketetapan MPRS/MPR yang masih
berlaku itu akan dicabut oleh MPR dengan menggunakan instrumen yang juga berupa
TAP MPR (yang sifatnya hanya berupa beschikking). Artinya, pencabutan
itu dilakukan oleh lembaga yang sama yang telah membuatnya dan dengan
menggunakan instrumen hukum yang sama pula. Hanya saja yang harus digarisbawahi
disini ialah, TAP MPR yang digunakan untuk mencabut ketatapan-ketatapan MPR
yang masih berlaku itu adalah TAP MPR yang sifatnya beschikking (hanya berisi diktum pencabutan), bukan regeling.
Alasan
kedua, yaitu alasan empiris. Mengenai kebolehan pencabutan TAP MPRS/MPR yang
sekarang masih berlaku, pada praktiknya pernah juga dilakukan oleh MPR pasca
amandemen UUD, yaitu melalui TAP MPR No. I Tahun 2003.
Terkait
alasan diatas akan muncul sanggahan bahwa TAP MPR No. I Tahun 2003 itu
dikeluarkan oleh MPR dalam rangka melaksanakan amanat Pasal I Aturan Tambahan
UUD 1945. Sehingga kegiatan peninjauan (review) yang dilakukan oleh MPR
dan menghasilkan TAP MPR No. I Tahun 2003 itu dapat diterima, karena hal
tersebut telah diamanatkan langsung oleh UUD 1945 (Pasal I Aturan Tambahan).
Terhadap
sanggahan ini penulis ingin menjelaskan bahwa benar kegiatan peninjauan TAP MPR
itu memang diamanatkan oleh Pasal 1 Aturan Tambahan. Akan tetapi jangan lupa
bahwa Pasal 1 Aturan Tambahan itu sebetulnya hanya memerintahkan kepada MPR
untuk melakukan review, tanpa menyebutkan hasil review itu harus
dituangkan dalam bentuk apa. Tetapi sebagaimana kita tahu, kenyataan menunjukan
bahwa MPR memilih untuk menuangkannya dalam bentuk Ketetapan juga, yakni TAP
MPR No. I Tahun 2003. Ketetapan MPR No. I Tahun 2003 itu sendiri dilihat dari
isinya maka ia hanyalah beschikking, karena hanya berisi norma yang
bersifat konkrit dan individual, yaitu berupa pemberian status hukum baru terhadap
139 TAP MPR yang sudah ada sejak 1960-2002.
Dalam
kasus itu (adanya TAP MPR No. I Tahun 2003), fakta menunjukan bahwa kita bisa
menerimanya. Padahal Pasal I Aturan Tambahan sendiri tidak pernah menyebutkan
bahwa hasil daripada kegiatan yang ditugaskan kepada MPR itu harus dituangkan
dalam bentuk Ketetapan MPR. Lantas jika MPR akan mencabut dan mengakhiri
eksistensi TAP MPR yang sekarang masih berlaku, mengapa kita tidak bisa
menerimanya. Bukan kah cara itu memiliki landasan teoritis dan empiris yang absah?
Dengan
dua cara yang telah dipaparkan diatas maka diharapkan Ketetapan MPR yang yang
bersifat mengatur dan masih tersisa sekarang ini akan “habis” atau diakhiri
keberlakuannya. Dengan demikian maka ke depan, TAP MPR tidak perlu lagi
dimasukan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena sudah tidak ada
lagi TAP MPR yang tersisa. Sebab sudah terbukti baik secara teoritis maupun
praktis, apabila TAP MPR itu dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan
ternyata menimbulkan persoalan hukum yang tidak sederhana.
Sebagai
penutup, penulis ingin mengajak agar kita semua dapat menyelesaikan persoalan
ini dengan penuh kehati-hatian dan tidak membuat kekeliruan yang tidak perlu
sehingga menyebabkan makin rumitnya persoalan ini. Ada sebuah adagium latin
yang sepatutnya menjadi renungan kita dalam memandang persoalan ini, yaitu “errare
humanum est, turpe in errore perseverrare”. Artinya, (membuat) kekeliruan
adalah manusiawi, tapi tidaklah manusia untuk terus menerus mempertahankan
kekeliruan itu.
[1] Paper
ini pernah dimuat dalam bunga rampai tulisan dalam rangka mengenang Alm. Prof.
Dr. Harun Alrasyid, S.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia,
2015. Ditulis oleh Dr. Hamid Chalid, S.H., LL.M dan Arief Ainul Yaqin S.H.,
M.H.
[2]
Ketetapan MPR yang dimaksud adalah TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[3] Dalam
soal merumuskan jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan, Maria
Farida Indrati menyebut dinamika ini sebagai permasalahan yang belum berakhir
dari sejak diterbitkannya TAP MPR No. XX/MPRS/1966 hingga saat ini. Lihat dalam
Maria Farida Indrati, Ilmu
Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarata, 2007, hlm. 108.
[4]
Vide Lampiran Bagian II huruf A angka 1 TAP MPR No. XX/MPRS/1966
tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[5] Vide
Pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang Undangan
[6] Vide
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[7] Vide
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
[8] Penting
untuk diketahui bahwa dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan TAP MPR menurut pasal tersebut hanyalah TAP MPR yang
masih berlaku menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI
Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
[9] Lihat
Harun Alrasyid dalam Mahfud M.D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 32-35.
[10] Loc. Cit.
[11] Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 170.
[12]
Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Kedua, Cet. Kedua, 2011, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hlm. 58-60; Lihat juga Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 50.
[13]
Perpaduan antara proses politik dan proses hukum dalam upaya pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dalam teori disebut juga sebagai forum prive
legiatum. Proses atau forum impeachment yang demikian dikembangkan
oleh Amerika Serikat, meskipun dengan cara yang berbeda dengan yang dipakai di
Indonesia. Berdasakan Article I Section 3 Konstitusi AS, sidang dakwaan
pemberhentian Presiden dilaksanakan oleh Senat yang persidangannya itu sendiri
dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung AS (US Supreme Court). Mengenai hal
ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Charles L. Black, Impeachment, a
Handbook, Yale University Press, New Haven and London, 1998.
[14] Pendapat
yang sama akan hal ini, yaitu yang menyatakan bahwa ke depan (setelah perubahan
UUD 1945) MPR tidak dapat lagi mengelurakan Ketetapan MPR yang bersifat
mengatur dan mengikat umum, salah satunya dikemukakan oleh Maria Farida
Indrati. Lihat Maria Farida Indrati, Ilmu
Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,
Yogyakarata, 2007, hlm. 50.
[15]
Mengenai perdebatan dan proses pembahasan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 ini
dapat ditelusuri dalam Naskah Komprhensif Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,
Buku X Perubahan UUD; Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 395, 400, 410, 420, 425, dan 454.
[16] Loc.
Cit.
[17]
Lihat Bagir Manan dan Dwi Susi Harijanti, Memahami
Konstitusi; Makna dan Aktualisasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,
hlm. 82.
[18] Dari
segi ilmu perundang-undangan, ketidakberlakuan yang semacam ini adalah sesuatu
yang kurang tepat, dimana masa berlakunya suatu peraturan digantungkan pada keadaan-keadaan
tertentu. Dalam ilmu perundang-undangan, pencabutan atau pembatalan suatu
peraturan, demi kepastian hukum, harus dilakukan secara tegas dan tertulis,
bukan digantungkan pada keadaan-keadaan atau syarat-syarat tertentu, apalagi
jika syarat itu sifatnya kualitatif dan tidak terukur. Mengenai teori
pencabutan peraturan ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarata, 2007, hlm. 174-179.
[19] Vide Undang-Undang
No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
[20]
Undang-Undang yang mengatur tentang agraria hingga saat ini masih UU No. 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang tersebut belum pernah
diubah apalagi diganti dengan undang-undang yang baru.
[21]
Pengamatan untuk mencari tahu TAP MPRS/MPR apa saja yang masih berlaku pernah
juga dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie pada tahun 2006 dalam bukunya “Perihal
Undang-Undang.” Bedanya dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
Penulis, Jimly menyimpulkan bahwa masih ada delapan (8) TAP MPRS/MPR yang masih
berlaku hingga pada saat itu (2006). Lihat selengkapnya dalam Jimly
Asshiddiqie, Perhal Undang-Undang, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 41-48.
[22] Vide
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[23] Lihat
Hans Kelsen, Hans Kelsen, General Theory
of Law and State, Russel and Russel, New York, 1961, hlm. 160-161
[24]
Pengujian undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal
24C ayat (1) dan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
[25]
Permohonan Pengujian atas Ketetapan MPR ini tertuang dan bisa dibaca dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 24/PUU-XI/2013.
[26] Vide
Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[27] Maria
Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Proses dan Teknik Pembentukannya,
Op. Cit., hlm. 177; Lihat juga Lampiran II (Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan) Bab II Bagian C tentang Pencabutan, Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar